Perlakuan yang setara oleh orang tua terhadap anak-anak

4.2. Pembahasan

4.2.1. Kedudukan Perempuan Suku Batak Karo dalam Pembagian Harta Warisan

Dalam hukum waris Suku Batak Karo yang menganut pola hubungan patrilineal, di sebutkan bahwa anak perempuan tidak menjadi ahli waris dari harta orang tuanya. Hal itu dikarenakan anak perempuan nantinya akan keluar dari keluarga asalnya dan masuk ke keluarga pihak suaminya apabila ia kelak menikah. Mengenai pembagian warisan yang terjadi di keluarga informan, dari hasil penelitian ditemukan hal yang sangat bertolak-belakang dengan adat istiadat yang dianut oleh masyarakat Karo pada umumnya. Dimana pada kelurga ini pembagian warisan dilakukan dengan konsep bahwa anak laki-laki dan anak perempuan mendapat hak yang sama sedangkan anak bungsu menndapat hak yang lebih besar setelah ia diberi kelebihan dari sisa pembagian dengan hak yang sama tersebut. Sistem pembagian warisan ini dapat terjadi pada keluarga informan ternyata disebabkan oleh beberapa hal yaitu :

a. Perlakuan yang setara oleh orang tua terhadap anak-anak

Perlakuan yang setara oleh orang tua terhadap anak-anak ini dilakukan oleh orang tua informan terhadap seluruh anak-anaknya. Dimana perlakuan itu dapat dilihat dari kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan dan tanggung jawab dalam melaksanakan pekerjaan di rumah tangga. Universitas Sumatera Utara Untuk mendeskripsikan tentang pembagian warisan yang berlangsung pada keluarga informan, maka terlebih dahulu di jelaskan tentang keluarga informan yang menjadi sumber informasi pada penelitian ini. Informan merupakan anak kedua dari 11 bersaudara dimana terdiri dari 3 laki-laki dan 8 perempuan. Anak pertama, kelima dan yang bungsu adalah anak laki- laki, sedangkan yang lain adalah anak perempuan. Kedua orang tua mereka adalah asli orang Karo dimana ayah yang bernama KG dan ibu yang bernama S Br T. KG latar belakangnya adalah seorang militer, dan setelah pensiun dari militer berprofesi sebagai pengusaha angkutan, sedangkan S Br T adalah seorang pedagang emas dan batu permata. Iinforman S Br G menuturkannya sebagai berikut : Kami adalah sebuah keluarga besar, dimana kami 11 bersaudara, 8 perempuan dan 3 laki-laki. Anak tertua bapak adalah laki-laki lalu saya anak nomor 2. anak no 3 dan 4 perempuan lalu anak no 5 dan si bungsu adalah laki- laki. Pembagian harta warisan di keluarga kami dilakukan setelah kedua orang tua kami meninggal. Ya kalu bapak KG meninggal telah cukup lama yaitu tahun 1992. sedangkan ibu S Br T meninggal pada tahun 1998 Keseluruhan anak-anak memiliki pendidikan yang cukup, dimana keseluruhan dari anak-anak ini menyelesaikan pendidikan pada level sarjana Strata I. Responden sendiri dilahirkan dikota medan, pada saat ini telah berusia 58 tahun. Dia bersekolah dari sejak sekolah dasar sampai menyelesaikan pendidikan sarjananya di kota Medan. Mengapa kami semua dapat menyelesaikan pendidikan sampai kepada level sarjana Strata I, dahulu kedua orang tua kami yang meminta supaya paling tidak kalian semua harus menyelesaikan pendidikan sampai sarjana. Mereka tidak Universitas Sumatera Utara membedakan apakah itu anak laki-laki atau anak perempuan, semua anak-anak harus bisa sampai pada tahap itu. Semua anak-anak memiliki kesempatan yang sama untuk mengecap pendidikan. Demikian ujar responden menirukan ucapan ayahnya. Kemudian harapan orang tua itu kami penuhi dengan kami semua anak- anaknya berhasil menyelesaikan pendidikan sampai pada tahap sarjana walaupun pada saat bapak meninggal dunia baru 7 orang anaknya yang telah menyelesaikan pendidikan sampai pada tahap sarjana. Kemudian tiga adik saya menyelesaikan pendidikan sarjana mereka tepat sebelum ibu meninggal dunia. Hanya adik bungsu saya yang laki-laki menyelesaikan sarjana setelah kedua orang tua kami tiada. Dalam urusan kerier, semua kami bekerja, 6 orang bekerja sebagai pegawai negriBUMN termasuk saya, 3 orang bekerja sebagai pegawai swasta dan dua saudara saya berwiraswasta dengan bekerja sebagai kontraktor. Secara umum keseluruhan kami telah mapan dalam hal ekonomi walaupun tidak dikatakan berlebihan. Untuk lebih jelasnya tentang keluarga informan dapat di lihat pada tabel di bawah ini : Tabel 1. Identitas informan No N a m a Jenis Kelamin Agama Pekerjaan Domisili Status 1 YG Laki-laki Kristen PNS Medan Menikah 2 S Br G Perempuan Kristen BUMN Medan Menikah 3 H Br G Perempuan Kristen BUMN Medan Menikah 4 C Br G Perempuan Kristen PNS Medan Menikah 5 RG Laki-laki Kristen Kontraktor Medan Menikah 6 N Br G Perempuan Kristen Peg Swasta Jakarta Menikah 7 P Br G Perempuan Kristen PNS Bekasi Menikah 8 J Br G Perempuan Kristen Kontraktor Jakarta Menikah Universitas Sumatera Utara 9 S Br G Perempuan Kristen PNS Kabanjahe Menikah 10 N Br G Perempuan Kristen Peg Swasta Jakarta Menikah 11 HG Laki-laki Kristen Kontraktor Medan Menikah Sumber data diolah S Br G merupakan anak kedua anak perempuan tertua menikah dan memiliki 3 anak, 1 perempuan dan 2 laki-laki. Suami saya NGS juga pensiunan pegawai BUMNPerkebunan. Anak-anak saya semuanya telah menyelesaikan pendidikannya sampai pada level Strata I sarjana. Namun belum ada yang berumah tangga. Informan lain yang menjadi sumber data utama pada penelitian ini adalah anak nomor 4. Informan ini C Br G merupakan anak perempuan, bekerja sebagai PNS di Kabupaten, telah menikah dan memiliki 2 orang anak. Bersuamikan TK, pegawai swasta. Dalam hal tanggung jawab pada pelaksanaan tugas rumah tangga, keluarga informan juga menerapkan prinsip kesetaraan dimana tugas-tugas dalam rumah tangga itu bukan semuanya tanggung jawab anak ibu dan anak perempuan. Anak perempuan pada Suku Batak Karo secara umum dianggap mempunyai derajat yang lebih rendah bila dibandingkan dengan anak laki-laki, hal ini tidak terlepas dari adat ataupun norma yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari Bangun, 1998:28. Dari masa kecil, anak laki-laki dan perempuan sering diperlakukan tidak sama. Penekanan pengasuhan orang tua dalam keluarga diutamakan terhadap anak-anak laki-laki sebagai penopang hidup dan menjadi panutan hidup dalam berkeluarga. Sedangkan perempuan sebagai penakut yang sering diabaikan. Universitas Sumatera Utara Kemudian hal ini tetap berlanjut dan waktu beranjak dewasa perbedaan tersebut lebih jelas, dimana laki-laki dijunjung tinggi dalam adat, tidak boleh dibantah secara langsung, sehingga anak istri harus segan dan hormat terhadap suami. Hal ini dilatar belakangi bahwa masyarakat Karo selalu mengidentikkan laki-laki dengan kalimbubu dimana kedudukan kalimbubu sebagai pihak yang sangat dihormati. Malah acapkali karena begitu dihormati seringkali pula diidentikkan dengan Dibata Siniidah Tuhan yang nampak. Dalam sistem masyarakat Suku Batak Karo tradisional dengan mata pencaharian utama adalah bertani, pria dan wanita terlibat bekerja di ladang. Dalam kenyataannya wanita mempunyai peranan yang lebih besar di pertanian dan dalam hal pekerjaan rumah tangga, dimana wanita juga turut menjaga anak, bekerja dan memasak. Citra ini terus menerus disosialisasikan kepada anak perempuan. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari terlihat bahwa perempuan Suku Batak Karo sangat menghormati laki-laki dan patuh kepadanya kemudian menganggap laki-laki lebih tinggi kedudukannya dan perlu dijunjung tinggi derajatnya. Mengapa demikian keadaannya, ada suatu harapan dan idaman bagi perempuan Suku Batak Karo yang tercermin dalam budaya masyarakat Karo, yaitu: Tuah, Sangap dan Mejuah-juah Bangun, 1998:29. Tuah berarti menerima berkah dari Tuhan untuk mendapat keturunan, banyak kawan dan sahabat, cerdas dan gigih. Sangap berarti mendapat Universitas Sumatera Utara rejeki, kemakmuran bagi pribadi, anggota keluarga, masyarakat serta generasi yang akan datang. Mejuah-juah memiliki arti sehat, sejahtera lahir bathin. Demikian pula apabila kita lihat dalam literatur kuno, kedudukan perempuan Karo sangat rendah. Titik tolak mereka beranggapan demikian adalah: Djaja S Meliala dan Aswin Perangin-Angin, 67 1. Emas kawin tukur yang membuktikan bahwa perempuan dijual. 2. Adat lakoman leviraat yang membuktikan bahwa perempuan itu diwarisi oleh saudara dari suaminya yang telah meninggal. 3. Perempuan tidak mendapat warisan 4. Perkataan “naki-naki” yang menunjukkan bahwa perempuan adalah makhluk tipuan dan lain-lain. Pendapat yang demikian adalah dangkal, seperti diketahui bahwa emas kawin atau uang jujur atau tukur hanyalah simbol dari perubahan status. Perempuan jika telah melangsungkan perkawinan dianggap tergolong kepada kelompok lain karena telah menerima uang jujur dari pihak laki-laki. Lakoman leviraat dalam adat Karo bukanlah paksaan, karena isteri yang ditinggal karena suami meninggal mempunyai 3 tiga kemungkinan Menurut RVJ T.148489, yaitu: 1. Kawin lagi dengan karib suami 2. Tidak kawin lagi, tetapi tinggal dalam lingkungan keluarga suami 3. Melakukan suatu tindakan hukum untuk memutuskan hubungan yang telah ada antara dia dengan keluarga suaminya.Datuk Usman,169 Universitas Sumatera Utara Dalam hal warisan walaupun anak perempuan tidak berhak sebagai ahli waris dari harta kekayaan orang tuanya, bukanlah menyatakan bahwa perempuan Karo itu rendah kedudukannya, asumsinya jika ia kawin maka ia akan meninggalkan kelompok marga ayahnya dan masuk kelompok marga suaminya, karena suaminya kelak akan mewaris harta kekayaan orang tuanya sendiri. Dalam lapangan keagamaan, perempuan Karo memegang peranan penting. Seperti kita ketahui bahwa agama perbegu atau animisme dahulu sangat banyak penganutnya di daerah Karo. Perbegu animisme adalah percaya kepada roh, untuk menghubungkan antara manusia dengan roh diperlukan “guru sibaso” dukun, dimana “guru sibaso” dukun seluruhnya dipegang oleh perempuan. Demikian pula di dalam perundingan-perundingan sering kali suara perempuan yang menentukan, paling tidak sangat mempengaruhi keputusan, baik di dalam keluarga dan masyarakat. Dengan contoh uraian yang dikemukakan di atas, jelas bahwa kedudukan perempuan Karo bukanlah rendah tetapi, perlu diperhitungkan Sembiring, 2003:45. Pada penelitian ini, informan menyatakan bahwa sikap orang tua mereka pada masa petumbuhan sampai pada saat menikah sangat memberikan kebebasan pada semua anak-anak. Dimana tidak ada perbedaan perlakuan terhadap anak laki-laki atau anak perempuan. Semua pekerjaan harus dilakukan secara bersama atau dilakukan oleh siapa saja yang memiliki waktu luang, selain tentu saja terdapat pembagian tugas yang jelas. Seperti penuturan informan sebagai berikut : ”Saya masih ingat ketika adik saya yang nomor enam masih kecil bayi, red, waktu itu abang saya yang tertua bersekolah masuk siang. Sementara saya masuk pagi begitu pula dengan dua adik saya yang lain telah bersekolah. Bapak dinas di Militer dan di tempatkan diluar kota Medan. Sebelum saya berangkat saya telah memasak makanan untuk makan siang, tetapi untuk mencuci dan membersihkan rumah itu menjadi pekerjaan rutin abang selama kurang lebih delapan bulan sampai kenaikan kelas. Dimana setelah itu ia masuk pagi lagi. Coba anda bayangkan bagaimana sibuknya dia pada waktu Universitas Sumatera Utara itu. Selain harus menjaga adik nomor lima yang masih balita yang sedang lasak-lasaknya, dia harus mencuci pakaian kami semua dan membersihkan rumah. Mencuci dan membersihkan rumah jelas merupakan pekerjaan perempuan, namun dengan posisi anak tertua dan jelas tidak mengganggu jadwal sekolah maka ia yang berkewajiban mengerjakannya.” “Tugas” adalah kewajiban, sesuatu yang wajib dikerjakan atau yang ditentukan untuk dilakukan Purwadarminta, 1994:1094. “Fungsi” adalah jabatan yang dilakukan; pekerjaan yang dilakukan. Misal, jika ketua tidak ada, maka wakil ketua melakukan Purwadarminta, 1994:283. “Wewenang” adalah hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu Purwadarminta, 1994:150. Untuk lebih memperjelas kesetaraan dalam pelaksanaan tugas-tugas di rumah tangga keluarga informan, dapat dilihat dari penjelasan di bawah ini yaitu: a Bidang produksi yaitu hasil atau penghasilan. Yaitu sesuai dengan pekerjaan informan b Kebutuhan pokok yaitu hal yang terutama atau yang terpenting, misalnya kebutuhan sehari-hari, antara lain: 1. Memasak 2. Mencuci pakaian 3. Membersihkan rumah ad. a Tugas, fungsi, wewenang perempuan dalam bidang produksi hasil atau penghasilan Universitas Sumatera Utara Hasil penelitian memperlihatkan bahwa tugas perempuanistri di keluarga informan tidak terbatas pada skala domestik saja. Hal ini dapat dilihat pada kebiasaan yang berlaku dikeluarga tersebut, dimana seperti yang dituturkan informan sebagai berikut : Pada saat bapak masih berdinas, anda pasti tahu kegiatan dari istri prajurit, yaitu harus ikut kegiatan istri2 tentara. Selain itu juga ikut kegiatan gereja tentunya yang jelas dilakukan ibu sampai dia tua. Pada waktu bapak masih dinas Ibu sudah mulai berdagang perhiasan dan batu permata. Mengapa ibu nelakukan demikian jelas karena penghasilan bapak tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup kami. Ibu berjualan perhiasan kepada sesama istri prajurit, dimana dagangan ibu diambil dari temannya dengan kontan lalu dikreditkan dengan membayar cicilan biasanya 3 atau empat kali tergantung nilai barang yang diperjual-belikan. Tentang mengapa ia harus membantu suaminya menafkahi keluarga, informan ingat ucapan ibunya yang mengatakan : Adi enggo erjabu 1+1 lanai bo 2 tapi 1+1 = 1, ertina: adi perbulangenta mesera tentu kita pe mesera nge siakap ras anak-anak ta. Jadi sianggaplah perbulangenta e pe dagingta nge. Emaka labo salah adi sidiberu pe ikut encari janah adi sinen kegeluhen sigundari harus nge duana erdahin gelah banci maju. maksudnya, kalau sudah berumah tangga 1 + 1 bukan 2 tapi 1 + 1 = 1, artinya kalau suami susah tentu kita juga susah berikut anak-anak kita. Jadi dianggaplah suami kita itu badan kita juga. Dari itu tidak salah apabila istri ikut bekerja mencari nafkah lagipula apabila kita lihat kehidupan sekarang haruslah suami istri bekerja mencari nafkah supaya bisa maju. Selain itu bapak juga selalu mengatakan bahwa dalam keluarga yang harus diutamakan adalah kepentingan bersama, kalau ada yang bisa menggantikan kerjaan selama kewajiban kita tidak terganggu apa salahnya… Seperti yang diucapkan informan mengutip perkataan ayahnya : Labo kuakap lit salahna bicara kami perbulangen pesigantiken dahin ndehara, labo pedah cari makan dahin i rumah pe labo masalah, apaika adi ndehara mbaru mupus. Maksudnya, tidak menjadi masalah kalau suamipun menggantikan pekerjaan istri, tidak harus cari makan saja yang digantikan, pekerjaan di rumah pun tidak menjadi masalah, apalagi kalau istri baru melahirkan. Universitas Sumatera Utara Jadi dulu bapak dan ibu selalu menegaskan bahwa apabila mereka masing-masing bekerja adalah untuk kepentingan bersama, dan rejeki yang di dapat adalah rejeki bersama yang datangnya dari Tuhan. Ad. b Kebutuhan pokok yaitu hal yang terutama atau yang terpenting, misalnya kebutuhan sehari-hari, antara lain: 1. Memasak 2. Mencuci pakaian 3. Membersihkan rumah Dalam hal urusan mengenai pekerjaan yang bersifat rumah tangga dan merupakan pekerjaan mendasar atau pokok seperti yang disebutkan diatas, informan berpendapat bahwa di keluarganya hal itu di tanggung jawabi secara bersama-sama oleh seluruh anggota keluarga. Sebagai orang yang bertanggung jawab untuk pekerjaan itu adalah ibu tentunya, namun mengingat kegiatan ibu yang berjualan dan ikut kegiatan isteri tentara maka yang lebih sering mengerjakannya adalah kami semua anak-anak bapak dan ibu. Hal ini berlangsung terus sampai pada ahirnya kondisi keuangan keluarga membaik dan diambil pembantu rumah tangga untuk membantu pekerjaan di rumah. Namun untuk berbelanja ibu masih tetap melakukannya walaupun ada pembantu. Demikian juga pada hari hari tertentu,misalnya ada peringatan ulang tahun salah satu anggota keluarga maka ibu akan memasak. Bapak juga senantiasa membantu pekerjaan dirumah bila ia sedang santai, mengenai kebiasaan bapak membantu pekerjaan di rumah ibu pernah mengatakan : Universitas Sumatera Utara Nai diberu latihkel erdahin selain kujuma, i rumahpe erdahin ka termasuk nge ngurus anak-anak. Perbulangen sidilaki buen nge ikede. Tapi adi gundari enggo maju cara rukur, labo saja sidiberu tapi sidilaki pe. Emaka lanai bo menjadi masalah adi dilaki perbulangen pe ikut erdahin i rumah. Maksudnya, dahulu perempuan istri sangat letih bekerja karena selain bertani, di rumah juga termasuk mengurus anak juga dikerjakan oleh istri. Suami kebanyakan duduk-duduk di warung kopi. Tetapi kalau sekarang sudah maju cara berpikir, bukan saja cara berpikir perempuan saja tetapi cara berfikir laki-laki. Sehingga tidak lagi menjadi masalah kalau suami laki-laki mengerjakan pekerjaan rumah. Jadi sebenarnya di keluarga kami, semua pekerjaan itu menjadi tanggungjawab bersama seluruh anggota keluarga. Dimana setiap anggota keluarga memiliki tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Tentang pelaksanaan pembagian warisan yang terjadi pada keluarga informan, didapat informasi sebagai berikut : S Br G sebagai informan utama menyatakan : Seperti yang saya sebutkan diatas bahwa walaupun kami orang Karo yang yang menganut kekerabatan patrilineal, namun sistim itu diterapkan hanya dalam penerusan marga bapak kami. Sedangkan hal lain yang juga tak kalah menentukan sistem patrilineal itu tidak kami anut yaitu hal-hal mengenai pembagian harta warisan. Disini saya katakan bahwa kami anak perempuan juga mendapat hak yang sama dengan anak laki-laki, dimana jumlah yang kami peroleh pada saat pembagian harta warisan orang tua kami sama dengan jumlah yang di dapat saudara laki-laki kami. Sedangkan C Br G menyatakan : Memang orang Karo itu dikenal sangat patrilineal, dimana penerusan marga ayah menjadi ciri utama, selain itu juga pewarisan yang mengutamakan anak laki-laki. Namun pada saat ini pasti tidak semua orang karo membagi warisan dengan mengikuti adat atau kebiasaan tradisional. Contohnya adalah keluarga kami sendiri dimana pada waktu kami bagi-bagi warisan kami anak perempuan mendapat hak yang sama dengan anak laki-laki Universitas Sumatera Utara Hal ini mendapat dukungan dari saudara laki-laki kami yang paling tua dan merupakan anak sulung bapak dan ibu yaitu YG, seperti penuturannya sebagai berikut : Saya sebagai anak tertua sangat ingin agar seluruh harta peninggalan orang tua kami dapat dipergunakan oleh seluruh anak-anaknya. Disini saya tegaskan agar keseluruhan harta itu di bagi bersama dengan jumlah yang sama kepada masing-masing anak. Mungkin aneh bagi orang karo secara umum, tapi itulahyang saya inginkan agar hal itu daoat terlaksana di keluarga kami. Dan apabila ada kelebihan dari pembagian dengan jumlah yang sama antara anak laki-laki dan anak perempuan maka saya menganjurkan agar kelebihan tersebut diserahkan kepada anak yang paling bungsu. Mengapa ini saya tekankan sebagai dasar pembagian warisan, karena tak terlepas dari pengajaran bapak dulu. Seperti penuturan bapak bahwa ”Tidak pembedaan saya lakukan terhadap seluruh anak-anak saya. Dalam hal apapun.” Mengenai pandangan tersebut diatas, dalam konteks kebudayaan, dapat dikatakan bahwa Informan YG telah mengalami suatu proses penanaman nilai budaya yang telah lama diterapkanoleh kedua orang tuanya. Proses ini disebut dengan enkulturasi. Disini ia senantiasa belajar dengan meniru berbagai macam tindakan dan setelah di internalisasi didalam kepribadiannya maka selanjutnya akan di budayakan dengan menerapkannya. Menurut Koentjaraningrat 1981:228-235, ada beberapa konsepsi khusus mengenai pergeseran masyarakat dan kebudayaan, konsep itu antara lain: Internalisasi, yaitu : suatu proses yang berlangsung sangat panjang dari individu itu dilahirkan sampai ia hampir meninggal. Pada masa ini ia senantiasa belajar menanamkan kepribadiannya seperti segala Universitas Sumatera Utara perasaan, hasrat, nafsu serta emosi yang diperlukannya selama hidupnya. Sosialisasi, yaitu : suatu proses dimana seorang individu dari mas anak-anak sampai masa tuanya belajar pola-pola tindakan dalam interaksi dengan segala macam individu di sekelilingnya yang menduduki beraneka macam peranan sosial yang mungkinada dalam kehidupan sehari-hari. Enkulturasi, yaitu : bahwa disini individu mempelajari dan menyesuaikan alamm pikiran serta sikapnya dengan adat-istiadat, sistem norma dan peraturan yang hidup di dalam kebudayaannya. Pada saat dilaksanakan pembagian warisan, adakah pertentangan atau ketidaksesuaian pendapat dalam penentuan jumlah bagian yang diterima untuk setiap ahliwaris pada saat pembagian harta warisan tersebut? Seperti penuturan S Br G, pada awalnya, kami yang 11 bersaudara berkumpul untuk membicarakan pembahagian warisan. Hal ini kami lakukan tanpa mengundang pihak lain di luar kami yang bersaudara sebab kami yakin akan mencapai mufakat. Ternyata ada saudara kami yang kurang sependapat : S Br G menjelaskannya sebagai berikut : Pada waktu pembagian warisan dilaksanakan kami tidak seluruhnya sepakat bahwa harta peninggalan orangtua dibagi rata. Adik saya yang no 5 yaitu RG tidak setuju apabila harta peninggalan orang tua mereka di bagi rata. Ia berpendapat sesuai dengan hukum adat karo maka anak perempuan tidak mendapat harta warisan, sebab pada waktu ia menikah kelak maka ia akan ikut suaminya dan ia akan menjadi tanggung jawab suaminya kelak. Universitas Sumatera Utara C Br G menjelaskan sebagai berikut : Kami seluruhnya anak perempuan menginginkan agar harta peninggalan orang tua di bagi rata, tidak membedakan apakah anak laki-laki atau anak perempuan. Dua saudara laki-laki kami juga menginginkan agar seluruhnya kami mendapat bahagian yang sama. Cuma adik laki-laki saya yang nomor lima RG tidak menyetujuinya. Alasannya ya adat karo itu tidak mengenal pembagian harta warisan kepada anak perempuan. RG menyatakan kebenaran dari informasi tersebut,dan ia menambahkan : Adat karo itu adalah adat yang telah turun-temurun di terapkan dalam kehidupan masyarakat karo selama ini. Jadi kalau dalam adat karo anak perempuan tidak mendapat warisan sama sekali, maka mau tidak mau kita harus mengikutinya. Adat karo itu diciptakan untuk kebaikan seluruh masyarakat karo dimanapun dia berada. HG yang merupakan anak bungsu tentang perbedaann pandangan tersebut ketika ditanyakan mengenai hal itu menyatakan : Saya sepertinya sangat menyetujui pembagian warisan dengan porsi yang sama antara anak laki-laki dengan anak perempuan. Karena itulah standard yang paling sesuai pada saat ini. Namun sesuai usul abang tua YG, saya tampaknya sangat diuntungkan. Tapi pada saat ini saya belum mau komentar mengenai hal. Lebih baik saya no comment saja. Sedangkan informan lain H Br G, N Br G, P Br G, J Br G, S Br G dan N Br G ketika di tanyakan tentang posisi mereka mengenai perbedaan pandangan dalam melaksanakan pembagian warisan menyatakan : Kami sangat mengiginkan agar pembagian warisan itu berdasarkan prinsip keadilan. Kami anak perempuan adalah anak bapak dan ibu juga. Sudah sepantasnya kami juga menerima hak yang sama dengan anak laki-laki. Keseluruhan informan ini dilakukan wawancara melalui telefon, sebab keterbatasan waktu mereka dan ada beberapa diantaranya berdomisili di luar kota Universitas Sumatera Utara Untuk lebih jelasnya, tentang perbedaan pendapat mengenai pandangan keseluruhan informan tentang sistem pembagian warisan dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 2. Pandangan Mengenai Hak Anak Laki-laki dan Perempuan Hak laki-laki dan perempuan sama thd warisan Perempuan tidak mendapat warisan No N a m a Jenis Kelamin Setuju Tdk setuju Setuju Tdk setuju 1 YG Laki-laki Ya Ya 2 S Br G Perempuan Ya Ya 3 H Br G Perempuan Ya Ya 4 C Br G Perempuan Ya Ya 5 RG Laki-laki Ya Ya 6 N Br G Perempuan Ya Ya 7 P Br G Perempuan Ya Ya 8 J Br G Perempuan Ya Ya 9 S Br G Perempuan Ya Ya 10 N Br G Perempuan Ya Ya 11 HG Laki-laki Ya Ya Sumber data : diolah Akibat ketidak sesuaian pendapat ini kemudian diadakan pembicaraan lebih lanjut dengan mengundang adik bapak Bapak UdaAG dan abang ibu Mama TuaNT. Kedua pihak ini diundang sebagai penengah dalam perbedaan pendapat yang terjadi diantara kami. Sehingga diadakan Runggun sebagai alternatif pemecahan masalah dalam hal pembagian warisan ini. Mengapa adik saya ini berpendapat demikian, ketika saya tanyakan ia mengetahui hal ini dari kalimbubunya mertuaBT, sebab hal inilah yang menjadi adat-istiadat orang karo. Hasil dari pembicaraan ini adalah bahwa baik bapak uda dan mama tua tidak dapat mencari penyelesaian yang terbaik untuk pembagian warisan ini. Mama TuaJT Universitas Sumatera Utara disini dihadirkan sebagai Kalimbubu dari pihak ayah kami sedangkan Bapa UdaAG disini dihadirkan sebagai Sembuyak dari pihak bapak yang merupakan Anak Beru dari Kalimbubu. Pada lain kesempatan saat diadakan runggun kembali untuk mencari pemecahan dari persoalan diatas, sesuai dengan keinginan abang tertua yang manyatakan agar kalau ada kelebihan pembahagian yang telah di lakukan agar di serahkan kepada anak bungsu. Kami yang 10 orang sangat menyetujui hal tersebut, namun satu orang saudara laki-laki saya RG tetap bertahan dengan pendiriannya dan tetap tidak menyetujui usul abang tetua kami. Untuk menengahi hal ini Mama TuaJT menyatakan bahwa dirinya tidak dapat mencampuri urusan pembagian warisan ini, namun sebagai kalimbubu dia melihat agar persoalan ini diselesaikan dengan lebih baik. Dia berpandangan bahwa sistem pembagian harta warisan menurut adat instiadat karo yang selama ini dianut sungguh baik tetapi dengan catatan apabila si anak perempuan itu kawin dengan seorang yang berkecukupan mapan sehingga ia kelak dapat meneruskan hidpnya dengan layak. Namun bila anak perempuan itu kawin dengan seseorang yang tidak memiliki kemampuan yang cukup dalam hal ini dilihat dari sisi skill dan penguasaan akses ekonomi tentunya ia akan menderita dalam menjalankan kehidupannya. Menurut penuturan informan : Lit Kuan-kuan kalah Karo: nina, “diberu ertudung, dilaki erbulang” ma pencibalken saja nge laseri adi lang ma bas takal nge inganna duana baik tudung entahpe bulang. Universitas Sumatera Utara Maksudnya, ada suatu pepatah Karo katanya: “perempuan bertudung, laki- laki bertopi” hanya cara meletakkan saja yang berbeda yang sebenarnya di kepala terletak keduanya baik tudung maupun topi. Menurut penuturan informan: Situhuna labo ibas Medan enda saja masalah persamaan kedudukan anak dilaki ras anak diberu enggo niterapken tapi i Tanah Karo pada umumna pe enggo me bage. Labo masalah warisan saja tapi ibas kai saja pe enggo me bage. Maksudnya, bukan di Medan saja masalah persamaan kedudukan antara anak laki-laki dan anak perempuan sudah diterapkan tetapi Tanah Karo pada umumnya sudah demikian keadaannya. Bukan masalah warisan saja tetapi di dalam bidang apa saja sudah setara. Sedangkan Bapa UdaAG menyatakan sependapat dengan kalimbubunyaJT, mengapa ia sependapat bahwa tidak selamanya semua perkawinan itu akan mempertemukan kedua belah pihak yang memiliki kekayaan dan kemampuan terutama dalam akses ekonomi. Dia selanjutnya mencontohkan apabila kelak adik perempuan kalian yang bungsu ini menikah dengan seseorang yang dapat dikatakan miskin, apakah kalian akan tega melihat hidupnya yang serba kekurangan walaupun sekarang ia telah bekerja. Sebab mungkin saja seumur hidupnya bila kemungkinan ini terjadi maka ia akan menanggung kehidupan suami dan anak-anaknya kelak. Menurut penuturan informan : Kune la lit erta anak beru kena, uga kin ibahanna nggeluh enda. Dahin pe la lit. Me turang kena e si jadi tulang punggung keluargana selain anak beruta e er usaha tentu bagi arusna... Maksudnya : Apabila suatu saat kalian mendapat ipar yang tidak memiliki hartakekayaan, kan adik atau kakak kalian yang menjadi penopang keluarga ini selain itu tentunya ipar kalian ini terus berusaha.. Dan satu lagi, bila dilihat dari warisan yang ditinggalkan senina saya ini, saya dapat katakan ini sungguh besar. Kalau kita mengikuti pembagian warisan menurut Universitas Sumatera Utara adat istiadat karo dimana seandainya senina saya ini tidak memiliki anak laki-laki maka kami saudara laki-lakinya yang sedarah akan menjadi ahliwaris dari ini semua. Tentu akan lebih banyak yang sakit hati kan. Tentu saja pada akhirnya akan ada tuntutan ke pengadilan untuk menuntut harta warisan itu Selain mereka, apakah ada lagi yang terlibat di dalam Runggun tersebut, dan kalau boleh saya tahu berapa jumlah warisan yang ada pada saat itu dan apakah ada yang berbentuk hutang atau piutang yang menjadi warisan orang tua ibu tersebut. Runggu merupakan salah satu alternatif yang ada di masyarakat Karo, dimana hal ini dilakukan untuk mencari jalan keluar dari suatu permasalahan. Hal-hal yang lazim dilaksanakan dimana runggun senantiasa dipakai adalah misalnya pada saat penentuan pelaksanaan pengguburan, pelaksanaan upacara perkawinan dan kegiatan lain yang melibatkan banyak orang. Pada hakekatnya runggun disini merupakan pencarian kesepakatan dari orang-orang yang terlibat di dalam suatu kegiatan. Dalam penelitian ini, runggun yang dilakukan adalah untuk mencari solusi bagi ahli waris untuk mencari bentuk pembagian warisan yang disepakati oleh masing-masing pihak. Seperti penuturan informan: Runggu yang kami lakukan hanya dihadiri oleh ahli waris dan kalimbubu beserta senina dari orang tua kami. Mengapa kami hanya melibatkan mereka karena memang merekalah yang berhak untuk diminta pendapatnya dalam mencari solusi bagi pembagian warisan di keluarga kami. Tentang jumlah warisan yang akan diwariskan, saya rasa jumlahnya cukup banyak untuk ukuran kami. Ada 6 pintu Ruko, 2 rumah tinggal di, 3 Kios di Pusat Pasar Sentral dan ladang di Tanah Karo. Belum lagi termasuk penyertaan modal di beberapa koperasi dan perusahaan. Kalau dalam bentuk hutang, sampai pada saat pembagian warisan ini setelah pembagian warisan Universitas Sumatera Utara kemarin, tidak ada yang warisan orang tua kami yang berbentuk hutang, begitu juga piutang. Seperti apakah bentuk pembagian warisan yang terjadi di keluarga ibu? Pada akhirnya adik laki-laki saya RG menyetujui pembagian warisan dimana kami anak perempuan dan anak laki-laki memiliki hak yang sama, dimana bagian yang kami peroleh sama jumlahnya dengan bagian yang di terima anak laki- laki dan kelebihan dari pembagian warisan akan diserahkan kepada anak bungsu. Mengapa hal ini kemudian bisa terjadi? RG menyatakan : Pada awalnya saya mempertahankan pendapat saya agar anak perempuan tidak menjadi ahliwaris dari harta orang tua kami. Yang menjadi dasar berpikir saya adalah bahwa di dalam hukum waris adat Karo anak perempuan tidak menjadi ahliwaris. Namun setelah kami melakukan runngun untuk mencari kesepakatan dan sebelumnya saya membaca beberapa tulisan atau buku yang berhubungan dengan pewarisan saya kemudian berubah pendapat, bahwa saya akan mengikuti apa yang telah disepakati oleh saudara-saudara saya yang lain. Bahwa pada hakekatnya adalah hak anak laki-laki dan perempuan adalah sama. Mengapa saya mau menerima hal itu, tidak lain adalah bahwa adanya kesadaran saya sendiri tentang keberadaan anak perempuan dan anak laki-laki dilingkungan keluarga besar kami. Saya rasanya menjadi orang lain bila mempertahankan prinsip yang saya anut, dimana orang tua kami dulu tidak pernah membedakan perlakuan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Apakah itu dalam hal pendidikan, materi atau kesempatan untuk mengutarakan pendapat di keluarga. Universitas Sumatera Utara Semua kami memiliki kesempatan yang sama. Ada juga hal lain yang sangat membuat saya tidak mampu untuk meneruskan kahendak saya. Seperti penuturan informan : Menurut kebiasaan yang kita lihat bahwa anak perempuan adalah tempat orang tua bila kelak sudah tua baik pada waktu sehat maupun sakit. Tidak menjadi masalah apakah anak perempuan tersebut sudah berumah tangga atau belum. Anak perempuan tidak segan-segansungkan mengurus orang tua baik ibunya maupun ayahnya. Akan tetapi kalau anak laki-laki apabila belum berumah tangga ia lebih sering keluar rumah sementara apabila sudah berumah tangga maka anak laki-laki lebih takut kepada istrinya daripada kepada orang tuanya dan apabila telah lebih takut kepada istrinya sudah pasti tidak dapat mengurus orang tuanya. Jadi tidak menjadi persoalan apakah anak perempuan juga memperoleh warisan dari keluarga suaminya nantinya. Hal ini juga terjadi di keluarga kami. Seperti penuturan informan : Dimana pada saat ayah telah meninggal maka yang bergantian merawat ibu adalah ketiga saudara perempuan saya. Mereka yang selalu menemani ibu berobat kalau sakit. Dan apabila ibu butuh istirahat maka ibu tinggal di rumah saudara perempuanku secara bergantian. Sedangkan kami yang laki-laki paling-paling cuma menjenguk saja. Dan saya juga sangat bangga melihat silih saya yang tiga orang itu. Mereka bertiga sangat menyanyangi dan menghormati ibu, sehingga tiada keberatan dari mereka yang saya tahu sampai pada saat ini. Selain hal diatas, bahwa ternyata hukum nasional yang berlaku di negara kita ini juga menyatakan bahwa hak anak-laki-laki dan perempuan adalah sama. Dan bila saya memaksakan agar pembagian warisan dilakukan dengan memakai sistem pewarisan adat Karo maka saya yakin suatu saat ketiga saudara perempuan saya akan menggugat ke pengadilan. Apabila ini terjadi jelas saya akan kalah dan nama keluarga juga akan tercoreng. Dalam hal ini jelas bahwa saya yang akan menjadi penyebab perpecahan keluarga yang telah di bina oleh orang tua kami sejak lama. Universitas Sumatera Utara Mengenai bentuk pembagian harta warisan yang terjadi, bahwa hak anak laki- laki dan hak anak perempuan adalah sama. Teknis pelaksanaan pembagian warisan itu dituturkan responden sebagai berikut, semua harta warisan dalam bentuk harta tak bergerak di konversi ke dalam nilai mata uang, lalu setelah didapat nilainya akan dbagi rata. Pelaksanaan konversi ini kami lakukan dengan melihat nilai jual yang berlaku di pasaran. Warisan yang di konversi ini adalah 6 Ruko, 1 rumah tinggal, Kios dan ladang. Setelah nilai jual di dapat maka pelaksanaan penjualan dilakukan intern kami bersaudara. Hal ini kami lakukan agar harta peninggalan orang tua kami ini tidak beralih hak kepada orang lain sepanjang kami mampu. Hasilnya adalah bahwa seluruh ruko diambil oleh kami masing-masing, rumah juga demikian sedangkan kebunladang tidak ada yang berminat sehingga dijual kepada orang lain. Proses penjualan itu dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 3. Penjualan Warisan No Pembeli Jenis Barang 1 YG Kios + Rumah 2 S Br G Kios 3 H Br G Ruko 4 C Br G - 5 RG Ruko 6 N Br G Kios 7 P Br G Ruko 8 J Br G Ruko 9 S Br G Ruko 10 N Br G Ruko 11 HG - Sumber data : diolah Universitas Sumatera Utara Tentang kebunladang ternyata ada yang langsung berminat sehingga proses pembagian harta warisan ini dapat pula segera dilaksanakan. Saya S Br G selaku anak perempuan tertua beserta suami kemudian dihunjuk menjadi pihak yang bertanggung jawab terhadap proses pembayaran dari saudara-saudara saya. Sedangkan untuk mengurusi penjualan kebun dihunjuk saudara perempuan saya yang lain C Br G dibantu suaminya. Mengapa kami anak perempau yang mengurusi hal ini tak lain adalah posisi kami sebagai Anak Beru di keluarga. Setelah semua hasil penjualan terkumpul, maka pembagian warisan dilaksanakan dihadiri oleh Kalimbubu dan Senina dari Orang Tua kami. Dalam pelaksanaan ini seluruh hasil penjualan itu di bagi rata kepada kami yang berjumlah sebelas orang dengan perincian sebagai berikut : Jumlah yang terkumpul adalah sebanyak Rp 3,42 M dimana jumlah ini kemudian dibagi 11 sehingga masing-masing kami mendapatkan Rp 310.000.000 tiga ratus sepuluh juta Bila di jumlahkan maka Rp 310.000.000 x 11 = Rp 3,4 M Nilai total asset yang di konversi itu berjumlah 3,42M-3,40M.=0,02M Maka terdapat kelebihan sebesar 0,02M Hasil pengurangan jumlah total asset dengan jumlah harta yang dibagikan ini kemudian kami sepakati di serahkan kepada adik kami yang bungsu. Mengenai hal ini kami sependapat sebab adik kami yang bungsu ini pada saat ibu meninggal dia masih bersekolah, asumsi lainnya adalah bahwa dia memiliki masa ber-orang tua paling singkat. Hal lain yang mendasari keputusan kami ini adalah pada saat pembagian warisan kemarin dia belum berumah tangga dan selama beberapa tahun terahir sebelum ibu meninggal dialah yang sering menjadi supir dan membantu Universitas Sumatera Utara ibu untuk manjalankan bisnis perhiasan dan batu permata. Sebab hanya dia yang memiliki waktu paling banyak dengan ibu karena belum menikah dan masih tinggal bersama ibu waktu itu. Sedangkan kami pada waktu itu telah menikah sehingga kami memiliki waktu yang terbatas, selain itu juga, pekerjaan juga membatasi waktu kami. Menurut Ibu pribadi, apakah pemberian kelebihan warisan kepada saudara bungsu ibu tersebut sangat wajar? Coba ibu beri alasannya. ”Saya pribadi merasakan itu adalah hal yang pantas, mengapa demikian karena pada waktu kami yang 10 orang menikah, semua keperluan kami di cukupi oleh bapak-ibu atau ibu setelah bapak meninggal. Bahkan yang saya ketahui, sejak ibu meninggal dia memenuhi sendiri semua keperluannya, walaupun biaya kuliahnya kami yang menanggung. Tapi bila di lihat dari pengeluaran yang dia keluarkan selama kuliah dengan biaya resmi kuliahnya yang kami tanggung, jelas lebih besar yang dia tutupi. Sebab sambil kuliah juga dia juga mencoba meneruskan bisnis ibu.” Mengapa informan berkeras menanggung biaya kuliahnya karena kami sadar bahwa hanya kamilah saudaranya yang menjadi pengganti orang tua. Hal lain yang kami pikirkan adalah bila pada saat menikah kemarin kami masih di dampingi bapakibu atau ibu sendiri, namun ketika kemudian ia menikah ia tidak di dampingi oleh orang tua. Hal-hal tersebut yang membuat kemudian kami sangat menyayangi adik bungsu kami tadi sehingga kami kemudian merasa pantas apabila kelebihan pembagian warisan itu diserahkan kepadanya. Kalau tidak salah belum seluruhnya warisan yang ada dikonversi dan diwariskan, bisa ibu ceritakan ? ”O...ya. masih ada 1 rumah dan penyertaan modal di koperasi. Tentang rumah yang dimaksud itu adalah rumah induk yang kami tempati bersama sejak kecil. Kami semua sepakat bahwa rumah itu tidak akan dijual kepada Universitas Sumatera Utara siapapun dan harus menjadi rumah tempat kumpul bersama. Jadi hampir setiap 1 bulan sekali kami yang tinggal di Medan berkumpul untuk mengeratkan hubungan persaudaraan. Tentang penyertaan modal di beberapa koperasi, kami juga sepakat bahwa dana penyertaan modal itu tidak boleh di cabut, sedangkan bunga perbulannya dan pembagian keuntungan dari koperasi-koperasi itu dimasukkan ke dalam satu rekening atas nama saya dan saudara sulung abang saya yang tertua. Jadi dana itu kemudian digunakan untuk perawatan rumah induk dan perawatan makam dan kegiatan yang sifatnya sosial atas nama keluarga besar kami mewakili nama bapak, misalnya sumbangan ke panti asuhan dimana hal itu telah lama dilakukan bapak dan ibu. Hal ini kami sepakati untuk dilakukan sampai ada kesepakatan berikut di antara kami bersaudara. Jadi walaupun tidak diwariskan dana penyertaan modal berikut bunga perbulannya dan pembagian keuntungan setiap tahunnya merupakan warisan yang dimiliki bersama seperti halnya rumah induk.” Kira-kira begitulah pembagian warisan yang kami lakukan di keluarga kami, memang merupakan suatu yang tak lazim di lakukan kami Suku Batak Karo, tapi itulah yang kami rasa sebagai sistem pembagian warisan terbaik dimana kami tidak mengikuti sistem pewarisan adat atau sistem pembagian warisan menurut Hukum Positif yaitu Kep Mahkamah Agung No 179KSip 1961 yang saya juga sangat tahu. Mungkin ada orang lain yang menganut pembagian warisan seperti yang kami lakukan namun saya tidak mengetahuinya. Tapi menurut saya kami yang pertama melakukannya.

b. Faktor Hukum Positif yaitu keputusa Mahkamah Agung No 179KSip 1961