Latar Belakang Eksistensi Konvensi Internasional Tentang Terorisme Ditinjau Dari Hukum Pidana Nasional

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan jenis tindak pidana di dalam era masyarakat internasional tradisional dimulai dengan peperangan antar suku tribes, dengan menguasai tanah dan harta kekayaan serta masyarakat oleh suku yang menang perang atas suku yang kalah perang. Penyelesaian peperangan di masa itu tidak dilakukan melalui suatu perjanjian khusus melainkan melalui suatu pernyataan menang perang dari suku yang telah dapat mengalahkan suku lainnya. Kemenangan dari peperangan pada masa itu dengan sendirinya merupakan perluasan atau penambahan wilayah kekuasaan dari suku yang menang perang dan sekaligus pemasukan dan penambahan harta kekayaan dari suku tersebut. 1 Pengaturan tentang perang diperjelas dan harus dilandaskan pada “sebab yang layak dan benar” just cause, diumumkan sesuai dengan aturan kebiasaan yang berlaku, dan dilaksanakan dengan cara-cara yang benar. Pengaturan- pengaturan tersebut berasal dari pengajuan hukum yang diberikan oleh ahli- ahli hukum seperti Cicero dan St. Augustine. Mereka yang melakukan tindakan pelanggaran atas hukum kebiasaan dan hukum Tuhan dari suatu bangsa disebut dan dikenal kemudian sebagai kejahatan internasional. 2 Perkembangan tindak pidana internasional atau kejahatan internasional setelah perang salib diawali dengan munculnya tindakan pembajakan di laut 1 Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Refika Aditama, Jakarta, 2003, hal. 2 2 Ibid. piracy, yang dipandang sebagai musuh semua bangsa karena telah merusak hubungan perdagangan antar bangsa yang dianggap sangat penting pada masa itu. Sehingga hal tersebut dipersoalkan terutama di kalangan para ahli hukum dari berbagai bangsa yang sudah maju pada masa itu. 3 Bajak laut dianggap sebagai kejahatan internasional karena kejahatan tersebut merusak hubungan dagang antar bangsa. Menurut Schwarzenberger , perkembangan hukum pidana internasional antara lain ditandai dengan perjanjian mengenai bajak laut antara Inggris dan Amerika yang dikenal dengan Jay Treaty pada tanggal 19 November 1947 dan Perjanjian Nyon atau Nyon Agreement 1937. 4 Kendatipun dalam perjanjian tersebut tidak terdapat ketentuan yang menegaskan pelaku bajak laut sebagai subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana secara internasional, perjanjian-perjanjian tersebut memperlihatkan upaya masyarakat internasional yang menyadari dan mengakui adanya tindakan perorangan atau negara yang dipandang sebagai kejahatan internasional. 5 Berdasarkan eksistensi kejahatan internasional, kejahatan yang berkaitan dengan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia tergolong baru, namun dari hirarki kejahatan internasional, kejahatan yang berkaitan dengan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia menempati hirarki yang paling 3 Ibid., hal. 3 4 Ibid.,hal. 9 5 Eddy O.S. Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Erlangga, Jakarta, 2009, hal. 12. utama. M. Cherif Bassioouni membagi tingkatan kejahatan internasional menjadi tiga, yaitu : 6 1. Kejahatan internasional yang disebut juga sebagai ‘international crimes’ adalah bagian dari jus cogens. Tipikal dan karakter ‘international crime’ berkaitan dengan perdamaian dan keamanan manusia serta nilai- nilai kemausiaan yang fundamental. Termasuk dalam ‘international crime’ antara lain adalah genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. 2. Kejahatan internasional yang disebut sebagai ‘international delicts’. Tipikal dan karakter ‘international delicts’ berkaitan dengan kepentingan internasional yang dilindungi meliputi lebih dari satu negara atau korban dan kerugian yang timbul berasal lebih dari satu negara. Termasuk dalam ‘international delicts’ adalah pembajakan pesawat udara, pembiayaan terorisme, perdagangan obat- obatan terlarang secara melawan hukum, dan kejahatan terhadap petugas PBB. 3. Kejahatan internasional yang disebut dengan istilah ‘international infractions’. Dalam hukum pidana internasional secara normatif, ‘international infractions’ tidak termasuk dalam kategori ‘international crime’ dan ‘international delicts’. Dan kejahatan yang tercakup dalam ‘international infraction’ antara lain adalah pemalsuan dan peredaran uang palsu serta penyuapan terhadap pejabat publik asing. Eksistensi hukum pidana internasional tidaklah mungkin dipisahkan dengan keberadaan kejahatan internasional sebagai substansi dari hukum pidana 6 Eddy O.S. Hiariej, Pengadilan atas Beberapa Kejahatan Serius Terhadap HAM, Erlangga, Jakarta, 2010, hal 3 – 4. internasional itu sendiri. Pada awalnya, keberadaan kejahatan internasional berasal dari kebiasaan yang terjadi dalam praktek hukum internasional. Kejahatan perang dan bajak laut adalah kejahatan internasional tertua di dunia yang lahir dari hukum kebiasaan internasional. 7 Secara eksplisit, kejahatan bajak laut piracy dinyatakan sebagai salah satu bentuk terorisme. 8 Teror telah hadir dan menjelma dalam kehidupan kita sebagai momok, sebagai virus ganas dan monster yang menakutkan yang sewaktu- waktu dan tidak dapat diduga bisa menjelmakan terjadinya “prahara nasional dan global”, termasuk mewujudkan tragedi kemanusiaan, pengebirian martabat bangsa dan penyejarahan tragedi atas Hak Asasi Manusia HAM. Hak Asasi Manusia kehilangan eksistensinya dan tercabut kesucian atau kefitrahannya di tangan pembuat teror yang telah menciptakan kebiadaban berupa aksi animalisasi kebinatangan sosial, politik, budaya dan ekonomi. 9 Teror telah terjadi dimana- mana dan kapan saja. Teror telah menjadi penyakit yang akrab dan melekat dalam bangunan kehidupan bernegara. Misalnya, penegak hukum yang merupakan representasi rakyat dalam melindungi dan menegakkan Hak Asasi Manusia dewasa ini tekah dibuat sibuk mencermati mengantisipasi, melacak, dan menangani berbagai kasus teror dan kekerasan kolektif yang sepertinya sangat sulit mencapai titik minimalisasi, apalagi titik akhir. 10 7 Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit., hal. 11 8 M. Cherif Bassiouni, Introduction to International Criminal Law, Inc. Ardsley, New York, 2003, hal.149. 9 Abdul Wahid, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2004, hal. 1. 10 Ibid. Teror telah menunjukkan gerakan nyatanya sebagai tragedi atas Hak Asasi Manusia. Karena akrabnya aksi teror ini digunakan sebagai salah satu pilihan manusia, akhirnya teror bergeser dengan sendirinya sebagai “terorisme”. Artinya terorisme ikut ambil bagian dalam kehidupan berbangsa untuk menunjukkan potret lain dari dan diantara berbagai jenis dan ragam kejahatan, khususnya kejahatan kekerasan, kejahatan terorganisir dan kejahatan yang tergolong luar biasa extra ordinary crime. 11 Terorisme adalah suatu kejahatan yang tidak dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa, secara akademis terorisme dikategorikan sebagai ”kejahatan luar biasa” atau ”Extra Ordinary crime” dan dikategorikan pula sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan atau ”crime against humanity”. Mengingat kategori yang demikian maka pemberantasannya tentulah tidak dapat menggunakan cara-cara biasa sebagaimana menangani tindak pidana pencurian, pembunuhan atau penganiayaan 12 Menurut Muladi, terorisme merupakan kejahatan luar biasa Extraordinary Crime yang membutuhkan pula penanganan dengan mendayagunakan cara-cara luar biasa Extraordinary Measure karena berbagai hal: 13 1. Terorisme merupakan perbuatan yang menciptakan bahaya terbesar the greatest danger terhadap hak asasi manusia. Dalam hal ini hak asasi 11 Ibid. hal. 2 12 Keterangan pemerintah tentang diterbitkannya Peraturan Perundang-undangan Nomor 1 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme dan Peraturan Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober 2002, Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia, hlm. 8. 13 Muladi, Penanggulangan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus, Alumni, Bandung 2004, hal. 5. manusia untuk hidup the right to life dan hak asasi untuk bebas dari rasa takut. 2. Target terorisme bersifat random atau indiscriminate yang cenderung mengorbankan orang-orang tidak bersalah. 3. Kemungkinan digunakannya senjata-senjata pemusnah massal dengan memanfaatkan teknologi modern. 4. Kecenderungan terjadinya sinergi negatif antar organisasi terorisme nasional dengan organisasi internasional. 5. Kemungkinan kerjasama antara organisasi teroris dengan kejahatan yang terorganisasi baikyang bersifat nasional maupun transnasional. 6. Dapat membahayakan perdamaian dan keamanan internasional. Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan terhadap peradaban yang menjadi ancaman bagi segenap bangsa serta musuh dari semua agama di dunia ini. Terorisme dalam perkembangannya telah membangun organisasi yang mempunyai jaringan global dimana kelompok- kelompok teroris yang beraksi di berbagai negara telah terkooptasi oleh suatu jaringan terorisme internasional serta mempunyai hubungan serta mekanisme kerja sama satu sama lain baik dalam aspek operasional infrastruktur maupun struktur pendukung support infrastructure. 14 Perspektif Indonesia, terorisme merupakan salah satu ancaman utama dan nyata terhadap pelaksanaan amanat konstitusi antara lain melindungi segenap tanah air dan tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum. Oleh 14 Faisal Salam, Motivasi Tindakan Terorisme, Mandar Maju, Bandung, 2005, hal. 1 karena itu sudah sepantasnyalah bila terorisme dianggap ancaman terhadap kohesi nasional yang akan berpengaruh terhadap penciptaan stabilitas nasional. Sementara penciptaan stabilitas nasional merupakan salah satu kunci pemulihan ekonomi guna meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Salah satu pendekatan adalah pendekatan hukum. 15 Telah 2 tahun berlalu sejak kejadian yang menggemparkan masyarakat Indonesia dan juga para pemimpin bangsa ini, yaitu meledaknya bom di Bali yang terjadi pada 12 oktober 2002 di Sari Club dan Peddy’s Club Kuta Legian Bali, yang kemudian lebih dikenal masyarakat dengan istilah Bom Bali I dan II, oleh sekelompok orang yang dicap sebagai kaum teroris, juga menghentakkan dunia mengingat Bali adalah pulau tujuan wisata dunia yang tidak asing lagi. 16 Peristiwa 11 September 2001 yang berupa dihancurkannya gedung kembar World Trade Centre dengan cara menubrukkan pesawat udara oleh kaum teroris dengan aksi bunuh dirinya yang menjadikan dunia tersentak secara mendadak, bahwa dihadapan umat manusia ini sewaktu- waktu bisa muncul teroris dengan perbuatannya yang sangat mengerikan. 17 Menurut S. Endriyono, Dewan Keamanan PBB pada tanggal 15 Oktober 2002 mengeluarkan Solusi Nomor 1438, yang menyatakan bahwa serangan di Bali sebagai ancaman bagi perdamaian dan keamanan internasional, oleh karena itu semua anggota PBB harus bekerjasama untuk memerangi terorisme. 18 Dan 15 Ibid. 16 I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internsional dan Ekstradisi, Yrama Widya, Bandung, 2004, hal. 70 17 Ibid. 18 S. Endriyono, Terorisme Ancaman Sepanjang Masa, Media Agung Persada, Semarang, 2005 hal. 35. bukan hanya para pemimpin bangsa yang tergabung dalam PBB, masyarakat masing- masing negara juga harus ikut ambil bagian dalam usaha pemberantasan dan pencegahan terorisme. PBB telah menaruh perhatian cukup lama terhadap permasalahan terorisme. Perhatian ini dapat dilihat dari upaya yang dilakukannya secara terpadu, baik melalui upaya hukum maupun politik. Melalui upaya hukum PBB telah menghasilkan sejumlah konvensi yang terkait dengan persoalan terorisme, diantaranya sebagai berikut : 19 1. Convention on Ofences and Certain Other Acts Commited on Board Aircraft. Ditandatangani di Tokyo tanggal 14 September 1963 dan mulai belaku tanggal 4 Desember 1969. 2. Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft. Ditandatangani di Hague tanggal 16 Desember 1970 dan mulai berlaku tanggal 14 Oktober 1971. 3. Covention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation. Ditandatangani di Montreal tanggal 23 September 1971 dan mulai berlaku tanggal 26 Januari 1973. 4. Convention on the Prevention and Punisment of crimes agains internationally Protected Persons, Including Diplomatic Agents. Diterima oleh Majelis Umum dengan Resolusi 3166 XXVIII tanggal 14 Desember 1973 dan mulai berlaku tanggal 20 Februari 1977. 19 F. Budi Hardiman, Terorisme, Definisi, Aksi dan Regulasi, Imparsial, Jakarta, 2003, hal. 4. 5. International Convention against the Taking of Hostages. Diterima oleh Majelis Umum dengan Resolusi 3446 tanggal 17 Desember 1979 dan mulai berlaku tanggal 3 Juni 1983. 6. Convention on the Physical Protection of Nuclear Material. Ditandatangani di Vienna dan New York tanggal 3 Maret 1980. Disetujui di Vienna tanggal 26 Oktober 1979 dan mulai berlaku tanggal 8 Februari 1987. 7. The Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airports Serving International Civil Aviation. Tambahan untuk Convention for the Suppression of Unlawful Acts againts the Safety of Civil Aviation. Ditandatangani di Montreal tanggal 24 Februari 1988 dan mulai berlaku tanggal 6 Agustus 1989. 8. Convention for the Suppression of Unlawful Acts againts the Safety of Maritime Navigation. Diterima di Roma tanggal 10 Maret 1988 dan mulai berlaku tanggal 1 Maret 1992. 9. Protocol for the Suppression of Unlawful Acts againts the Safety of Fixed Platform Located on the Continental Shelf. Diterima di Roma tanggal 10 Maret 1988 dan mulai berlaku tanggal 1 Maret 1992. 10. Convention on the Marking of Plastic Explosives for the Purpose of Detection. Dibuat di Montreal tanggal 1 Maret 1991 dan mulai berlaku tanggal 21 Juni 1998. 11. International Convention for the Supression of Terorist Bombing. Diterima oleh Majelis Umum dengan Resolusi 52164 tanggal 15 Desember 1997 dan mulai berlaku tanggal 23 Mei 2001. 12. International Convention on the Supression of Financing of Terrorism. Diterima oleh Majelis Umum dengan Resolusi 54109 tanggal 9 Desember 1999 dan mulai berlaku tanggal 10 April 2002. Pemerintah Amerika Serikat sendiri menganggap terorisme sebagai kejahatan politik. Definisi yang diberikan Pemerintah Amerika Serikat mengenai terorisme adalah “the unlawful use or threat of violence againts person or property to further political or social objectives”. 20 Sejak peristiwa 11 September 2001, Pemerintah Amerika Serikat bersikap tegas tidak melakukan kompromi, dan menolak melakukan negosiasi dengan kelompok teroris karena negosiasi hanya akan memperkuat posisi kelompok teroris. Sikap Amerika Serikat ini nampak dalam ucapan Presiden George W. Bush. “If you are not with us, you are against us” dan selanjutnya negara-negara berat sekutu Amerika mengikuti langkah Amerika Serikat memerangi terorisme. Pengaturan kejahatan- kejahatan internasional sebagai substansi hukum pidana internasional dalam hukum pidana nasional masing- masing negara bukanlah suatu kewajiban, tetapi lebih merupakan suatu kebutuhan dalam tata pergaulan internasional, khususnya berkaitan dengan masalah ekstradisi. Salah satu prinsip utama dalam ekstradisi adalah double criminality yang pada intinya menyatakan bahwa ekstradisi hanya dapat dilakukan jika tindakan tersebut adalah 20 Poltak Pantegi Nainggolan, Terorisme dan Tata Dunia Baru, Penerbit Sekjen DPR-RI, Jakarta, 2002, hal. 159. suatu kejahatan menurut hukum nasional negara peminta maupun menurut hukum nasional negara yang diminta. Hubungan antara hukum pidana internasional dan hukum pidana nasional adalah hubungan yang bersifat komplementer antara satu dengan yang lain dan memiliki arti penting dalam rangka penegakan hukum itu sendiri. Hal ini terlihat jelas dari banyaknya asas dalam hukum pidana nasional yang diadopsi sebagai asas- asas dalam hukum pidana internasional. Dalam ketentuan KUHP di semua negara, khususnya berkaitan dengan asas berlakunya hukum pidana menurut tempat, yang dicakup bukanlah sekedar teritorial negara tersebut, tetapi juga tempat- tempat tertentu yang dianggap sebagai perluasan teritorial, kendatipun berada di wilayah negara lain. Demikian pula sebaliknya, tindakan-tindakan yang dikualifikasikan sebagai kejahatan internasional oleh hukum pidana internasional kemudian diadopsi ke dalam ketentuan- ketentuan dalam hukum pidana nasional dengan tujuan agar kejahatan tersebut tidak terjadi di negaranya. 21 Berdasarkan latar belakang di atas merasa tertarik memilih judul Eksistensi Konvensi Internasional Tentang Terorisme Ditinjau Dari Hukum Pidana Nasional.

B. Rumusan Masalah