Sistematika Penulisan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Sebagai Instrumen Pemberantasan Terorisme di Indonesia

Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian hukum normatif. Maka pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan analisa terhadap permasalahan yang akan diteliti. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data, mengkualifikasikan, kemudian menghubungkan teori yang berhubungan dengan masalah dan akhirnya menarik kesimpulan untuk menentukan hasil yang mempergunakan pendekatan yuridis dan sosiologis.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi haruslah disusun atau ditulis secara sistematis agar dihasilkan suatu tulisan yang teratur dan terarah pada suatu titik permasalahan dan pembahasan yang jelas. Adapun sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari empat bab yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman mengenai isi tulisan skripsi ini. Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Bab ini dimulai dengan mengemukakan mengenai, latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TERORISME DARI HUKUM PIDANA INTERNASIONAL Bab ini menguraikan mengenai bagaimana pengaturan hukum mengenai terorisme, mulai dari sumber hukum internasionalnya, sampai tahapan menjadikan sumber hukum internasional tersebut dapat dijadikan sumber hukum nasional. BAB III PENGATURAN MENGENAI PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TERORISME DARI HUKUM NASIONAL INDONESIA Bab ini memaparkan penjelasan mengenai peraturan tentang pemberantasan terorisme di Indonesia dan juga membahas penerapan atau implementasi peraturan tersebut di Indonesia. BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan bab penutup dari penulisan skripsi ini. Bab ini berisi kesimpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi objek penelitian dan saran dari penulis dari permasalahan tersebut. 28 BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI PEMBERANTASAN TERORISME DARI HUKUM PIDANA INTERNASIONAL

A. Sumber Hukum Pidana Internasional tentang Terorisme 1. Sumber Hukum Internasional

Sumber hukum dalam konteks hukum internasional mengacu pada Pasal 38 Paragraf I Statuta Mahkamah Internasional yang menetapkan ketentuan- ketentuan hukum Internasional yang dapat diterapkan Mahkamah Internasional dalam menyelesaikan sengketa yang diajukan padanya sumber hukum bagi hukum internasional tersebut juga berlaku bagi sumber hukum pidana internasional. Ada 4 sumber hukum internasional sebagaimana dimaksud dalam Statuta Mahkamah Internasional, yaitu : a. “International conventions whether general or particular, estabhlishing rules expressly recognized by contesting states”; b. “International costum point as evidence of a general practice accepted as law”; c. “The General priniple of law recognized by civilized nations”; d. “Subject to provisions of article 59,judicial decisions and the teaching of the most highly qualified publicist of the various nations as subsidary means for the determination of rules of law.” Terjemahan a. Konvensi Internasional, yaitu proses penetapan suatu ketentuan menjadi ketentuan hukum internasional yang berlaku umum; b. Kebiasaan internasional, yakni bukti umum yang diterima sebagai hukum c. Prinsip- prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa- bangsa beradab d. Putusan pengadilan dan ajaran para ahli hukum dari berbagai bangsa sebagai sarana pelengkap untuk menetapkan ketentuan- ketentuan hukum. Secara garis besar, keempat sumber hukum tersebut dapat dibagi menjadi dua yakni, sumber hukum primer dan sumber hukum sekunder. Konvensi internasional, kebiasaan internasional, dan prinsip- prinsip umum hukum digolongkan kedalam sumber hukum primer. Ketiga sumber hukum yang mengikat secara umum. Di lain pihak, putusan pengadilan dan doktrin atau ajaran para ahli hukum digolongkan kedalam sumber hukum sekunder. Konsekuensinya, sumber hukum sekunder ini tidak mengikat secara umum. Putusan pengadilan hanya mengikat sebatas para pihak yang bersengketa, sedangkan doktrin hanya dapat menjadi ketentuan hukum melalui sumber hukum primer. 35 Menurut Sugeng Istanto, keempat sumber hukum tersebut dibagi menjadi sumber hukum formil dan sumber hukum materil. Sumber hukum formil hukum internasional meliputi konvensi internasional sedangkan sumber hukum materil meliputi prinsip- prinsip umum hukum dan ajaran para ahli hukum. 36

2. Sumber Hukum Pidana Internasional tentang Terorisme

Sumber hukum adalah tempat dimana kita dapat menemukan atau menggali suatu hukum. Pendapat Alra, sebagaimana yang dikutip oleh Sudikno Mertokusumo, menyatakan bahwa sumber hukum dapat dibagi menjadi sumber hukum materil dan sumber hukum formil. Sumber hukum materil ialah tempat dari mana materi hukum itu diambil, sedangkan sumber hukum formil adalah tempat atau sumber darimana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. 37 Demikian pula pendapat Sugeng Istanto yang menyatakan bahwa sumber hukum formil ialah faktor yang menjadikan suatu ketentuan menjadi ketentuan hukum yang berlaku umum. Tegasnya, sumber hukum formil adalah proses yang 35 Ilias Bantekas dan Susan Nash, International Crimminal Law, Routledge, London dan New York, 2007, hal. 1. 36 Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Penerbitan Universitas Atmajaya Yogyakarta,1998, hal. 2. 37 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2003, hal. 82- 83. membuat suatu ketentuan hukum positif yakni proses perundang- undangan dan kebiasaan. Di lain pihak, sumber hukum materil ialah faktor yang menentukan isi ketentuan hukum yang berlaku. 38 Hukum pidana internasional sebagai sub-disiplin miliki dua sumber hukum yaitu hukum yang berasal dari hukum pidana nasional dan hukum internasional. Kedua sumber tersebut telah membentuk kepribadian ganda ini tidak harus dipertantangkan, tetapi justru harus harus saling mengisi dan melengkapi didalam menghadapi masalah kejahatan Internasional termasuk didalamnya masalah terorisme. 39 Salah satu perwujudan nyata dari suatu interaksi antara hukum nasional dan hukum internasional terdapat pada lingkup pembahasan hokum pidana internasional dengan objek studi tindak pidana yang bersifat transional internasional. Hukum pidana internasional akan memberikan landasan berpijak bagi analisis kritis di dalam membahas konsepsi dan karaktereristik dari suatu tidak pidana internasional. Lahirnya beberapa Konvensi internasional yang menetapkan tindak pidana tertentu sebagai tindak pidana internasional mengandung makna dimulainya perjuangan untuk menegakkan hak dan kewajiban negara peserta konvensi atas isi ketentuan yang dituangkan didalam konvensi internasional tersebut. Salah satu kewajiban negara peserta sekalipun masih diperkenankan adanya reservation khususnya bagi Indonesia ialah memasukannya hasil konvensi dimaksud kedalam lingkungan nasional dalam arti antara lain 38 Sugeng Istanto, Op. Cit. 39 Mochtar kusumaatmajda,Pengantar Hukum Internasional, Jakarta, Binacipta,1989 hal.38 melaksanakan ratifikasi terlebih dahulu atas hasil konvensi, sebelum di tuangkan dalam bentuk suatu undang-undang ksususnya mengenai objek yang menjadi pembahasan di dalam konvensi tersebut. Kejahatan internasional yang dimaksud diatas, salah satunya adalah terorisme. Dan sumber hukum internasional yang mengatur mengenai pemberantasan terorisme adalah konvensi Tindak Pidana Terorisme yang ditetapkan dalam Convention for the Prevention and Punishment of Terorism di Genewa 1937. International Convention for the Suppression of Terrorism Bombing 1998 dan International convention for the suppression of the financing of terorism, Tahun 1999 sebagai Transnational Crimes. Walaupun adanya usaha- usaha Amerika Serikat untuk memasukkan tindak pidana teroris dalam International Crimes menjadi yurisdiksi Rome Statute of the International Criminal Court. Sama dengan Genocide, Crimes against Humanity, War Crimes dan Agressive Crimes. Tetapi semua negara peserta tidak menyetujui. Dalam Konvensi Teroris 1937, telah mendapat kesepakatan masyarakat internsional untuk melindungi titik rawan yang mudah dijadikan sasaran keuangan, kerusakan yang menimbulkan penderitaan penduduk atau masyarakat seperti fasilitas hidroelektrik atau nuklir dan untuk pengawasan pelatihanpenggunaan senjata, amunisi dan bahan-bahan peledak yang dapat digunakan untuk aksi teror. Konvensi 1997 dan knvensi 1998 tersebut memperkuat konvensi 1937 untuk mencegah dan meberantas tindakan peledakan bom oleh teroris. Dan konvensi 1999, secara khusus mencegah dan memberantas pendanaan atau keuangan untuk kegiatan teroris, termasuk negara- negara atau pihak- pihak yang menerima atau menyembunyikan dana-dana dimaksud. Dalam konvensi tersebut menyebutkan bahwa terorisme adalah tindak pidana yang mengakibatkan kematian atau luka parah atau cacat serius terhadap penduduk sipil atau terhadap orang lain. Tindak pidana tersenut termasuk juga untuk setiap orang yang memberikan bantuan atau mengorganisasikan tindak pidana tersebut. Dalam pembuktian unsur kesalahan dititikberatkan kepada dua unsur yaitu unsur kesengajaan intentional dilengkapi unsur mengetahui adanya kesengajaan dimaksud knowledge of the intent dan kelanjutan dari suatu tindakan pelanggaran in furtherance of the offence 40 . Dalam patriot Act, menetapkan jenis tindak pidana terorisme terdiri dari Pasal 801 serangan teroris dan tindak kekerasan pelanggaran hukum terhadap transportasi massa yaitu barang siapa dengan tahu dan mau: 41 a. Merusak, menyebabkan keluar dari rel jalur membakar atau melumpuhkan kendaraan massa atau ferry b. Menaruh atau menyebabkan ditaruhnya bahan unsur biologi atau racun yang dipergunakan sebagai senjata, zat bahan pemusnah atau alat pemusnah pada, atas atau dekat kendaraan transportasi massa atau ferry, tanpa mendapatkan izin sebelumnya dari pemilik atau pengelola transportasi massa, dan dengan maksud membahayakan keselamatan penumpang, atau pegawai pengelola transportasi massa, atau secara gegabah tidak mengindahkan keselamatan hidup manusia 40 Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana jilid ke 2, CV. Utomo, 2004, hal. 97. 41 Ibid c. Membakar atau menaruh bahan unsur biologis atau toxin racun yang dipergunakan sebagai senjata, bahan pemusnah, atau alat pemusnah pada alas, dekat bengkel pool, terminal, bangunan sarana prasarana, penyediaan atau falisitas yang digunakan untuk pengoperasian, atau untuk mendukung pengoperasian kendaraan transportasi massa atau ferry, tanpa mendapatkan izin sebelumnya dari pengelola dan mengetahui atau mempunyai bukti mengenai kegiatan tersebut akan menyebabkan keluar dari jalur rel, melumpuhkan atau merusak kendaraan transportasi massa atau ferry, yang dipakai, dioperasikan atau digunakan oleh pengelola transportasi massa d. Menghilangkan memindahkan perlengkapan dan merusak atau secara lain merusak pengoperasian sebuah sistem sinyal transportasi, sistem pengirim sinyal terpusat, atau sinyal tanda persilangan kereta api yang mana merupakan wewenang dari pengelola transportasi massa e. Mengganggu, melumpuhkan atau menyebabkan tidak bekerjanya petugas pengiriman sinyal, pengendara, kapten atau siapa saja yang sedang bekerja dalam mengirim sinyal, mengoperasikan atau mengelola jalannya kendaraan transportasi massa atau ferry, dengan maksud untuk membahayakan keselamatan penumpang atau pegawai pengelola transportasi massa, secara gegabah tidak mengindahkan keselamatan manusia f. Melakukan sebuah tindakan termasuk penggunaan senjata yang membahayakan dengan maksud menyebabkan kematian atau luka fisik yang parah pada seseorang penumpang atau pegawai ketika salah satu dari orang- orang yang disebutkan terdahulu berada diatas harta tetap milik pengelola transportasi massa g. Mengirim atau menyebabkan dikirimkannya informasi yang salah, dengan mengetahui bahwa informasi tersebut keliru, berkaitan dengan upaya, atau yang sebagai dalih yang sedang dibuat atau akan dibuat, atau melakukan tindakan yang merupakan kejahatan yang dilarang h. Upaya ancaman atau konspirasi untuk melakukan tindakan- tindakan yang disebut terdahulu. 42 Pasal 803 menyebutkan bahwa, larangan melindungi terorisme, barangsiapa yang melindungi atau menyembunyikan atau dengan bukti yang layak dipercaya, telah melakukan pelanggaran hukum berkaitan dengan pemusnahan perusakan pesawat terbang, dengan senjata biologis, dengan senjata kimia, dengan bahan- bahan nuklir, dengan pembakaran dan pengeboman harta tetap milik pemerintah yang beresiko atau menyebabkan luka fisik atau kematian, dengan penghancuran fasilitas sumber daya listrik, dengan pelanggaran hukum terhadap navigasi laut, dengan senjata pemusnah massal, dengan tindakan teror yang melewati batas negara, dengan data base bahan bakar atau fasilitas nuklir, dengan pembajakan perampokan pesawat udara, akan dikenakan denda dan atau dijatuhi hukum penjara tidak lebih dari 10 tahun atau keduanya. Pasal 806 menyebutkan, aset organisasi teroris adalah semua aset yang berada di dalam ataupun luar negeri yang 42 R. Abdussalam, Hukum Pidana Internasional, Restu Agung, Jakarta,2006, hal. 28- 29. a. Milik perorangan, lembaga ataupun organisasi yang terlibat dalam mencerahkan atau melakukan tindakan teror dalam negeri atau internasional terhadap Amerika Serikat, warga negara atau yang bermukin di Amerika Serikat atau harta tetap mereka dan seluruh aset baik didalam negeri ataupun diluar negeri, memungkinkan siapa saja menjadi sumber pengaruh terhadap lembaga atau organisasi tersebut b. Diperoleh atau dikelola oleh siapa aja dengan maksud dan tujuan mendukung, merencanakan, melaksanaka, atau menyembunyikan tindakan terorisme internasional atau terorisme dalam negeri terhadap Amerika Serikat, warga negara Amerika Serikat atau orang yang bermukim di Amerika Serikat atau harta tetap mereka c. Berasal dan terlibat dalam atau digunakan atau ditujukan untuk digunakan melakukan tindakan teror internasional atau teror dalam negeri terhadap Amerika Serikat, warga negara Amerika Serikat atau orang yang bermukim di Amerika Serikat atau terhadap harta tetap mereka. Pasal 808 definisi tindak pidana terorisme federal menambah elemen pada definisi tindak pidana terorisme domestikdalam negeri, yaitu berkaitan : a. Dengan pemusnahanperusakan pesawat terbang atau fasilitas pesawat terbang. b. Dengan pelanggaran hukumkekerasan di bandara Internasional c. Dengan pembakaran gedungfasilitas dalam wilayah kewenanganyurisdiksi maritim atau teritorial khusus. d. Dengan senjata biologi, senjata kimia. e. Dengan penculikan dan pembunuhan anggota kongres, kabinet dan Mahkamah Agung. f. Dengan bahan-bahan nuklir, bahan peledakbom plastik. g. Dengan pembakaran atau pengeboman harta tetap pemerintah yang berisiko atau mengakibatkan kehilangan nyawa seseorang. h. Dengan pembakaran harta tetap bangunanfasilitas yang digunakan dalam perdagangan antara negara bagian. i. Dengan pembunuhan atau upaya pembunuhan selama terjadinya serangan atas fasilitas federal dengan senjata yang membahayakan j. Dengan konspirasi untuk membunuh, menculik, menganiaya siapa saja warga AS diluar negeri hingga cacat. k. Dengan pejabat negara asing, tamu resmi, atau orang yang dilindungi oleh hukum Internasional l. Dengan sistem, stasiun transmisi, atau jalur komunikasi. m. Dengan merusak bangunan atau harta tetap dalam wilayah kewenangan yurisdiksi maritim atau teritorial khusus Amerika Serikat. n. Dengan serangan teroris dan tindakan kekerasan atau pelanggaran hukum lainnya terhadap sistem transportasi massa. o. Dengan perusakan utilitas pusat sarana-sarana, bangunan beserta tanahnya, atau alat-alat pertanahan nasional. p. Dengan anjunganbangunan tetap lepas pantai, perusakan terhadap navigasi laut.

3. Pengaturan Hukum Pidana Internasional tentang Terorisme

Perjanjian internasional itu ada dua macam bentuknya, ada yang berbentuk bilateral bila yang menjadi pihak hanya dua negara dan multirateral bila yang menjadi pihak lebih dari dua negara. 43 Dan konvensi merupakan salah satu sumber hukum internasional baik publik maupun privat. Adapun sumber hukum lainnya antara lain, traktat treaty, pakta pact, piagam statue, charter, deklarasi, protocol, arrangement, accord, modus Vivendi, convenant, dan sebagainya. 44 Pada umumnya konvensi digunakan untuk perjanjian- perjanjian internasional multirateral yang mengatur tentang masalah yang besar dan penting dan dimaksudkan untuk berlaku secara luas, baik dalam ruang lingkup regional maupun umum. Konvensi, conventie, convention, termasuk juga salah satu istilah yang sudah umum digunakan dalam bahasa Indonesia untuk menyebut nama suatu perjanjian internasional multirateral, baik yang diprakarsai oleh negara- negara maupun oleh lembaga atau organisasi internasional. 45

B. Proses Perwujudan Pengaturan Hukum Internasional menjadi Hukum Positif Indonesia

Proses legislasi di setiap negara memiliki perbedaan satu sama lain, akan tetapi satu hal yang sama yaitu bahwa proses legislasi adalah suatu proses politik. Jika proses legislasi itu adalah merupakan proses politik maka tidaklah dapat dipungkiri bahwa proses legislasi tersebut tidaklah steril dari berbagai 43 Boer Manua, Hukum Internasional ; Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, 2008, hal. 8 44 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoe, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003, hal. 119 45 Wayan Partiana, Hukum Perjanjian Internasional, Djambatan, Jakarta, 2002, hal. 44 kepentingan politik. Hal ini dapat terjadi dalam proses legislasi yang menyangkut konflik kepentingan seperti hukum yang mengatur konglomerasi dan hukum yang mengatur dunia perbankan. Namun, terhadap hukum yang mengatur masalah kedaulatan negara dan kedaulatan hukum suatu negara sikap yang sama dari setiap aktor dalam proses legislasi di setiap negara hampir sama yaitu satu sikap politik yang tegas tegas mempertahankan kedaulatan yang dimaksud dan seoptimal mungkin mencegah adanya intevensi dari luar. Proses legislasi di Indonesia memiliki standar tertentu dan terukut sebagai landasan berproses, yaitu : 1. Ideologi Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945; Ketetapan MPR, dan peraturan perundang- undangan lainnya TAP MPR RI Nomor IIIMPR 2000. 2. Kebijakan politik pemerintah yang sedang dijalankan untuk memenuhi kebutuhan akan perkembangan dalam bidang baik politik, ekonomi, sosial, budaya dan bidang kehidupan beragama. 3. Koordinasi, sinkronisasi dan harmonisasi hukum 4. Uji kelayakan melalui konsultasi publik atau melalui proses sosialisasi 5. Perspektif substansi menuju kepada ius constituendum. Diharapkan melalui kelima sub-proses legislasi tersebut dapat dipenuhi empat syarat sebagau peraturan perundang- undangan yang baik yaitu, mengandung landasan filosofis berbangsa dan bernegara RI, memiliki karakteristik dan kultur masyarakat yang merupakan landasan sosiologis bangsa Indonesia, dan memiliki landasan yuridis yang kuat, dalam arti selain memenuhi teknik perundang-undangan yang baku juga memenuhi asas- asas hukum universal, dan landasan efisiensi dan efektivitas operasionalisasi sehingga dicegah peraturan perundang- undangan yang tidak dapat dilaksanakan dengan baik dan cermat. 46 Keterikatan pemerintah Indonesia ke dalam setiap ketentuan konvensi internasional yang bertujuan memelihara keamanan dan perdamaian dunia termasuk konvensi mengenai terorisme, merupakan refleksi dari salah satu pernyataan para pendiri RI yang tersurat di dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945. Namun demikian kebijakan dan rencana aksi untuk mewujudkan hal tersebut harus juga dalam kerangka kesejahteraan sosial bangsa Indonesia. Konteks inilah maka kebijakan dan rencana aksi pemerintah untuk memerangi kegiatan terorisme harus melalui proses legislasi dengan tolok ukur seberapa jauh kebijakan dan rencana aksi tersebut memberikan kemaslahatan terbesar bagi seluruh komponen bangsa ini. 46 Romli Atmasasmita. Pengantar Hukum Pidana Internasional bagian II. Hecca Press. Jakarta. 2004. hal.77

BAB III PENGATURAN MENGENAI TERORISME di INDONESIA

A. Konvensi Anti Teroris dan Konvensi Supression Pendanaan Terorisme Convention Against Terrorist Bombing dan Convention on the Supression of Financing Terrorism On 23 September 1998, at the UN General Assembly UNGA, France proposed a convention for the suppression of terrorist financing in order to further fill in the gaps in the international law against terrorism. On 8 December 1998, the UNGA, in Resolution 53108, empowered the Ad Hoc Committee to elaborate a draft International Convention for the Suppression of Terrorist Financing to supplement related xisting international instruments. The Convention was adopted by the UNGA in Resolution 54109 of 9 December 1999 Obligations: The Convention prohibits any person s from directly or indirectly, unlawfully, and willfully providing or collecting funds with the intention that they should be used,or in the knowledge that they are to be used, to carry out an act that constitutes an offense under one of the nine treaties listed in the an-nex. 47 Terjemahan Pada tanggal 23 September 1998 di Majelis Umum PBB UNGA, Prancis mengusulkan konvensi untuk penindasan pendanaan teroris untuk lebih mengisi kesenjangan dalam hukum internasional melawan terorisme. Pada tanggal 8 Desember 1998, UNGA , dalam Resolusi 53108 , diberdayakan Komite Ad Hoc untuk menguraikan rancangan Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Teroris dari untuk melengkapi instrumen internasional xisting terkait. Konvensi diadopsi oleh UNGA dalam Resolusi 54109 dari 9 Desember 1999 Kewajiban : Konvensi melarang setiap orang langsung atau tidak langsung, tidak sengaja, dan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan maksud bahwa mereka harus digunakan, atau di pengetahuan bahwa mereka akan digunakan, untuk 47 https:www.unodc.orgdocumentsterrorismPublicationsInt_Instruments_Prevention_a nd_Suppression_Int_TerrorismPublication_-_English_-_08-25503_text.pdf diakses tanggal 1 November 2015 melaksanakan suatu tindakan yang merupakan pelanggaran di bawah salah satu dari sembilan perjanjian yang tercantum dalam an- nex. It shall not be necessary that the funds were actually used to carry out an offense. It also prohibits any act intended to cause death or serious bodily in Adopted: 9 December 1999 .Opened for Signature: 10 January 2000. Entered into Force: 10 April 2002.Number of Parties: 173 Signatories that have not ratified: 4 Depositary: UN Secretary-General. Treaty TextBackground: On 23 September1998, at the UN General Assembly UNGA, France proposed a convention for the suppression of terrorist financing in order to further fill in the gaps in the international law against terrorism. On 8 December 1998, the UNGA, in Resolution 53108, empowered the Ad Hoc Committee to elabo-rate a draft International Convention for the Suppres-sion of Terrorist Financing to supplement related existing international instruments. The Convention was adopted by the UNGA in Resolution 54109of 9 December 1999. Terjemahan Ini tidak akan perlu bahwa dana tersebut benar-benar digunakan untuk melaksanakan suatu pelanggaran . Hal ini juga melarang setiap tindakan yang dimaksudkan untuk menyebabkan kematian atau luka serius di Diadopsi : 9 Desember 1999 .Opened untuk Signature : 10 Januari 2000. Dimasukkan ke Angkatan : 10 April 2002.Number dari Partai : 173 Penandatangan yang belum meratifikasi : 4 Depositary : Sekjen PBB. Perjanjian pada tanggal 23 September 1998, di Majelis Umum PBB UNGA, Perancis mengusulkan konvensi untuk penindasan pendanaan teroris untuk lebih mengisi kesenjangan dalam hukum internasional terhadap terrorism. Pada tanggal 8 Desember 1998, yang UNGA, dalam Resolusi 53108, diberdayakan Komite Ad Hoc untuk elabo - tingkat draft konvensi Internasional untuk Suppression Pembiayaan Teroris untuk melengkapi instrumen internasional terkait yang ada. Konvensi diadopsi oleh UNGA di Resolusi 54 109of 9 Desember 1999 . Obligations:The Convention prohibits any person s from directly or indirectly, unlawfully, and willfully providing or collecting funds with the intention that they should be used, or in the knowledge that they are to be used, to carry out an act that constitutes an offense under one of the nine treaties listed in the an-nex 1It shall not be necessary that the funds were actually used to carry out an offense.It also prohibitsany act intended to cause death or serious bodily in-1 1 These treaties are the 1970 Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft; 2 The 1971 Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation; 3 The 1973 Convention on the Prevention and Punishment of Crimes against Internationally Protected Persons; 4 The 1979 International Convention against the Taking of Hostages; 5 The 1980 Convention on the Physical Protection of Nuclear Material; 6 The 1988 Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airports Serving International Civil Aviation; 7 The 1988 Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Maritime Navigation; 8 The 1988 Protocol for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Fixed Plat-forms located on the Continental Shelf; and 9 The 1997 International Convention for the Suppression of Terrorist Bombings. jury to a civilian, or to any other person not actively involvedin a situation of armed conflict, when the purpose of such act is to intimidate a population, or to compel a government or an international organization to either do ,or to abstain from doing a specificact. Persons are prohibited from attempting, participating in, organizing, contributing to, having knowledge of, or directing others to commit such offenses. 48 Terjemahan Kewajiban: Konvensi melarang setiap orang s dari langsung atau tidak langsung, tidak sah, dan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan maksud bahwa mereka harus digunakan, atau dalam pengetahuan bahwa mereka akan digunakan, untuk melaksanakan suatu tindakan yang merupakan pelanggaran di bawah salah satu dari sembilan perjanjian yang tercantum dalam an-nex tidak bertanggung perlu bahwa dana tersebut benar-benar digunakan untuk melaksanakan opensit. juga tindakan yang dimaksudkan untuk menyebabkan kematian atau luka serius dalam-1 1 perjanjian ini adalah 1.970 Konvensi untuk 48 https:www.icrc.orgcustomary-ihlengdocsv2_rul_rule157 , Practice Relating to Rule 157. Jurisdiction over War Crimes diakses tanggal 1 November 2015. Tindakan Melawan Hukum dari Pesawat; 2 Konvensi 1971 untuk Pemberantasan Tindakan Melawan Hukum terhadap Keselamatan Penerbangan Sipil; 3 The 1973 Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan terhadap internasional Dilindungi Orang; 4 1979 Konvensi Internasional terhadap Penyanderaan; 5 1980 Konvensi Perlindungan Fisik Bahan Nuklir; 6 1988 Protokol Pemberantasan Tindakan Melanggar Hukum Kekerasan di Bandara Melayani Penerbangan Sipil Internasional; 7 The 1988 Konvensi Pemberantasan Tindakan Melawan Hukum terhadap Keselamatan Maritim Navigasi; 8 1988 Protokol Pemberantasan Tindakan Melawan Hukum terhadap Keselamatan Tetap Plat-bentuk yang terletak di Landas Kontinen; dan 9 1997 Konvensi Internasional Pemberantasan Pengeboman Teroris. juri untuk sipil, atau untuk orang lain yang tidak aktif involvedin situasi konflik bersenjata, ketika tujuan dari tindakan tersebut adalah untuk mengintimidasi penduduk, atau untuk memaksa pemerintah atau organisasi internasional baik melakukan, atau untuk menjauhkan diri dari melakukan specific act. Orang dilarang mencoba, berpartisipasi dalam, mengorganisir, memberikan kontribusi untuk, memiliki pengetahuan, atau mengarahkan orang lain untuk melakukan tindak pidana tersebut. Under no circumstances are the above offenses justifiable by considerations of a political, philosophical, ideological, racial, ethnic, religious, or other similar nature. Compliance and Enforcement:The Convention obligates each State Party to establish the aforemen-tioned offenses as criminal offenses under itsdomes-tic law, thus making them punishable by appropriate penalties, including prosecution or extradition.Each State Party shall take necessary measures to establish its jurisdiction over the offenses if such offenses are committed in the territory of that State, on board a vessel flying the flag of that State, an aircraft regis-tered under the laws of that State or operated by the government of that State, by a national of that State, in the territory of or against a national of that State, against a government facility of that State abroad, in an attempt to compel that State to do or abstain from doing an act, by a stateless person who has his or her habitual residence in the territory of hat state, or if an offender is within its territory and there are no other Parties whom have claimed jurisdiction The Parties commit to prohibiting illegal activities of persons and organizations that knowingly encourage, instigate, organize, or engage in the commission of such offences in their territories. Terjemahan Situasi ini adalah pelanggaran atas dibenarkan oleh pertimbangan yang sifatnya serupa politik, filsafat, ideologi, ras, etnis, agama, atau lainnya. Kepatuhan dan Penegakan: Konvensi mewajibkan setiap Negara Pihak untuk menetapkan pelanggaran yang mana disebutkan sebagai tindak pidana menurut hukum Negara tersebut, sehingga membuat mereka dihukum dengan hukuman yang sesuai, termasuk penuntutan. Negara Pihak wajib mengambil tindakan yang diperlukan untuk membangun yurisdiksinya selama pelanggaran jika pelanggaran tersebut dilakukan di wilayah Negara tersebut, di atas kapal yang mengibarkan bendera Negara itu, sebuah pesawat yang terdaftar berdasarkan hukum Negara tersebut atau dioperasikan oleh pemerintah Negara tersebut, oleh nasional Negara itu, di wilayah atau terhadap nasional Negara itu, terhadap fasilitas pemerintah Negara tersebut di luar negeri, dalam upaya untuk memaksa Negara untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan, oleh orang tanpa kewarganegaraan yang memiliki nya kebiasaan tinggal di wilayah negara topi, atau jika pelaku berada dalam wilayahnya dan tidak ada Pihak lain yang mengklaim yurisdiksi Para Pihak berkomitmen untuk melarang kegiatan ilegal orang dan organisasi yang secara sadar mendorong, menghasut, mengorganisir, atau terlibat dalam komisi pelanggaran tersebut di wilayah mereka. The Parties also commit to requiring financial institutions and other professions involved in financial transactions to maintain, for at least five years, all necessary records on transactions, both domestic and international, uti-lizing the most efficient measures available for the identification and verification of customers’ legaexistence; reporting suspector unusually largetrans- actions;prohibiting the opening of accounts of which the holders or beneficiaries are unidentifiable; detect-ingand freezing, or seizingany funds used or all ocated for the purpose of committing such offenses, as well as proceeds andor forfeitures derived from such offenses. Terjemahan Pihak juga berkomitmen untuk memerlukan lembaga keuangan dan profesi lainnya yang terlibat dalam transaksi keuangan untuk mempertahankan , setidaknya selama lima tahun , semua catatan yang diperlukan pada transaksi , baik domestik maupun internasional , menggunakan langkah yang paling efisien yang tersedia untuk identifikasi dan verifikasi nasabah tindakan hukum ; pelaporan kecurigaan transaksi besar diluar kebiasaan ; melarang pembukaan rekening yang pemegang atau penerima manfaat yang diidentifikasikan ; mendeteksi dan membekukan , atau curiga terhadap dana yang digunakan atau dialokasikan untuk tujuan melakukan pelanggaran tersebut, serta hasil dan atau kegagalan yang berasal dari tindak pidana tersebut . States agree to give consideration to concluding agreements on the sharing funds with other State Parties, as well as compensating the victims of offenses with funds derived from the forfeitures, and by maintaining and facilitating communication between the appropriate agencies. Parties also agree to supervise the licensing of all money-transmission agencies and monitor the physical cross-border trans-portation of cashand bearer negotiable instruments. States agree to take their measures as may be neces-sary under its domestic law to investigate the facts regarding an offense, and must ensure that the persons who committed the of fense are taken into cus-tody to be prosecuted or extradited. In either case, the State shall notify the Secretary-General of the United Nations of its intent. Terjemahan Negara setuju untuk memberikan pertimbangan untuk menyimpulkan kesepakatan dana bagi dengan Pihak Negara lain , serta kompensasi korban pelanggaran dengan dana yang berasal dari pelanggaran , dan dengan menjaga dan memfasilitasi komunikasi antara lembaga yang sesuai . Pihak juga setuju untuk mengawasi perizinan semua lembaga transaksi keuangan dan memantau fisik transportasi lintas batas keuangan dan alat pembayaran . Menyatakan setuju untuk mengambil tindakan yang mungkin ditempuh berdasarkan hukum nasionalnya untuk menyelidiki fakta-fakta mengenai suatu pelanggaran, dan harus memastikan bahwa orang-orang yang melakukan penyerangan dibawa ke pihak berwenang untuk dituntut atau diekstradisi . Dalam kedua kasus, Negara harus memberitahukan kepada Sekretaris Jenderal PBB. The Convention provides for the inclusion of such offenses as extraditable offenses, and, in case there is no extradition treaty between the Parties, entitles them to consider the Convention as a legal basis for extradition with respect to the of-fenses. If a Party does not extradite the persons, it is obliged, without exception whatsoever, to prosecute him or her. The Parties also commit to afford one another the greatest measure of assistance, and not to refuse a request for extradition or for mutual legal assistance on the sole ground that it concerns bank secrecy, a fiscal offense, or a political offense. The Parties are entitled to refuse to extradite a person or afford legal assistance required under the Convention if they have substantial grounds for believing that the request for extradition has been made for the purpose of prosecuting orpunishing a person on the grounds of race, religion, nationality, ethnic origin, or political opinion. The Convention provides for all disputes between Parties that cannot be settled through negotiation within a reasonable time to be submitted to arbitration, and, if needed, to the International Court of Justice Terjemahan Konvensi menyediakan untuk masuknya pelanggaran seperti pelanggaran diekstradisi, dan, dalam kasus tidak ada perjanjian ekstradisi antara Pihak, hak mereka untuk mempertimbangkan Konvensi sebagai dasar hukum untuk ekstradisi berkenaan dengan of-fenses. Jika Partai tidak mengekstradisi orang, itu wajib, tanpa pengecualian apapun, untuk menuntut dia. Pihak juga berkomitmen untuk saling memberi ukuran terbesar bantuan, dan tidak menolak permintaan ekstradisi atau bantuan hukum timbal balik atas dasar satu-satunya yang menyangkut kerahasiaan bank, kejahatan fiskal, atau kejahatan politik. Pihak berhak untuk menolak untuk mengekstradisi seseorang atau mengupayakan bantuan hukum yang dibutuhkan di bawah Konvensi jika mereka memiliki alasan kuat untuk meyakini bahwa permintaan ekstradisi telah dibuat untuk tujuan penuntutan orpunishing seseorang atas dasar ras, agama, kebangsaan , asal etnis, atau pandangan politik. Konvensi menyediakan untuk semua perselisihan antara Pihak yang tidak dapat diselesaikan melalui negosiasi dalam waktu yang wajar untuk diserahkan ke arbitrase, dan, jika diperlukan, dengan Mahkamah Internasional Di dalam Hukum Pidana Internasional, telah dijelaskan bahwa Kejahatan Internasional adalah proses penetapan tindakan-tindakan tertentu sehingga sesuai katagaori kejahatan internasional. Proses itu sendiri melibatkan suatu komite bersifat ad-hoc insidentil. Komite yang lazim membahas masalah ini -sejak PBB ada- adalah KomisiHukum Internsional PBB yang telah mulai beraksi sejak 1947 dalam urusan-rusan kejahatan perang selama PD.2. 49 Berdasarkan Hukum Pidana Intensional, ada beberapa karakteristik Hukum Pidana Internasional ini agar efektif, yakni karakter Pengakuan secara eksplisit, Karakter Pengakuan secara implisti, Karakter Keajiban atau Hak untuk menuntut, Kewjaiban atau Hak menjatuhkan pidana atas tindakan tertentu, Karakter Kewajiban atau Hak mengekstradisi, Karakter Pembentukan mahkamah Internasional dan Karakter penghapusan kata-kata atau kalimat alasan perintah atasan. Terlepas dari pro dan kontra terhadap beberapa karakteristik di atas suatu negara dengan negara lainnya berbeda ratifikasi menurut kepentingan masing- masing, jika panitia ad-hoc komisi yudisial PBB menganggap suatu perkara harus masuk dalam kejahatan pidana internasional, mau tidak mau negara-negara yang terikat dengan PBB harus menyelaraskan UU Hukum Pidana Negaranya dengan UU Hukum Pidana Internasional, artinya mau tidak mau ekstradisi harus dilakukan. Tentunya dengan negara itu harus meratifikasi UU Kriminalnya dengan kepentingan Internasional. Jadi kendatipun UU Kejahatan Intenasional itu mengacu kepada beberapa Azas, misalnya azas Martabat Bangsa dan Azas Ekstradisi, memberi kebebasan dan peluang kepada Negara yang diminta untuk tidak menyerahkan tersangka, dengan alasan khusus, misalnya kejahatan hanya dilaksanakan dalam wilayah negara sendiri, martabad dan kehormatan bangsanya dan sebagainya. Namun, 49 http:www.kompasiana.comabanggeutanyopendanaan-terorisme-dalam-perspektif- hukum-pidana-internasional_55001562a33311d37250fb2a diakses tanggal 1 Juni 2015 apabila Mahkamah Internasional menyatakan harus ekstradisi mau tak mau negara tersangka tadi harus meratifikasi UU Pidana Kriminalnya sehingga mempunyai dasar mengekstradisikan warganya ke Mahkamah Internasional seperti penyerahan pelaku kejahatan perang negara-negara pecahan Balkan. Ini juga yang menyebakan terjadinya quo vadis tolak tarik penegakan hukum kejahatan intenasional. Satu sisi harus memperhatikan kedaulatan dan eksistensi hukum sebuah negara, satu sisi lagi harus terpaksa terikat pada konvensi internasional berkaitan dengan Hukum Pidana Internasional. Maka tidak heran, saat penangkapan Gayus di Singapore beberapa bulan lalu, issue yang ditonjolkan BUKAN penangkapan walau bukan kasus terorisme. Masih menurut UU Hukum Pdana Internasional, ada 28 Hirarki kejahatan internasional yang dalam ranah ini antara lain adalah : 1. Agresi militer ke Negara Lain 2. Genicide pemusnahan ras tertentu 3. Kejahatan Pelangggaran Hak Azasi Manusia 4. Kejahatan yang timbul dalam Peperangan 5. Penyelundupan Senjata Berat. 6. Pencurian bahan Nuklir 7. Perajurit Bayaran 8. Apartheid 9. Perompakan atau Bajak Laut 10. Pembajakan Pesawat Udara 11. Serangan dengan cara-cara Peledakan

12. Financing of Terrorism Pendanaan atau pembiayaan terorisme.

Berdasarkan jenis pembagian Kejahatan Internasional, dari 28 Hirarki di atas terbagi menjadi 3 bagian, yakni berdasarkan jenis pelanggaran hak azasi kemanusiaan. Kemudian ada Jenis Kepentingan Negara-negara yang terlibat di dalamnya negara-negara yang menjadi korban, dan menurut Jenis pelanggaran Normatif misal No.28 di atas. Lihatlah, pada urutan ke 12 persoalan yang sedang marak dan terjadi di Negara ini. Kondisi ini berkaitan dengan adanya penangkapanpenangkapan teroris atau orang-orang yang dituduh Teroris kahir- akhir ini. Jadi memang tidak tertutup kemungkinan adanya pesanan khusus oleh intenasional untuk menjaring seseorang atau pentolan organisasi teroris, karena masalah ini masuk dalam dalam katagori ke 12 Pendanaan Terorisme UU Kejahatan Internasional. Walaupun demikian, ada satu hal yang musti diperhatikan oleh Pemerintah khususnya POLRI adalah, apapun dalil dan landasan hukumnya, tetap saja orang-oang yang tertangkap karena terlibat atau dituduh terlibat makar nasional atau Intensional harus tetap menjunjung tinggi azas praduga tak bersalah. Seperti halnya mengacu kepada dalil hukum yang menyeret tersangka pelaku kejahatan internasional untuk di adili oleh negara Negaranya atau Intensional ekstradisi yang mengacu kepada Hukum Pidana Internasional, kepada tersangka ini pun dalam proses penahanan harus juga mengacu kepada dalil hukum pidana internasional. Dalam pasal 20 Statuta Roma seperti tertuang dalam salah satu azas Hukum Kejahatan Internasional Azas Ne bis In Idem menyebutkan dalam ayat 1, bahwa Tidak seorang pun diadili di depan mahkamah berkenan dengan perbuatan yang merupakan kejahatan dimana orang tersebut telah dinyatakan bersalah atau dibebaskan oleh Mahkamah. Kemudian dalam ayat 2 bahwa Seseorang tidak boleh dituntut satu kali di pengadilan atas Perkara yang sama Principle of Double Joepardy. Jika mengacu kepada Pasal 11 deklarasi HAM PBB, ayat 1 berbunyi :Setiap oang yang dituntut karena diduga melakukan suatu tindak pidana, harus dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya menurut hukum dan pengadilan yang terbuka, dimana ia memperoleh semua jaminan ynag diperlukan untuk pembelaannya. Ayat ini sering kita sebut dengan menganut azas praduga tak bersalah. Terlepas dari persoalan keyakinan masing-masing serta konsekwensi yang harus diterima atas pilihan tersebut, semoga pengkajian ini dapat membantu kita menerawang masalah ini : Ternyata masalah bantuan pendanaan tanpa sengaja pun misalnya bisa dianggap sebagai jaringan kejahatan intenasional..

B. Hukum Positif Indonesia Hasil Konversi Pengaturan Hukum Internasional Mengenai Terorisme

1. Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2013 tentang Tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri Strategi penanggulangan terorisme di Indonesia saat ini dapatdikelompokkan menjadi dua pendekatan, yakni pendekatan hard power keras dan soft power lunak yang dikombinasikan menjadi sebuah pendekatan yang komprehensi Meskipun belum ada dokumen strategi resmi yang dikeluarkan oleh BNPT. 2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa, negara Indonesia ikut melaksanakanketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilansosial, maka Indonesia harus berperan aktif dan berkontribusi di dalam pemeliharaanperdamaian dan keamanan internasional sebagaimana yang telah tertuang di dalampiagam PBB . Indonesia bersikap dan mendorong agar PBB berperan secara aktif dankonstruktif di dalam upaya pemberantasan terorisme internasional.Indonesia jugaberpendapat bahwa langkah-langkah yang bersifat multilateral perlu lebih dikedepankan. Dunia tidak boleh hanya memerangi terorisme yang terlihat di permukaan, tetapi jugaharus menyentuh akar masalah dan penyebab utamanya, seperti ketimpangan danketidak adilan yang masih dirasakan oleh banyak kalangan masyarakat internasional Namun perkembangan kondisi politik dan sosial di Indonesiaterbukti terdapat situasi dan kondisi kehidupan masyarakat yang normal akan tetapiterjadi konflik sosial yang bersifat sporadis di beberapa wilayah NKRI Papua, Ambon, Gorontalo, dan terakhir kasus Mesuji. Kegiatan Terorisme juga bisa terjadi dalamsituasi kehidupan masyarakat dalam keadaan normal Bentuk perUndang-Undangan dalam menghadapi terorisme dengan pendekatan‘civilian’ meminjam pendapat Dicey, seharusnya lebih mengutamakan kebijakan legislasi masa depan atau ‘prospective legislation responses’ Dicey yaitu “parliament in advance gives to officials resources to deal with emergencies in accordance with therule of law”, daripada the response is the after-the-fact recognition that officials made anexcusable decision to act outside the law because it was necessary to act and the lawdid not provide them with right resources” 50

3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Dasar hukum yang dipakai dalam menanggulangi TPT di Indonesia terutama adalah UU nomor. 15 tahun 2003 yang menetapkan Perpu No. 1 tahun 2001 tentang pemberantasan terorismemenjadi Undang-Undang. Pengertian PTP menurut perpu no. 1 tahun 2002 adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur- unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam pasal 6 adalah: “ setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulakan korban yang bersifat masal, denagn cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang setrategis atau lingkungan hidup atu fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidanakan dengan pidana mati atau penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun”. Pasal 7 Perpu No. 1 tahun 2002: “ setiap orang yang dengan sengaja menggunaka kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulakan korban yang bersifat masal dengan cara merampas kemerdekaaan atu hilangnya nyawa atau kehancuran terhadap objek- 50 Ditpolkom.Bappenas.go.idbasedirpolitikLuar Negeri1Indonesia dan Isu global3TerorismeisuTerorisme.pdf diakses tanggal 1 Juni 2015 objek vital starategis ataua lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup”. 51 Tujuan diundangnya Undang-undang ini adalah dalam rangka memulihkan kehidupan masyarakat yang tertib dan aman serta untuk memulihkan kehidupan masyarakat yang tertib, aman serta untuk memberikan landasan hukum yang kuat dan kepastian hukum dalam mengatasi permasalahan yang mendesak dalam pemberantaan PTP. Kejahatan terorisme adalah kejahatan yang baru masuk dalam dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yaitu sejak peristiwa bom Bali. Peningkatan secara tajam TPT di Indonesia baik kualitas maupun kuantitas memerlukan penanganan yang serius dari pemerintah dan aparat pendukung terutama kepolisian, kejaksaan dan dan pengadilan. Peristiwa yang merengut banyak nyawa terjadi pada bulan oktober tepatnya tanggal 12 Oktober 2002 terjadi suatu tragedi yang mengerikan dan sempat mendapat perhatian dari belahan dunia pasalnya banyak korban WNA yang tewas sekitar duaratus orang baik dari WNA dan WNI. Dengan peristiwa bom Bali pemerintah merespon dengan mengelaurkan perpu no. 1 tahun 2002 tentang pemberantasan terorisme dan perpu no. 2 tahun 2002tentang pemberlakuan perpu 1 tahun 2002 tentang pemberantasan PTP pada peristiwa peledakan bom Bali 12 oktober 2002. Sementara itu dunia internasioanal merespon melaluiresolusi PBB tanggal 28 oktober 2002 dengan resolusi 1438 51 Kejahatan terorisme perspektif agama, ham dan hukum, Bandung, Refika aditama, 2004: hlm; 32 yang isinya pernyataan simpati dan belasungkawa PBB terhadap pemerintah dan rakyat Indonesia, korban dan keluargaya. Dalam memberi perlindungan dan payung hukum Indonesia sebagai negara hukum memberlakukan Undang-undang no. 15 tahun 2003 yang isinya menetapkan perpu no. 1 tahun 2002 menjadi undang-undang. Berkaitan dengan payung hukum tersebut dapat diberikan beberapa catatan yang kajian akademik yang antara lain berkaitan dengan rumusan pasal-pasal yang bersifat elastis. Rumusan-rumusan yang sifatnya elastis dapat dilihat pada pasal 6 dan pasal 7 perpu no. 1 tahun 2002 akan menyulitkan orang yang terkena dampak ataupun aparat penegak hukum ynag menjadi pelaksana dari akibat berlakunya perpu ini. Dari uraian diatas selintas dapat dilihat bahwa definisi terorisme seperti yang dimaksud oleh perpu ini belum dapat digunakan untuk mengkalkulasi kuantifikasi sesuatu perbuatan dan akibat dari perbuatan tersebut sehingga perbuatan itu dapat dikategorikan sebagai TPT. 52 Mengamati dan memperhatikan keberadaan tindak pidana terorisme yang ada di Indonesia maka sikap kita sebagai warga negara yang menganut negara hukum dalam melakukan pemberantasan tindak pidana terorisme maka didasarkan pada paradigma yang sesuia dengan ciri negara hukum. Undang-undang kita menganut dan berkarakter kedaulatan rakyat, juga dianutnya asas legalitas dan dihormatinya hak asasi manusia dengan mengejewantahkan peradilan yang bebas dan mandiri. Max weber mengungkapkan konsep negara hukum dan rasional, 52 Ibid., hal 128 diantaranya: aturan hukumnya memiliki suatun kualitas normatif yang umum dan abstrak, merupakan hukum positif yang diputuskan secara sadar diperkuat oleh kekuasaan yang memaksa dari negara dalam bentuk sanksi, sistematis, dan substansi hukum sama sekali terpisah daripertimbangan-pertimbangan agama dan ethis. Dari pendapat Max Weber tersebut diatas, maka kebijakan pemberantasan tindak pidana terorisme diwujudkan sebagi upaya mewujudkan fungsi dan ciri hukum sebagaimana diamnatkan oleh undang-undang 1945, yakni Indonesia sebagai negara hukum harus melindungi masyarakat dari ancaman bahaya dan tindakan merugikan yang datang dari sesamanya dan atau kelompok masyarakat. Undang-undang pemberantasan telah mengatur secara rinci hak dan kewenangan penyidik, penuntut, hakim dan korban, tetapi untuk hak-hak tersangkaterdakwa belum terekomendasi, antara lain: a. Hukum untuk diberitahukan secepatnya alasan penangkapan dan penahanan. b. Hak untuk mengajukan keberatan apabiala ada tindakan kekerasan. c. Hak terdakwa untuk berhubungan dengan pihak yang berkepentingan. 53 Dalam proses penyidikan dan penyelidikan maka perlu diatur perlindungan terhadap saksi, pelapor, korban dan aparat penegak hukum. Dalam perpu no.1 tahun 2002 telah memberikan perlindungan kepada pihak-pihak yang berkaitan PTP seperti saksi, penyidik yang dalam menjalankan tugas terpaksa harus menutup wajah terhadap penuntut umum dan hakim yang memeriksa perkara TPT. Perlindungan tersebut dapat berupa: 53 Ibid., hal 126 1. Pelindungan atas keamanan pribadi. 2. Kerahasiaan identitas saksi; dan 3. Pemberian keterangan di muka persidangan dengan tanpa bertatap muka dengan terdakwa. Adapun perlindungan tersebut sesuai dengan undang-undang no. 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban yaitu: 1. Memberikan keterangan tanpa tekanan. 2. Mendapat penerjemah. 3. Bebas dari pertanyaan menjerit. 4. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus. 5. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan. 6. Mengetahui dalam hal terdakwa dibebaskan. 7. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai kebutuhan.

8. Mendapat nasihat hukum.

C. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Sebagai Instrumen Pemberantasan Terorisme di Indonesia

Kejahatan terorisme dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana. Unsur-unsur untuk memasukkan terorisme sebagai tindak pidana dapat diketahui dari aspek yang mendasar, khususnya pemahaman tindak pidana dan aspek-aspek lainnya. Secara dogmatis menurut Simons, untuk dapat dikatakan bahwa suatu perbuatan adalah merupakan tindak pidana harus memuat secara lengkap uraian unsur-unsur yang antara lain. 54 1. Perbuatan itu bertentangan dengan hukum, 2. Perbuatan itu diancam dengan pidana oleh hukum, 3. Perbuatan itu dilakuk n oleh orang yang bersalah, dan 4. Orang itu dipandang dapat bertanggungjawab atas perbuatannya Perpu Nomor 1 Tahun 2002 yang telah disahkan menjadi Undang - Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang dijadikan sebagai dasar hukum dalam pemberantasan tindak pidana erorisme di Indonesia, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana terorisme sebagai berikut: tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan undang-undang ini Pasal 1 ayat 1. Pasal 1 ayat 1 dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme tersebut, rumusannya sama dengan yang ada dalam draft rancangan undang-undang tindak pidana terorisme.Sedangkan yang dimaksudkan unsur-unsur terorisme dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme di atas adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan secara sistematis dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara yang dilakukan dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan korban yang bersifat missal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran 54 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2010, hal. 88. terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional. Tindak pidana terorisme tersebut di atas terdapat dalam rumusan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang dikualifikasikan sebagai delik materiil. Disebutkan dalam Pasal 6 tersebut bahwa setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan caramerampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun.Pasal ini adalah termasuk dalam delik materiil yaitu ditekankan pada akibat yang dilarang yaitu hilangnya nyawa, hilangnya harta atau kerusakan dan kehancuran. Kalaupun yang dimaksud dengan ‘kerusakan atau kehancuran lingkungan hidup’ adalah tercemarnya atau rusaknya kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk lainnya. Termasuk merusak atau menghancurkan adalah dengan sengaja melepaskan atau membuang zat, energi, danatau komponen lain yang berbahaya atau beracun ke dalam tanah, udara, atau air permukaan yang membahayakan terhadap orang atau barang. Rumusan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tersebut di atas, sangat interpretatif dan sangat elastis serta tidak jelas batasan-batasannya, sebab belum melakukan tindak pidana terorisme sudah mendapat ancaman hukuman yang berat. Kalau diperhatikan secara seksama bahwasannya dengan rumusan pasal di atas, maka pemakai kendaraan bermotor yang mencemari udara dapat dikategorikan sebagai teroris. Begitu juga petani yang menggunakan racun pestisida dapat dikategorikan sebagai tindakan terorisme. Jadi pasal tersebut meskipun dapat diterapkan akan tetapi masih harus dipilah dan dipilih terhadap kasus tertentu. 55 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme membatasi atau mengecualikan tindak pidana selain yang bermotif politik. Pengaturannya dirumuskan dalam Pasal 5 yang menyatakan bahwa, tindak pidana terorisme yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dikecualikan dari tindak pidana politik, tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana politik, tindak pidana dengan motif politik, dan tindak pidana dengan tujuan politik yang menghambat proses ekstradisi. Di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pasal 5 mengecualikan kegiatan terorisme terhadap kejahatan-kejahatan dengan motivasi politik dengan alasan supaya pihak-pihak gerakan atau aksi-aksi demonstrasi untuk melaksanakan hak-hak politik, sosial dan ekonomi dapat diwujudkan tanpa perlu adanya rasa takut dituduh terror Sedangkan yang mengenai delik formil dari tindak pidana terorisme terdapat 55 Abdul Wahid, Sunardi dan Muhammad Imam Sidik, op.cit., hlm. 77. dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Isi rumusan Pasal 7 tersebut adalah:“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampaskemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup”. Dalam hal ini perbuatan yang dilarang dan dikategorikan sebagai kegiatan terorisme adalah bermaksud untuk melakukan perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan di mana perbuatan tersebut dapat menimbulkan suasana terror di tengah-tengah masyarakat. Sebetulnya terlalu berat sanksi bagi tindakan delik formil yang belum menimbulkan dampak apapun, kepada orang lain yang terlalu berlebihan. Pasal ini juga memungkinkan kepada aparat untuk melakukan tindakan represif dengan alasan-alasan yang kurang akurat. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas, bahwa adanya unsur batin dari pembuat kehendak menjangkau secara luas yaitu rumusan ‘dengan maksud untuk mnimbulkan terror Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, bahwasannya tindak pidana terorisme dikualifikasikan sebagai berikut: 1. Delik Formil yang terdapat dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 12, 2. Delik Percobaan, 3. Delik Pembantuan, 4. Delik Penyertaan terdapat dalam Pasal 13 dan 15, dan 5. Delik Perencanaan terdapat dalam Pasal 14

D. Penerapan Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2003