Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama adalah hak setiap warga negara Indonesia. Setiap warga negara diperbolehkan untuk memeluk suatu agama yang diyakininya dan negara menjamin kebebasan memeluk agama tersebut. Hal ini tercantum dalam UUD 1945 pasal 29. Agama merupakan anugerah Tuhan bagi manusia sebagai pedoman untuk menjalani hidup di dunia. Dengan adanya agama, manusia mempunyai pegangan dalam setiap tindakannya di dunia ini. Begitu besar peran agama dalam kehidupan, sehingga manusia tidak bisa hidup tanpa agama. Karena agama sudah menjadi kebutuhan. Seseorang yang memeluk suatu agama dituntut untuk melaksanakan kewajiban yang ada dalam agama tersebut. Setiap agama mempunyai ritual yang disebut ibadah. Ini adalah sarana manusia berhubungan dengan Tuhan. Di samping itu sebagai sebuah keyakinan, agama juga merupakan gejala sosial. Artinya, agama yang dianut melahirkan berbagai perilaku sosial, yakni perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah kehidupan bersama. 2 Kadang-kadang perilaku tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Norma- norma dan nilai-nilai agama diduga sangat berpengaruh terhadap perilaku sosial. 1 Salah satu fungsi agama adalah sebagai penyelemat. Keselematan yang meliputi bidang yang luas adalah keselematan yang diajarkan oleh agama. keselamatan yang diberikan oleh agama kepada penganutnya adalah keselamatan yang meliputi dua alam yaitu: dunia dan akhirat. Dalam mencapai keselamatan itu agama mengajarkan para penganutnya melalui: pengenalan kepada masalah sakral, berupa keimanan kepada Tuhan. 2 Salah satu bentuk ibadah dalam agama adalah berpuasa. Berpuasa berarti tidak makan dan minum untuk waktu tertentu. Puasa juga berarti tidak melakukan hal-hal yang dilarang agama dalam batas waktu yang ditentukan. Puasa atau siyam dalam istilah Islam, adalah menahan diri dari segala perbuatan yang membatalkan, seperti makan, minum dan senggama, sejak terbit fajar sampai terbenam matahari, dengan niat dan persyaratan tertentu. 3 Hal tersebut dijelaskan di dalam al-Q ur‟an surat al-Baqarah ayat 183                1 Mastuhu, Metode Penelitian Agama; Teori Dan Praktik, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006,h. 127 2 Jalaludin, Psikologi Agama, Jakarta: Rajagafindo Persada, 2005, h. 261 3 Muhammad Baqir Al Habsyi, Fiqh Praktis; Menurut Al- Qur‟an, As Sunnah, dan Pendapat Para Ulama, Bandung: Mizan: 1999, Cet. Ke 1, h. 341 3 Artinya: “Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa ”. QS. Al Baqarah 2: 183 Puasa dalam Islam, terbagi atas dua bagian: wajib dan sunnah. Adapun yang wajib adalah: 1 puasa Ramadhan. 2 puasa kafarat, sebagai mengganti pelanggaran tertentu pada waktu berpuasa Ramadhan atau ketika sedang melaksanakan ibadah haji. 3 puasa nadzar. Namun Ulama Hanafi berbeda pendapat tentang puasa nadzar, baik nadzar, untuk berpuasa pada hari tertentu, seperti kamis, maupun nadzar untuk berpuasa pada suatu hari atau bulan tanpa menentukannya hari apa atau bulan apa. 4 Sedangkan puasa sunnah, misalnya puasa enam hari bulan syawal, puasa hari senin dan kamis dan sebagainya. Dalam Ihya „Ulumuddin, sebagaimana yang dikutip oleh Sukardi, Imam Ghazali menyebutkan enam cara menahan diri pada waktu puasa. Pertama, menahan pandangan dan tidak mengumbarnya pada hal-hal yang menyibukan hati, sehingga lupa kepada Allah. Kedua, menjaga lidah dari ucapan yang sia-sia, berbohong, mengumpat, memfitnah, bertengkar dan membiasakan diam, serta menyibukan lidah dengan zikir kepada Allah. Ketiga, menahan pendengaran dari hal-hal yang dibenci agama. Keempat, menahan seluruh anggota tubuh yang lain dari dosa – perut dari makanan haram, tangan dari menganiaya orang lain atau mengambil yang bukan hak, kaki dari menginjak-injak hak orang lain. Kelima, 4 Abdurrahman Al Jaziri, Puasa Menurut Empat Imam Mazhab, Jakarta: Lentera Basritama, 2001, Cet. Ke 3, h. 10 4 menahan diri untuk tidak makan berlebih-lebihan, walaupun dengan makanan halal. Keenam, sesudah berbuka, hendaklah hatinya selalu berada di antara cemas dan harap; ia tidak boleh terlalu takut bahwa puasanya tidak diterima Allah, dan juga tidak terlalu yakin bahwa puasanya sudah sempurna. 5 Puasa Ramadhan termasuk rukun Islam yang keempat, dari lima rukun Islam yang ada. Rukun Islam yang pertama ialah membaca kalimat syahadat, yakni ikrar tentang keesaan Tuhan dan kerasulan Nabi Muhammad SAW. Yang kedua, melaksanakan salat lima waktu sehari semalam. Ketiga, membayar zakat kepada fakir miskin dan orang-orang yang berhak. Kemudian, yang terakhir, menunaikan ibadah haji bila mampu. Karena termasuk rukun Islam, maka puasa Ramadhan sifatnya wajib dilaksanakan oleh semua umat Islam yang sudah dewasa. Patokan dewasa ini biasanya sama dengan akil balig atau matang secara seksual. Kondisi akil balig secara alamiah ditandai peristiwa datang bulan bagi perempuan atau mimpi basah pada laki-laki. Dengan demikian, anak-anak yang belum akil balig tidak wajib menjalankan puasa Ramadhan. Kalaupun ada anak-anak yang berpuasa, sifatnya baru sebatas latihan. Karena latihan, boleh saja tidak dilakukan sehari penuh. Misalnya puasa sampai jam 12 siang atau saat adzan zuhur tiba. Ini biasa disebut 5 Sukardi K.D., Puasa Bersama Sufi, Bandung: Pustaka Hidayah, 2001, Cet. 1, h, 1920 5 puasa mbedug di kalangan masyarakat Jawa. Maksudnya, puasa sampai bedug di masjid ditabuh bertalu-talu, sebagai pertanda waktu salat zuhur tiba. Orang dewasa yang sedang sakit, sudah uzur jompo, atau tengah melakukan perjalanan jauh musafir juga diperbolehkan tidak menjalankan puasa Ramadhan. Dalam konteks inilah jika Majelis Ulama Indonesia MUI baru-baru ini memfatwakan bahwa pilot pesawat terbang yang sedang bertugas boleh tidak puasa. Selain sering bepergian jauh, seorang pilot juga bertanggung jawab atas nyawa puluhan atau ratusan penumpangnya. Jika pilot berpuasa, yang salah satu efeknya mengantuk, dipandang bisa membahayakan para penumpang. Fatwa bagi para pilot ini, jika mengikuti kaidah analogi atau qiyas dalam hukum Islam, tentunya berlaku pula bagi para sopir bus, truk, dan sarana transportasi jarak jauh lainnya. Ibu-ibu yang sedang hamil atau menyusui juga diizinkan tidak berpuasa. Malahan perempuan yang sedang datang bulan tidak boleh menjalankan puasa Ramadhan. Akan tetapi, orang-orang dewasa muslim yang tidak berpuasa tadi, wajib menggantinya pada hari lain bagi yang mampu secara fisik. Sementara bagi yang fisiknya memang tidak mampu lagi, diharuskan membayar denda fidyah pengganti puasa. Ini misalnya bagi mereka yang uzur atau sakit jangka panjang. Denda pengganti puasa ini biasanya diberikan oleh yang bersangkutan 6 berupa makanan berbuka puasa takjil yang dibagikan kepada para jamaah di masjid-masjid. Dalam hal ini, berkenaan dengan kebolehannya tidak berpuasa bagi musafir ulama mazhab menambahkan satu syarat lagi, yaitu perjalanan itu harus berangkat sebelum terbitnya fajar, sampai menempuh jarak dibolehkannya melakukan shalat qashar. Namun bila perjalanan itu berangkat setelah terbitnya fajar, maka diharamkan untuk berbuka. Dan kalau berbuka, maka ia harus meng- qadha‟ menggantinya tapi tidak perlu membayar kifarah. Imam Syafi‟i menambahkan satu syarat lagi, yaitu: bukan seorang musafir yang sudah biasa melakukan perjalanan, seperti seorang yang mencari penyewa. Kalau bagi orang yang kerjanya memang selalu mengadakan perjalanan, ia tidak mempunyai hak untuk berbuka. Berbuka dalam perjalanan menurut mereka adalah rukhshah keringanan, bukan keharusan. Maka bagi seorang musafir juga memenuhi syarat-syarat tersebut, ia berhak memilih. Kalau suka, boleh berpuasa, dan kalau tidak, boleh dibuka. Hanya kita harus mengetahui bahwa Imam Hanafi mempunyai pendapat lain, yaitu: bahwa sholat qashar dalam perjalanan itu merupakan suatu keharusan bukan merupakan rukhshah. Imam Imamiyah kalau seorang musafir yang sudah memenuhi syarat- syarat melakukan shalat qashar, lalu ia berpuasa, maka puasanya tidak diterima, dan kalau berpuasa itu harus meng- qadha‟, tapi tidak perlu membayar kifarah. Ketetapan ini berlaku, kelau perjalanan itu berangkat sebelum matahari tergelincir condong ke barat, tetapi kalau berangkat waktu zawal matahari 7 tergelincir atau sesudahnya, maka ia harus tetap berpuasa, dan kalau berbuka, dia harus membayar kifarah, seperti seorang yang sengaja membuka. Bila seorang musafir telah sampai kedaerahnya atau ketempat tinggalnya yang akan ditempatinya selama sepuluh hari sebelum zawal, dan tidak melakukan sesuatu yang membatalkan puasanya, maka ia wajib meneruskan puasanya, dan bila berbuka, maka hukumnya seperti seorang yang berbuka dengan sengaja, yaitu membayar kifarah. 6 Berkenaan dengan hal di atas, maka penulis tertarik untuk membahasnya dalam bentuk skripsi yang berjudul “Keringanan Puasa Bagi Penerbang Di Bulan Ramadhan Analisis Fatwa MUI Tentang Puasa Bagi Penerbang PILOT ”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah