Akibat Perkawinan terhadap Kedudukan Laki-laki dan Perempuan di dalam Keluarga

q. GBHN 1999, mengenai kesetaraan gender dapat disimpulkan bahwa pemerintah atas nama negara harus berusaha menegakkan supremasi hukum dan mewujudkan perundang-undangan yang berbasis gender. Apabila hal ini terlaksana tentunya membuktikan adanya keseriusan dalam menempatkan kedudukan dan peranan perempuan. Komitmen ini telah dapat diwujudkan dengan keluarnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang di dalam Pasal 45 disebutkan “Hak Wanita dalam Undang-undang ini adalah hak asasi manusia” Ketentuan ini menjelaskan bahwa hak asasi manusia itu adalah kepunyaan seluruh manusia tidak terkecuali perempuan.

2.2.3. Akibat Perkawinan terhadap Kedudukan Laki-laki dan Perempuan di dalam Keluarga

Dalam kehidupan manusia, kita akan melihat kenyataan dimana dua orang yang berlainan kelamin yaitu laki-laki dan perempuan menjalani suatu kehidupan bersama dalam suatu kesatuan rumah tangga masing-masing yang dalam kehidupan sehari-hari disebut sebagai suami isteri. Untuk mewujudkan kesatuan rumah tangga yang sehat dan keturunan yang sah dan terbentuk, maka perlulah hubungan tersebut diatur dengan perkawinan. Dengan adanya perkawinan maka anak atau keturunan yang lahir darinya akan terpelihara karena ada yang bertanggung jawab yaitu orang tuanya yang sah tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perkawinan inilah yang menjadi pangkal tolak terciptanya pergaulan dan masyarakat yang teratur. Lebih lanjut Prawirohamidjoyo 1986:22 mengatakan sebagai berikut Dasar-dasar dari perkawinan itu dibentuk oleh unsur-unsur alam dari kehidupan itu sendiri: kebutuhan dan fungsi biologik, menurunkan, kebutuhan akan kasih sayang dan persaudaraan, memelihara anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut dan mendidik anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut dan mendidik anak itu menjadi anggota-anggota masyarakat, yang sempurna berhargavolwaarding. Bentuk tertentu dari perkawinan tidak diberikan oleh alam, berbagai bentuk perkawinan itu berfungsi sebagai lembagaperantara. 2.2.3.1. Menurut UU No. 1 Tahun 1974 2.2.3.1.1. Pengertian perkawinan Universitas Sumatera Utara Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, arti dan tujuan perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seseorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Harahap, 1975:249. Di dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 perkawinan itu diartikan sebagai Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri. Dengan “Ikatan lahir bathin” dimaksudkan bahwa perkawinan itu tidak hanya cukup dengan adanya ikatan lahir atau ikatan bathin saja, tapi harus kedua-duanya. Suatu “ikatan lahir” adalah ikatan yang dapat dilihat. Mengungkapkan dengan suatu hubungan hukum antara pria dan wanita untuk hidup bersama, sebagai suami-isteri, dengan kata lain dapat disebut “hubungan formal”.Hubungan formal ini nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya, maupun bagi orang lain atau masyarakat. Sebaliknya, suatu “ikatan bathin” adalah merupakan hubungan yang tidak formil, suatu ikatan yang tidak dapat dilihat. Walaupun tidak nyata, tapi ikatan itu harus ada. Karena tanpa adanya ikatan bathin, ikatan lahir akan menjadi rapuh. Hal ini seyogianya dapat dirasakan terutama oleh yang bersangkutan. Dalam taraf permulaan untuk mengadakan perkawinan ikatan bathin ini diawali hidup bersama. Terjalinnya ikatan lahir dan ikatan bathin, merupakan fondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal Saleh, 1980:14-15. Perkawinan yang bertujuan untuk membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal, dapat diartikan bahwa perkawinan itu haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja. Pemutusan karena sebab-sebab lain dari kematian diberikan suatu pembatasan yang ketat. Sehingga suatu pemutusan perkawinan dengan cara cerai hidup hanya merupakan jalan terakhir, setelah jalan lain tidak dapat ditempuh lagi Sitepu, 1998:22. Universitas Sumatera Utara Selanjutnya ditegaskan pula bahwa pembentukan keluarga yang bahagia dan kekal itu haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai asas pertama dalam Pancasila. Hadikusuma 1984:88 memberikan pengertian tentang perkawinan adalah sebagai “ikatan dalam arti kenyataan tidak nyata antara pria dan wanita sebagai suami isteri untuk tujuan membentuk keluarga”. Selanjutnya dilihat dari sudut pandang etnologi culture antropologie, perkawinan dipandang sebagai suatu perikatan antara seorang pria dan seorang wanita yang bersifat sedemikian rupa sehingga anak-anak yang dilahirkan oleh si isteri adalah keturunan yang diakui dari kedua belah pihak” Hamidjoyo, 1986:23 Uraian di atas menunjukkan bahwa tiap-tiap perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kehidupan bahagia dalam suatu keluarga dapat dirasakan apabila telah dicapai kesejahteraan lahir dan bathin. Keluarga sejahtera menurut Pasal 1 angka 11 Undang-Undang No. 1 Tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan menyatakan: Keluarga sejahtera ialah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antara anggota keluarga dan antara keluarga dan masyarakat serta lingkungan. 2.3.1.1.2. Akibat hukum dari suatu perkawinan Suatu perkawinan yang dilangsungkan secara sah menurut hukum akan menimbulkan berbagai akibat hukum. Akibat hukum dari suatu perkawinan itu pada pokoknya menyangkut 3 hal penting, yaitu : 1 hubungan suami isteri; 2 hubungan anak-anak yang lahir dari perkawinan itu terhadap hubungannya dengan kedua orang tuanya ayah dan ibunya, serta seterusnya dengan kerabat ayah dan kerabat pihak ibunya; 3 mengenai harta benda yang diperoleh sebelum maupun selama perkawinan. Bagaimana akibat hukum suatu perkawinan terhadap 3 hal tersebut di atas, sangat tergantung dari sistem hukum mana hal itu ditinjau, karena masing- Universitas Sumatera Utara masing sistem hukum berbeda-beda pengaturannya. Mengenai hal tersebut diatas dapat dilihat sebagai berikut : ad.1 Mengenai hubungan suami dengan isteri dirumuskan dalam Bab VI dari Pasal 30 sampai dengan Pasal 34. Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 memberikan kedudukan yang seimbang antara suami dan isteri, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, dan masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 31 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang selengkapnya berbunyi: 1 Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. 2 Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ada hak dan kedudukan yang seimbang yang dibarengi dengan suatu kewajiban yang sama pula untuk membina dan menegakkan rumah tangga yang diharapkan akan menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Dalam pembinaan rumah tangga, berdasarkan Pasal 33 Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 kepada suami laki-laki dan isteri perempuan dibebani kewajiban moral untuk saling cinta mencintai dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuan masing- masing. Suatu rumah tangga yang dibina, haruslah mempunyai tempat kediaman yang tetap, sebagai perwujudan dari hak dan kedudukan yang seimbang tersebut. Berdasarkan Pasal 32 angka 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, rumah tempat kediaman bersama tersebut ditentukan oleh suami isteri bersama. Dengan demikian maka dikatakan bahwa di dalam undang-undang No. 1 tahun 1974 berlaku suatu asas yaitu “hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam masyarakat demikian pula segala sesuatu dalam rumah tangga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama. Universitas Sumatera Utara Walaupun hak dan kedudukan oleh suami isteri adalah seimbang namun suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya dan sebaliknya isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. ad. 2 Mengenai hubungan anak-anak yang lahir dari perkawinan dengan kedua orang tuanya dan dengan kerabat ayah dan ibunya diatur dalam Bab X dari Pasal 45 sampai dengan Pasal 49 Menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya yang diatur dalam Pasal 45 berbunyi: 1 Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. 2 Kewajiban orang tua dimaksud dalam ayat 1 Pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Dari ketentuan Pasal 45 ayat 2 tercermin adanya persamaan antara Undang-Undang No 1 tahun 1974 dengan hukum adat pada umumnya khususnya hukum adat Karo, kewajiban orang tua sampai anak kawin atau dapat berdiri sendiri. ad.3 Mengenai harta benda yang diperoleh sebelum maupun selama perkawinan terhadap suami isteri diatur dalam Bab VII yang terdiri dari tiga Pasal yaitu Pasal 35, 36 dan 37 Dalam Pasal 35 disebutkan : 1 Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. 2 Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Dengan demikian pada asasnya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 mengatur bahwa dalam suatu perkawinan itu ada dua kelompok harta, yaitu harta Universitas Sumatera Utara bersama, dan harta bawaan termasuk di dalamnya harta benda yang diperoleh masing-masing berupa hadiah atau warisan. Menurut Yahya Harahap 1975:249 termasuk pula harta bersama suami isteri, yaitu: a Segala penghasilan harta benda yang diperoleh selama perkawinan, termasuk penghasilan yang berasal dari barang-barang asal bawaan maupun barang yang dihasilkan harta bersama itu sendiri. b Demikian juga segala penghasilan pribadi suami isteri baik dari keuntungan yang diperoleh dari perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan masing-masing pribadi sebagai pegawai. Tentang pengertian harta bawaan itu sendiri tidak ada diatur dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974, namun dari namanya “harta bawaan” maka harta tersebut harus sudah dimiliki oleh masing-masing suami atau isteri sebelum perkawinan. Tentang bagaimana caranya harta itu diperoleh tidak menjadi masalah. Sedangkan mengenai harta benda yang diperoleh masing- masing sebagai hadiah atau warisan yang dimaksud dalam Pasal 35 ayat 2 tersebut tentulah hadiah atau warisan yang diperoleh masing-masing suami atau isteri selama dalam ikatan perkawinan, karena jika diterimanya sebelum perkawinan maka tentu masuk dalam pengertian harta bawaan. 2.2.3.2. Menurut hukum perkawinan adat Karo 2.2.3.2.1. Pengertian perkawinan Pengertian perkawinan pada masyarakat Karo berbeda dengan pengertian perkawinan umumnya yaitu adanya ikatan antara seorang wanita dengan seorang pria Universitas Sumatera Utara dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga, tetapi mempunyai arti yang sangat luas karena perkawinan itu bukan hanya masalah antara pihak wanita dan pria saja tetapi menjadi masalah kedua keluarga para pihak laki-laki dan perempuan. Dengan kata lain bahwa apabila seorang laki-laki mau kawin, di dalam menentukan siapa yang menjadi calon isterinya, bukan hanya si laki-laki tersebut, tetapi yang menentukan ikut juga keluarga atau orang tua si laki-laki tersebut. Demikian juga seorang perempuan di dalam menentukan siapa yang menjadi calon suaminya, bukan hanya terserah kepada si wanita tersebut, tetapi keluarga, dan orang tua siwanita tersebut ikut menentukan. Malah kadang-kadang suatu perkawinan bisa tidak jadi dilaksanakan apabila salah satu orang tua dari pihak-pihak yang mau kawin tidak setuju. Hal ini adalah disebabkan salah satu tujuan perkawinan itu adalah untuk memperluas kekeluargaan pebelang kade-kade Purba, 1992:93. Selain itu perkawinan juga mempunyai tujuan melanjutkanmeneruskan keturunan generasi laki-laki atau marga, karena hanya anak laki-laki saja yang dapat meneruskan garis marga. Fenomena sosial, nilai- nilai serta adat kebiasaan di dalam masyarakat telah meligitimasi bahwa kedudukan dari anak laki-laki berada pada level yang lebih tinggi dari anak perempuan. Berbagai kedudukan sosial serta pemaknaan yang dibuat oleh masyarakat mengenai anak laki-laki dapat menimbulkan permasalahan bagi keluarga yang tidak mempunyai keturunan anak laki-laki. Kehadiran seorang Universitas Sumatera Utara anak laki-laki secara adat dapat diartikan sebagai pewaris marga dan juga berkedudukan sebagai orang yang dapat melindungi saudara perempuan mereka. Walaupun anak laki-laki tersebut masih kecil ia dapat dijadikan sebagai benang merah yang menghubungkan ikatan kerabatan antara suatu keluarga dengan saudara laki-laki ayahnya father brother serta orang-orang yang semarga dengan ayahnya. Semua anak laki-laki akan memperoleh kedudukan yang sama dan sederajat dengan ayahnya, sama-sama menjadi kalimbubu dari saudara perempuan ayah father sister atau bibi-bengkila beserta anak-anaknya dan saudara perempuan mereka sendiri. Namun bukan berarti anak perempuan tidak mempunyai arti dalam masyarakat Karo, kedudukan anak perempuan pada masyarakat Karo demikian pentingnya karena dari anak perempuan itulah lahir ikatan kekeluargaan sebagai anak beru. Karenanya suku Karo mengenal adanya konsep yang melukiskan anak laki- laki dan anak perempuan dengan matahari dan bulan. Hal ini dapat dilihat pada setiap upacara perkawinan adat, oleh pihak sangkep sitelu yang berbicara memberikan nasehat dan doa restu selalu mengharapkan agar penganten memperoleh anak dengan istilah matahari anak laki-laki dan bulan anak perempuan Sitepu, 1998:21. Laki-laki yang mengikatkan diri dengan seorang perempuan dinamakan suami, sedangkan perempuan yang juga mengikatkan diri dengan seorang laki-laki dinamakan isteri. Di dalam masyarakat Batak Karo, suami disebut Perbulangen dan Isteri disebut Ndahara. Perbulangen berasal dari kata Bulang yang artinya, topi. Oleh karena itu pada masyarakat Batak Karo seorang suami dilambangkan sebagai topi yang berfungsi sebagai pelindung kepala, juga berfungsi Universitas Sumatera Utara sebagai pelindung bagi isteri dan anak-anaknya pelindung keluaga Saragih, 1980:30. Di samping arti dan tujuan perkawinan pada masyarakat Karo seperti yang telah diuraikan di atas yaitu memperluas kekeluargaan pebelang kade-kade dan meneruskan keturunan laki-laki atau marga, maka masyarakat Batak Karo juga menganut sistem perkawinan yang exogami yaitu pada prinsipnya seseorang harus kawin dengan orang lain yang berasal dari klen marga yang berlainan. Dengan kata lain bahwa orang yang berasal dari klan yang sama dilarang untuk melakukan perkawinan kecuali marga “Sembiring dan Perangin-angin”. Syarat-syarat perkawinan yang ditetapkan oleh hukum adat berbeda-beda menurut daerah masing-masing. Bagi suku bangsa Karo, secara umum perkawinan itu mulai dianggap sah, setelah selesai pembayaran uang jujur unjuken pada waktu pelaksanaan pesta perkawinan baik pesta itu diadakan secara besar-besaran maupun secara kecil-kecilan. Oleh karena adanya pembayaran uang jujur pada masyarakat Karo maka bentuk perkawinannya dikenal dengan bentuk perkawinan Hukum Kebapaan artinya sifat yang terpenting dalam perkawinan ini adalah dengan pembayaran uang jujur. Menurut Hadikusuma 1995:88, perkawinan adat mengenal beberapa bentuk, sebagaimana dikemukakan sebagai berikut: ….. dalam masyarakat patrilineal berlaku perkawinan dengan pembayaran jujur, dalam masyarakat matrilineal berlaku adat perkawinan semanda, dan dalam masyarakat parental atau bilateral berlaku adat perkawinan bebas. Ketiga bentuk perkawinan itu membawa akibat hukum yang berbeda, terhadap kedudukan suami isteri, terhadap anak keturunan dan terhadap harta perkawinan. Perkawinan dengan pembayaran uang jujur unjukan adalah suatu bentuk perkawinan yang dilakukan dengan penyerahan sejumlah barang-barang magis atau Universitas Sumatera Utara sejumlah uang dari keluarga pihak laki-laki kepada pihak keluarga perempuan yang berfungsi sebagai pengganti atau sebagai pembeli tukur atas berpindahnya siperempuan ke dalam klen si laki-laki mengembalikan keseimbangan magis di keluarga pihak perempuan. Perkawinan jujur ini adalah salah satu bentuk perkawinan mempertahankan susunan kekeluargaan berhukum kebapaan patrilineal, hal ini dilatar belakangi bahwa dengan dilakukannya pembayaran uang jujur maka si isteri perempuan akan dibawa masuk kedalam pihak keluarga si suami laki- laki. Hubungan dengan marga orang tuanya menjadi terputus. Dengan demikian nantinya apabila siwanita melahirkan anak, maka sianak yang lahir itu tidak menuruti marga dari siwanita itu melainkan menuruti marga dari laki-laki yang menjadi suami perempuan ayah sianak tersebut. Seperti yang telah dijelaskan bahwa perkawinan yang tidak disertai adanya pembayaran uang jujur pada dasarnya dianggap perkawinan itu tidak sah menurut adat. Akan tetapi ada juga perkawinan yang dilaksanakan tanpa dilakukan pembayaran uang jujur, perkawinan itu dianggap sah menurut adat. Hal ini kita jumpai dalam perkawinan Lakoman Leviraat Huwelijk dan perkawinan Gancih abu Ver vang en Vervolg Huwelijk. Perkawinan Lakoman adalah suatu perkawinan dimana seorang janda yang ditinggalkan oleh suaminya karena meninggal dunia kawin lagi dengan saudara laki- laki suaminya. Universitas Sumatera Utara Perkawinan Gancih abu adalah suatu perkawinan dimana suami yang ditinggalkan oleh isteri karena meninggal dunia kawin lagi dengan saudara perempuan isterinya. Dalam perkawinan Lakoman dan perkawinan Gancihabu, penyerahan jujur tidak dilakukan lagi karena kedua belah pihak yang mau kawin masih ada di dalam lingkungan keluarga masing-masing dan cukup hanya disyahkan oleh pihak kalimbubu dengan membawa manuk megersing ayam kuning yang akan diserahkan kepada pihak kalimbubu. 2.2.3.2.2. Akibat hukum dari suatu perkawinan pada masyarakat Karo Pada masyarakat Suku Batak Karo dengan adanya pembayaran uang jujur pada pelaksanaan perkawinan juga membawa tiga akibat terhadap perkawinannya yaitu :

a. Hubungan Suami dengan Isteri