xxxiv Kamaruzzaman dalam tulisannya
15
membagi pandangan relasi agama dan negara menjadi dua gerakan. Pertama gerakan Fundamentalisme yaitu kalangan
yang menginginkan adanya integrasi agama dan negara, sedangkan kelompok kedua disebut gerakan modernisme yang terbagi dalam dua kelompok yaitu
modernisme Islam dan modernisme sekuler. Modernisme Islam berpandangan bahwa antara agama dan negara dapat diintegrasikan namun tidak mempersoalkan
jika umat Islam mencontoh Barat. Adapun kelompok modernisme sekuler, memisahkan antara agama dan negara dan pada waktu bersamaan mencontoh
gaya Barat dalam sistem kenegaraan. Disini penulis mencoba menggambarkan beberapa pandangan yang ada
dalam memahami relasi antara agama dan negara, yang akan diklasifikasi berdasarkan tiga paradigma yaitu pertama, Paradigma Islam Simbolik Formalistik,
kedua, Paradigma Islam Substantif, dan yang ketiga Paradigma Sekuler.
A. Paradigma Islam Simbolistik Formalistik
Pengaruh agama pada politik bukanlah sebuah fenomena yang hanya terjadi di dunia Islam. Tetapi adalah tidak mungkin bagi seorang ahli teori politik
akan mengabaikan peran Islam dalam kehidupan publik umat muslim. Pengaruh yang paling besar dalam politik bangsa-bangsa Muslim dapat dilacak dengan jelas
pada kecenderungan partisipasi politik yang amat luas dikalangan penduduknya. Jelas bahwa setiap hukum membutuhkan sebuah pemerintahan yang
mengadopsinya dan seperangkat aparat negara yang akan mengimplementasikan dan menegakkan sangsinya. Oleh karena itu Islam syariat juga membutuhkan
15
Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara: Perspektif Modernis dan Fundamentalis Indonesia Tera, Magelang, 2001, h. 50.
xxxv sebuah negara untuk menegakkan sangsinya
16
. Ini memberikan pemahaman bahwa syariat membutuhkan kekuasaan politik dan otoritas agar bisa
diimplementasikan. Di pihak lain, hubungan yang maksimal antara agama dan politik memerlukan komitmen total dan keterlibatan negara terhadap isi sebuah
agama yang spesifik. Pemikiran ini yang mengatakan bahwa antara Islam dan politik tidak bisa
dipisahkan muncul dari pandangan dasar bahwa Islam mencakup segala sesuatu, termasuk persoalan negara dan politik. Din wa-daulah marupakan salah satu
jargon terpenting dari mazhab pemikiran seperti ini. Dalam pandangan aliran ini, Islam merupakan tatanan dan panduan nilai yang sempurna dan karenanya
memiliki sistem dan teori tentang politik, ekonomi, negara, dan sebagainya. Dengan ini maka mereka mempunyai keyakinan bahwa umat Islam
mempunyai kewajiban untuk mendirikan sebuah negara yang berbentuk kekhalifahan sebagimana yang pernah dipraktekkan oleh Nabi di Madinah dan
juga para khulafaurrasyidin pada kurun setelahnya.. Karena kepercayaan yang teguh bahwa antara Islam dan politik harus disatukan, banyak orang memberi
penilaian terhadap kelompok ini sebagai penganut mazhab teokratis.
17
Zuhairi Misrawi menyebutkan bahwa pandangan kelompok yang menginginkan menyatunya agama dan negara dilatarbelakangi oleh dua hal
18
. Pertama,
sebagai tawaran alternatif bagi kegagalan sistem sekuler. Ini menjadi
16
Ahmed Vaezi, Agama Politik: Nalar Politik Islam. Penerjemah Ali Syabab Jakarta: Citra, 2006, h. 8.
17
Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara yang Tidak Mudah
Jakarta: Ushul Press, 2005, h. 8.
18
Zuhairi Misrawi, “Negara Syariat atau Negara Sekuler?,” diakses pada tanggal 5 April 2008 dari http:islamlib.comidindex.php?page=articleid=148. html
xxxvi alasan yang sering disebut-sebut guna membangun masyarakat yang islami.
Kedua , penyatuan agama dan negara sebagai suatu resistensi terhadap modernitas
Dalam tulisannya itu, Zuhairi Misrawi memasukkan Yusuf al-Qardlawi sebagai pemikir muslim garda depan yang menyuarakan penyatuan agama dan
negara sebagai alternatif dari ketimpangan sistem sekuler yang telah memporak- porandakkan nilai dan moralitas. Menurut Qardlawi tegasnya, Islam mempunyai
seperangkat nilai dan pemikiran guna membangun masyarakat yang berkeadilan dan berkeadaban. Al-Quran dan Sunnah rujukan utamanya.
19
Dalam menyikapi sekularisasi dan westernisasi atas nama modernisasi, kaum Muslim dapat dipilah dalam dua kelompok besar, yaitu yang menerima dan
yang menolak. Masing-masing dapat dibagi lagi: ada yang cenderung bersikap ekstrim, dan ada pula yang bersikap moderat. Yang ekstrim dari kelompok
penerima biasanya disebut secularist seperti Ataturk, sedangkan yang bersikap moderat disebut reformist atau modernist seperti Muhammad Abduh, Ahmad
Khan, Fazlur Rahman. Adapun yang ekstrim dari pihak yang menolak biasanya dicap revivalist atau fundamentalist seperti Al-Maududi dan Sayyid Qutb,
sementara yang moderat dijuluki conservative atau tradisionalist seperti Muhammad bin Abd al-Wahhab.
Pendukung sekularisme menyatakan bahwa meningkatnya pengaruh sekularisme dan menurunnya pengaruh agama di dalam negara tersekulerisasi
adalah hasil yang tak terelakan dari Pencerahan yang karenanya orang-orang mulai beralih kepada ilmu pengetahuan dan rasionalisme dan menjauh dari agama
dan takhyul. Penentangan yang paling kentara muncul dari Islam Fundamentalis.
19
Ibid
xxxvii Penentang sekularisme melihat pandangan di atas sebagai arogan, mereka
membantah bahwa pemerintahan sekuler menciptakan lebih banyak masalah dari pada menyelesaikannya, dan bahwa pemerintahan dengan etos keagamaan adalah
lebih baik. Sebuah pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang menerima dan
mengakui otoritas absolut dari Islam. Ia berupaya untuk membentuk sebuah tertib sosial yang Islami sesuai ajaran yang dikandung Islam, pelaksanaan syariat, dan
berupaya untuk mengarahkan keputusan-keputusan politik dan fungsi-fungsi publik sesuai dengan tujuan dan nilai-nilai Islam.
Paradigma ini memahami Islam sebagai agama yang sempurna pada prinsipnya tidak mengenal pemisahan agama dan negara. Merefleksikan adanya
kecenderungna untuk menekankan aspek legal dan formal idealisme politik Islam. Kecenderungan seperti ini biasanya ditandai oleh keinginan untuk menerapkan
syariah secara langsung sebagai konstitusi negara. Ada semacam kesadaran teologis yang sangat kental, bahwa syariat dengan kesempurnaannya dapat
menyelesaikan seluruh problem yang dihadapi umat Islam. Munawir Sjadzali menjelaskan bahwa penganut aliran ini pada umumnya
berpendirian bahwa Islam merupakan: •
Sebuah agama yang serba lengkap dimana terdapat sistem kenegaraan dan poltik. Oleh karenanya dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada
sistem ketatanegaraan Islam •
Sistem kenegaraan atau politik yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad dan empat Khulafa al-Rasyidin.
20
20
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara Jakarta: UI Press, 1993, h. 1.
xxxviii Kelompok ini sering dikategorikan sebagai kelompok revivalisme atau
fundamentalisme yang mengusung reaksi ekstrim terhadap meluasnya ide-ide pemikiran Barat kedalam dunia Islam. Aliran agama yang lebih fundamentalis
menentang sekulerisme. Pada saat yang sama dukungan akan sekularisme datang dari minoritas keagamaan yang memandang sekularisme politik dan pemerintah
sebagai hal yang penting untuk menjaga persamaan hak. Kelompok ini juga sering dikategorikan sebagai kelompok muslim
skriptualis yang berusaha memperjuangkan formalisasi agama. Artinya, dalam pandangan mereka, Islam harus mewarnai kehidupan, dan tidak boleh menjadi
sekedar agama privat. Islam harus asertif menjadi dasar negara, dan syariatnya mesti diberlakukan dalam tiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan
mengambil inspirasi dari karya-karya Sayyid Qutb W.1966 dan Abul A’la Al- Maududi W. 1979, mereka yang dalam istilah John L. Esposito 1990,
menegaskan jargon bahwa doktrin Islam itu self-sufficiency, sehingga mendirikan negara Islam menjadi doktrin agama.
Para pendukung arus ini secara mutlak menolak liberalisme dan ideologi- ideologi Barat lainnya. Mereka mendukung adopsi yang komprehensif dari
sumber-sumber yang bersifat ilahiyah yang sakral sebagai suatu cara untuk mengakhiri hegemoni Barat, dan sekaligus berupaya mengatasi berbagai masalah
sulit yang dihadapi masyarakat Muslim. Tujuan utama dari sebuah pemerintahan Islam adalah untuk membentuk
sebuah masyarakat Islam, dimana Islam sejatinya tidak memandang masyarakat Islam sekumpulan orang, tetapi masyarakat juga dilihat dari sisi hubungan sosial
xxxix dan tertib sosial masyarakat dimana mereka tinggal. Oleh karena itu, sebuah
masyarakat Islam secara definitif adalah sebuah masyarakat yang ideal dimana tertib sosial telah dibentuk dan diatur sesuai dengan nilai-nilai Islam, ajaran-
ajaran, dan aturan-aturannya.
21
Pemikiran akan penyatuan agama dan negara setidaknya terlihat pada tokoh seperti Abu A’la Al-Maududi yang sangat tidak tertarik dengan yang terjadi
di Turki yaitu adanya pemisahan agama dan negara yang pada gilirannya posisi Islam terletak pada titik subordinat, jika tidak boleh dikatakan dikikis sama sekali.
Al-Maududi menulis teori-teori politiknya dilatari penolakan terhadap teori-teori politik Barat dan memberi label Islam kepada sistem yang
dirumuskannya. Persoalan inilah yang membuat Al-Maududi sangat berlawanan dengan kalangan sekuler, karena dia sangat anti terhadap sekularisme, oleh karena
itulah Al-Maududi mendukung berdirinya negara Islam. Kelompok yang menginginkan formalisasi Islam dalam bentuk formal
dimana menyatunya agama dan negara beranggapan bahwa integrasinya agama dan negara juga dibangun atas contoh dari Nabi, yang pada saat bersamaan
bertindak sebagai pemimpin spiritual sekaligus pemimpin komunitas politik. Dipertahankannya institusi kekhalifahan juga didasarkan atas keyakinan bahwa
kekuasaan agama dan politik harus digabungkan dalam satu atap, sehingga memungkinkan syariat bisa diterapkan dan kominitas muslim terlindungi.
Adnin Armas menyatakan bahwa sekularisasi akan menggiring kepada sekularisme, sebuah ideologi yang mengeyampingkan peran Tuhan dalam
kehidupan manusia. Sebagaimana yang dikutif Adnin Armas dari Syed
21
Vaezi, Agama Politik, h. 10.
xl Muhammmad Naquib al-Attas bahwa sekularisasi tidaklah sesuai dengan agama
Islam yang final dan otentik. Menurutnya sumber asli Islam adalah wahyu dan bukan Budaya. Substansi Islam seperti iman dan amal, ibadah serta aqidah diberi
oleh wahyu dan diterjemahkan serta ditunjukkan oleh Rasulallah dalam perkataan dan perbuatannya bukan tradisi dan budaya
22
. Sementara Syamsudin Arif mengatakan bahwa sekularisme sebagai
ideologi, pada dasarnya memang tidak dapat bersenyawa dengan ajaran Islam yang hakiki, yang menganggap kekuasaan politik sebagai sarana penegakan
agama. Dalam arti politik untuk kepentingan agama, bukan agama untuk kepentingan politik sehingga kebenaran agama dan kekuasaan politik terkait erat
dan tak terpisahkan.
23
B. Paradigma Islam Substantif