Karakteristik dari crime control model adalah efesiensi bekerjanya proses pemeriksaan perkara yaitu cepat tangkap dan cepat diadili serta digunakannya
asas praduga bersalah sedangkan karakteristik due process model adalah perlindungan hak-hak tersangka dan untuk menentukan kesalahan seseorang harus
melalui suatu persidangan yang adil dan tidak memihak. Berdasarkan makna yang terkandung dalam KUHAP yaitu perlindungan
terhadap harkat dan martabat manusia dapat diketahui bahwa pendekatan yang digunakan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia adalah pendekatan due
process model.
D. Peranan Lembaga Pemasyarakatan dalam Sistem Peradilan Pidana
Sistem peradilan pidana Indonesia setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana memiliki empat sub sistem,
yaitu: Kepolisian yang secara administratif di bawah Departemen Pertahanan dan Keamanan, Kejaksaan di bawah Kejaksaan Agung, Pengadilan di bawah
Mahkamah Agung serta Lembaga Pemasyarakatan di bawah Departemen Kehakiman. Lembaga pemasyarakatan sebagai bagian dari sistem peradilan
pidana mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sama dengan sub sistem lainnya.
Sebagai lembaga pembinaan, perannya sangat strategis dalam merealisasikan tujuan akhir dari sistem peradilan pidana, yaitu rehabilitasi dan
resosialisasi pelanggar hukum, bahkan sampai kepada penanggulangan kejahatan suppression of crime. Keberhasilan dan kegagalan pembinaan yang dilakukan
Universitas Sumatera Utara
oleh lembaga pemasyarakatan akan memberikan kemungkinan-kemungkinan penilaian yang dapat bersifat positif maupun negatif. Penilaian itu dapat positif
manakala pembinaan narapidana mencapai hasil maksimal, yaitu bekas narapidana itu menjadi warga masyarakat yang taat pada hukum. Penilaian itu
dapat negatif apabila bekas narapidana yang pernah dibina itu menjadi penjahat kembali. Kegagalan lembaga pemasyarakatan dalam membina narapidana
merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Fakta ini telah mensahkan kegagalan tugas lembaga pemasyarakatan.
Beban yang sangat menghimpit dalam menjalankan tugasnya adalah tidak sebanding falsafah pembinaan yang baru berupa pemasyarakatan sebagai proses,
dengan sistem pemasyarakatan sebagai metodenya yang masih memakai Gestichten Reglemen Reglemen Penjara 1917 No. 708; dengan sebagian sarana
fisik berupa bangunan penjara sudah tidak memenuhi persyaratan kesehatan maupun peralaan kerja, terlebih sarana personalia berupa tenaga pembina yang
sangat minim. Di lain pihak, sistem pemasyarakatan itu mempunyai tujuan akhir:
“memulihkan kesatuan hubungan sosial reintegrasi sosial warga binaan dengan ke dalam masyarakat, khususnya masyarakat di tempat tinggal asal mereka
melalui suatu proses proses pemasyarakatan pembinaan yang melibatkan unsur- unsur atau elemen-elemen, petugas pemasyarakatan, narapidana dan masyarakat”.
Dapat dibayangkan bahwa yang paling banyak melakukan hubungan dengan narapidana saat menjalani hukuman adalah para petugas yang tingkat
pendidikannya sekolah menengah ke bawah, sedangkan karakteristik pendidikan
Universitas Sumatera Utara
narapidana berbeda-beda pula. Jadi dalam hal ini, usaha pembinaan narapidana lebih banyak ditentukan oleh kemampuan petugas untuk memberikan pengarahan
dan bimbingan yang bersifat psikologis serta pribadi. Dengan tidak mengecilkan arti kemampuan petugas Pembina yang
berpendidikan setingkat Sekolah Menengah Atas, tetapi merupakan suatu fakta kalau dikatakan bahwa petugas Pembina dalam melakukan pembinaan di dalam
lembaga lebih banyak mengandalkan pendekatan ketertiban. Oleh karena itu, lembaga pemasyarakatan membutuhkan tenaga-tenaga
yang berkualitas, seperti apa yang dikatakan oleh Karsono Adisumarto, bahwa pelaksanaan pemasyarakatan pada hakikatnya memerlukan tenaga-tenaga ahli
seperti psikiater, psikolog, sosiolog, dokter, insinyur, ahli perusahaan dan lain- lain, sesuai dengan kebutuhan teknis operasional lembaga pemasyarakatan. Hal ini
berarti bahwa sifat pekerjaan pemasyarakatan memerlukan kualitas personil tertentu.
Memahami keberadaan lembaga pemasyarakatan sebagai penerima orang- orang yang dinyatakan sebagai penjahat, secara psikologis memiliki beban yang
cukup berat bagi sub sistem lainnya yang dalam tugasnya mau menentukan atau menyatakan seeorang itu bersalah. Hal seperti di atas terjadi dan dialami oleh
lembaga pemasyarakatan. Beban berat yang diberikan kepada lembaga ini sekaligus menampakkan dirinya sebagai sub sistem yang punya potensi
melakukan rehabilitasi. Ketidaktenteraman di dalam penjara merupakan suatu gambaran
ketidakstabilan kerja para personilnya dalam menjalankan sistem yang ada.
Universitas Sumatera Utara
Ketidakstabilan personil yang melakukan pekerjaannya sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain kesejahteraan yang kurang memadai jika dibandingkan
dengan tugas dan tanggung jawabnya yang cukup berat. Bahkan kalau terjadi perkelahian atau penyimpangan bahkan pelarian narapidana, maka hal ini akan
berakibat terhadap kondisi kepegawaiannya. Di samping itu faktor pendidikan dan mentalitas petugas pun sangat mempengaruhi.
Universitas Sumatera Utara
BAB III HUBUNGAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN