Tanggapan Pertunjukan Gandrung Struktur Dalam Pertunjukan Kesenian Gandrung

terpenting tidak merubah struktur tari dan vocal yang sudah menjadi cirikhas dari kesenian itu. Dalam konteks kehidupan luas di luar kampong yang heterogen, keyataan seperti itu seringkali tidak menguntungkan bagi seorang penari. Beberapa kelompok social tertentu terutama kaum santri melihat bahwa penari gandrung adalah perempuan yang berprofesi negatif dan memperoleh perlakuan yang kurang mengguntungkan, terpinggirkan, bahkan terdiskriminasi dalam pergaulan sehari-hari. Beberapa penari seperti Temu, Mudaiyah, merasakan betapa mereka diasingkan dan dijauhi kebayakan kaum santri. Menurut Singodimayan 2009:xi “kerangka dasar untuk suatu kajian “maksiat” yang selalu dilakukan dilapangan, sering bertentangan dengan kenyataan yang berlaku. Maka setiap upaya apa saja yang merancang hukum masyarakat, harus mengambil sumber dengan tradisi masyarakat atau pada kebiasaan yang masih berlaku. Masih menurut Singodimajan, dalam interaksi budaya lokal dan adat istiadat masyarakat, sering terjadi pengaruh mempengaruhi secara konteraktif yang didalamnya terdapat kesadaran untuk mengakui, bahwa keberagamaan orang islam di Indonesia berbeda dengan syariat islam. Penari gandrung juga sosok yang rajin menjalankan rutinitas kewajiban beragama”. Sisi lain perkembangan gandrung masa kini. Yaitu suatu bentuk seni yang telah mendapat tempat dihati masyarakat, kesenian gandrung memiliki pengaruh yang sangat luar biasa dalam perkembangan kesenian di Kabupaten Banyuwangi. Hampir semua aspek yang terdapat dalam kesenian gandrung menjadi acuan dan sumber inspirasi bagi jenis-jenis kesenian tradisional Banyuwangi.

4.3.4 Tanggapan Pertunjukan Gandrung

Menjadi Gandrung professional merupakan pilhan yang diambil atas pertimbangan pribadi, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Seperti Mbok Temuk, dan Bu Mudaiyah, mereka mempertahankan seni Gandrung yang basisnya tradisional. Gandrung justru dunia yang digelutinya. Seperti yang diungkapkan oleh Bu Mudaiyah: “paribasan isun duwek anak wadon, arep sun dadekaken Gandrung pisan, mergane dadi gandrung iku wenak, kaping sijine uleh peces, kependone akeh konco lan pengalaman” wawancara tertanggal. 13 September 2014 “seandainya saya dikasik anak perempuan, maka akan saya jadikan Gandrung juga, karena menjadi Gandrung itu mengasikkan, disamping dapat uang, juga memperoleh banyak teman” Menurut penuturan Mudaiyah, menjadi gandrung tidak sekedar menari dan menyanyi ada kenikmatan tersendiri dalam setiap kali “mentas”, apalagi jika mentas di luar Banyuwangi, antusiasme mulai dari anak-anak sampai orang dewasa yang begitu tinggi terhadap kesenian ini sungguh terpancar dari para penonton, tugas saya sebagai penghibur semakin bersemangat. Apalagi tanggapan yang menggalir terus menjadi sumber kebahagiaan tersendiri bagi si penari. lebih jauh Mudaiyah menjelaskan mengenai tarif setiap kali manggung: “Sing podo antarane undangan neng kenek ambi neng jobo, kadung wong Banyuwangi, sikataran 2.500.000 juta, dibagi pemanjake wong 6 ennem kadong wong jobo iku biasane sampek 4.500.000 juta, biayane transport iku dewek” wawancara, 13 September 2014 “tidak sama tarif undangan anatara dalam daerah dan luar daerah, kalau orang Banyuwangi biasanya 2.500.000 dibagi 6 dengan tukang panjaknya saya, 4.500.000 jika undangan luar daerah, transport ditanggung di sana ” Menurut hasil wawancara mengenai tarif per-undangan, Mudaiyah menjelaskan jika undangan orang dalam dengan luar daerah itu berbeda-beda, orang dalam Banyuwangi berkisar 2.500.000 juta dibagi rata dengan tukang panjaknya, karena yang mengatur pembagian itu ialah si-gandrung. Untuk tanggapan luar daerah bisa mencapai 4.500.000. mengenai kapan saja ramenya tanggapan, Temuk menuturkan: “ulan Surok, lek ambi ulan haji, ngarepaken tahun baru, ulan agustusan, yo wong repot- repot koyo denek nikahan, suntan, perdi desok” 09 September 2014 “bulan Suro dik, sama bulan haji, mendekati tahun baru, bulan Agustus, ya, terkadang orang-orang yang punya hajat pernikahan, khitanan, dan bersih desa” Menurut hasil wawancara diatas, Temu menjelaskan bulan-bulan yang sering ada undangan, yaitu mulai bulan Agustus, bulan Suro, bulan Nopember, diluar bulan tersebut ada juga undangan seperti ada hajatan pernikahan dan khitanan. Jadi, meski tanggapan gandrung tidak begitu sering artinya ada pasang surutnya, tidak mengecilkan hati Bu Temu dalam menggeluti seni gandrung, Ia selalu berdoa kepada Tuhan-Nya di dalam menghadapi persaingan diantara seni- seni lainnya. Senada dengan itu Pak Urep juga menjelaskan bahwa tanggapan gandrung tidak pernah sepi, bisa dipastikan satu minggu pasti ada orang yang mau nanggap gandrung.

4.3.5 Aplikasi Teori