Meski tidak semua penggemar gandrung mengetahui historis berdirinnya, serta kegunaan pada jaman dahulu, yang masyarakat Kemiren tahu dan Masyarakat
Banyuwangi pada umumnya, pertunjukan gandrung dipentaskan dalam acara perayaan, seperti pernikahan, khitanan, dan upacara bersih desa. Namun warga
Kemiren tetap mendukung jika kesenian gandrung tetap eksis di desa Kemiren.
4.3.3 Gandrung Pada Masa Sekarang
Pada setiap pertunjukan gandrung, ada adegan pembuka yang disebut jejer gandrung, yang didalamnya menyayikan lagu Podho Nonton merupakan puisi
yang mengambarkan perjuangan untuk menngugah dan membagkitkan semangat rakyat belambangan terhadap segala bentuk penjajahan. Terlepas dari muatan
historis dan herois yang terdapat pada kesenian gandrung. Seperti yang diungkapkan oleh Singodimajan
“Niatane wong hang dadi gandrung saiki iku, sing podo ambi bengen, saiki larek nom-nomanek pingen dadi gandrung
, kanggo ekonomianek” wawancara tertanggal, 13 September 2014
“niat orang jadi gandrung sekarang ini tidak sama dengan niat orang dulu, generasi mudanya ingin jadi gandrung karena untuk perekonomiannya”
Menurut hasil wawancara, Singodimajan menuturkan jika generasi muda menaggap kesenian gandrung untuk memperbaiki taraf hidupnya, jarang ditemui
orang menjadi gandrung demi melestarikan warisan budaya, itu disebabkan kurangnya pengetahuan terhadap kesenian tersebut, kebiasaan generasi sekarang
hanya mempelajari dari segi bentuk taria-tariannya, sulit dijumpai penari gandrung muda, mempelajari teknis vocal, yang itu merupakan sisi terpenting
dalam kesenian tersebut. Gandrung menjadi arena kontestasi demi kepentingan politik, sebagai
medium memperoleh legitimasi publik. Wiyata. dkk 2013:13. Dari itulah ada persepsi bahwa kesenian gandrung bukan hanya murni kesenian yang pada
umumnya berfungsi untuk menghibur atau ditonton khalayak umum, lebih dari pada itu. Masih sulit kiranya untuk menempatkan gandrung sebagai realitas
budaya yang memiliki jati diri dan melihatnya dengan perspektif yang plural. Apalagi dikaitkan dengan sejarah gandrung pada masa Marsan. Sebagai orang
pertama yang menancapkan budaya gandrung di Banyuwangi pada saat wilayah Blambangan diperebutkan oleh penjajah, namun sekarang jauh berbeda fungsi
serta pemaknaannya. Sebagaimana Bapak Serad menuturkan: “Jamane Pak Marsan Bengen Gandrung dienggu perjuangan, kadung
saiki wes kanggo ekonomi” 10 September 2014 “jaman Pak Marsan dulu gandrung dibuat media perjuangan, untuk
sekarang dibuat media ekonomi” Peran gandrung seperti itu masih diingat oleh sebagian besar warga
Banyuwangi pada decade 30-an abad ke-20. Fatrah Abal dalam Anoegrajekti 2007:12 mencatat kesaksian yang menarik sebagi berikut
“Pada tahun 1937 saya telah acapkali nonton kesenian gandrung. Yang menarik nonton gandrung waktu itu, pada babak keempat yang disebut
Seblang-seblangan, sewaktu gandrung melantunkan dan mendendangkan gending-gending tertentu yang harus dibawa, banyak para orang tua yang
menyaksikan tidak dapat menahan isak tangis dan melelehkan air mata. Hal itulah yang acapkali saya tanyakan kepada para sesepuh mengapa
mereka sampai menagis sedemikian rupa sewaktu meyaksikan peragaan gandrung sewaktu seblangan? Mereka menangis ingat para korban. Konon,
pada waktu seblangan, gending, dan peragaan yang disajikan gandrung ada hubungannya dengan pada saat kompeni meyerbu dan merebut
Blambangandari kerajaan Mengwi
”. Lebih lanjut menurut keterangan Anoegrajekti, gandrung muncul
merupakan alat perjuangan, antara lain untuk menyelamatkan sisa-sisa rakyat yang terbantai akibat peperangan; menyelamatkan anak-anak yatim piatu korban
perang yang keadaannya sangat memperhatinkan; menganjurkan persatuan dan kesatuan pada sisa-sisa rakyat yang konon tinggal sekitar 5000 jiwa, sedang yang
tewas, melarikan diri, tertawan, atau dibuang oleh kompeni, lebih dari 85.000 jiwa; serta menganjurkan bangkit untuk mengolah lahan-lahan yang terbengkalai
akibat peperangan; dan anjuran untuk mengikuti ajaran islam. Lebih lanjut menurut Singodimajan dalam menilai perkembangan seni
gandrung masa kini:
“…..Wes kadung gedigu caranek, sing paran-paran weh, poko’e sing ngerubah nang paran baen
hang ono neng gandrung” wawancara, 13 September 2014
“kalau begitu caranya, tidak masalah asalkan tidak merubah unsur-unsur yang ada dalam gandrung”
Menurut hasil wawancara diatas, informan menuturkan jika tidak ada
masalah apapun niatnya menjadi gandrung asalkan, tidak sampai merubah unsur- unsur yang ada dalam kesenian itu, agar tetap terjaga keoerisinalitasnya. Terutama
dalam segi tekhnis vocal yang harus dipertahankan, karena hanya dengan itulah letak pembeda dari seni tari lainnya. Jika sebuah tarian gandrung itu dapat ditiru
oleh daerah-daerah lain, tapi dari segi vocal tidak semua daerah mampu menirukan, terkadang orang Banyuwangi sendiri kesulitan dalam mempelajari
tekhnis vocal gandrung. Meskipun faktanya sekarang kesenian gandrung sudah banyak perubahan,
baik dari segi fungsi awalnya maupun makna yang tersirat dalam pertunjukan gandrung. Karena kurangnya kesadaran para generasinya untuk memahami betapa
pentingnya kesenian gandrung tersebut. Pada umumnya penari gandrung berasal dari keluarga golongan ekonomi menengah ke bawah, seperti petani, pedagang,
dan berbagai pekerjaan disektor informal lain yang sederajat. Tidak dijumpai seorang penari gandrung berasal dari keluarga pejabat birokrasi atau kalangan
kaum ningrat di Banyuwangi. Dalam konteks semacam itu. menjadi penari adalah profesi
untuk memperbaiki
kehidupan ekonomi
paling tidak
untuk mempertahankan kondisi yang diwarisi dari orang tuanya. Seperti yang
diungkapkan Temuk: “Bengen isun dadai gandrung perkoro nadhar wong tuwek isun”
wawancara, 09 September
“dulu saya menjadi gandrung dikarenakan nadhar dari orang tua” Menurut hasil wawancara diatas, niat seseorang menjadi penari gandrung
banyak faktor yang melandasi, seperti Temuk menjadi gandrung karena nadhar, Ibu Mudaiyah yang menari gandrung karena pada masa kecilnya dulu sering
diajari tari-tarian disekolahnya. Apapun alasan orang menari gandrung, yang
terpenting tidak merubah struktur tari dan vocal yang sudah menjadi cirikhas dari kesenian itu.
Dalam konteks kehidupan luas di luar kampong yang heterogen, keyataan seperti itu seringkali tidak menguntungkan bagi seorang penari. Beberapa
kelompok social tertentu terutama kaum santri melihat bahwa penari gandrung adalah perempuan yang berprofesi negatif dan memperoleh perlakuan yang
kurang mengguntungkan, terpinggirkan, bahkan terdiskriminasi dalam pergaulan sehari-hari. Beberapa penari seperti Temu, Mudaiyah, merasakan betapa mereka
diasingkan dan dijauhi kebayakan kaum santri. Menurut Singodimayan 2009:xi
“kerangka dasar untuk suatu kajian “maksiat” yang selalu dilakukan dilapangan, sering bertentangan dengan kenyataan yang berlaku. Maka
setiap upaya apa saja yang merancang hukum masyarakat, harus mengambil sumber dengan tradisi masyarakat atau pada kebiasaan yang
masih berlaku. Masih menurut Singodimajan, dalam interaksi budaya lokal dan adat istiadat masyarakat, sering terjadi pengaruh mempengaruhi secara
konteraktif yang didalamnya terdapat kesadaran untuk mengakui, bahwa keberagamaan orang islam di Indonesia berbeda dengan syariat islam.
Penari gandrung juga sosok yang rajin menjalankan rutinitas kewajiban
beragama”. Sisi lain perkembangan gandrung masa kini. Yaitu suatu bentuk seni yang
telah mendapat tempat dihati masyarakat, kesenian gandrung memiliki pengaruh yang sangat luar biasa dalam perkembangan kesenian di Kabupaten Banyuwangi.
Hampir semua aspek yang terdapat dalam kesenian gandrung menjadi acuan dan sumber inspirasi bagi jenis-jenis kesenian tradisional Banyuwangi.
4.3.4 Tanggapan Pertunjukan Gandrung