Kewarganegaraan PEMIKIRAN POLITIK ABULLAHI AHMED AN-NA’IM

lxxxi konstitusi. Pembatasan hak non-Muslim dan partisipasi perempuan Muslim dalam penyelenggaraan urusan negara. Ini tentu saja tidak konsisten dengan konstitusi modern yang mensyaratkan persamaan dan tidak ada diskriminasi diantara warga negara 85 . Sehingga menurut An-Na’im semua aspek syariah historis yang berhubungan dengan perempuan dan dzimmi adalah melanggar prinsip persamaan di depan hukum konstitusi.

D. Kewarganegaraan

Membicarakan status kewarganegaraan seseorang dalam sebuah negara, maka akan dibahas beberapa persoalan yang berkenaan dengan seseoarang yang dinyatakan sebagai warga negara dan bukan warga negara dalam sebuah negara. Salah satu persyaratan diterimanya status sebuah negara adalah adanya unsur warganegara yang diatur menurut ketentuan hukum tertentu, sehingga warga negara yang bersangkutan dapat dibedakan dari warga negara lain. Pengaturan mengenai kewarganegaraan ini biasanya ditentukan berdasarkan salah satu dari dua prinsip, yaitu prinsip ‘ius soli’ atau prinsip ‘ius sanguinis’. Yang dimaksud dengan ‘ius soli’ adalah prinsip yang mendasarkan diri pada pengertian hukum mengenai tanah kelahiran, sedangkan ‘ius sanguinis’ mendasarkan diri pada prinsip hubungan darah. Berdasarkan prinsip ‘ius soli’, seseorang yang dilahirkan di dalam wilayah hukum suatu negara, secara hukum dianggap memiliki status kewarganegaraan 85 Ibid., h. 162 lxxxii dari negara tempat kelahirannya itu. Negara Amerika Serikat dan kebanyakan negara di Eropa termasuk menganut prinsip kewarganegaraan berdasarkan kelahiran ini, sehingga siapa saja yang dilahirkan di negara-negara tersebut, secara otomatis diakui sebagai warga negara. Berbeda dengan prinsip kelahiran itu, di beberapa negara, dianut prinsip ‘ius sanguinis’ yang mendasarkan diri pada faktor pertalian seseorang dengan status orangtua yang berhubungan darah dengannya. Apabila orangtuanya berkewarganegaraan suatu negara, maka otomatis kewarganegaraan anak-anaknya dianggap sama dengan kewarganegaraan orangtuanya itu. Oleh karena itulah diadakan pengaturan bahwa status kewarganegaraan itu ditentukan atas dasar kelahiran atau melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan. Dengan cara pertama, status kewarganegaraan seseorang ditentukan karena kelahirannya. Siapa saja yang lahir dalam wilayah hukum suatu negara, terutama yang menganut prinsip ‘ius soli’ sebagaimana dikemukakan di atas, maka yang bersangkutan secara langsung mendapatkan status kewarganegaraan, kecuali apabila yang bersangkutan ternyata menolak atau mengajukan permohonan sebaliknya. Cara kedua untuk memperoleh status kewarganegaraan itu ditentukan melalui proses pewarganegaraan naturalisasi. Melalui proses pewarganegaraan itu, seseorang dapat mengajukan permohonan kepada instansi yang berwenang, dan kemudian pejabat yang bersangkutan dapat mengabulkan permohonan tersebut dan selanjutnya menetapkan status yang bersangkutan menjadi warganegara yang sah. Kewarganegaraan adalah anggota dalam sebuah komunitas politik negara , dan dengannya membawa hak untuk berpartisipasi dalam politik. lxxxiii Seseorang dengan keanggotaan tersebut disebut warga negara. Istilah ini secara umum mirip dengan kebangsaan , walaupun dimungkinkan untuk memiliki kebangsaan tanpa menjadi seorang warga negara contoh, secara hukum merupakan subyek suatu negara dan berhak atas perlindungan tanpa memiliki hak berpartisipasi dalam politik. Juga dimungkinkan untuk memiliki hak politik tanpa menjadi bangsa dari suatu negara. 86 Pengertian warga negara secara umum dinyatakan bahwa warga negara merupakan anggota negara yang mempunyai kedudukan khusus terhadap negaranya. Ia mempunyai hubungan hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik terhadap negaranya. Berdasarkan pengertian tersebut, maka adanya hak dan kewajiban warga negara terhadap negaranya merupakan suatu yang niscaya. 87 An-Na’im mengajukan HAM sebagai kerangka untuk menggarisbawahi dan menyelesaikan ketegangan yang ada ketimpangan pemahaman masyarakat Islam saat ini terhadap konsep kewarganegaraan. Istilah kewarganegaraan yang digunakannya sebagai sebuah bentuk keanggotaan dalam komunitas politik dalam sebuah wilayah negara. Konsep kewarganegaraan harus menandakan adanya pemahaman bersama tentang kesetaraan posisi semua manusia dan partisipasi politik yang inklusif dan efektif untuk menjamin akuntabilitas pemerintah dalam menghargai dan melindungi hak asasi manusia semua pihak. Dengan demikian individu maupun komunitas, di mana pun berada harus mengakui adanya kesamaan warga negara. Karena itulah menurut An-Na’im kesediaan menerima 86 Dapat dilihat di http:id.wikipedia.orgwiki . Diakses pada tanggal 6 Mei 2008. 87 Tim ICCE, Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani Jakarta: ICCE UIN Jakarta, 2005, h. 83 lxxxiv paham kewarganegaraan berdasarkan HAM universal adalah merupakan prasyarat moral, hukum, dan basis politik. 88 Kewarganegaraan selalu berkaitan dengan keseimbangan hak dan kewajiban masyarakat. Menolak kewarganegaraan penuh bagi seseorang yang dilahirkan dan menetap sebagai penduduk di dalam wilayah suatu negara menurut An-Na’im tidak dapat diterima secara moral dan politik, kecuali jika orang itu memilih dan memperoleh kewarganegaraan lain. Bagi An-Na’im adalah hak seluruh warga negara untuk secara terus menerus dan signifikan mempengaruhi formulasi dan penetapan kebijakan publik serta pengundangan hukum-hukum publik. Hal tersebut adalah pembenaran moral dan pragmatis bagi kedaulatan negara. 89 An-Naim menjelaskan meskipun adanya pembenaran politik dan sosiologis di masa lalu menyangkut pembatasan dan diskualifikasi terhadap perempuan, perbudakan dan non- Muslim pada saat ini pembenaran tersebut tidak sah. Konsep ummah sebagai wakil kolektif kedaulatan Tuhan dan kedaulatann manusia itu, dapat menjadi landasan konstitusionalme aktif hanya jika cakupan ummah dalam syariah direvisi dengan memasukkan seluruh warga negara atas dasar kesamamn mutlak, tanpa diskriminasi karena perbedaan agama maupun jenis kelamin. 90 Oleh karena itu An-Na’im secara tegas menolak adanya status kewarganegaraan yang bersifat mayoritas dan minoritas dalam hak dan kewajiban. Prinsip aturan berdasarkan mayoritas, tak dapat dipertahankan kecuali jika minoritas memperoleh hak hukum dan kesempatan menjadi mayoritas sehingga pandangan-pandangannya suatu saat dapat diberlakukan. 88 Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam Dan Negara Sekular, h. 198 89 Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah, h. 163 90 Ibid., h. 164 lxxxv Dengan adanya kebebasan bagi setiap warga negara tanpa adanya diskriminasi antara minoritas dan mayoritas dalam menjalankan keyakinan dan kepercayaan keagamaan, maka negara tidak dapat memaksakan seseorang untuk meninggalkan atribut esensial bagi kebebasan dan martabat kemanusiaannya hanya karena ia bukan bagian dari mayoritas. Sehingga manurutnya bahwa suatu kebijakan dan hukum selalu dibangun atas dasar rasional yang dihormati dan didukung oleh seluruh warga negara tanpa memandang ras, jenis kelamin, agama dan kepercayaan. An-Na’imi menolak adanya istilah dzimmah sebagai warga negara tidak penuh dalam sebuah status kewarganegaraan dan tidak bisa dipertahankan lagi sebagaimana yang dipahami oleh sebagian umat Islam. Baginya umat Islam tidak saja harus menghapus sistem dzimmi dalam syari’ah secara formal, tapi juga menolak nilai-nilai diskriminasi yang terdapat di dalammya. 91 Pandangan ini menunjukkan bahwa adanya persamaan status kewarganegaraan dalam sebuah negara manapun. Pandangannya ini berawal dari pemahamannya tentang konsep universal HAM sebagaimana sudah dijelaskan di atas bahwa tujuan utama HAM menurutnya adalah untuk menjaga dan menjamin hak dasar seluruh manusia dimanapun berada. Menurut An-Na’im relasi konsep warga negara berbasis HAM di kalangan muslim hanya bisa dicapai melalui: 92 Pertama, tarnsisi aktual dari konsep dzimmi menuju konsep warga negara dalam era pasca kolonial. Kedua, bagaiman menjaga dan mengembangkan transisi ini melalui reformasi Islam yang kuat secara metodologis dan berkelanjutan secara politik agar nilai-nilai HAM 91 Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam Dan Negara Sekular, h. 202 92 Ibid lxxxvi berakar kuat dalam doktrin Islam. Ketiga, konsolidasi dua elemen pertama agar konsep ini menjadi diskursus lokal yang mampu menyelesaikan persoalan keterbatasan dan kelemahan konsep ini sekarang dan praktiknya dalam masyarakat Islam.

E. Hukum Pidana