Perbanyakan Anggrek Secara In Vitro

sepoi-sepoi sehingga menciptakan goyangan lembut pada daun dan tangkainya serta aman untuk bunganya Osman dan Prasasti, 1994.

2.3. Perbanyakan Anggrek Secara In Vitro

Anggrek Dendrobium dapat diperbanyak dengan cara vegetatif, generatif, dan kultur jaringan. Perbanyakan vegetatif pada anggrek Dendrobium dilakukan dengan pembelahan anakan dan penggunaan bibit. Teknik perbanyakan ini menghasilkan anakan yang memiliki sifat genetik sama dengan induknya. Namun, anakan yang dihasilkan dari perbanyakan dengan teknik ini terbatas, sehingga kurang cocok diterapkan pada usaha anggrek skala besar. Kultur jaringan atau budidaya in vitro adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, jaringan atau organ yang serba steril, ditumbuhkan pada media buatan yang steril, dalam botol kultur yang steril, dan dalam kondisi yang aseptik dan lingkungan yang terkontrol, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman yang lengkap. Perbanyakan anggrek secara kultur jaringan dapat dibagi dalam tiga fase yaitu fase transformasi meristem ke dalam bentuk Protocorm Likes Boddies PLBs, memisahkan PLBs kebagian-bagian kecil dan menumbuhkan PLBs untuk menjadi tanaman sempurna Pierik, 1987. Kemampuan sel untuk berdiferensiasi disebut totipotensi. Ke arah mana sel-sel tanaman dapat diinduksi untuk mengekspresikan totipotensinya, sangat tergantung pada sejumlah variabel termasuk faktor eksplan, komposisi medium, zat pengatur tumbuh, dan stimulus fisik, seperti cahaya, suhu dan kelembaban. Setiap variabel dapat berbeda pengaruhnya terhadap setiap organ tanaman tertentu dan berdasarkan tujuan pengkulturan. Diantara faktor-faktor tersebut, lima variabel utama harus dipertimbangkan, yaitu seleksi bahan tanam, teknik sterilisasi eksplan, komposisi medium dasar, keterlibatan zat pengatur tumbuh, serta faktor-faktor lingkungan di mana kultur ditempatkan Zulkarnain, 2009. Dalam perbanyakan tanaman secara kultur jaringan, eksplan merupakan faktor penting penentu keberhasilan. Umur fisiologis, umur ontogenik, ukuran eksplan, serta bagian tanaman yang diambil merupakan hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih eksplan yang akan digunakan sebagai bahan awal kultur. Umumnya, bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan adalah jaringan muda yang sedang tumbuh aktif. Jaringan tanaman yang masih muda mempunyai daya regenerasi lebih tinggi, sel-sel masih aktif membelah diri, dan relatif lebih bersih mengandung lebih sedikit kontaminan Yusnita, 2003. Hampir dapat dipastikan bahwa kesuksesan kegiatan kultur jaringan akan sangat ditentukan dan tergantung oleh pilihan media yang digunakan. Harus diingat bahwa teknik kultur jaringan menekankan lingkungan yang cocok agar eksplan dapat tumbuh dan berkembang. Lingkungan yang cocok, sebagian akan terpenuhi bila media yang dipilih mempertimbangkan apa-apa yang diperlukan oleh tanaman. Kebutuhan tiap tanaman berbeda pada hal komposisi dan jumlah yang diperlukan Santoso dan Nursadi, 2001. Kesamaannya adalah tanaman memerlukan hara makro dan mikro, vitamin-vitamin, karbohidrat gula, asam amino dan N-organik, zat pengatur tumbuh, zat pemadat dan kadang ada penambahan bahan-bahan seperti air kelapa, ekstrak ragi, jus tomat, ekstrak kentang, buffer organik, ataupun arang aktif. Media kultur jaringan terdiri dari beberapa versi, salah satunya adalah media Vacin dan Went. Media ini merupakan media yang ditemukan oleh Vacin dan Went pada tahun 1949. Media ini khusus digunakan untuk kultur jaringan anggrek Gunawan, 1992. Media ini merupakan media yang dianggap paling baik untuk kultur jaringan anggrek Osman dan Prasasti, 1991. Kondisi lingkungan yang menentukan keberhasilan kultur jaringan meliputi cahaya, suhu dan komponen atmosfer. Cahaya dibutuhkan untuk mengatur proses foto morfogenetik tertentu. Dalam teknik kultur jaringan tanaman, cahaya dinyatakan dengan dimensi lama penyinaran, intensitas dan kualitasnya. Kualitas cahaya mempengaruhi arah diferensiasi jaringan. Energi radiasi dekat spektrum ultra violet dan biru merupakan kualitas cahaya yang paling efektif untuk merangsang pembentukan tunas, sedangkan pembentukan akar dirangsang oleh cahaya merah dan sedikit cahaya biru. Untuk itu, pada tahap multiplikasi tunas digunakan untuk pencahayaan dengan lampu fluorescent TL. Secara umum, intensitas cahaya yang optimum untuk tanaman pada kultur tahap inisiasi kultur adalah 0-1000 lux, tahap multiplikasi sebesar 1000-10000 lux, tahap pengakaran sebesar 10000-30000 lux, dan aklimatisasi sebesar 30000 lux Yusnita, 2003. Suhu juga berpengaruh terhadap kesehatan tanaman yang dikulturkan. Suhu yang umum digunakan untuk pengkulturan berbagai jenis tanaman adalah 26 –20 o C. Untuk kebanyakan tanaman, suhu yang terlalu rendah kurang dari 20 o C dapat menghambat pertumbuhan, dan suhu yang terlalu tinggi lebih dari 32 o C menyebabkan tanaman mati. Namun pada kultur tanaman yang biasanya memerlukan suhu rendah untuk pertumbuhan terbaiknya, seperti stroberi, suhu yang diperlukan juga lebih rendah Yusnita, 2003. Faktor penting lain yang juga perlu mendapat perhatian, adalah pH yang harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak mempengaruhi fungsi membran sel dan pH dari sitoplasma. Pengaturan pH selain memperhatikan kepentingan fisiologi sel, juga harus mempertimbangkan faktor-faktor kelarutan dari garam- garam penyusun media, pengambilan uptake dari zat pengatur tumbuh dan garam-garam lain, dan efisiensi pembekuan agar-agar. Sel-sel tanaman membutuhkan pH yang sedikit asam berkisar antara 5.5-5.8 Gamborg dan Shyluk 1981. Pengaturan pH, biasa dilakukan dengan menggunakan NaOH atau kadang-kadang KOH atau HCl pada waktu semua komponen sudah dicampurkan, seringkali setelah sterilisasi pH-nya berubah. Pada umumnya terdapat penurunan pH setelah disterilkan dalam autoklaf. Untuk menghindarkan perubahan pH yang cukup besar, Murashige dan Skoog menyarankan agar dilakukan pemanasan untuk melarutkan agar-agar dan memanaskan beberapa menit media dalam autoklaf, baru diadakan penetapan pH. Cara lain yang dilakukan adalah penetapan pH setelah media disterilkan dalam autoklaf. Dalam wadah yang besar media disterilkan dan kemudian dititrasi dengan NaOH atau HCl steril sampai pH yang diinginkan. Selanjutnya media dituang ke dalam wadah kultur steril yang telah dipersiapkan di dalam laminar air flow cabinet. Cara ini juga digunakan dalam penelitian yang menggunakan media dengan pH rendah untuk tujuan seleksi Gunawan, 1988.

2.4. Induksi Mutasi In vitro