50
berpengetahuan dan mempunyai keterampilan. Indonesia sendiri mulai mengikatkan diri dalam WTO sejak tahun 1994. Dengan diterbitkanya
Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tanggal 2 Nopember 1994 tentang pengesahan
ratifikasi “Agreement
Establising the
World TradeOrganization”, maka Indonesia secara resmi telah menjadi anggota
WTO dan semua persetujuan yang ada di dalamnya telah sah menjadi bagian dari legislasi nasional. Sebagai anggota WTO, Indonesia tentu saja
tidak bisa menghindar dari berbagai perjanjian liberalisasi perdagangan, termasuk perdagangan jasa pendidikan. Keputusan yang dinilai agak
terburu-buru.Mengingat kondisi pendidikan nasional saat ini yang masih buruk.Keputusan liberalisasi pendidikan ditetapkan di tengah angka buta
huruf dan putus sekolah yang masih tinggi di Indonesia. Dalam kondisi seperti ini, sejalan dengan logika ekonomik ala WTO, pendidikan hanya
akan menjadi barang komersial yang jauh dari upaya pemenuhan hak konstitusi rakyat atas pendidikan yang bermutu dan berkualitas oleh negara
Dani setiawan Liberalisasi Pendidikan dan WTO 2004:2. Sebelum pemerintah mengeluarkan UU BHP pemerintah telah
mengeluarkan terlebih dahulu Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan TinggiNegeri sebagai Bahan Hukum yang
kemudian disusul diterbitnya PeraturanPemerintah Nomor 155 tahun 2000 tentang Penetapan Institut Teknologi Bandung menjadi Bahan Hukum
Milik Negara. Pertimbangan pertama yang ditinjau dalam Peraturan
51
Pemerintah Nomor 61 secara singkat adalah adanya globalisasi yangmenimbulkan persaingan yang tajam.
Selanjutnya Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 50 ayat 6 menyebutkan bahwa
perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya. Lebih lanjut disebutkan dalam
Undang-Undang yang sama pasal 51 ayat 1-2 bahwa: a pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah dilaksanakan berdasarkan standar p elayanan minimal dengan prinsip manajemen Yang dimaksud dengan otonomi perguruan tinggi
adalah kemandirianperguruan
tinggi untuk
mengelola sendiri
lembaganya. berbasis sekolahmadrasah3, dan b pengelolaan satuan
pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan. Sementara itu, pengelolaan
satuan pendidikan non-formal dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan atau masyarakat UU No. 20 Th. 2003, pasal 52 ayat
1.Berdasarkan berbagai aturan di atas, sesungguhnya tidak ekpslisit dapat dikatakan
bahwa pendidikan
nasional sekarang
ini menganut
liberalisasi.Namun dengan pemberian otonomi dikhawatirkan bahwa pendidikan dapat terserat pada liberalisasi pendidikan. Di sinilah
sesungguhnya terjadi pertarungan kepentingan, dalam arti apakah pemerintah akan membendung liberalisasi yang sudah terlanjur masuk
bersama masuknya liberalisai dalam bidang politik, ekonomi, serta sosial-
52
budaya ataukah pemerintah mengakomodasi liberalisasi tersebut? Dalam hal ini, pelaku pendidikan dan masyarakat terpolarisasi antara menerima
dan menolak liberaliasi pendidikan ini neskipun dengan kadar yang bervariasi M. Tajuddin Liberalisasi Pendidikan: Sebuah Wacana
Kontroversial 2010.
Jika melihat fakta, pemerintah memang terlihat mengakomodasi liberalisasi pendidikan, antara lain dengan kasat mata tercermin dengan
dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 dan Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007, yang mengkategorikan pendidikan
sebagai bidang usaha, seperti yang dipahami dalam bidang ekonomi. Dalam peraturan Presiden ini sangat jelas pula bahwa sektor pendidikan
dimungkinkan menjadi lahan investasi modal asing sampai maksimal 49 persen.Banyak kalangan mencemaskan, bahwa jika kemitraan dengan
“pemilik modal” dalam negeri tidak berimbang, maka terbuka peluang kepemilikan mayoritas beralih ke tangan asing, dengan segala
konsekuensinya. Di lain pihak, masyarakat pun banyak pula yang menerima, terutama dari kalangan menengah ke atas PP. Presiden No.77
tahun 2007.
D. Latar belakang pembentukan Undang-Undang Pendidikan Tinggi
No. 12 Tahun 2012
Menelusuri urutan permasalahan Undang-Undang Perguruan Tinggi Tahun 2012 adalah ketika pemerinta Indonesia sepakat untuk masuk ke dalam bagian
53
World Trade Organization WTO pada tahun 1994. Sebagai bentuk konsekuensinya, Indonesia harus patuh kepada aturan-aturan pokok yang
ditetapkan dalam perjanjian General Agreement on Trade in Service GATS.Pada perjanjian tersebut terdapat 12 sektor jasa yang dimasukkan dalam komoditas
perdagangan jasa internasional, termasuk pendidikan. Inilah awal dibukanya pintu komersialisasi dan liberalisasi pendidikan Nasional dalam wujud liberalisasi
pendidikan Narcis Serra dan Joseph E. Stiglitz 2008:46
Melalui UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan yang substansinya merupakan UU titipan produk liberal dan telah dimazulkan Nomor
11-14-21-126-136Puu-Vii2009 oleh Mahkamah Konstitusi. Namun pada tanggal 10 Agustus 2012 telah disahkan sebuah produk hukum yang diindikasikan
bentuk baru dari UU BHP, yakni UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi sebagai lanjutan dari UU No. 9 Tahun 2009 yang isi tidaklah jauh berbeda
dari UU BHP.
54
BAB IV
DAMPAK RATIFIKASI GATS TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA
Pada bab ini dipaparkan mengenai Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.12 Tahun 2012 dalam kerangka GATS, serta Analisis dampak penerapan
Undang-Undang Perguruan Tinggi No.12 Tahun 2012.
A. Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.12 Tahun 2012 dalam
kerangka GATS
Sejak diundangkannya UU Pendidikan Tinggi No. 12 Tahun 2012 pada tanggal 10 Agustus 2012 maka berlakulah Undang-Undang tersebut. GATS
General Agreement on Trade in Services merupakan sebuah kesepakatan dalam kerjasama WTO yang meliputi 12 sektor jasa antara lain meliputi jasa sektor
bisnis, komunikasi; teknik dan konstruksi; distribusi; pendidikan; lingkungan; keuangan; kesehatan; pariwisata; rekreasi, budaya, olahraga; transportasi; dan jasa
lainnya E. Hartmann dan C. Scherrer 2006:4. Dalam Basic Information on GATS
Kewajiban utama GATS adalah akses pasar Pasal XVI GATS, national treatment
Pasal XVII GATS, dan most-favoured-nation Pasal II GATS. di dalam WTO, merupakan proses sentral yang mengawali peningkatan privatisasi
pendidikan di Dunia karena mendorong liberalisasi progresif pada jasa pendidikan dan telah menjadi pijakan signifikan dalam pasar perdagangan jasa
55
pendidikan internasional. Dalam proses negosiasi komitmen spesifik di bawah GATS, jasa dikategorikan di bawah UN Central Product Classification, yang
hanya dibuat semata berdasarkan perspektif produsen, sehingga membuat tidak ada pembedaan antara pendidikan dan jasa lainnya, meskipun pendidikan
berkaitan erat dengan kepentingan publik. Perdagangan dalam jasa pendidikan terbagi menjadi lima sub-sektor pendidikan yang dikategorikan oleh United
Nations Provisional Central Product Classification CPC, yaitu mencakup
pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, pendidikan dewasa pendidikan di luar sistem pendidikan reguler, dan pendidikan lainnya meliputi
semua jasa pendidikan yang tidak terklasifikasi di atas United Nation 2011.
GATS mendefiniskan empat cara di mana segala jenis jasa dapat diperdagangkan, yaitu berdasarkan konsumsi jasa di luar negeri oleh konsumen
yang bepergian ke negara penyedia jasa sebagai contoh adalah pelajar yang menempuh studi di luar negeri; suplai jasa lintas negara terhadap konsumen di
suatu negara tanpa kehadiran penyedia jasa di negara tersebut sebagai contoh adalah pendidikan jarak jauh; kehadiran penyedia jasa komersial di negara
konsumen sebagai contoh adalah kehadiran universitas asing di negara tersebut; kehadiran sumber daya manusia dari negara penyedia jasa ke negara konsumen
sebagai contoh kehadiran profesor dan peneliti asing yang bekerja di negara tersebut. Sektor pendidikan, terutama pendidikan tinggi, telah menjadi komoditas
perdagangan yang menjanjikan keuntungan besar dan dikuasai oleh negara maju pendukung liberalisasi pasar, yaitu Amerika Serikat, Inggris, dan Australia
Current Commitments under the GATS in Educational Services 2002.
56
Permintaan terhadap Pendidikan Tinggi terus menigkat terutama pendidikan lintas negara. Menurut Jane Knight, terdapat beberapa hal yang
menjadi pendorong perkembangan pesat perdagangan internasional pada jasa pendidikan, yaitu antara lain kemunculan penyedia jasa pendidikan yang
berorientasi profit; perkembangan teknologi yang mendorong kemudahan penyampaian jasa pendidikan, baik skala domestik maupun internasional; sebagai
respon terhadap pasar tenaga kerja; peningkatan mobilitas mahasiswa, profesor, dan program internasonal; terbatasnya kapasitas anggaran atau kemauan politik
pemerintah untuk memenuhi naiknya permintaan domestik akan pendidikan tinggi The Impact of Trade Liberalization on Higher Education: Policy Implications
,The Observatory on Borderless Higher Education 2002:1.
Dalam hal ini akibat dari ketentuan WTO melalui GATS maka Indonesia harus memprivatisasi Pendidikan Tingginya melalui kerangka GATS. Sifat
negosiasi perluasan liberalisasi jasa dalam GATS dilakukan dengan model initial offer
dan initial request. Dany Setiawan merangkum, setiap negara bisa mengirimkan initialrequest yaitu daftar sektor-sektor yang diinginkan untuk
dibuka di negara lain. Negara diwajibkan meliberalisasi sektor-sektor tertentu yang dipilihnya sendiri atau disebut initial offer. Perundingan untuk perluasan
akses pasar jasa ini dilakukan secara bilateral oleh masing-masing negosiator jasa tiap negara di Jenewa, yang apabila disepakati akan berlaku multilateral
Liberalisasi Pendidikan dan WTO 2009:1