BAB IV HAMBATAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM
MENCAPAI TUJUAN SISTEM PERADILAN PIDANA
A. Hubungan Internal Lembaga Pemasyarakatan dengan Sistem Peradilan
Pidana
Dalam sebuah sistem hukum, Lawrence M. Friedman mengemukakan, terdapat tiga komponen penting yang saling mempengaruhi antara satu dengan
lainnya, yaitu struktur hukum legal structure, substansi hukum legal substance, budaya hukum legal culture.
68
Struktur hukum legal structure terdiri dari lembaga-lembaga hukum yang berfungsi menjalankan perangkat hukum yang ada. Substansi hukum legal
substance menyangkut peraturan perundang-undangan yang berlaku hukum positif serta norma-norma dan aturan yang hidup di masyarakat yang memiliki
kekuatan yang mengikat dan menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum. Kultur hukum legal culture menyangkut bagaimana sikap dan perilaku
masyarakat dalam menjalankan aturan hukum. Dalam sebuah sistem, ketiga komponen tersebut memiliki ketergantungan antara satu dengan lainnya. Ketiga
komponen tersebut menjadi satu kesatuan yang berhubungan dan bekerja secara aktif untuk mencapai tujuan.
69
68
Lawrence M. Friedman, American Law, New York: W. W Norton Company, 1984, , hal. 5-6.
69
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Cet. III, Jakarta: Citra Aditya Bhakti, 1991, hal. 48.
Universitas Sumatera Utara
Dari konsep mengenai sistem hukum yang dikemukakan oleh Friedman tersebut dapat dijadikan acuan atau pisau analisis dalam mengkaji pelaksanaan
sistem peradilan pidana criminal justice System. Dalam menjalankan tugasnya subsistem dalam sistem peradilan pidana juga tergantung ketiga unsur tersebut,
dan untuk mencapai tujuannya harus menjalin keterpaduan. Penyelenggaraan peradilan pidana dapat diartikan sebagai bekerjanya
sebuah sistem mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dipersidangan serta pelaksanaan putusan hakim. Rangkaian tahapan tersebut
menunjukkan adanya keharusan semua subsistem untuk bekerja secara terpadu dalam melaksanakan sistem peradilan pidana untuk mencapai tujuan.
Selain perlu adanya hubungan kerjasama yang erat dan saling mendukung antar subsistem dan bekerja secara aktif, perlu ada pula konsep keterpaduan
sebagai syarat untuk mencapai tujuan, sehingga muncul sistem peradilan pidana terpadu integrated criminal justice system. Keterpaduan dalam menjalankan
sebuah sistem seperti halnya juga sistem peradilan pidana sangat penting dalam mendorong terwujudnya sistem yang baik, efektif dan efisien. Adanya kelemahan
dan tidak berjalannya salah satu subsistem berdampak pada bekerjanya sistem secara keseluruhan. Keterpaduan bukan dimaksudkan untuk menjadikan
penyelesaian perkara dalam satu atap akan tetapi dimaksudkan agar masing- masing subsistem tersebut dapat menyelaraskan dan mensinkronisasikan tugas
serta wewenang mereka dalam satu derap yang saling mengikat atau dalam keterpautan dalam bentuk kerjasama penyelesaian kasus pidana.
Universitas Sumatera Utara
Dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan sistem peradilan pidana bersifat fragmentatif dan cenderung berjalan berdasarkan fungsinya masing-masing
sehingga mempengaruhi tercapainya tujuan sistem peradilan pidana. Ada kecenderungan pemahaman dari masing-masing susbsistem bahwa keberhasilan
mereka diukur dari bagaimana mereka menjalankan fungsi dan tugasnya tanpa memperhatikan bagaimana subsistem yang lain menjalankan tugasnya. Akibat
lebih jauh kenyataan ini berdampak pada hilangnya kepercayaan publik sebagai stakeholder dalam menjalankan sistem peradilan pidana secara keseluruhan.
Penyelenggaraan peradilan pidana dewasa ini terlihat belum berfungsi secara maksimal dalam mewujudkan keadilan terhadap masyarakat, hukum hanya
berpihak kepada kekuasaan, pemegang kendali ekonomi the have. Fakta tersebut membuat masyarakat melihat hukum sebagai instrumen penguasa dan kaum
pemilik modal semata. Dengan demikian masyarakat cenderung tidak percaya terhadap hukum yang ada, Harkristuti Harkrisnowo melihat sejumlah kondisi
yang menyebabkan hal itu terjadi adalah:
70
1. sistem peradilan yang kurang independen dan imparsial,
2. perangkat hukum yang belum sepenuhnya mencerminkan keadilan sosial.
3. penegakan hukum yang masih inkonsisten dan,
4. perlindungan hukum terhadap masyarakat masih lemah.
Penegakan hukum yang tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat menyebabkan masyarakat frustasi dan bahkan cenderung tidak percaya terhadap
hukum, lemahnya penegakan hukum dipengaruhi oleh kurangnya kesadaran
70
Harkristuti Harkrisnowo, “Sistem Peradilan Pidana Terpadu”, Newsletter Komisi Hukum Nasional, Mei, 2002.
Universitas Sumatera Utara
aparat penegak hukum dalam menjalankan fungsinya. Untuk menjawab persoalan itu, perlu adanya sinkronisasi penyelenggaraan sistem peradilan pidana dan
disertai pengawasan yang efektif untuk memantau penyelenggaraan sistem peradilan pidana tersebut.
Keterpaduan dalam menjalankan sistem peradilan pidana diakui merupakan hal yang sulit karena adanya “egoisme sektoral” dari masing-masing
subsistem peradilan pidana, masing-masing subsitem dalam sistem peradilan pidana merasa berhasil manakala institusinya berhasil menjalankan tugasnya
tanpa menghiraukan apakah subsitem lainnya berhasil atau tidak, bahkan sulit pula untuk ditutupi adanya kenyataan saling menjegal dan saling menyalahkan.
Banyak faktor yang menyebabkan sulitnya menjalankan keterpaduan dalam sistem peradilan pidana. Selain ketiga unsur sistem hukum tersebut,
Harkristuti juga menyampaikan adanya permasalahan dalam managemen sistem peradilan pidana, masih lemahnya mekanisme kontrol pada tiap-tiap lembaga.
Lembaga pengawasan internal pada masing-masing sistem peradilan pidana sudah ada, hanya saja efektifitas dan obyektifitas dalam melaksanakan
fungsinya sangat diragukan. Tuntutan publik agar hasil pengawasan dimasing- masing lembaga tersebut diumumkan kepada publik tidak dilaksanakan, asumsi
yang digunakan oleh para aparat penegak hukum tersebut adalah sanksi yang diberikan tidak boleh diketahui oleh publik dengan alasan yang bersangkutan sulit
diterima oleh masyarakat ketika kesalahannya telah disebarluaskan kepada masyarakat, alasan ini ini sangat tidak memiliki argumentasi logis yang kuat dan
tidak bisa dibenarkan dalam sebuah negara hukum yang demokratis, yang
Universitas Sumatera Utara
mensyaratkan adanya transparansi dan akuntabilitas. Dalam perspektif masyarakat demokratis yang mengedepankan transparansi dan akuntabilitas pengumuman
kepada publik lebih dimaksudkan sebagai peringatan dan langkah preventif agar aparat lebih berhati-hati dan profesional dalam menjalankan tugasnya jika tidak
ingin dipermalukan. Terdapat banyak peraturan perundang-undangan yang menciptakan
tumpang tindihnya proses penanganan perkara pidana. Tumpang tindih tersebut karena adanya peraturan perundang-undangan yang kurang berorientasi pada
penyelarasan hubungan antar lembaga serta belum adanya kesepahaman perlunya pendekatan yang sistemik.
71
Padahal penyelarasan hubungan antar lembaga dan persamaan pemahaman merupakan faktor yang menentukan dalam
penyelenggaraan peradilan pidana. Menurut Harkristuti Harkrisnowo, permasalahan substansi hukum dalam
sistem peradilan pidana adalah banyaknya peraturan perundang-undangan yang kurang berorientasi pada penyelarasan hubungan antar lembaga serta
inkonsisten.
72
Hasil inventarisasi Tim FH UI menunjukkan adanya beberapa ketentuan yang menyebabkan terjadinya tumpang tindihnya pelaksanaan peradilan
pidana khususnya dalam tahap penyidikan. Pada tahap penyidikan, terdapat banyak lembaga yang mempunyai kewenangan penyidikan seperti Kepolisian
dalam tindak pidana umum, Komnas HAM untuk pelanggaran berat hak asasi manusia. Untuk Tindak pidana korupsi, lembaga-lembaga yang mempunyai
71
Tim FH UI, Sinkronisasi Ketentuan Perundang-undangan mengenao Sistem Peradilan Pidana Terpadu melalui Penerapan asas-asas umum. Laporan Penelitian, Jakarta: UI Press,
2001, hal 27.
72
Harkristuti, Loc.cit.
Universitas Sumatera Utara
kewenangan untuk menyelidiki adalah Komisi Pemberantasn Korupsi dan Kejaksaan.
Peraturan perundang-undangan yang tidak berorientasi pada penyelarasan hubungan antar lembaga pasti akan berpengaruh pada implementasinya. Selain itu
dapat dipastikan peraturan perundang-undangan yang inkonsisten yang menjadi dasar pelaksanaan tugas dan wewenang masing-masing lembaga sangat
berpengaruh terjadinya kegagalan sistem peradilan pidana dalam mencapai tujuannya.
Dalam penyidikan, sebagai contoh sampai saat ini muncul perdebatan kewenangan penyidikan tindak pidana bea cukai, Kepolisian atau Penyidik
Pegawai Negeri Sipil PNS. Menurut Yahya Harahap, penyidik Polri memegang peran sentral dalam penyidikan. Penyidik Polri bertindak sebagai koordinator dan
melakukan koordinasi dan pengawasan terhadap semua penyidik yang ada termasuk penyidik PNS.
73
Pendapat Yahya Harahap tersebut disandarkan pada ketentuan Pasal 107 ayat 1 KUHAP.
Selain itu, ada pemahaman bahwa mengisyarakan adanya kewenangan khusus pada PNS Bea cukai untuk melakukan penyidikan tanpa harus koordinasi
dengan kepolisian, dalam kaitan ini harus ada ketegasan kewenangan lembaga yang melakukan penyidikan dan sinkronisasi instrumen hukum mutlak diperlukan
dengan melibatkan semua unsur yang terlibat sejak dimulainya pembahasan
73
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal.113; bandingkan Ramlan yang berpendapat
bahwa terdapat Penyidik PNS tertentu tanpa mengikutsertakan penyidik kepolisian atau penyidik Umum. Penyidik PNS tersebut tidak dalam koordinasi Kepolisian. Baca juga Indonesia, Undang-
Undang tentang Kepabeanan, UU. No. 10 Tahun 1995, LN Tahun 1995 No.75, TLN No.3612, Pasal 112; Indonesia Undang-Undang tentang Cukai, UU. No. 11 Tahun 1995, LN Tahuan 1995
No.76, TLN No.3613, Pasal 63;
Universitas Sumatera Utara
sampai pada pelaksanaan, hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya interpretasi yang berbeda terhadap penanganan obyek perkara yang sama yang
kemudian dapat menggagalkan tujuan sistem peradilan pidana. Dari Aspek struktural, dalam sistem peradilan pidana masih terdapat hal-
hal sebagai berikut:1 differensiasi fungsional yang kurang jelas dalam sistem kewenangan yang tumpang tindih antara lembaga satu dengan yang lain; 2
belum adanya kesefahaman mengenai perlunya pendekatan proses yang sistemik; 3 interdependensi dipersepsi sebagai hambatan dan mendorong ekslusivisme
lembaga; 4 mekanisme kontrol belum didesain secara utuh.
74
Eksluvisme lembaga menyebabkan adanya dorongan untuk meraih prestasi secara
fragmentatif dalam lembaganya masing-masing, kepolisian hanya akan fokus dengan urusan yakni melakukan penyelidikan dan penyidikan sendiri dan hasilnya
diserahkan kepada kejaksaan, begitu pula subsistem lain dalam sistem peradilan pidana.
Kewenangan yang tumpang tindih sebagai akibat ketidaktegasan instrumen hukum yang mengatur fungsi masing-masing lembaga dalam sistem
peradilan pidana serta tingginya eksluvisisme di masing-masing lembaga semakin memperkuat terjadinya fragmentasi dan sulitnya koordinasi, Mahkejapol yang
pernah dibentuk sebagai wadah untuk melakukan koordinasi tidak membawa dampak positif bahkan dianggap sebagai wadah untuk melakukan “koordinasi
korupsi” dan bukan jawaban terhadap upaya keterpaduan yang diharapkan.
74
Harkristuti Harkrisnowo, Loc. cit.
Universitas Sumatera Utara
Lembaga prapenuntutan yang menjadi instrumen koordisai antara polisi dan jaksa memiliki beberapa permasalahan, karena tidak adanya ketentuan yang
secara tegas mengatur tentang bagaimana kalau terjadi penolakan oleh penuntut umum terhadap hasil penyidikan yang dilakukan oleh penyidik kepolisian.
Kenyataan ini sangat tepat seperti yang dilukiskan dalam assesment yang dilakukan oleh Price Water Housecooper dikemukakan halhal sebagai berikkut:
75
The Prosecutor then have no easy method to instruct the police to gather the necessary evidence. Each side blames for these problems and the
dossier often goes back and forth numerous times. Permasalahan ini berangkat dari adanya egoisme sektoral dari masing-
masing sub-sistem, dalam tahap prapenuntutan sesungguhnya dibutuhkan kerjasama yang erat anatara penyidik dan penuntut agar bisa menghasilkan kinerja
yang efektif.
B. Hubungan Eksternal Lembaga Pemasyarakatan dengan Sistem Peradilan