Kebijakan pendidikan tinggi menurut Undang-Undang nomor

40 Sistem pendidikan nasional adalah satu keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional; Jenis pendidikan adalah pendidikan yang dikelompokkan sesuai dengan sifat dan kekhususan tujuannya; Jenjang pendidikan adalah suatu tahap dalam pendidikan berkelanjutan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan para peserta didik serta keluasan dan kedalaman bahan pengajaran; Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu;Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dalam penyelenggaraan pendidikan; Tenaga pendidik adalah anggota masyarakat yang bertugas membimbing, mengajar danatau melatih peserta didik; Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran sertacara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar; Sumber daya pendidikan adalah pendukung dan penunjang pelaksanaan pendidikan yang terwujud sebagai tenaga, dana, sarana dan prasarana yang tersedia atau diadakan dan didayagunakan oleh keluarga, masyarakat, peserta didik dan Pemerintah, baik sendiri-sendiri maupun bersamasama;Warga negara adalah warga negara Republik Indonesia;Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab atas bidang pendidikan nasional UU No. 21989.

B. Globalisasi dan Kebijakan Pendidikan Tinggi

41 Dalam kamus besar bahasa Indonesia KBBI dijelaskan mengenai arti kata globalisasi yakni :globalisasi glo·ba·li·sa·si proses masuknya ke ruang lingkup dunia Kamus Besar bahasa Indonesia 2008:455. Pada dalam buku Stiglitz yang diterjemahkan dan diberi judul Washington Konsensus: Arah Menuju Jurang Kemiskinan yang diterjemahkan oleh Darmawan Triwibowo. Di dalam buku ini, Stiglitz Menjelaskan mengenai kesalahan- kesalahan penerapan resep Konsensus Washington di negara-negara berkembang, yang justru membawa negara-negara berkembang pada kesengsaraan. Selanjutnya dalam buku Globalization and Its Discontent. Buku tersebut mendapat respon dari seluruh dunia karena mengkritik secara tajam Kebijakan Konsensus Washington beserta lembaga-lembaga donor yang terkait didalamnya. Stiglitz berpandangan bahwa dia meyakini globalisasi yaitu penghapusan hambatan-hambatan terhadap perdagangan bebas dan integrasi ekonomi yang semakin kuat dapat menjadi suatu kekuatan yang kekal dan berpotensi untuk memakmurkan setiap orang di dunia, khususnya orang-orang miskin. Tetapi dia juga percaya bahwa jika memang demikian keadaannya, pengelolaan globalisasi selama ini, termasuk berbagai perjanjian perdagangan internasional yang telah memainkan peranan besar dalam menghapuskan hambatan-hambatan tersebut dan kebijakan-kebijakan yang diterapkan pada negara-negara berkembang dalam proses globalisasi, perlu dipertimbangkan kembali secara radikal Stiglitz 2003:ix-x. Stiglitz melanjutkan bahwa pentingnya memandang permasalahan secara adil dengan mengesampingkan ideologi serta melihat pada bukti-bukti sebelum membuat keputusan mengenai tindakan apa yang terbaik. Sayangnya, meskipun 42 tidak mengherankan, ketika dia berada di Gedung Putih dan Bank Dunia, dia melihat banyak keputusan dibuat seringkali karena pertimbangan ideologi dan politik. Akibatnya banyak tindakan salah arah yang dilakukan, tindakan yang tidak memecahkan masalah yang ada, tetapi yang sesuai dengan kepentingan atau keyakinan dari orang-orang yang berkuasa. Dengan mengutip Pierre Bourdieu, Stiglitz mengatakan mengenai perlunya para politisi berperilaku layaknya akademisi serta terlibat dalam perdebatan ilmiah yang berdasarkan pada fakta- fakta dan bukti-bukti yang kuat. Sayangnya, hal sebaliknyalah yang justru amat sering terjadi. Ketika para akademisi terlibat dalam pembuatan kebijakan, rekomendasi-rekomendasinya menjadi bernilai politis dan mulai membengkokkan bukti agar sesuai dengan kehendak mereka yang berkuasa Stiglitz2003:x. Menurut buku Making Globalization Work melihat persoalan globalisasi secara lebih meluas berikut strategi-strategi praktis yang dapat diacu bagi seluruh pengambil kebijakan di seluruh dunia. Lebih lanjut Stiglitz menuliskan keyakinnya bahwa warga negara yang memilki informasi yang lebih baik mungkin untuk memberikan perhatian terhadap penyalahgunaan perusahaan dan kepentingan keuangan tertentu yang menguasai proses globalisasi, bahwa masyarakat umum di negara industri maju dan negara-negara berkembang memiliki kepentingan yang sama dalam mewujudkan globalisasi keyakinannya akan proses demokrasi Stiglitz 2009:34-35. Pandangan-pandangan Stiglitz tentulah sangat relevan untuk menganalisa fenomena-fenomena globalisasi yang terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Di Indonesia, awal mula dipraktikkannya ide-ide Konsensus 43 Washington secara radikal adalah ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi di tahun 1998. Pada masa itu Indonesia akhirnya tidak dapat menghindarkan diri untuk tidak meminta bantuan dari IMF dalam menyelesaikan krisis. Akhirnya Indonesia mendapatkan pinjaman berupa dana segar sekaligus paket kebijakan penyembuhan ekonomi dari IMF. Peran IMF ini dirangkum dalam sebuah program yang dikenal dengan namaletter ofintent LoI. Dan walaupun kontrak dengan IMF sebenarnya telah berakhir pada tahun 2003, namun IMF belum akan benar-benar lepas dari Indonesia karena pemerintah wakru itu memilih opsi Post Program Monitoring PPM hingga akhir tahun 2007. Dan ini tentu mengindikasikan bahwa pemerintahan yang berkuasa di Indonesia pasca runtuhnya rezim orde baru tetap akanmemiliki keterkaitan dengan proyek penyebaran ide-ide neoliberalisme. Pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri misalnya, salah satu kebijakan yang paling disorot terkait dengan proyek penyebaran ide ide neoliberalisme adalah masalah privatisasi Indosat.Kebijakan ini aneh karena Indosat pada saat itu tergolong kedalam perusahaaan negara yang sehat. Pada akhir tahun 2002 pemerintah menjual saham pemerintah hingga 41,49 kepada Singapore Telemedia Pte. Ltd STT. Ini merupakan kali ketiga pemerintah menjual saham indosat, dan ini merupakan penjualan terbesar. Sebelumnya 25 saham pemerintah telah dijual pada tahun 1994, dan 11,32 pada mei 2002. Program privatisasi ini tentu tidak lepas dari peran yang dimainkan oleh IMF. Di dalam LoI pertama yang ditandatangani oktober 1997 dinyatakan bahwa privatisasi disebut sebagai strategi untuk meningkatkan 44 kompetisi pada level domestik, meningkatkan efisiensi, dan memperbaiki supply kepada konsumen. Dalam LoI tersebut juga dicantumkan bahwa pembahasan program privatisasi harus dilakukan dengan kerjasama Bank Dunia. Hal ini berlanjut pada penandatanganan LoI kedua pada tahun 1998, dimana pemerintah ditargetkan melakukan privatisasi terhadap 164 BUMN. Disebutkan pula bahwa pemerintah juga mulai mencari investor strategis yang berminat pada BUMN di bidang telekomunikasi internasional, jasa pelabuhan dan lapangan terbang, serta perkebunan kelapa sawit Syamsul Hadi et.al 2006B:98-101. B1. Kebijakan Pendidikan Tinggi menurut PP No. 60 Tahun 1999 dan PP No.61 Tahun 1999 Pada perkembangan muktahirnya ide-ide neoliberal tersebut tertuang pada rekomendasi para arsitek ekonomi yang bermukim di Washington. Para ilmuwan yang terlibat dalam diskursus itu berasal dari lembaga-lembaga donor yaitu IMF International Monetary Fund, Bank Dunia, dan juga turut serta Departemen Keuangan Amerika Serikat. Belakangan rekomendasi ini lebih dikenal dengan istilah Washington Konsensus. Istilah yang pertama kali dicetuskan oleh John Williamson 1994 ini semula ditujukan untuk memperbaiki kondisi ekonomi Amerika Latin yang sedang diterpa badai krisis ekonomi Josepth E Stiglistz 2002:11. Selanjutnya setelah penandatanganan LoI pertama maka diberlakukanlah PP No. 60 tahun 1999 dan PP No. 61 tahun 1999 yang akan dijelaskan selanjutnya.