21
Dari Hadits diatas dapat di ketahui bahwasannya adanya perintah untuk membangun kepercayaan antara rekan kerja. Kita bisa
mengetahui bahwa Allah SWT akan memberkahi orang yang bekerjasama ketika keduanya saling percaya tidak ada kebohongan
atau berkhianat atas kesepakatan yang telah disetujui oleh keduanya. Hal ini menunjukkan kecintaan Allah SWT kepada hamba-hambanya
yang melakukan kerjasama selama saling menjunjung tinggi amanat kerjasama dan menjauhi pengkhiatan.
Dalam kerjasama bagi hasil harus jujur sebagaimana kita ketahui bahwasannya kerjasama dalam bisnis Rasulullah SAW dilandasi oleh
dua pokok yaitu kepribadian yang amanah dan terpercaya, serta keahlian yang memadai.
11
3. Rukun dan Syarat Mudharabah
Ulama Hanafiah mengemukakan bahwa rukun mudharabah adalah ijab dan qabul. Sedangkan menurut jumhur ada tiga, yaitu: orang yang berakad
1 Shahibul Mal dan Mudharib, 2 obyek akad yaitu Modal, Pekerjaan, dan keuntungan, dan 3 Shighat Ijab qabul.
Adapun syarat-syarat mudharabah, sesuai dengan rukun yang dikemukakan jumhur ulama di atas adalah:
11
Ilfi Nurdiana, Hadits-Hadits Ekonomi, Cet 1 Malang: UIN-MALANG PRESS, 2008, h. 149
22
a. Yang terkait dengan orang yang melakukan akad, harus orang yang cakap
hukum, cakap diangkat sebagai wakil, karena pada satu sisi posisi orang yang akan mengelola modal adalah wakil dari pemilik modal. Itu
sebabnya, syarat-syarat seorang wakil juga berlaku bagi pengelola modal dalam akad mudharabah.
b. Yang terkait dengan modal, disyaratkan seperti: berbentuk uang, jelas
jumlahnya, tunai, dan diserahkan sepenuhnya kepada pedagangpengelola modal. Oleh sebab itu, jika modal berbentuk barang, menurut mayoritas
ulama tidak dibolehkan, karena sulit untuk menentukan keuntungan yang cenderung menimbulkan gharar. Ulama Hanafiah, Hambaliah, Ibnu Abi
laila dan Al- Auza’i berpendapat bahwa diperbolehkan modal itu berupa
apapun yang dapat dinilai dan dapat diperhitungkan dengan uang. Nilai itulah yang dihitung sebagai modal. Demikian juga halnya dengan
piutang, tidak boleh dijadikan modal mudharabah. Akan tetapi, jika modal itu berupa
wadi’ah titipan pemilik modal kepada pedagang, boleh dijadikan modal mudharabah. Apabila modal itu tetap dipegang
sebagiannya oleh pemilik modal dalam artian tidak diserahkan seluruhnya, menurut ulama Hanafiah, Malikiyah, dan Syafi’iyah, akad mudharabah
tidak sah. Akan tetapi, ulama Hanabilah menyatakan boleh saja sebagian modal itu berada di tangan pemilik modal, asal tidak menggangu
kelancaran usaha itu. Di sini pendapat Jumhur kiranya lebih tepat dijadikan pegangan sebab mudharabah itu sendiri adalah akad
23
kepercayaan yang didasarkan atas kualitas dan kapabilitas mudharib yang sebelumnya telah diketahui oleh shahibul mal, selain itu lebih memberikan
kemudahan dan kebebasan bagi mudharib dalam mengalokasikan dana dalam investasi. Akan tetapi sekiranya shahibul maal belum sepenuhnya
mengetahui kredibilitas mudharib dapat saja pendapat Hanabilah dijadikan pegangan misalnya pemberian modal secara bertahap selama hal tidak
menggangu kelancaran bisnis. c.
Yang terkait dengan keuntungan, disyaratkan bahwa pembagian keuntungan harus jelas dan porsi masing-masing diambilkan dari
keuntungan dagang itu, seperti setengah, sepertiga, atau seperempat. Apabila pembagian keuntungan tidak jelas maka menurut ulama Hanafiah,
akad itu fasid rusak. Pembagian keuntungan tidak boleh berupa nominal tertentu atau prosentase dari modal.
d. Yang terkait dengan ijab qabul, harus diucapkan oleh kedua pihak guna
menunjukkan kemauan mereka untuk melaksanakan kontrak. Shighat harus sesuai dengan hal-hal berikut: Secara eksplisit dan implisit
menunjukkan tujuan kontrak, Shighat dianggap tidak sah jika salah satu pihak menolak syarat-syarat yang diajukan penawaran atau salah satu
pihak meninggalkan tempat berlangsungnya negoisasi tersebut, sebelum kontrak disempurnakan.
12
12
Ah. Azharuddin Lathif, Fiqih Muamalat Prinsip Dasar Transaksi Bisnis Dalam Islam, Cet. 1 Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005, h. 135-137
24
4. Jenis-Jenis Al Mudharabah