terhadap cara berpikir dan sikap serta kesadaran hukum masyarakat Karo atau bisa saja masih mengindikasikan bahwa sebenarnya masih sangat kental dan sangat
menjunjung tinggi adat istiadatnya dan menganggap tidak aneh atau memandang hal tersebut di atas adalah wajar apabila terdapat “ketidakadilan gender’ karena telah
tersosialisasi dalam diri perempuan dan laki-laki khususnya di Karo. Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan diatas akan dilakukan penelitian
dengan judul “Kedudukan Perempuan Karo dalam Memperoleh Harta Warisan”.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka
dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
Bagaimanakah kedudukan perempuan karo dalam praktek pembagian harta warisan pada saat ini?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka target yang akan dicapai dengan penelitian ini, yaitu :
1. Untuk mengetahui proses pembagian harta warisan yang terjadi di dalam keluarga dan di masyarakat Karo
Universitas Sumatera Utara
2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan apa yang di hadapi perempuan dalam pembagian harta warisan di dalam rumah tangga dan masyarakat di Karo.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan memberi manfaat sebagai berikut :
1.4.1. Teoritis
1. Sebagai bahan informasi tentang data empiris mengenai hal-hal yang berkaitan dengan bidang sosial budaya khususnya dalam bidang proses
pembagian harta warisan pada masyarakat Karo, bagi para akademisi maupun sebagai bahan perbandingan bagi para peneliti yang hendak melaksanakan
penelitian lanjutan. 2. Menambah khasanah kepustakaan.
1.4.2. Praktisi
Dari penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran bagi para penegak hukum pada umumnya, maupun masyarakat Karo pada khususnya
bahwa sudah tidak saatnya lagi untuk terlalu membedakan secara ekstrim tentang kedudukan pria dan wanita terutama dalam pembagian harta warisan sehingga ada
komitmen untuk mencari solusi baru yang lebih bijaksana dan adil.
Universitas Sumatera Utara
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kedudukan Perempuan dalam Sistem Pewarisan
2.1.1 Kedudukan Perempuan Terhadap Warisan dalam Pandangan Pengadilan
Untuk mengetahui sejauhmana kedudukan perempuan terhadap warisan, maka dasarnya adalah aturan perundang-undangan positif hukum positif dan putusan
pengadilan Sehubungan dengan itu untuk menjelaskan kedudukan perempuan terhadap warisan di Indonesia, maka kita harus melihat format hukum waris yang
terdapat di Indonesia, menyusul kemudian seiap sistem yang terdapat dalam setiap format hukum waris yang di maksud.
2.1.1.1. Kedudukan perempuan ditinjau dari sistem waris KUH Perdata Dalam sistem waris KUH Perdata, hubungan keahliwarisan di dasarkan
kepada beberapa faktor, yaitu : a Faktor hubungan darah; yang menempatkan para kerabat menjadi ahli waris
berdasarkan keturunan b Faktor perkawinan; yang menempatkan janda dan duda saling mewaris
c Faktor testamen yang menempatkan seseorang sebagai ahli waris berdasarkan kehendak sepertiyang tertulis dalam testamen.
Memperhatikan patokan hubungan keahliwarisan yang di dasarkan pada keturunan, perkawinan dan testamen dan bila di hubungkan dengan ketentuan yang
Universitas Sumatera Utara
mengatur hak dan kedudukan perempuan untuk mewarisi yang di atur dalamKUH Perdata, dapat di rinci sebagai berikut :
a. Hak dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalah sama b. Janda sebagai istri behak mewarisi harta warisan mendiang suami pasal 832
KUH Perdata 2.1.1.2 Kedudukan perempuan dalam sistem Hukum Waris Islam
Pada sistem hukum waris Islam, ada kesamaan pengaturan dengan KUH Perdata, dimana :
a. Berdasarkan hubungan darah atau keturunan b. Berdasarkan hubungan ikatan perkawinan
c. Berdasarkan wasiat Kedudukan perempuan dalam Hukum Waris Islam sebagaimana yang telah di
atur dalam Kompilasi Hukim Islam KHI yang ada adalah sebagai berikut : a. Anak perempuan mempunyai hak dan kedudukan mewarisi harta peninggalan
orang tua berdasarkan hubungan darah, yaitu dengan aturan : a. Bersama dan bersekutu dengan anak laki-laki
b. Porsi anak laki-laki lebih besar daripada anak perempuan yaitu 2:1 pasal 176
KHI c. Bila tidak ada anak laki-laki maka :
1. Yang ada hanya seorang anak perempuan maka mendapat 12 bagian 2. Bila lebih dari seorang maka mendapat 23 bagian
b. Janda adalah ahliwaris berdasarkan kepada ikatan perkawinan Furuddul Muqadarrah jumlahbahagian yang sudah tetap
c. Ibu mewarisi harta warisan anak pasal 178 KHI a. Dalah hal ini anak meninggalkan anak dan dua saudara atau lebih maka ibu
mendapat 16 bagian b. Bila anak tidak memiliki keturunan atau saudara yang lain maka ibu mendapat
13 bagian
Universitas Sumatera Utara
c. Ibu mendapat 13 bagian dari sisa setelah di ambil oleh janda atau duda si anak, di mana ibu mewarisi bersama ayah. Harahap, 1975:138
2.1.2. Kedudukan Perempuan dalam Hukum Waris Adat Pembahasan kedudukan perempuan dalam sistem hukum waris adat merujuk
kepada putusan pengadilan, tidak mengenal lagi pembedaan nilai hukum waris berdasarkan kedudukan sosial. Terhadap semua lapisan masyarakat, mulai dari petani
sampai kepada bangsawan, baik perempuan atu laki-laki di terapkan hukum waris yang sama. Hal ini dapat di lihat pada Keputusan Mahkamah Agung No
302Sip1960 tanggal 2 November 1960, di mana di sebutkan bahwa ”hukum adat di seluruh Indonesia memberi hak dan kedudukan kepada janda mewarisi harta asal
suami. Harahap, 1975:144 Dengan demikian hukum waris adat baru telah mengaburkan bentuk-bentuk
stelsel kekeluargaan patrilineal dan matrilineal. Yang paling kuat mendapat goncangan dan pegeseran adalah sistem patrilineal. Selama ini stelsel tersebut hanya
mengakui anak laki-laki sebagai ahli waris. Hal ini kemudian dibalikkan oleh hukum waris adat baru yang memberi porsi yang hak dan kedudukan yang sama kepada
kepada anak perempuan dan janda sebagai ahli waris dengan jumlah sama. Paham dan pandangan yang menempatkan anak perempuan sebagai ahli waris
penuh harta orang tuanya, ditegaskan dalam Keputusan Mahkamah Agung No 179KSip1961 yang menyatakan : ”atas dasar rasa kemanusiaan dan keadilan umum
Universitas Sumatera Utara
dan juga atas hakekat persamaan hak, maka laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama terhadap warisan orang tuanya.”
Keputusan Mahkamah Agung No 179KSip1961 ini merobek kemapanan stelsel patrilineal ke arah stelsel parental parental yang berwawasan harmonisasi secara
horizontal. Ketentuan harmonisasi yang di atur ini kemudian membawa akibat :
a Telah menjadi standard hukum yang berbobot b Semua putusan pengadilan yang muncul kemudian telah menjadikan putusan
tersebut sebagai rujukan secara nasional c Dengan demikian para hakim telah sepakat menegakkan asas terhadapnya
dan terikat untuk mengikutinya. Sedangkan perempuan yang berkedudukan sebagai janda berhak mewarisi
harta bersama. Hal tersebut dapat di lihat kembali pada putusan Mahkamah Agung No 320KSip1958 yang berisikan: ”menurut hukum adat Tapanuli, pada zaman
sekarang janda mewarisi harta pencaharian suami.” Putusan ini di katakan sebagai titik awal lahirnya pengakuan adat hakdan
kedudukan janda untuk mewarisi harta bersama yang berwawasan nasional. Dengan demikian putusan tersebut sekaligus megkonstruksi lahirnya harta bersama yang di
barengi dengan pemberian hak dan kedudukan janda untuk mewarisi harta bersama tersebut.
Universitas Sumatera Utara
2.1.3. Kedudukan Perempuan dalam Sistem Pewarisan Adat
Sistem pewarisan adat di Indonesia pada dasarnya di pengaruhi oleh susunan kekeluargaan masyarakat yang bersangkutan. Akibatnya adalah dimana pengertian
warisan itu kemudian menimbulkan masalah-masalah sebagai berikut 1. Bagaimana dan sampai di mana hubungan seorang pewaris dengan
kekayaannya? 2. Hal ini di pengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan dimana si pewaris
berada. Dalam masyarakat dengan sistem patrilineal, yamg menjadi ahli waris adalah hanya orang-orang yang di tarik dari garis keturunan laki-laki saja.
Dalam masyarakat matrilineal yang berhak mewarisi adalah setiap orang yang ditarik dari garis keturunan perempuan saja. Sedangkan pada masyarakat
parental yang paling berhak mewarisi adalah anak lak-laki dan anak perempuan Notopura, 1981:16.
3. Bagaimana dan sampai di mana harus terdapat tali kekeluargaan antara pewaris dan ahli waris, agar kekayaan si pewaris dapat beralih kepada ahli
waris? 4. Bagaimana dan sampai di mana wujud kekayaan yang beralih itu di pengaruhi
oleh sifat kekeluargaan, dan di mana si pewaris dan ahli waris sama-sama berada?
Dari hal-hal tersebut di atas dapat di simpulkan bahwa masalah warisan itu sangat erat hubungannya dengan sifat kekeluargaan.
Universitas Sumatera Utara
Dalam masyarakat Indonesia, mengenai sistem kekeluargaan ini dapat di kelompokkan atas tiga bahagian, yaitu : Pertalian darah menurut garis ’bapak”
patrilineal seperti yang terdapat pada Suku Batak, Nias dan Bali, Pertalian darah menurut garis ”Ibu” matrilineal seperti di Minangkabau dan Pertalian darah
menurut garis “Ibu dan Bapak” Parental seperti yang terdapat pada Suku Jawa, Sunda, Aceh dan Dayak Prodjodikoro, 1973:86.
Untuk memahami masalah perwarisan, ketiga sistem kekeluargaan tersebut tidak dapat di pisahkan. Karena misanya dalam masyarakat patrilinealyang menjadi
ahli waris adalah orang-orang yang di tarikdari garis keturunan laki-laki saja. Contohnya di daerah Tapanuli yang berhak mewarisi adalah anak laki-laki atau
saudara laki-laki dari mendiang, sedangkan janda,anak perempauan dan cucu perempuan tidak lah sebagai ahli waris. Dalam masyarakat matrilineal yang berhak
mewarisi adalah setiap orang yang di tarik dari garis perempuan saja. Sedangkan dalam masyarakat parental yang paling berhak mewarisi adalah anak perempuan dan
anak laki-laki, apakah di tarik dari garis perempuan atau laki-laki. Notopura, 1981:16
Sesuai dengan perkembangan jaman, dimana keadaan masyarakat juga ikut berkembang maka masalah warisan di masing-masing sistem kekeluargaan juga
mengalami perkembangan, misalnya Pada suatu keluarga dengan sistem patrilineal pada Suku Batak,
ketentuan hukum waris adatnya menyatakan bahwa pada prinsipnya hanya anak laki-laki sajayang mendapat harta warisan atau yang
mewarisi harta orang tuanya. Namun ketentuan ini dalam praktek telah
Universitas Sumatera Utara
di perlemah dengan adanya pemberian harta kepada anak perempuan yang di sebut ”Pauseang”. Seorang wanita tidak kawin dari Suku Batak
dan tinggal di Pematang Siantar, dimana tinggal segala suku bangsa di Indonesia berhak melakukan tindakan hukum terhadap yang di peroleh
dalam perkawinan. Mahadi, 1980:5
Dalam sebuah keluarga dengan sistem kekeluargaan yang matrilineal maka harta pencaharian seorang suami tidak di wariskan kepada anak-anaknya sendiri
melainkan kepada saudara sekandung. Ketentuan adat ini di dalam adat Minangkabau telah mengalami perkembangan, misalnya ; seorang suami memiliki sejumlah harta
peninggalan yang dalam hal ini pewaris dapat mengadakan koreksi sendiri terhadap hukum warisnya yaitu dengan jalan sebelum meninggal dunia ia sudah menghibahkan
barang-barang dan harta pencahariannya kepada anak-anaknya. Dalam suatu keluarga dengan sistem kekeluargaan parental, sebagai contoh
keluarga di Jawa yang terdiri dari suami, istri dan anak-anaknya. Apabila anak tertua seorang laki-laki, adalah suatu kebiasaan untuk memberikan kepadanya secara hibah
sebahagian dari harta keluarga, misalnya sebidang tanah pertanian. Pada waktu ia menjadi dewasa dan telah cakap bekerja sendiri kuwat gawe sebagai dasar materil
untuk kehidupannya setelah ia mentas. Kepada anak perempuan yang telah dewasa dan kawin, lazimnya pada waktu
ia di kawinkan, orang tuanya memberikan ia sebidang tanah sebagai dasar materil bagi kahidupannya lebih lanjut setelah ia berdiri sendiri dengan suaminya sebagai
suatu keluarga baru. Setelah pewaris meninggal, hibah-hibah yang telah di lakukan
Universitas Sumatera Utara
akan di perhitungkan nantinya di dalam harta warisan ayah mereka yang akan beralih kepada ahliwaris.
Di dalam Hukum Adat Indonesia dijumpai tiga sistem kewarisan, yaitu : 1. Sistem kewarisan individuil
Ciri dari sistem ini adalah bahwa harta peninggalan dapat di bagi-bagi diantara para ahliwaris seperti yan terdapat pada masyarakat bilateral di Jawa.
2. Sistem kewarisan kolektif Cirinya bahwa harta peninggalan itu di warisi oleh kelompok ahli waris yang
bersama-sama merupakan semacam badan hukum. Dimana harta tersebut yang disebut pusaka tidak boleh di bagi-bagikan pemilikannya diantara apa
ahliwaris dan hanya boleh di bagi-bagikan pemakaiannya sajakepada mereka hanya memiliki hak pakai seperti pada masyarakat Minangkabau
3. Sistem Kewarisan Mayorat Cirinya sebagian besar harta peninggalan diwarisi oleh seorang anak saja,
seperti di Bali, dimana terdapat hak mayorat anak laki-laki tertua.
Ketiga sistem pewarisan tersebut jika dihubungkan dengan sistem kekeluargaan kita dapat kita lihat bahwa sistem kewarisan itu tidak langsung
menunjuk suatu bentuk susunan masyarakat tertentu. Karena suatu sistem pewarisan itu dapat di temukan dalam berbagai bentuk susunan masyarakat, yaitu :
1. Sistem kewarisan Mayorat hak anak tertua selain dijumpai pada masyarakat patrilineal di tanah Semendo Sumatera Selatan, juga terdapat di Kalimantan
pada masyarakat parental Suku Dayak. 2. Sistem kewarisan kolektif, selain dijumpai pada masyarakat matrilineal di
Minangkabau, dalam batas-batas tertentu dijumpai juga di Ambon dalam masyarakat patrilinel yang di sebut “tanah dati” dan juga di Minahasa dalam
masyarakat bilateral yang disebut tanah “wakesunterananak barang kelakeran”
2.1.3.1. Sistem pewarisan yang berlaku pada mayarakat Karo
Universitas Sumatera Utara
Sistem kekeluargaan masyarakat Suku Batak Karo adalah mayarakat yang menarik garis keturunan dari salahatu pihak saja yaitu dari pihak laki-laki. Dengan
demikian masyarakat ini juga menganut stelsel kebapaan patrilineal di mana si anak meneruskan klan bapak. Ciri dari mayarakat Suku Batak Karo yang berasaskan stelsel
kebapaan adalah bahwa anak laki-laki saja yang dapat meneruskan marga ayahnya dan hanya anak laki-laki jugalah yang menjadi ahli waris dan mendapat bahagian
yang sama. Mengenai sistem kekeluargaan mayarakat karo, Djaja S Meliala 1979:30
mengatakan : Sistem patrilineal dengan sistem perkawinan eksogami dengan membayar uang jujur dari pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan,
membawa akibat bahwa : 1. Mempelai wanita setelah menikah dan setelah di bayar uang jujur harus
mengikuti suaminya, 2. anak–anak yang kemudian lahir dari perkawinan akan mengikuti klan
ayahnya, dan hanya anak laki-laki yang dapat meneruskan keturunan dan menerima warisan.
3. Harta yang di peroleh selama perkawinan adalah milik suami.
Dengan sitem kekeluargaan patrilineal yamg dianut Suku Batak Karo, di mana hanya anak laki-laki yang menjadi penerus garis
keturunan dari orang tuanya maka hanya anak laki-laki yang berhak
Universitas Sumatera Utara
mewarisi harta kekayaan orang tuanya. Atas alasan itu pula maka perempuan di dalam adat masyarakat karo sejak dahulu bukan
merupakan ahli waris.
Namun demikian, dalam prakteknya seorang perempuan Suku Bqatak Karo tidak berarti tidak mendapat sama sekali kekayaan dari
orang tuanya. Seorang perempuan karo juga memperoleh bahagian dari harta peninggalan orang tuanya. Anak perempuan mendapat hak yang di
sebut Hak Buat-Buaten atau hak pakai seumur hidupnya atas bagian tanah dari harta peninggalan tersebut dan tidak dapat di wariskan.
Hak buat-buaten ini pada dasarnya di berikan kepada anak perempuan pada saat pembagian harta warisan. Di samping itu
menurut kebiasaan dari masyarakat karo, pada saat anak perempuan akan melangsungkan perkawinan atau pernikahan, maka orang tuanya
akan melengkapi perhiasan anak tersebut, seperti kalung, cincin, gelang, anting-anting dan perhiasan lain. Pemberian inilah yang
menjadi hak milik anak perempuan. Kadangkala nilai dari pemberian ini melebihi harga dari sebidang tanah. Pemberian yang dilakukan orang
tua terhadap anak perempuannya ini lazim di sebut dengan istilah ”pemere” yaitu pemberian yang di dasarkan kepada ”Keleng Ate”
kasih sayang.
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal kedudukan janda pada masyarakat Karo, setelah kematian suaminya adalah tetap merupakan bagian dari kerabat suami.
Dengan demikian si janda tetap berhak menikmati barang-barang peninggalan suaminya sehingga ia terjamin kehidupannya dan tidak
terlantar. Teridah Bangun menyatakan bahwa kebiasaan dalam masyarakat karo, seorang janda yang di tinggal mati suaminya dapat
memilih tiga kemungkinan, yaitu :
a Kawin lagi dengan saudarakerabat suaminya lakoman
b Tetap tinggal menjanda dalam lingkungan keluarga suami
c Kawin lagi dengan lelaki lain, dalam hal ini ia harus
mengembalikan uang jujur yang diterima oleh keluarganya pada saat ia kawin dahulu.
Karena sistem kekeluargaan patrilineal dan sistem perkawinan dengan membayar uang jujur inilah yang pada akhirnya menyebabkan di dalam hukum adat
masyarakat karo hanya anak laki-laki meneruskan keturunan dan menjadi ahli waris dari harta peninggalan orang tuanya.
2.2. Pandangan Umum tentang Gender
2.2.1. Pengertian Gender
Universitas Sumatera Utara
Pada saat ini kata gender telah memasuki perbendaharaan disetiap diskusi dan tulisan sekitar perubahan sosial. Demikian juga di Indonesia, hampir
semua uraian tentang program pengembangan masyarakat maupun pembangunan di kalangan organisasi pemerintah, non pemerintah diperbincangkan masalah gender.
Apa sesungguhnya gender itu? Dari pengamatan, masih terjadi ketidak jelasan, kesalahpahaman tentang apa yang dimaksud dengan konsep gender dan kaitannya
dengan usaha emansipasi kaum perempuan. Gender difahami dengan cukup bervariasi. Dikatakan demikian, karena dalam
realitas sosial memang kata gender ini banyak yang lari dari konsep semula. Misalnya saja, ketika orang menyebutkan gender, maka konotasi yang muncul adalah
perempuan. Ada juga yang mengartikannya dengan jenis kelamin, sebagaimana yang dimaknai dalam kamus Bahasa Inggris
Sebenarnya, gender bukanlah perempuan, bukan pula jenis kelamin. Tetapi yang dimaksudkan dengan gender adalah sebuah konstruksi sosial budaya yang
dibangun oleh masyarakat berdasarkan jenis kelamin. Gender dapat berubah dalam kurun waktu dan tempat. Gender bukan kodrat yang berlangsung sejak lahir.
Kontruksi sosial budaya yang dibangun laki-laki dan perempuan secara tidak adil, di mana posisi perempuan selalu dilemahkan dengan berbagai macam aturan dan alasan.
Di sinilah ketidakadilan itu muncul. Sehingga sejak berabad-abad yang lalu, nasib kaum perempuan masih saja tertindas. Hal ini dapat dilihat dari fakta sejarah pada
zaman revolusi hijau, dimana pada saat itu banyak kaum perempuan terpinggirkan
Universitas Sumatera Utara
dari perannya sebagai pekerja di bidang pertanian, pelebelan negative stereotipe terhadap jenis kelamin tertentu yang pada umumnya dilekatkan kepada perempuan,
misalnya adanya keyakinan masyarakat bahwa laki-laki adalah pencari nafkah bread winer Fakih, 1999:73-74
Begitu pandangan banyak para pakar gender. Gender kini disosialisasikan memang karena ada persoalan yang menghantam kaum perempuan. Barangkali itulah
sebabnya kalau berbicara soal gender akan sangat terkait dengan masalah yang dihadapi oleh kaum perempuan.
Kosakata gender pertama kali disinggung oleh Ann Oakly 1972 untuk membedakan seks jenis kelamin secara biologis dan realitas konstruksi sosial
budaya atau seks laki-laki dan perempuan. Menurut Oakley 1972 dalam “Sex, Gender and Society” merumuskan gender adalah “pembedaan jenis kelamin yang
bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan, juga merupakan tingkah laku behavioral differences antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh masyarakat socially
constructed melalui proses sosial dan budaya yang panjang Fakih,1999:71. Menurut Julia Cleves Mosse, Gender adalah: Seperangkat peran yang seperti
halnya kostum dan topeng di teater menyampaikan kepada orang lain bahwa kita adalah feminim dan maskulin. Perangkat khusus ini yang mencakup penampilan,
pakaian, sikap, kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumah tangga, seksualitas, tanggung jawab keluarga dan sebagainya secara bersama-sama memoles “peran
gender” kita.Mosse, 1996:3 Selanjutnya Caplan 1987 dalam The Construction of
Universitas Sumatera Utara
Sexualitas, menegaskan bahwa “perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan tidaklah sekedar biologis namun melalui proses sosial dan kultural” Fakih, 1999:72
Gender adalah pembagian peran, kedudukan dan tugas antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan laki-
laki yang dianggap pantas menurut norma-norma, adat istiadat, kepercayaan atau kebiasaan masyarakat, misalnya tugas utama laki-laki mengelola kebun, tugas
perempuan hanya membantu Djohani, 1996:7. Menurut
Inpres Instruksi
Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarus utamaan Gender, gender adalah konsep yang mengacu pada peran-
peran dan tanggungjawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat Kelompok Kerja
Convention Watch UI, 2003:72. Perubahan ini dapat ditandai dengan banyaknya wanita pada saat ini yang bekerja di luar sektor domestik atau bahkan
sebagai pencari nafkah utama pada keluarga. Dari defenisi yang telah dikemukakan diatas, dapat disimpulkan
bahwa gender adalah merupakan suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya.
Gender dalam arti ini mendefenisikan laki-laki dan perempuan dari sudut non biologis tidak bersifat kodrat sedangkan jenis kelamin sex adalah perbedaan yang
Universitas Sumatera Utara
bersifat biologis atau kodrat. Maka untuk memahami konsep gender, harus dibedakan kata gender dengan kata seks jenis kelamin.
Konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya bahwa
perempuan lemah lembut, cantik, emosional, keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Misalnya pula, zaman dahulu di suatu suku
tertentu perempuan lebih kuat dari laki-laki, tetapi pada zaman yang lain dan di tempat berbeda laki-laki lebih lemah dari perempuan. Ciri-ciri dan sifat itu sendiri
merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara ada perempuan yang kuat, rasional dan
perkasa Perubahan ciri dan sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain Fakih, 1999:8-9. Dengan perkataan lain, gender adalah hasil
sosialisasi dan enkulturasi seseorang yang terdiri dari sifat, sikap dan perilaku seorang yang ia pelajari Saparinah, 2000:4.
Hal yang tidak dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan hanyalah kodrat biologis. Perempuan di negara dan suku manapun mempunyai alat reproduksi
yaitu seperti rahim, mempunyai vagina, mengalami menstruasi, dapat hamil, melahirkan serta menyusui. Sedangkan laki-laki kodrat biologisnya adalah memiliki
penis, jakala, dan memproduksi sperma yang dapat membuahi sel telur perempuan. Fakta biologis inilah yang dimaksud sebagai “kodrati” atau suatu konstruks
Universitas Sumatera Utara
bangunan yang tidak dapat dipertukarkan satu sama lain antara laki-laki dan perempuan.
2.2.2 Prinsip Kesetaraan Gender dan Ketimpangannya di Indonesia
Kedudukan dan posisi kaum perempuan dan laki-laki secara teoritis dapat dilihat dari 2 dua sisi, yaitu :
Pertama, bila dilihat secara biologis, perbedaan dan kedudukan sosial antara laki-laki dan perempuan selalu dikaitkan dengan jenis kelamin seks yang masing-masing
dimiliki laki-laki dan perempuan tersebut. Akibat dari perbedaan secara biologis ini, maka tidak jarang berimplikasi jauh terhadap kedudukan sosial social role yang
diperankan oleh kedua pihak. Hal ini tidak jarang membawa dampak perempuan diperlakukan kurang adil diskriminasi dalam menentukan peran dan posisinya
dibandingkan kaum laki-laki. Kedua, bila dilihat secara budaya culture, yaitu perbedaan antara laki-laki dan
perempuan dikonstruksikan mempunyai atau kedudukan bukan disebabkan karena perbedaan jenis kelamin, melainkan merupakan suatu bangunan sosial Social
Construct yang mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan yang terbentuk melalui proses sosialisasi yang selanjutnya dapat melahirkan peranan, kedudukan,
hak dan tanggung jawab, serta kewajiban antara laki-laki dan perempuan dilihat dari realita sosial dimana mereka berada Akbar, 2000.
Universitas Sumatera Utara
Diakui atau tidak, bahwa selama ini banyak ketimpangan relasi yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan. Persoalan ini bukanlah persoalan yang disebut
mengada-ada Junis,19 Juni 2004:16. Persoalan itu bukan isu tetapi adalah sebuah realitas di masyarakat kita. Oleh karena itu, bila kita mau membuka mata dan juga
hati kita, kita baru bisa melihat bagaimana realitas kaum perempuan sebagai akibat dari ketidakadilan gender.
Dengan membuka mata untuk melihat dan menganalisis masalah kaum perempuan berkaitan dengan peran sosialnya di dalam membangun kehidupan yang
setara antara laki-laki dan perempuan itu, maka sebenarnya sangat banyak persoalan yang menghimpit dan memarginalkan kaum perempuan selama ini. Dengan mencoba
mengindentifikasi serta menganalisis realisasi kehidupan kaum perempuan di muka bumi ini, maka di sanalah kita menemukan bahwa selama ini perlakuan diskriminatif
terhadap kaum perempuan. Pandangan, perlakuan atau tindakan diskriminatif terhadap perempuan yang
menghantam kaum perempuan selama berabad-abad ini telah membangkitkan kesadaran terutama kaum perempuan yang mulai terasa bahwa selama ini mereka
ditindas. Ditindas secara sosial, budaya, agama dan lain-lain. Penindasan itu berbentuk sebuah kontruksi sosial, pengkondisian yang
melemahkan kaum perempuan di dalam masyarakat. Dengan pelemahan dan penindasan secara sosial, budaya, agama dan lain-lain, membuat posisi perempuan
Universitas Sumatera Utara
dalam segala sektor kehidupan menjadi sangat terbatas. Keterbatasan ini sering dikatakan karena memang sudah kodratnya kaum perempuan. Sebagai contoh, kodrat
kaum perempuan adalah mengurus suami, anak dan semua urusan rumah tangga. Kodrat laki-laki adalah sebagai kepala keluarga dan sebagainya. Inilah salah satu
bentuk kontruksi sosial dan pengkondisian sosial yang memposisikan perempuan pada posisi yang terpinggirkan. Inilah yang disebut dengan persoalan gender.
Padahal, bila kita mau jujur dan ikhlas melihat hal-hal yang bernama kodrrat dan non kodrat, kita bakal berkata ternyata, yang membedakan antara kaum laki-laki
dengan kaum perempuan hanyalah pada hal-hal yang kodrati yang memang tidak dapat dipertukarkan, seperti mengalami menstruasi haid, melahirkan dan menyusui
yang hanya bisa dilakukan oleh perempuan. Sementara peran-peran sosial baik itu peran domestik rumah tangga maupun peran di sektor publik dapat dipertukarkan.
Inilah apa yang disebut dengan ketidakadilan gender gender injustice. Ketidakadilan tersebut seperti masalah beban ganda double burden yang
harus diemban oleh perempuan, penomorduaan subordination terhadap perempuan, pelebelan stereotype, kekerasan violence serta marginalisasi peminggiran yang
menyebabkan kemiskinan yang parah di kalangan kaum perempuan seperti yang terjadi pada zaman dimulainya revolusi hijau. Bentuk bentuk ketidakadilan ini hingga
saat ini masih terus berlangsung. Kita bisa melihat realitas di sekitar kita. Kita bisa melihat bagaimana perempuan diperlakukan secara tidak adil.
Universitas Sumatera Utara
Ketidakadilan itu justru dipengaruhi oleh cara pandang, sikap dan perbuatan kita terhadap kaum perempuan dengan cara pelebelan dan sebagainya. Dan satu hal
yang sangat sering mempurukkan perempuan ke dalam lembah yang melemahkan perempuan adalah karena persepsi kita tentang apa yang dikatakan kodrat dan non
kodrati. . Tersadar dari kondisi buruk yang melanda kaum perempuan, belakangan ini
muncul sebuah keprihatinan yang melahirkan keinginan dan komitmen untuk memberdayakan dan menguatkan kaum perempuan, baik secara individu maupun
dalam bentuk kelompok yang akhirnya membangun sebuah gerakan bersama. Apabila dilihat pada tingkat global pada dasawarsa tahun 1990-an konsep
gender dan pembangunan diperkenalkan dan dengan cepat menjadi populer. Ciri-ciri utama wawasan gender dan pembangunan adalah sebagai berikut:
a. Wawasan gender dan pembangunan melihat hubungan antara laki-laki dan perempuan secara holistik dan komprehensif, yaitu mengkaji bagaimana
masyarakat terorganisir dalam hubungan gender dalam berbagai dimensinya, seperti dimensi ekonomi, sosial, politik, kebudayaan, pertahanan dan
keamanan dan pembangunan dalam arti luas.
b. Wawasan gender dan pembangunan tidak hanya menaruh perhatian pada fungsi reproduksi perempuan, tetapi pada keterkaitan antara fungsi produksi
baik dalam rumah tangga maupun dalam pasar dengan fungsi reproduksi biologis maupun sosial pola arah.
c. Pertanyaan mendasar yang ingin dipecahkan adalah mengapa perempuan secara sistematik cenderung ditempatkan pada posisi lebih rendah atau
sekunder dalam hubungan dependensi terhadap pria. d. Karenanya wawasan gender dan pembangunan melihat peningkatan peranan
perempuan sebagai upaya, mengubah hubungan gender yang selaras, seimbang dan serasi.
e. Sehubungan dengan itu, intervensi kebijaksanaan dalam meningkatkan peranan perempuan tidak hanya ditujukan kepada kebutuhan praktis
perempuan yang berorientasi kepada kesejahteraan lahiriah semata-mata,
Universitas Sumatera Utara
tetapi pada pemenuhan kebutuhan strategik gender perempuan, kebutuhan mengaktualisasikan diri, kebutuhan untuk memiliki akses dan penguasaan
terhadap sumber dan manfaat pembangunan dan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan Bainar dan Aichi Halik, 1999:15.
Pada umumnya masyarakat berasumsi bahwa bila hukum diterapkan menurut apa yang terumus di dalamnya, maka akan tercipta keadilan. Terdapat pula persepsi
yang luas bahwa hukum mengatur hubungan-hubungan antar manusia secara adil dan tidak memihak. Bila hukum ditinjau melalui paradigma kritis maka persepsi arus
umum main stream yang cukup lama bertahan tanpa digoyang-goyangkan ini akan dipertanyakan, malahan akan ditolak Notosusanto,1997:176.
Di kalangan kaum perempuan sendiri karena terlalu lama dikungkung dalam budaya patriarkhis, kaum perempuan sendiri tidak percaya terhadap kemampuannya
dalam memimpin. Untuk itulah dalam usaha mencapai hukum yang adil dan menyetarakan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam hubungan kemanusiaan,
perlu dilakukan upaya-upaya mempercepat kesetaraan gender di masyarakat kita. Barus 2001:43 menyatakan bahwa berbicara mengenai pengakuan
dan jaminan sebagai prinsip dasar kesetaraan laki-laki dan perempuan, hak dan kewajiban sebagai warganya di Indonesia secara hukum tertulis tercantum dalam
Undang-Undang Dasar 1945, baik sebelum maupun sesudah dilakukannya perubahan atau penambahan amandemen, dan peraturan perundang-undangan lainnya dalam
beberapa pasal-pasalnya mengandung prinsip : a. Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 :
Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
b. Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 : Kemerdekaan berserikat, berkumpul serta mengeluarkan pendapat
Universitas Sumatera Utara
c. Pasal 28 A Undang-Undang Dasar 1945 : Hak untuk hidup, serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
d. Pasal 28 E ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 : Hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
e. Pasal 28 I ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 : Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
f. Pasal 28 I ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945 : Hak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif.
g. Pasal 1 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia DUHAM Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang
sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan.
h. Pasal 2 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia DUHAM Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum
dalam pernyataan ini dengan tidak ada perkecualian apapun, seperti kebebasan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, atau pandangan lain, asal-
usul kebangsaan atau kemasyarakatan.
i. Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang ratifikasi konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita secara substantif diatur dalam Pasal 1-
16. Disingkat dengan CEDAW = Commission on the Elimination of All Types of Discrimination yang mana setelah sepuluh tahun diratifikasi oleh Indonesia
barulah sejumlah wanita yang terdiri dari para pengajar dan aktifitas sejumlah LSM perempuan membentuk kelompok kerja convention watch yang bertujuan
untuk mensosialisasikan substansi dari konvensi wanita.
j. Deklarasi penghapusan kekerasan terhadap wanita Tahun 1993. k. Pasal 45 Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia.
Hak wanita dalam undang-undang ini adalah hak asasi Manusia”. Yang maksudnya bahwa hak asasi manusia itu adalah kepunyaan seluruh manusia tidak
terkecuali perempuan. Dengan demikian dapat dilihat bahwa adanya pengakuan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan di Indonesia sebenarnya secara
formal sudah mendapat pengakuan sejak lama.
l. GBHN 1978 yang mengandung 5 lima esensi pokok: 1 Perempuan mempunyai hak, kewajiban dan tanggung jawab yang sama
dengan laki-laki dalam segala bidang bangunan prinsip kemitra sejajaran. 2 Adanya keselarasan dan keserasian tanggung jawab dan peranan perempuan
dalam keluarga dan dalam masyarakat prinsip peran ganda.
Universitas Sumatera Utara
Amanat GBHN tentang pelaksanaan peran ganda perempuan secara selaras dan serasi secara implisit juga mengandung pengertian pembagian kerja dan
tingkat kesejahteraan yang seimbang, akses dan penguasaan terhadap sumber dan manfaat pembangunan serta partisipasi dalam pengambilan keputusan.
3 Partisipasi perempuan dalam pembangunan dan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mencakup semua faktor pembangunan dan semua aspek
kehidupan prinsip holistikkomprehensif. 4 Tanggung jawab perempuan dalam membina anak balita, remaja, dan generasi
muda prinsip pendidik pertama dan utama. 5 Perlunya peningkatan pengetahuan dan keterampilan prinsip pemberdayaan.
m. GBHN 1983, terjadi perluasan esensi dalam peningkatan kedudukan dan peranan perempuan yaitu dengan dicantumkannya tentang peranan perempuan dalam
kesejahteraan keluarga antara lain melalui gerakan pembinaan kesejahteraan keluarga.
n. GBHN 1988, terjadi lagi perluasan dengan penambahan 2 dua esesi pokok, yaitu :
1 Pengakuan terhadap kodrat perempuan yang seharusnya dilindungi serta harkat dan martabat perempuan yang perlu dijunjung tinggi.
2 Perlunya pengembangan iklim sosial budaya yang lebih menopang kemajuan perempuan.
o. GBHN 1988, terdapat essensi pokok yang sangat memperkuat posisi perempuan. Esensi baru dalam GBHN 1993 adalah :
1 Kemitra sejajaran antara laki-laki dan perempuan secara eksplisit disebutkan. 2 Pentingnya peranan orangtua bukan semata-mata ibu dalam pendidikan
anak. 3 Pengembangan kemampuan dalam peningkatan penguasaan IPTEK oleh
perempuan. 4 Peran aktif perempuan dalam pengambilan keputusan.
5 Peningkatan kemampuan perempuan dalam menghadapi perubahan- perubahan, baik dalam masyarakat maupun dunia internasional.
6 Peningkatan keterampilan, produktifitas, kesejahteraan dan perlindungan tenaga kerja perempuan.
7 Peranan perempuan dalam menangani masalah sosial, ekonomi, yang diarahkan pada pemerataan pembangunan, pengembangan sumber daya
manusia yang berkualitas, dan pemeliharaan lingkungan. p. GBHN 1998 kembali menegaskan bahwa perempuan adalah mitra sejajar laki-
laki, baik sebagai perencana dan pelaksanaan pembangunan maupun sebagai pengambil keputusan, perumus kebijaksanaan dan pemanfaatan hasil
pembangunan. Agar perempuan dapat memberi sumbangan sebesar-besarnya bagi pembangunan bangsa, kualitas dan kedudukan mereka dalam keluarga dan
masyarakat harus ditingkatkan serta didukung oleh keluarga dan masyarakat itu sendiri.
Universitas Sumatera Utara
q. GBHN 1999, mengenai kesetaraan gender dapat disimpulkan bahwa pemerintah atas nama negara harus berusaha menegakkan supremasi hukum dan mewujudkan
perundang-undangan yang berbasis gender. Apabila hal ini terlaksana tentunya membuktikan adanya keseriusan dalam menempatkan kedudukan dan peranan
perempuan. Komitmen ini telah dapat diwujudkan dengan keluarnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang di dalam Pasal 45 disebutkan “Hak
Wanita dalam Undang-undang ini adalah hak asasi manusia” Ketentuan ini menjelaskan bahwa hak asasi manusia itu adalah kepunyaan seluruh manusia
tidak terkecuali perempuan.
2.2.3. Akibat Perkawinan terhadap Kedudukan Laki-laki dan Perempuan di dalam Keluarga
Dalam kehidupan manusia, kita akan melihat kenyataan dimana dua orang yang berlainan kelamin yaitu laki-laki dan perempuan menjalani suatu
kehidupan bersama dalam suatu kesatuan rumah tangga masing-masing yang dalam kehidupan sehari-hari disebut sebagai suami isteri. Untuk mewujudkan kesatuan
rumah tangga yang sehat dan keturunan yang sah dan terbentuk, maka perlulah hubungan tersebut diatur dengan perkawinan.
Dengan adanya perkawinan maka anak atau keturunan yang lahir darinya akan terpelihara karena ada yang bertanggung jawab yaitu orang tuanya yang
sah tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perkawinan inilah yang menjadi pangkal tolak terciptanya pergaulan dan masyarakat yang teratur.
Lebih lanjut
Prawirohamidjoyo 1986:22 mengatakan sebagai berikut
Dasar-dasar dari perkawinan itu dibentuk oleh unsur-unsur alam dari kehidupan itu sendiri: kebutuhan dan fungsi biologik, menurunkan, kebutuhan
akan kasih sayang dan persaudaraan, memelihara anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut dan mendidik anak-anak yang dilahirkan dari
perkawinan tersebut dan mendidik anak itu menjadi anggota-anggota masyarakat, yang sempurna berhargavolwaarding. Bentuk tertentu dari
perkawinan tidak diberikan oleh alam, berbagai bentuk perkawinan itu berfungsi sebagai lembagaperantara.
2.2.3.1. Menurut UU No. 1 Tahun 1974 2.2.3.1.1. Pengertian perkawinan
Universitas Sumatera Utara
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, arti dan tujuan perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seseorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Harahap,
1975:249. Di dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 perkawinan itu diartikan
sebagai Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri. Dengan “Ikatan lahir bathin” dimaksudkan bahwa perkawinan itu tidak hanya
cukup dengan adanya ikatan lahir atau ikatan bathin saja, tapi harus kedua-duanya. Suatu “ikatan lahir” adalah ikatan yang dapat dilihat. Mengungkapkan
dengan suatu hubungan hukum antara pria dan wanita untuk hidup bersama, sebagai suami-isteri, dengan kata lain dapat disebut “hubungan
formal”.Hubungan formal ini nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya, maupun bagi orang lain atau masyarakat.
Sebaliknya, suatu “ikatan bathin” adalah merupakan hubungan yang tidak formil, suatu ikatan yang tidak dapat dilihat. Walaupun tidak
nyata, tapi ikatan itu harus ada. Karena tanpa adanya ikatan bathin, ikatan lahir akan menjadi rapuh.
Hal ini seyogianya dapat dirasakan terutama oleh yang bersangkutan. Dalam taraf permulaan untuk mengadakan perkawinan ikatan bathin ini
diawali hidup bersama. Terjalinnya ikatan lahir dan ikatan bathin, merupakan fondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang
bahagia dan kekal Saleh, 1980:14-15.
Perkawinan yang bertujuan untuk membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal, dapat diartikan bahwa perkawinan itu haruslah
berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja. Pemutusan karena sebab-sebab lain dari kematian diberikan suatu pembatasan yang ketat. Sehingga
suatu pemutusan perkawinan dengan cara cerai hidup hanya merupakan jalan terakhir, setelah jalan lain tidak dapat ditempuh lagi Sitepu, 1998:22.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya ditegaskan pula bahwa pembentukan keluarga yang bahagia dan kekal itu haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai asas
pertama dalam Pancasila. Hadikusuma 1984:88 memberikan pengertian tentang perkawinan adalah sebagai “ikatan dalam arti kenyataan tidak nyata antara pria dan
wanita sebagai suami isteri untuk tujuan membentuk keluarga”.
Selanjutnya dilihat dari sudut pandang etnologi culture antropologie, perkawinan dipandang sebagai suatu perikatan antara seorang pria dan seorang wanita yang bersifat sedemikian rupa sehingga anak-anak yang dilahirkan oleh
si isteri adalah keturunan yang diakui dari kedua belah pihak” Hamidjoyo, 1986:23 Uraian di atas menunjukkan bahwa tiap-tiap perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kehidupan bahagia dalam suatu keluarga dapat dirasakan apabila telah dicapai kesejahteraan lahir dan bathin. Keluarga sejahtera menurut Pasal 1 angka 11 Undang-Undang No. 1
Tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan menyatakan: Keluarga sejahtera ialah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah, mampu memenuhi
kebutuhan hidup yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antara anggota keluarga dan antara keluarga dan masyarakat serta lingkungan.
2.3.1.1.2. Akibat hukum dari suatu perkawinan Suatu perkawinan yang dilangsungkan secara sah menurut hukum
akan menimbulkan berbagai akibat hukum. Akibat hukum dari suatu perkawinan itu pada pokoknya menyangkut 3 hal penting,
yaitu : 1 hubungan suami isteri;
2 hubungan anak-anak yang lahir dari perkawinan itu terhadap hubungannya dengan kedua orang tuanya ayah dan ibunya, serta seterusnya dengan
kerabat ayah dan kerabat pihak ibunya; 3 mengenai harta benda yang diperoleh sebelum maupun selama perkawinan.
Bagaimana akibat hukum suatu perkawinan terhadap 3 hal tersebut di atas, sangat tergantung dari sistem hukum mana hal itu ditinjau, karena masing-
Universitas Sumatera Utara
masing sistem hukum berbeda-beda pengaturannya. Mengenai hal tersebut diatas dapat dilihat sebagai berikut :
ad.1 Mengenai hubungan suami dengan isteri dirumuskan dalam Bab VI dari Pasal 30 sampai dengan Pasal 34. Undang-Undang No. 1 tahun 1974
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 memberikan kedudukan yang seimbang antara suami dan isteri, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun
dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, dan masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 31
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang selengkapnya berbunyi:
1 Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama
dalam masyarakat. 2 Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ada hak dan kedudukan yang seimbang yang dibarengi dengan suatu kewajiban yang
sama pula untuk membina dan menegakkan rumah tangga yang diharapkan akan menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
Dalam pembinaan rumah tangga, berdasarkan Pasal 33 Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 kepada suami laki-laki dan isteri perempuan
dibebani kewajiban moral untuk saling cinta mencintai dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuan masing-
masing.
Suatu rumah tangga yang dibina, haruslah mempunyai tempat kediaman yang tetap, sebagai perwujudan dari hak dan kedudukan yang seimbang
tersebut. Berdasarkan Pasal 32 angka 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, rumah tempat kediaman bersama tersebut ditentukan oleh suami isteri bersama.
Dengan demikian maka dikatakan bahwa di dalam undang-undang No. 1 tahun 1974 berlaku suatu asas yaitu “hak dan kedudukan isteri adalah seimbang
dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam masyarakat demikian pula segala sesuatu dalam rumah tangga dapat
dirundingkan dan diputuskan bersama.
Universitas Sumatera Utara
Walaupun hak dan kedudukan oleh suami isteri adalah seimbang namun suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan
hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya dan sebaliknya isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
ad. 2 Mengenai hubungan anak-anak yang lahir dari perkawinan dengan kedua orang tuanya dan dengan kerabat ayah dan ibunya diatur dalam
Bab X dari Pasal 45 sampai dengan Pasal 49 Menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974
Tentang kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya yang diatur dalam Pasal 45 berbunyi:
1 Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
2 Kewajiban orang tua dimaksud dalam ayat 1 Pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus
meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Dari ketentuan Pasal 45 ayat 2 tercermin adanya persamaan
antara Undang-Undang No 1 tahun 1974 dengan hukum adat pada umumnya khususnya hukum adat Karo, kewajiban orang tua sampai anak kawin atau dapat
berdiri sendiri.
ad.3 Mengenai harta benda yang diperoleh sebelum maupun selama perkawinan terhadap suami isteri diatur dalam Bab VII yang terdiri dari
tiga Pasal yaitu Pasal 35, 36 dan 37
Dalam Pasal 35 disebutkan : 1 Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama. 2 Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Dengan demikian pada asasnya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 mengatur bahwa dalam suatu perkawinan itu ada dua kelompok harta, yaitu harta
Universitas Sumatera Utara
bersama, dan harta bawaan termasuk di dalamnya harta benda yang diperoleh masing-masing berupa hadiah atau warisan.
Menurut Yahya Harahap 1975:249 termasuk pula harta bersama suami isteri, yaitu:
a Segala penghasilan harta benda yang diperoleh selama perkawinan, termasuk penghasilan yang berasal dari barang-barang asal bawaan
maupun barang yang dihasilkan harta bersama itu sendiri. b Demikian juga segala penghasilan pribadi suami isteri baik dari
keuntungan yang diperoleh dari perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan masing-masing pribadi sebagai pegawai.
Tentang pengertian harta bawaan itu sendiri tidak ada diatur dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974, namun dari namanya “harta bawaan” maka
harta tersebut harus sudah dimiliki oleh masing-masing suami atau isteri sebelum perkawinan. Tentang bagaimana caranya harta itu diperoleh tidak
menjadi masalah. Sedangkan mengenai harta benda yang diperoleh masing- masing sebagai hadiah atau warisan yang dimaksud dalam Pasal 35 ayat 2
tersebut tentulah hadiah atau warisan yang diperoleh masing-masing suami atau isteri selama dalam ikatan perkawinan, karena jika diterimanya sebelum
perkawinan maka tentu masuk dalam pengertian harta bawaan.
2.2.3.2. Menurut hukum perkawinan adat Karo 2.2.3.2.1. Pengertian perkawinan
Pengertian perkawinan pada masyarakat Karo berbeda dengan pengertian perkawinan umumnya yaitu adanya ikatan antara seorang wanita dengan seorang pria
Universitas Sumatera Utara
dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga, tetapi mempunyai arti yang sangat luas karena perkawinan itu bukan hanya masalah antara pihak wanita dan pria
saja tetapi menjadi masalah kedua keluarga para pihak laki-laki dan perempuan. Dengan kata lain bahwa apabila seorang laki-laki mau kawin, di dalam menentukan
siapa yang menjadi calon isterinya, bukan hanya si laki-laki tersebut, tetapi yang menentukan ikut juga keluarga atau orang tua si laki-laki tersebut. Demikian juga
seorang perempuan di dalam menentukan siapa yang menjadi calon suaminya, bukan hanya terserah kepada si wanita tersebut, tetapi keluarga, dan orang tua siwanita
tersebut ikut menentukan. Malah kadang-kadang suatu perkawinan bisa tidak jadi dilaksanakan apabila salah satu orang tua dari pihak-pihak yang mau kawin tidak
setuju. Hal ini adalah disebabkan salah satu tujuan perkawinan itu adalah untuk
memperluas kekeluargaan pebelang kade-kade Purba, 1992:93.
Selain itu perkawinan juga mempunyai tujuan melanjutkanmeneruskan keturunan generasi laki-laki atau marga, karena hanya
anak laki-laki saja yang dapat meneruskan garis marga. Fenomena sosial, nilai- nilai serta adat kebiasaan di dalam masyarakat telah meligitimasi bahwa
kedudukan dari anak laki-laki berada pada level yang lebih tinggi dari anak perempuan. Berbagai kedudukan sosial serta pemaknaan yang dibuat oleh
masyarakat mengenai anak laki-laki dapat menimbulkan permasalahan bagi keluarga yang tidak mempunyai keturunan anak laki-laki. Kehadiran seorang
Universitas Sumatera Utara
anak laki-laki secara adat dapat diartikan sebagai pewaris marga dan juga berkedudukan sebagai orang yang dapat melindungi saudara perempuan mereka.
Walaupun anak laki-laki tersebut masih kecil ia dapat dijadikan sebagai benang merah yang menghubungkan ikatan kerabatan antara suatu keluarga dengan
saudara laki-laki ayahnya father brother serta orang-orang yang semarga dengan ayahnya. Semua anak laki-laki akan memperoleh kedudukan yang sama
dan sederajat dengan ayahnya, sama-sama menjadi kalimbubu dari saudara perempuan ayah father sister atau bibi-bengkila beserta anak-anaknya dan
saudara perempuan mereka sendiri. Namun bukan berarti anak perempuan tidak mempunyai arti dalam masyarakat Karo, kedudukan anak perempuan pada
masyarakat Karo demikian pentingnya karena dari anak perempuan itulah lahir ikatan kekeluargaan sebagai anak beru.
Karenanya suku Karo mengenal adanya konsep yang melukiskan anak laki- laki dan anak perempuan dengan matahari dan bulan. Hal ini dapat dilihat pada setiap
upacara perkawinan adat, oleh pihak sangkep sitelu yang berbicara memberikan nasehat dan doa restu selalu mengharapkan agar penganten memperoleh anak dengan
istilah matahari anak laki-laki dan bulan anak perempuan Sitepu, 1998:21. Laki-laki yang mengikatkan diri dengan seorang perempuan
dinamakan suami, sedangkan perempuan yang juga mengikatkan diri dengan seorang laki-laki dinamakan isteri. Di dalam masyarakat Batak Karo, suami disebut
Perbulangen dan Isteri disebut Ndahara. Perbulangen berasal dari kata Bulang yang artinya, topi. Oleh karena itu pada masyarakat Batak Karo seorang suami
dilambangkan sebagai topi yang berfungsi sebagai pelindung kepala, juga berfungsi
Universitas Sumatera Utara
sebagai pelindung bagi isteri dan anak-anaknya pelindung keluaga Saragih, 1980:30.
Di samping arti dan tujuan perkawinan pada masyarakat Karo seperti yang telah diuraikan di atas yaitu memperluas kekeluargaan pebelang kade-kade dan
meneruskan keturunan laki-laki atau marga, maka masyarakat Batak Karo juga menganut sistem perkawinan yang exogami yaitu pada prinsipnya seseorang harus
kawin dengan orang lain yang berasal dari klen marga yang berlainan. Dengan kata lain bahwa orang yang berasal dari klan yang sama dilarang untuk melakukan
perkawinan kecuali marga “Sembiring dan Perangin-angin”. Syarat-syarat
perkawinan yang ditetapkan oleh hukum adat
berbeda-beda menurut daerah masing-masing. Bagi suku bangsa Karo, secara umum perkawinan itu mulai dianggap sah, setelah selesai pembayaran uang jujur
unjuken pada waktu pelaksanaan pesta perkawinan baik pesta itu diadakan secara besar-besaran maupun secara kecil-kecilan.
Oleh karena adanya pembayaran uang jujur pada masyarakat Karo maka bentuk perkawinannya dikenal dengan bentuk perkawinan Hukum Kebapaan
artinya sifat yang terpenting dalam perkawinan ini adalah dengan pembayaran uang jujur.
Menurut Hadikusuma 1995:88, perkawinan adat mengenal beberapa bentuk, sebagaimana dikemukakan sebagai berikut:
….. dalam masyarakat patrilineal berlaku perkawinan dengan pembayaran jujur, dalam masyarakat matrilineal berlaku adat
perkawinan semanda, dan dalam masyarakat parental atau bilateral berlaku adat perkawinan bebas. Ketiga bentuk perkawinan itu membawa
akibat hukum yang berbeda, terhadap kedudukan suami isteri, terhadap anak keturunan dan terhadap harta perkawinan.
Perkawinan dengan pembayaran uang jujur unjukan adalah suatu bentuk perkawinan yang dilakukan dengan penyerahan sejumlah barang-barang magis atau
Universitas Sumatera Utara
sejumlah uang dari keluarga pihak laki-laki kepada pihak keluarga perempuan yang berfungsi sebagai pengganti atau sebagai pembeli tukur atas berpindahnya
siperempuan ke dalam klen si laki-laki mengembalikan keseimbangan magis di keluarga pihak perempuan.
Perkawinan jujur
ini adalah salah satu bentuk perkawinan
mempertahankan susunan kekeluargaan berhukum kebapaan patrilineal, hal ini dilatar belakangi bahwa dengan dilakukannya pembayaran uang jujur maka si
isteri perempuan akan dibawa masuk kedalam pihak keluarga si suami laki- laki. Hubungan dengan marga orang tuanya menjadi terputus. Dengan demikian
nantinya apabila siwanita melahirkan anak, maka sianak yang lahir itu tidak menuruti marga dari siwanita itu melainkan menuruti marga dari laki-laki yang
menjadi suami perempuan ayah sianak tersebut. Seperti yang telah dijelaskan bahwa perkawinan yang tidak disertai adanya
pembayaran uang jujur pada dasarnya dianggap perkawinan itu tidak sah menurut adat. Akan tetapi ada juga perkawinan yang dilaksanakan tanpa dilakukan
pembayaran uang jujur, perkawinan itu dianggap sah menurut adat. Hal ini kita jumpai dalam perkawinan Lakoman Leviraat Huwelijk dan perkawinan Gancih abu
Ver vang en Vervolg Huwelijk. Perkawinan
Lakoman adalah suatu perkawinan dimana seorang janda yang ditinggalkan oleh suaminya karena meninggal dunia kawin lagi dengan saudara laki-
laki suaminya.
Universitas Sumatera Utara
Perkawinan Gancih abu adalah suatu perkawinan dimana suami yang
ditinggalkan oleh isteri karena meninggal dunia kawin lagi dengan saudara perempuan isterinya.
Dalam perkawinan
Lakoman dan perkawinan Gancihabu, penyerahan jujur tidak dilakukan lagi karena kedua belah pihak yang mau kawin masih ada di dalam
lingkungan keluarga masing-masing dan cukup hanya disyahkan oleh pihak kalimbubu dengan membawa manuk megersing ayam kuning yang akan diserahkan
kepada pihak kalimbubu.
2.2.3.2.2. Akibat hukum dari suatu perkawinan pada masyarakat Karo
Pada masyarakat
Suku Batak
Karo dengan adanya pembayaran uang jujur pada pelaksanaan perkawinan juga membawa tiga akibat terhadap
perkawinannya yaitu :
a. Hubungan Suami dengan Isteri
Bahwa isteri masuk kedalam klen marga suaminya: Setelah isteri berada di tangan suami, maka isteri dalam segala
perbuatan hukumnya harus berdasarkan persetujuan suami, atas nama suami atau atas persetujuan kerabat suami. Isteri tidak boleh bertindak
sendiri, oleh karena ia adalah pembantu suami dalam mengatur kehidupan rumah tangga, baik dalam hubungan kekerabatan maupun
dalam hubungan kemasyarkatan Hadikusuma, 1995:73.
Keadaan tersebut berlangsung tidak hanya selama ikatan perkawinan saja, melainkan berjalan terus walaupun sisuami telah meninggal dunia, namun
kedudukan sisuami terhadap janda dilanjutkan oleh kerabat mendiang suaminya. Hubungan antara sijanda dengan kerabat suaminya baru terputus apabila sijanda
Universitas Sumatera Utara
melakukan suatu tindakan hukum berupa pengembalian uang jujur yang semula telah diterima kerabatnya dari kerabat mendiang suaminya itu.
Tentang kedudukan seorang janda terhadap kerabat mendiang suaminya dalam masyarakat Batak, di dalam pertimbangan hukum putusan RVJ.
T. 148489 disebutkan bahwa menurut hukum adat Batak bagi seorang janda ada 3 kemungkinan, yaitu :
a. Kawin lagi dengan salah seorang dari karib mendiang suaminya Leviraat Huwelijk;
b. Tetap tinggal tidak kawin dalam lingkungan keluarga mendiang suaminya, dengan demikian dia berhak atas anak-anaknya.
c. Dengan melakukan tindakan hukum untuk memutuskan hubungan yang telah ada antara sijanda dengan keluarga mendiang suaminya Datuk Usman, Diktat
Hukum Adat, 42.
b. Hubungan Anak-anak yang Lahir dari Perkawinan dengan Orang Tuanya dan dengan Kerabat Ayah dan Ibunya
Sebagai konsekwensi
dari perkawinan dengan pembayaran uang
jujur adalah semua anak yang lahir dari perkawinan itu masuk kedalam klen marga si ayah. Anak-anak baik laki-laki maupun perempuan berhak memakai
marga dari ayahnya. Ayah dibebani kewajiban menanggung seluruh kebutuhan hidup dan pendidikan sianak sampai ke kawin. Apabila perkawinan orang tuanya
putus karena perceraian semua anak-anak harus tetap tinggal bersama dengan ayahnya.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai masyarakat
yang menganut sistem kekerabatan yang
patrilineal, maka yang berhak meneruskan garis keturunan ayahnya pada masyarakat Karo adalah anak laki-laki. Demikian juga dalam menerima warisan dari kedua
orang tuanya menurut hukum adat Karo hanyalah anak laki-laki saja. Namun sejak tahun 1961 hal tersebut telah menunjukkan adanya pergeseran kearah adanya
persamaan hak antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam menerima warisan dari orang tuanya. Hal tersebut ditandai dengan lahirnya Jurisprudensi Mahkamah
Agung RI tanggal 1 November 1961 No. 179 KSIP1961 Jo. putusan Pengadilan Tinggi Medan tanggal 29 Desember 1959 No. 2041958 Jo. Putusan Pengadilan
Negeri Kabanjahe tanggal 8 September 1958 No 51957, oleh Mahkamah Agung RI dinyatakan :
Bahwa berdasarkan selain atas rasa perikemanusiaan dan keadilan umum juga atas hakikat persamaan hak antara pria dengan wanita, dalam
beberapa keputusan diambil sikap dan menganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia bahwa anak perempuan dan laki-laki seorang
peninggal harta, bersama hak atas harta warisan; dalam arti bahwa bahagian anak laki-laki adalah sama dengan bahagian anak perempuan.
Datuk Usman, Diktat Hukum Adat, 209
Hubungan hukum antara anak-anak dengan kerabat ayahnya pada masyarakat Karo sangat erat, karena kerabat ayahnya harus bertanggung jawab untuk
menggantikan kedudukan dan tanggung jawab dari ayahnya, dalam hal siayah meninggal dunia. Anak-anak juga dapat bertindak sebagai ahli waris dalam keluarga
kerabat ayahnya, apabila kelompok utama penerima warisan tidak ada. Tentang hubungan anak-anak dengan ibunya dan kerabat ibunya menurut
hukum adat Karo secara hukum tidak ada, tetapi secara moral bahwa anak-anak yang
Universitas Sumatera Utara
dilahirkan dari perkawinan itu berkewajiban untuk mengabdi dan bertanggung jawab penuh melaksanakan pekerjaan-pekerjaan dalam setiap acara-acara adat yang
diselenggarakan oleh pihak kerabat ibunya.
c. Harta Benda yang diperoleh Sebelum maupun Selama Perkawinan