Islam, Politik dan Negara

lvii

BAB IV PEMIKIRAN POLITIK ABULLAHI AHMED AN-NA’IM

A. Islam, Politik dan Negara

Subyek kajian Islam, politik, dan negara memang belum mencapai finalnya di antara kalangan politikus Muslim, intelektual Muslim dan beberapa tokoh lainnya serta masih menyelimuti perdebatan yang mendalam tentang bagaimana idealnya hubungan antara Islam, politik, dan negara. Antara satu pemikiran dengan pemikiran yang lain sudah mencerminkan perbedaan yang sangat mencolok. Penerapan syariah Islam masih terus menjadi perdebatan . Sejumlah kalangan menganggap syariah perlu diadopsi secara resmi dan diterapkan oleh negara. Kalangan lainnya, menilai syariah cukup dijalankan secara individual maupun komunal. Memang Keterkaitan antara Islam dan politik sudah berlangsung sejak masa awal Islam. Bahkan, ketika pertama kali Islam didakwahkan, nuansa-nuansa politik sudah menyertai perjalanan agama yang dibawa Nabi Muhammad ini. Baik mereka yang sejak awal menerima Islam dan karenanya berkewajiban untuk membelanya atau mereka yang pada mulanya menolak Islam dan kerenanya ingin menghentikanya- sama-sama mengambil langkah yang bersifat politik. Islam merupakan agama yang paling kaya dengan pemikiran politik. Antony Black dalam bukunya Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini yang diterjemahkan dari judul aslinya The History of Islamic Political lviii Though: From the Prophet to the Present terbitan Edinburgh University Press, 2001, menjabarkan bahwa pemikiran politik Islam terentang mulai masalah etika politik, filsafat politik, agama, hukum, hingga tata negara. Black juga mengungkapkan bahwa pemikiran politik Islam dipengaruhi oleh pemikiran politik Plato, Aristoteles, dan Iran kuno. 48 Tapi keragaman khazanah pemikiran politik Islam itu bisa dikatakan bermuara pada pemikiran tentang hubungan agama dan negara. Bolehlah kita sebut pemikiran para pemikir Muslim yang menginginkan pemisahan Islam, politik, dan negara sebagai pemikiran politik Islam dan pemikiran yang menghendaki penyatuan Islam, politik, dan negara sebagai pemikiran Islam politik. Sebagaimana sudah dijelaskan di Bab III, bahwa setidaknya ada tiga paradigma dalam menjawab hubungan Islam, politik, dan negara oleh karena itu melalui paradigma ini pula, kita tahu bahwa yang terjadi sesungguhnya adalah pertarungan antara pemikiran politik Islam dan pemikiran Islam politik. 49 Dalam Bab ini penulis mencoba mendsikripsikan pandangan salah satu intelektual muslim yaitu Abdullahi Ahmed An-Na’im sebagai salah seorang guru besar di Emory Law University, Atlanta, Amerika Serikat yang konsen membicarakan tentang subyek tersebut. Abdullahi Ahmed An-Na’im sendiri menyatakan sebaiknya syariat diterapkan oleh umat Islam tanpa harus melalui sebuah penerapan yang dilegalkan oleh negara. Ia bahkan menyatakan, tak diformalkannya syariah akan menjadikan umat Islam lebih baik. Karena pelaksanaannya, didasari oleh kesadaran umat 48 Antony Black, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini. Penerjemah Abdullahi Ali Mariana Ariestyawati Jakarta: Serambi, 2006, h. 17-25 49 Istilah politik Islam sering digunakan untuk sebutan gerakan Islam kultural tanpa menjadikan Islam sebagai sebuah idologi sementara Islam politik sering diistilahkan dengan Islam struktural yang menghendaki Islam sebagai sebuah Ideologi. lix Islam sendiri bukan karena paksaan negara. 50 Menurut dia, syariah memiliki masa depan yang cerah dalam kehidupan publik masyarakat Islam karena dapat berperan dalam menyiapkan anak-anak untuk hidup bermasyarakat, membina lembaga, dan berhubungan sosial. Syariah akan terus memainkan peran penting dalam membentuk dan mengembangkan norma-norma dan nilai-nilai etika yang dapat direfleksikan dalam perundangan- perundangan dan kebijakan publik melalui proses politik yang demokratis 51 . Namun, prinsip-prinsip atau aturan- aturan syariah tidak dapat diberlakukan dan diterapkan secara formal oleh negara sebagai hukum dan kebijakan publik dengan alasan bahwa prinsip-prinsip dan aturan-aturan itu merupakan bagian dari syariah, dan apabila pemberlakuan syariah seperti itu diusahakan, hal itu merupakan kehendak politik negara dan bukan hukum Islam. Intinya, negara haruslah bersikap netral terhadap doktrin atau prinsip agama mana pun. Netralitas di sini tidak berarti negara secara sengaja memojokkan peran agama ke bilik-bilik sempit kehidupan privat, melainkan semata-mata demi menjamin kebebasan setiap individu untuk mendukung, berkeberatan, atau memodifikasi setiap penafsiran manusia atas doktrin atau prinsip-prinsip agama. Hal ini senada dengan apa yang dijelaskan oleh Abdul Rasyid Moten tentang sekularisme dunia ketiga ketika mengutip argumen Gajendragadkar bahwa sekularis bukan berarti hilangnya agama dalam arena umum. Sekularisme semata-mata berarti kenetralan negara dari agama, yang 50 Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam Dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syariah . Penerjemah Sri Murniati Jakarta: Mizan, 2007, h. 16 51 Ibid.,h. 15 lx kemudian diinterpretasikan, sebagai kesempatan bagi semua agama untuk melindungi negara dan berpartisipasi dalam urusan-urusan umum 52 . Modernis Fazlurrahman yakin bahwa injeksi politik ke dalam lingkungan agama telah bersifat merusak. Dia menyatakan bahwa ajaran-ajaran Islam harus mengatur politik, tetapi apa yang sebaliknya terjadi adalah eksploitasi organisasi dan konsep Islam oleh kelompok dan elit politik. Hasilnya adalah politik “hasutan omong kosong”, bukannya politik yang terilhami oleh moral 53 . Slogan agama dan politik dalam Islam tak terpisahkan kadang-kadang hanya dipergunakan untuk menipu orang-orang awam agar menerima bahwa alih-alih politik atau negara yang melayani tujuan jangka panjang Islam, tetapi pada kenyataannya bahwa Islam justru hanya dijadikan untuk melayani tujuan-tujuan sesaat partai-partai politik. Nafsu kekuasaan tanpa sungkan-sungkan mengangkangi nilai-nilai etik- moral keagamaan. Sebagai sebuah institusi politik, negara bukanlah sebuah entitas yang bisa merasakan, mempercayai, atau menindak. Manusialah yang selalu bertindak atas nama negara, menggunakan kekuasaan atau menjalankannya melalui organ-organya. 54 Ide negara Islam menurut An-Naim merupakan suatu yang kontradiktif. Negara adalah institusi politik. Islamic state adalah suatu kontradiksi. Istilah Islamic di situ menurutnya digunakan secara ceroboh. Jadi gagasan itu merupakan suatu gagasan yang sangat tidak koheren. Itu adalah suatu kesalahan sejarah. Ide negara Islam adalah suatu ide pasca-kolonial. Ini bukan ide yang muncul dari sejarah Islam. Negara adalah institusi politik dan birokratik dengan suatu hierarki 52 Abdul Rasyid Moten, Ilmu Politik Islam. Penerjemah Munir A. Mu’in dan Widyawati Bandung: Pustaka, 2001, h. 7 53 Dale F. Eickelman , dan James Piscatori, Ekspresi Politik Muslim, Bandung: Mizan, 1998, hal. 68 54 Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam Dan Negara Sekular, h. 28. lxi dan kekuasaan yang ekspansif yang mengontrol hampir semua aspek kehidupan kita, terlepas dari apakah kita menyukai hal ini atau tidak. Syariah adalah sistem norma dalam Islam. Otoritasnya adalah religius dan bukan sekular. Dalam arti ia tidak ada dalam wewenang negara. Dengan kata lain, negara menyimpang jika ia menerapkan syariah. Menurut An-Na’im, bahwa mempromosikan masa depan syariah sebagai sistem normatif Islam di kalangan umat Muslimin, bukan melalui penerapan prinsip secara paksa oleh kekuatan negara. Hal ini karena dari sifat dan tujuannya, syariah hanya bisa dijalankan secara sukarela oleh para penganutnya. Sebaliknya, prinsip syariah kehilangan otoritas dan nilai agamanya apabila dipaksakan negara 55 . Karena itu, pemisahan Islam dan negara secara kelembagaan sangat perlu agar syariah bisa berperan positif dan mencerahkan bagi umat Islam. Pendapat ini disebut An-Na’im sebagai netralitas negara terhadap agama. Azyumardi Menjelaskan bahwa alasan An- Na’im ini berangkat dari asumsi, umat Islam di manapun, baik sebagai mayoritas maupun minoritas-dituntut menjalankan syariah Islam sebagai bagian dari kewajiban keagamaan. Tuntutan ini dapat diwujudkan sebaik-baiknya manakala negara bersikap netral terhadap semua doktrin keagamaan; dan tidak berusaha menerapkan prinsip-prinsip syariah sebagai kebijakan atau perundangan negara. 56 Menurut saya, saya membutuhkan negara sekuler untuk menjadi muslim yang lebih baik. Artinya, memerlukan negara yang membiarkan saya sendiri dan bukan memaksakan agama terhadap saya. Sehingga saya bisa menjadi seorang muslim sesuai pilihan saya. Jika negara memaksakan pandangan Islamnya terhadap saya, maka saya tidak bebas memilih bagaimana saya menjadi muslim. Bukan karena saya tidak punya pilihan 57 . 55 Ibid., h. 18 56 Azyumardi Azra, “Islam, Negara, dan Masa Depan Syariah,” Republika, 26 Juli 2007. 57 Hasil wawancara Fathiyah Wardah Alatas dengan An-Na’im melalui VHRmedia.com. Diakses pada tanggal 27 April 2008 dari http:apri23.multiply.comjournalitem7 Buat_Pak_PeAceMan_Tuh_Kan_Pak.An_Naim_Liberal_Abiss. html lxii Negara sekular adalah negara yang netral dalam hal doktrin-doktrin keagamaan. Dia tidak berpihak pada agama tertentu. Dia juga tidak mendukung atau memusuhi agama tertentu. Kenetralan negara dalam hal doktrin keagamaan inilah yang membuat agama mungkin berkembang dalam masyarakat. Karena hanya masyarakat yang merupakan tempat di mana agama bisa berkembang dan berada 58 . Dengan demikian, negara dan Islam harus secara institusional dipisahkan. Negara tidak boleh bersifat Islam. Negara harus netral. Negara akan menjadi korup jika ia mengklaim suatu keyakinan keagamaan tertentu. An-Na’im hanya ingin menjelaskan bahwa syariah Islam tidak mungkin dapat dijadikan peraturan dan hukum publik melalui institusi negara. Karena hal itu dinilainya bertentangan dengan sifat dan tujuan syariah itu sendiri, yaitu dijalankan dengan sukarela oleh penganutnya. Ia menekankan perlunya menjaga netralitas negara dan memisahkannya secara kelembagaan dari agama. Kemudian Azyumardi dalam tulisannya tentang An-Na’im itu melanjutkan bahwa negara tetap tidak bisa dihindari dari kepentingan politik masyarakat yang tinggal dalam sebuaha negara. Ungkapan itu dikutif sebagai berikut: Namun, ini tidak berarti negara tidak dapat atau harus sepenuhnya bersikap netral, karena ia merupakan lembaga politik yang sudah tentu dipengaruhi kepentingan warga negara. Perundangan dan kebijakan publik memang seharusnya mencerminkan keyakinan dan nilai-nilai warga negara, termasuk nilai-nilai agama. Tapi penting digarisbawahi, tulis An- Na’im, bahwa hal itu tidak dilakukan atas nama agama tertentu. 59 58 Diskusi yang disampaikan Abdullahi Ahmed An-Naim di Freedom Institute, Rabu 1 Agustus 2007. Daikses pada tanggal 27 April 2008 dari http:www.freedom-institute.org. html 59 Azyumardi Azra, “Islam, Negara, dan Masa Depan Syariah,” lxiii Dengan demikian, negara dan Islam harus secara institusional dipisahkan. Negara tidak boleh bersifat Islam. Negara harus netral. Negara akan menjadi korup jika ia mengklaim suatu keyakinan keagamaan tertentu, tegas An-Na’im. Alasan utama lainnya menurut An-Na’im untuk menekankan pentingnya netralitas negara atas agama karena hal itu merupakan syarat mutlak pemenuhan ajaran-ajaran Islam dan perwujudannya sebagai kewajiban-kewajiban keagamaan bagi setiap individu muslim. Ketika umat Islam ingin mengusulkan kebijakan atau perundang-undangan yang bersumber dari agama atau keyakinnanya, sebagaimana seluruh warga negara memiliki hak yang sama, mereka harus mendahulukan nalar public public reason . Nalar publik adalah bahwa alasan, maksud dan tujuan kebijkan publik atau perundang-undangan harus didasarkan pada pemikiran warga yang pada umumya bisa menerima atau menolak 60 . Nalar dan penalaran publik, dan bukan keyakinan dan motivasi personal, mutlak adanya bagi kaum muslim, baik sebagai penduduk mayoritas atau minoritas, karena sekalipun muslim sebagai mayoritas mereka tidak lantas bersepakat terhadap kabijakan dan perundang-undangan yang cocok dengan kayakinan Islam mereka. Keseluruhan proses formulasi dan implementasi kebijakan dan perundang-undangan publik tunduk kepada kesalahan dan kekeliruan manusia, dan selalu bisa ditentang dan dipertanyakan tanpa melanggar kehendak Tuhan. Inilah pertimbangannya mengapa persolan kebijakan dan perundang-undangan publik harus didukung oleh nalar publik, termasuk di kalangan Muslim yang bisa saja tidak bersepakat dalam semua persoalan seperti itu, tanpa harus melanggar kewajiban-kewajiban agama mereka. 60 Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam Dan Negara Sekular, h. 22-23 lxiv Baginya, Islam tidak bisa dipisahkan dari politik. Tapi Islam harus dipisahkan dari negara. Sebab negara adalah produk politik dan Islam adalah produk Tuhan. Dan sebagai Muslim, mereka akan berperilaku secara politik sebagai seorang yang beriman dan Islam tidak bisa dipisahkan dari kehidupan publik. Namun sebagai produk politik, negara harus dipisahkan dari Islam. Pernyataan bahwa Islam dan politik tidak bisa dipisahkan bukan hanya pernyataan menyangkut Islam, tapi itu berkaitan dengan semua agama. Semua agama bisa mengklaim hal yang serupa. Sifat agama menjadikan orang yang beriman akan bertindak secara politik sebagai orang yang beriman. Perilaku orang beriman akan diresapi dengan keyakinan-keyakinan keagamaan mereka. Di samping itu, negara menurutnya adalah institusi politik, warganya diperlakukan setara. Jadi ide negara syariah berarti mengesampingkan kemungkinan perlakuan yang sama terhadap warga negara. Dalam sistem negara sekular, dalam pandangannya bahwa kita tidak bisa melakukan diskriminasi terhadap warga non-Muslim atau kepada warga yang Muslim seperti yang ada dalam sistem syariah. Gerakan syariah adalah tren yang berbahaya. Sebab apa yang diharamkan illegitimate dan dianggap salah, hanya didasarkan dari sudut pandang Islam. Inilah yang dimaksud An-Na’im bahwa negara syariah jelas melanggar HAM internasional, seperti yang disuarakannya dalam artikel- artikelnya. Penegasan An-Na’im bahwa pemisahan Islam dan negara bukan berarti tidak memberikan peran pada Islam dalam kebijkan publik, perundang-undangan atau kehidupan publik secara umum, tapi peran itu harus didukung oleh apa yang disebut Nalar Publik, dan harus tunduk kepada prisai-prisai konstitusonal serta lxv perlindungan hak-hak asasi manusia. Karena menurut An-Na’im bahwa tuntutan pemisahan yang tegas tanpa memperhitungkan peran publik agama tidaklah realistis dan menyesatkan. 61 Dalam sebuah wawancara Fathiyah Wardah Alatas dengan An-Na’im, ketika ditanya apakah negara mayoritas muslim harus melaksanakan hukum syariah? An-Na’im menjawab bahwa: Bukan sebagai negara, melainkan sebagai masyarakat. Sebagai muslim kita harus melaksanakan syariah. Tapi ada perbedaan antara menjalankan dan menerapkan. Menjalankan bersifat sukarela, sedangkan menerapkan berarti ada pemaksaan dan ini berlawanan dengan semangat syariah. Karena syariah menghormati kebebasan memilih dan kepercayaan orang, bukan atas dasar pemaksaan. Kaum muslim tentu tidak sepakat jika negara memaksakan syariah 62 . Menurut pendapat saya bahwa pelaksanaan syariat Islam berdasarkan kesadaran umat Islam itu sendiri sebagaimana yang dimaksud An-Na’im, secara teori benar tetapi realitasnya sulit dilaksanakan dan bahkan Islam akan terus meredup, tidak berpengaruh. Oleh karena itu dibutuhkan suatu peran ulama dalam memberikan pemahaman keagamaan kepada masyarakat agar tidak menyalahi dan menyelewengkan ajaran Islam syariat sehingga masyarakat tidak hanya memahami atau melaksanakan ajaran Islam berdasarkan kemauannya sendiri. Pemisahan Islam dari negara harus dilakukan demi menjaga netralitas negara terhadap ajaran agama lain, tetapi bukan menghilangkan peran ulama dalam masyarakat Islam.

B. Islam dan HAM