Hubungan Eksternal Lembaga Pemasyarakatan dengan Sistem Peradilan

Lembaga prapenuntutan yang menjadi instrumen koordisai antara polisi dan jaksa memiliki beberapa permasalahan, karena tidak adanya ketentuan yang secara tegas mengatur tentang bagaimana kalau terjadi penolakan oleh penuntut umum terhadap hasil penyidikan yang dilakukan oleh penyidik kepolisian. Kenyataan ini sangat tepat seperti yang dilukiskan dalam assesment yang dilakukan oleh Price Water Housecooper dikemukakan halhal sebagai berikkut: 75 The Prosecutor then have no easy method to instruct the police to gather the necessary evidence. Each side blames for these problems and the dossier often goes back and forth numerous times. Permasalahan ini berangkat dari adanya egoisme sektoral dari masing- masing sub-sistem, dalam tahap prapenuntutan sesungguhnya dibutuhkan kerjasama yang erat anatara penyidik dan penuntut agar bisa menghasilkan kinerja yang efektif.

B. Hubungan Eksternal Lembaga Pemasyarakatan dengan Sistem Peradilan

Pidana Permasalahan yang muncul dalam aspek budaya hukum sehingga sulit tercipatnya objektifitas penilaian adalah:254adanya esprit de corps yang salah kaprah; kecenderungan masyarakat untuk mencari “jalan pintas” karena birokrasi peradilan yang dipandang rumit dan berbeli-belit; dan kecenderungan penyelesaian dengan “damai”. 75 Price Water House Cooper, The Final Report of The Governance Audit of The Public Prosecution Service of The Republic of Indonesia, 2001 hal 28 Universitas Sumatera Utara Dari pendapat Harkristuti Harkrisnowo di atas, budaya hukum yang kurang baik muncul tidak hanya masyarakat pencari keadilan yang juga sebagai stakeholder tetapi juga sikap penerimaan aparat penegak hukum dan hakim. Dalam sistem peradilan pidana, dalam konteks yang lebih luas, sinergi antara aparat hukum dan hakim dengan masyarakat seperti yang disampaikan Harkristuti di atas adalah sebuah sinergi negatif yang dapat menggagalkan tercapainya tujuan sistem peradilan pidana. Sedangkan untuk menciptakan sistem peradilan pidana terpadu dibutukan sebuah sinergi positif antar semua subsistem. Permasalahan budaya hukum disinyalir sebagai faktor yang paling dominan sulitnya menjalankan sistem peradilan pidana yang baik dan efektif, di lembaga kepolisian Reiner 76 mengatakan “….that legal regulation is off limited effectiveness:’key change must be in the informal cultere of the police, their practical working rules.” Budaya Indonesia yang umumnya “toleran” terhadap kesalahan juga tidak sedikit memberikan kontribusi bagi sulitnya menjalankan sistem peradilan pidana secara efektif, banyak kasus yang secara kasatmata diketahui oleh publik tentang pelanggaran oleh aparat penegak hukum akan tetapi berujung pada ketidakjelasan, banyak pula kasus korupsi tetapi berapa banyak orang yang dihukum karena korupsi juga tidak jelas, dalam kaitan ini betapa pentingnya proses itu diketahui oleh publik dan diawasi oleh publik. Potensi gagalnya mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu sangat tinggi tatkala budaya hukum masih belum mampu menutup kekurangan yang ada yang terwadahi dalam hukum positif yang berlaku. Adanya esprit de corps yang 76 Koesparmono Irsan, Hak Asasi Manusia dan Hukum, Jakarta: Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian Press, 2002, hal. 21. Universitas Sumatera Utara salah kaprah serta kecenderungan masyarakat untuk mencari “jalan pintas” dan kecenderungan penyelesaian dengan “damai” 77 bukan saja semakin mempersulit menjalankan sistem peradilan pidana secara benar tetapi juga dapat merusak sebuah sistem yang akan dibangun dalam rangka mencapai tujuan. Fragmentasi dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana juga berdampak pada mekanisme fragmentasi kontrol. Tidak ada data yang mendukung mana yang lebih dominan fragmentasi sistem peradilan pidana yang berdampak pada lemahnya mekanisme kontrol atau lemahnya mekanisme kontrol yang menyebabkan tidak berjalannya sistem peradilan pidana terpadu. Kenyataan yang terjadi adalah mekanisme kontrol yang seharusnya mendukung terwujudnya sistem peradilan pidana terpadu dalam mencapai tujuanya tidak berjalan sebagai mana mestinya.

C. Kendala Yuridis dalam Pencapaian Tujuan Lembaga Pemasyarakatan