Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

decision to act outside the law because it was necessary to act and the lawdid not provide them with right resources” 50

3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Dasar hukum yang dipakai dalam menanggulangi TPT di Indonesia terutama adalah UU nomor. 15 tahun 2003 yang menetapkan Perpu No. 1 tahun 2001 tentang pemberantasan terorismemenjadi Undang-Undang. Pengertian PTP menurut perpu no. 1 tahun 2002 adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur- unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam pasal 6 adalah: “ setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulakan korban yang bersifat masal, denagn cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang setrategis atau lingkungan hidup atu fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidanakan dengan pidana mati atau penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun”. Pasal 7 Perpu No. 1 tahun 2002: “ setiap orang yang dengan sengaja menggunaka kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulakan korban yang bersifat masal dengan cara merampas kemerdekaaan atu hilangnya nyawa atau kehancuran terhadap objek- 50 Ditpolkom.Bappenas.go.idbasedirpolitikLuar Negeri1Indonesia dan Isu global3TerorismeisuTerorisme.pdf diakses tanggal 1 Juni 2015 objek vital starategis ataua lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup”. 51 Tujuan diundangnya Undang-undang ini adalah dalam rangka memulihkan kehidupan masyarakat yang tertib dan aman serta untuk memulihkan kehidupan masyarakat yang tertib, aman serta untuk memberikan landasan hukum yang kuat dan kepastian hukum dalam mengatasi permasalahan yang mendesak dalam pemberantaan PTP. Kejahatan terorisme adalah kejahatan yang baru masuk dalam dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yaitu sejak peristiwa bom Bali. Peningkatan secara tajam TPT di Indonesia baik kualitas maupun kuantitas memerlukan penanganan yang serius dari pemerintah dan aparat pendukung terutama kepolisian, kejaksaan dan dan pengadilan. Peristiwa yang merengut banyak nyawa terjadi pada bulan oktober tepatnya tanggal 12 Oktober 2002 terjadi suatu tragedi yang mengerikan dan sempat mendapat perhatian dari belahan dunia pasalnya banyak korban WNA yang tewas sekitar duaratus orang baik dari WNA dan WNI. Dengan peristiwa bom Bali pemerintah merespon dengan mengelaurkan perpu no. 1 tahun 2002 tentang pemberantasan terorisme dan perpu no. 2 tahun 2002tentang pemberlakuan perpu 1 tahun 2002 tentang pemberantasan PTP pada peristiwa peledakan bom Bali 12 oktober 2002. Sementara itu dunia internasioanal merespon melaluiresolusi PBB tanggal 28 oktober 2002 dengan resolusi 1438 51 Kejahatan terorisme perspektif agama, ham dan hukum, Bandung, Refika aditama, 2004: hlm; 32 yang isinya pernyataan simpati dan belasungkawa PBB terhadap pemerintah dan rakyat Indonesia, korban dan keluargaya. Dalam memberi perlindungan dan payung hukum Indonesia sebagai negara hukum memberlakukan Undang-undang no. 15 tahun 2003 yang isinya menetapkan perpu no. 1 tahun 2002 menjadi undang-undang. Berkaitan dengan payung hukum tersebut dapat diberikan beberapa catatan yang kajian akademik yang antara lain berkaitan dengan rumusan pasal-pasal yang bersifat elastis. Rumusan-rumusan yang sifatnya elastis dapat dilihat pada pasal 6 dan pasal 7 perpu no. 1 tahun 2002 akan menyulitkan orang yang terkena dampak ataupun aparat penegak hukum ynag menjadi pelaksana dari akibat berlakunya perpu ini. Dari uraian diatas selintas dapat dilihat bahwa definisi terorisme seperti yang dimaksud oleh perpu ini belum dapat digunakan untuk mengkalkulasi kuantifikasi sesuatu perbuatan dan akibat dari perbuatan tersebut sehingga perbuatan itu dapat dikategorikan sebagai TPT. 52 Mengamati dan memperhatikan keberadaan tindak pidana terorisme yang ada di Indonesia maka sikap kita sebagai warga negara yang menganut negara hukum dalam melakukan pemberantasan tindak pidana terorisme maka didasarkan pada paradigma yang sesuia dengan ciri negara hukum. Undang-undang kita menganut dan berkarakter kedaulatan rakyat, juga dianutnya asas legalitas dan dihormatinya hak asasi manusia dengan mengejewantahkan peradilan yang bebas dan mandiri. Max weber mengungkapkan konsep negara hukum dan rasional, 52 Ibid., hal 128 diantaranya: aturan hukumnya memiliki suatun kualitas normatif yang umum dan abstrak, merupakan hukum positif yang diputuskan secara sadar diperkuat oleh kekuasaan yang memaksa dari negara dalam bentuk sanksi, sistematis, dan substansi hukum sama sekali terpisah daripertimbangan-pertimbangan agama dan ethis. Dari pendapat Max Weber tersebut diatas, maka kebijakan pemberantasan tindak pidana terorisme diwujudkan sebagi upaya mewujudkan fungsi dan ciri hukum sebagaimana diamnatkan oleh undang-undang 1945, yakni Indonesia sebagai negara hukum harus melindungi masyarakat dari ancaman bahaya dan tindakan merugikan yang datang dari sesamanya dan atau kelompok masyarakat. Undang-undang pemberantasan telah mengatur secara rinci hak dan kewenangan penyidik, penuntut, hakim dan korban, tetapi untuk hak-hak tersangkaterdakwa belum terekomendasi, antara lain: a. Hukum untuk diberitahukan secepatnya alasan penangkapan dan penahanan. b. Hak untuk mengajukan keberatan apabiala ada tindakan kekerasan. c. Hak terdakwa untuk berhubungan dengan pihak yang berkepentingan. 53 Dalam proses penyidikan dan penyelidikan maka perlu diatur perlindungan terhadap saksi, pelapor, korban dan aparat penegak hukum. Dalam perpu no.1 tahun 2002 telah memberikan perlindungan kepada pihak-pihak yang berkaitan PTP seperti saksi, penyidik yang dalam menjalankan tugas terpaksa harus menutup wajah terhadap penuntut umum dan hakim yang memeriksa perkara TPT. Perlindungan tersebut dapat berupa: 53 Ibid., hal 126 1. Pelindungan atas keamanan pribadi. 2. Kerahasiaan identitas saksi; dan 3. Pemberian keterangan di muka persidangan dengan tanpa bertatap muka dengan terdakwa. Adapun perlindungan tersebut sesuai dengan undang-undang no. 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban yaitu: 1. Memberikan keterangan tanpa tekanan. 2. Mendapat penerjemah. 3. Bebas dari pertanyaan menjerit. 4. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus. 5. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan. 6. Mengetahui dalam hal terdakwa dibebaskan. 7. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai kebutuhan.

8. Mendapat nasihat hukum.