Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perdebatan tentang hubungan Islam, politik dan negara belum menemukan titik temu kesepakatan antara para ilmuan atau kalangan intelektual. Perdebatan antara Islam dan negara merupakan subyek penting dan tetap belum terpecahkan secara tuntas 1 . Pertautan antara Islam, politik, dan negara akan terus menjadi perdebatan, baik pada tataran akademik maupun praktisi. Di Indonesia misalnya perdebatan tersebut terlihat adanya pertarungan yang dimulai dengan pertarungan ideologis antara golongan nasionalis Islam dan nasionalis sekuler 1920-1930 kemudian diikuti oleh perdebatan antara Soekarno dan Natsir antara agama dan negara 1940. Hal ini juga berlanjut tatkala menentukan dasar ideologi negara pada saat kemerdekaan hingga berlangsung saat ini meskipun berada pada konteks perdebatan yang berbeda. Kontroversi hubungan Islam, politik, dan negara baik dalam tataran teori maupun di sekitar implementasi nilai-nilainya telah berlangsung cukup lama. Di satu pihak, ada sebagian kecil aspirasi rakyat yang menghendaki implementasi syariat Islam dalam kehidupan politik, sedang dipihak lain, sebagian kecil masyarakat juga cenderung menjalankan politik sekuler dan mendapat dukungan yang secara politik sangat kuat. Perdebatan tersebut diisyaratkan dengan persoalan problematik antara politik siyasah dengan syariat yang juga melibatkan ketegangan antara ranah 1 Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modrnisme hingga Post-Modernisme Jakarta: Paramadina, 1996, h. 1 xi duniawi dan profane. Banyak kita dapati para pemikir Islam klasik seperti al- Mawardi, al-Gazali sampai ke Ibnu Taimiyah yang mempunyai keahlian di bidang fikih siyasah pada umumnya. Karena itu, bisa dipahami kalau ketika mereka membangun dan merumuskan konsepsi dan teori politik mereka, dalam banyak hal dimulai dengan syariat. 2 Dengan kata lain bahwa dalam menjalankan politik siyasah haruslah berpedoman pada syariat yang dilaksanakan dengan baik dan sempurna, karena itu politik tidak boleh mempunyai norma-norma atau ketentuan- ketentuan sendiri yang seolah-olah terpisah atau bahkan melengkapi syariat itu. Seorang pemikir seperti Ibn Khaldun, meskipun menempatkan siyasah pada posisi yang tinggi namun tetap beranggapan bahwa perlunya penegakan syariat baik bagi penguasa maupun warga masyarakat. Ini membuktikan bahwa pentingnya penerapan syariat sebagai pijakan politik. Karena memang syariat tidak pernah mengekang atau bahkan membatasi hak dan kebebasan masyarakat selama tindakan dan prilaku masyrakat tidak bertentangan dengan syariat Islam. Indonesia, misalnya, dalam peta pemikiran dunia Islam, adalah negara yang sangat menarik diteliti dalam perkembangan Islam di Asia Tenggara, mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim. Oleh karena itu Islam telah, sedang dan terus memainkan perannya sesuai dengan proses-proses sosial politik, meskipun peran itu ditunjukkan dalam dimensi-dimensi yang berbeda. Tuntutan dan aspirasi memberlakukan syariat Islam, menjadi persoalan serius setelah sekian lama rezim pemerintahan membungkam aspirasi tersebut. Keinginan ini lahir berdasarkan fakta, dimana hukum-hukum formal selama ini, baik di bidang pidana, perdata, pendidikan, dan sebagainya, dikatakan oleh 2 Azyumardi Azra, “Siyasah, Syariah dan Historiografi: Refleksi Sejarah Islam” dalam Muhammad Wahyuni Nafis, dkk, ed. Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, M.A Jakarta: Paramadina, 1995, h. 460 xii kelompok yang menginginkan formalisasi syariat Islam adalah gagal dalam mengemban misi hukum, keamanan dan keadilan serta menjunjung aspirasi politik umat. Pengabaian nilai-nilai yang dianut dalam masyrakat, khususnya aspek religiositas telah melahirkan konflik dan reaksi keras komponen masyarakat. 3 Islam bukan hanya sebagai agama yang hanya mengurus ukhrawi semata, lebih dari pada itu, Islam juga sebagai sebuah ajaran yang mempunyai konsep tentang tatanan kehidupan termasuk kepentingan politik. Hal ini dapat kita lihat bahwa Nabi Muhammad saw selain sebagai pemimpin agama juga sebagai pemimpin sebuah komunitas yang dikenal dengan negara Madinah. Madinah sebagai sebuah negara memang menimbulkan perdebatan, namun dalam memahami Madinah sebagai negara saat itu, tidaklah sama dengan memahami negara dalam konteks zaman modern sekarang ini. Hal yang penting dicacat dalam memahami Madinah sebagai sebuah negara adalah bahwa ketika itu Madinah memiliki sebuah konstitusi yang dikenal dengan Piagam Madinah yang mengatur perjanjian antara umat Islam dan non-Muslim, mempunyai sebuah wilayah dan penduduk yang dapat dikategorikan sebagai sebuah negara pada konteks sekarang ini. Namun banyak orang beragama Islam, tetapi hanya menganggap Islam adalah agama individu, dan lupa kalau Islam juga merupakan kolektivitas. Sebagai kolektivitas, Islam mempunyai kesadaran, struktur, dan mampu melakukan aksi bersama. 4 3 Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia Ciputat: Ciputat Press, 2005, h. 4 4 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam Jakarta: Mizan, 1997, h. 27 xiii Indonesia, misalnya, merupakan negara yang unik karena meskipun merupakan negara yang mempunyai penduduk yang mayoritas Islam, namun Islam tidaklah menjadi agama negara. Namun perlu digarisbawahi bahwa dalam pengambilan kebijakan dan pelaksanaannya harus tetap mengedepankan prinsip- prinsip etika moral Islam. Memang pelaksanaan syariat Islam dalam bentuk hukum Islam cukup problematik dan dilematis dalam sebuah negara yang plural majemuk. Dalam hal ini kita perlu sedapat mungkin melakukan reinterpretasi hukum Islam tertentu yang tidak sejalan dengan kondisi sekarang dan kecenderungan universal untuk menghargai nilai-nilai kemanusiaan hak asasi manusia. Tentu saja hal itu harus dilakukan dengan penggunaan metodologi yang diakui para ulama, bukan yang ditawarkan oleh sebagian pemikir yang tak memiliki latar belakang hukum Islam tetapi melakukan metodologi dan pemahaman yang tak diakui oleh ulama. 5 Hal tersebut menggambarkan bahwa pentingnya memegang ajaran Islam, tidak selalu menjadikannya sebagai hal yang harus diletakkan hanya dalam ruang privat saja. Jadi tidak serta merta menolak hukum Islam tersebut atau hanya beranggapan bahwa syariat Islam hanya berlaku pada masa lalu dan tidak sesuai dengan zaman sekarang. Berdasarkan perdebatan tersebut, pada dasarnya, belum ada kesepakatan yang mutlak dalam perdebatan tentang hubungan Islam dan negara, dalam hal ini An-Na’im hadir sebagai seorang tokoh intelektual Muslim yang mencoba menawarkan sebuah konsep ketidakterkaitan antara agama dan negara. Perlunya 5 Masykuri Abdillah, “Negara Ideal Menurut Islam dan Implementasinya Pada Masa Kini”, dalam Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, ed., Islam, Negara Civil Society; Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer Jakarta: Paramadina, 2005, h. 85 xiv pemisahan antara agama dan negara. Ia hadir sebagai penjembatan antara pandangan fundamentalis dan sekuler. Syariat Islam dinilai memiliki masa depan yang cerah untuk kedamaian publik. Namun, bukan dengan cara memformalkan syariat karena upaya memformalkan syariat sebagai hukum formal justru dapat menyebabkan ia kehilangan otoritas dan kesuciannya. Hal itu diungkapkan Abdullah Ahmed An- Naim, pemikir Islam dari Sudan yang juga merupakan guru besar hukum Emory University, Atlanta, Georgia, Amerika Serikat, di sela-sela peluncuran bukunya dalam terjemahan bahasa Indonesia berjudul Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syariah , Kamis 282007 di kantor Lembaga Kajian Islam dan Sosial LKiS Yogyakarta. Ia mengisyaratkan bahwa syariat Islam bisa mempengaruhi kehidupan publik dan setiap kebijakan dalam perundang-undangan seperti undang-undang perkawinan, peradilan agama Islam, dan lain-lain. Namun An-Naim juga mengatakan bahwa Islam tidak dapat diselenggarakan oleh negara, juga tak dapat dipisahkan dari kehidupan publik masyarakat-masyrakat Islam. 6 An-Naim menjelaskan bahwa masa depan syariat itu cerah dalam pengertian syariat bisa memberikan kekuatan kepada umat Islam untuk melakukan hal-hal yang positif untuk keadilan sosial. Ada kemungkinan pendekatan moral justru sangat popular dan sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan pemerintahan yang bersih. Ini menunjukkan bahwa perlunya moral dalam urusan politik. 7 Pendekatan syariat dan akhlak sangat fundamental dalam Islam karena agama harus dipahami sebagai spiritual 6 Abdullah Ahmed An-Na’im, Islam Dan Negara Sekuler, Menegosiasikan Masa Depan Syariah Bandung: Mizan, 2007, h. 78 7 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, h. xxvi xv kemudian harus direalisasikan dalam bentuk tindakan yang bersifat moralitas serta mencakup aturan prosedural syariah, hal itu sesuai dengan misi Nabi Muhammad dalam rangka penyempurnaan akhlak umat manusia. Dari maksud An-Na’im di atas, menunjukkan bahwa umat Islam bergerak karena kesadaran, tidak karena keuntungan-keuntungan material, seperti kekuasaan politik, kepentingan kelas, atau kepentingan golongan sehingga kebijakan yang ditetapkan harus mencerminkan kepentingan umat Islam khususnya tanpa menghapus hak non-Muslim serta bukan sebagai wujud kepentingan politik penguasa atau kelompok-kelompok elite tersebut. Syariat harus dilandasi dengan Iman dan amal saleh sebagai kriteria perubahan. Begitu juga penerapan syariat Islam baik di Indonesia maupun di negara lain, baik dalam bentuk perundang-undangan maupun dalam sebuah kebijakan harus melandasinya dengan sebuah keimanan yang kuat sehingga menimbulkan kesadaran yang merupakan perubahan yang esensial bukan berdasarkan pada kondisi materialnya. Islam bukan agama aqidah semata, yang hanya mngutamakan hubungan manusia dengan Tuhannya, Islam adalah akidah dan syariat. 8 Oleh karena itu akidah harus dijadikan sebagai pendorong lahirnya syariat dan setiap amalan syariat harus didasari atas akidah. Oleh karena itu dari uraian di atas, berdasarkan pandangan dan pemikiran An-Na’im, penulis mencoba untuk melihat dan menggali lebih jauh tentang hubungan Islam dan negara perspektif An-Naim. Hal tersebut akan dirangkum 8 Zainun Kamal, “Kontekstualisasi Syariat Islam”, dalam Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, ed., Islam, Negara Civil Society; Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer Jakarta: Paramadina, 2005, h. 57. xvi dalam sebuah tulisan berbentuk Skripsi dengan Judul : “ Pemikiran Politik Abdullahi Ahmed An-Na’im”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah