Harta Benda yang diperoleh Sebelum maupun Selama Perkawinan

dilahirkan dari perkawinan itu berkewajiban untuk mengabdi dan bertanggung jawab penuh melaksanakan pekerjaan-pekerjaan dalam setiap acara-acara adat yang diselenggarakan oleh pihak kerabat ibunya.

c. Harta Benda yang diperoleh Sebelum maupun Selama Perkawinan

Salah satu akibat hukum yang timbul dari suatu perkawinan adalah berkenan dengan harta benda yang diperoleh masing-masing suami atau isteri sebelum perkawinan maupun harta benda yang diperoleh selama perkawinan tersebut, yang sejak dilangsungkannya perkawinan itu dipandang sebagai harta perkawinan. Menurut hukum adat yang dimaksud dengan harta perkawinan adalah : Semua harta yang dikuasai suami isteri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai, maupun harta perseorangan yang berasal dari harta warisan, harta hibah, harta penghasilan sendiri, harta pencaharian hasil bersama suami isteri, dan barang-barang hadiah. Kesemuanya itu dipengaruhi oleh prinsip kekerabatan yang dianut setempat dan bentuk perkawinan yang berlaku terhadap suami isteri bersangkutan. Hadikusuma, 1995:156 Selanjutnya Soerjono Soekanto dengan mengutip pendapat Soekanto mengatakan bahwa setiap perkawinan diperlukan harta yang menjadi dasar materiil bagi kehidupan keluarga, harta tersebut dinamakan harta keluarga, harta kelamin atau harta perkawinan. Harta perkawinan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Harta suami atau isteri yang diperoleh sebelum perkawinan atau sebagai warisan gawan atau harta asal. 2. Harta suami dan isteri yang didapatkan atas hasil usahanya sebelum atau semasa perkawinan harta pembujangan atau harta penantian. 3. Harta yang diperoleh suami dan isteri bersama-sama selama perkawinan gono-gini. 4. Harta yang diberikan kepada mempelai ketika menikah. Yang pertama biasanya dinamakan harta asal, sedangkan yang kedua, ketiga dan keempat secara terbatas disebut sebagai harta bersama. Jadi harta bersama adalah Universitas Sumatera Utara harta yang diperoleh suami isteri masing-masing atau bersama-sama selama perkawinan, kecuali harta yang dihibahkan dan diwariskan, adanya harta bersama tergantung dari syarat-syarat sebagai berikut : Suami dan isteri hidup bersama. Kedudukan suami dan isteri sederajat. Tidak terpengaruh oleh hukum Islam. Tentang harta bersama yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 35, Soerjono Soekanto, 1992:61-62 menyatakan bahwa ; Mengenai harta bersama, suami dan isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedangkan mengenai harta bawaan masing-masing mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum. Apabila perkawinan putus, maka pembagian harta perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing. Walaupun di sana-sini ada perbedaan dalam pengelompokan harta perkawinan itu, namun satu hal yang perlu dicatat adalah akibat hukum dari suatu perkawinan terhadap harta benda yang diperoleh suami isteri sebelum dan sesudah perkawinan, adalah timbulnya lebih dari satu kelompok harta dalam perkawinan itu. Artinya dalam setiap perkawinan termasuk pada masyarakat Karo selalu dikenal lebih dari satu macam harta. Mengenai status kepemilikan harta bersama, pada perkawinan dengan uang jujur sistem kekerabatan patrilineal tidak terdapat milik bersama. Dalam sistem patrilineal umumnya kaum perempuan tetap memiliki apa yang diperoleh sebagai barang pembawaan. Jadi kalau perkawinan itu putus karena perceraian, maka harta bawaan pusaka yang diperoleh suami atau isteri dari kerabatnya, tetap menjadi miliknya masing-masing. Demikian pula jika perkawinan putus karena salah satu pihak suami atau isteri meninggal maka harta pusaka bawaan itu kembali kepada kerabat yang meninggal, jika dalam hal ini yang meninggal itu tidak mempunyai anak. Sementara apabila kita lihat kepada kehidupan masyarakat Karo khususnya Kecamatan Tigabinanga, di sana tidak terdapat pembatasan kepemilikan antara harta bersama dengan hart bawaan asal. Mereka menganggap harta yang diperoleh sebelum maupun selama dalam perkawinannya selalu mengharapkan agar harta benda miliknya itu dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya yang layak, demi untuk mewujudkan suatu kelurga yang sejahtera lahir dan bathin. Keadaan seperti diatas hanya terbatas selama dalam ikatan perkawinan itu saja. Jika perkawinan bubar karena cerai hidup, harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri yang masih ada dikembalikan kepada pemiliknya masing-masing. Universitas Sumatera Utara Apabila perkawinan itu bubar karena kematian salah satu pihak dari suami atau isteri, harta bawaannya dimiliki dan dikuasai oleh isteri atau suami yang masih hidup bersama dengan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut Sitepu, 1998:140. Dari berbagai sistem pewarisan yang ada dan berlaku di Indonesia, dalam analisis gender penulis mengambil suatu kesimpukan bahwa hanya pada sistem pewarisan adat masyarakat yang menganut sistem kekerabatan patrilineal lah yang jelas sangat membedakan kedudukan antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam memperoleh harta warisan orang tuanya. Dimana anak perempuan sama sekali tidak mendapat hak dalam warisan orang tuanya tersebut. Walaupun demikian, terdapat sistem pewarisan yang memberi hak atas warisan orang tua kepada anak perempuan, walaupun jumlahnya tidak sama dengan hak yang diperoleh oleh anak laki-laki. Seperti yang telah di jelaskan pada berbagai jenis sistem pewarisan terdahulu, kenyataan itu ditemukan pada pembagian warisan yang menganut sistem Kompilasi Hukum Islam KHI. Selain itu ada juga sistem pewarisan yang memberi hak yang sama kepada anak laki-laki dan anak perempuan dalam mewarisi harta orangtuanya, yaitu : Keputusan Mahkamah Agung No 179KSip 1961. Sistem pewarisan adat yang telah digeneralkan dan berlaku terhadap berbagai sistem pewarisan adat masing-masing suku bangsa juga telah mengakui adanya persamaan hak antara anak laki-laki dan perempuan dalam mewarisi harta peninggalan orangtuanya. Dalam sistem pewarisan menurut Sistem Waris KUH Perdata, anak perempuan dan anak laki-laki juga Universitas Sumatera Utara memiliki hak yang sama dalam mewarisi harta orang tuanya. Kedua aturan hukum ini kemudian menjadi hukum positif yang sampai saat ini menjadi acuan dalam menyelesaikan permasalahan pewarisan apabila sampai ke pengadilan. Universitas Sumatera Utara

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Deskripsi Penelitian Penelitian tentang “Kedudukan Perempuan Karo Dalam Memperoleh Harta Warisan ” adalah penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif. Dikatakan deskriptif karena dari penelitian ini diharapkan akan diperoleh gambaran secara menyeluruh tentang gejala dan fakta yang terungkap dari apa yang dinyatakan oleh informan baik secara lisan dan juga perilaku yang nyata, berkenaan dengan hukum dan nilai yang hidup di tengah-tengah masyarakat Suku Batak Karo di lokasi penelitian. Pendekatan yang digunakan adalah yuridis sosiologis yaitu melakukan pendekatan terhadap permasalahan dengan melihat hukum dan peraturan-peraturan yang berlaku serta kenyataan yang terjadi di lapangan atau di masyarakat law in society.

3.2. Defenisi Konep

Defenisi konsepsional memuat kata-kata operasional, istilah-istilah maupun defenisi-defenisi yang dipergunakan dalam suatu penelitian. Defenisi konsep yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Kedudukan, yaitu tempat dan posisi seseorang dalam suatu susunan masyarakat menurut ketentuan adat dan hukum yang berlaku Soekanto, 1983:115. 2. Warisan yaitu Soal apa dan bagaimana pelbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seeorang pada waktu ia meninggal akan beralih kepada orang yang masih hidup Prodjodikoro, 1973:8. Universitas Sumatera Utara