Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Pengangkutan Laut Menurut KUHD.

meningkatkan kepercayaan masyarakat atas jasa pengangkutan yang diusahakan oleh pengangkut; c Dari kepentingan penerima, penerima memperoleh manfaat untuk konsumsi pribadi maupun keuntungan komersial; d Dari kepentingan penumpang, penumpang memperoleh manfaat kesempatan mengemban tugas, profesi, meningkatkan ilmu pengetahuan, keahlian di tempat yang dituju tempat baru; e Dari kepentingan masyarakat luas, masyarakat memperoleh manfaat kebutuhan yang merata dan kelangsungan pembangunan.

B. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Pengangkutan Laut Menurut KUHD.

Menurut Drs. Suryatin, pengertian mengenai pertanggunganjawaban pengangkut dalam pengangkutan laut dalam KUHD adalah sebagai berikut 18 Berbeda dengan Pasal 468 ayat 3 KUHD, yang merupakan suatu pertanggungjawaban secara mutlak. Dan sipengangkut harus menyelidiki kemampuan pekerjanya dan alat yang akan digunakannya. Dan apabila terjadi pencurian barang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 469 KUHD, maka pengangkut hanya bertanggung jawab kalau ia diberitahu akan sifat dan harga barang sebelum ; Oleh karena dalam Pasal 468 ayat 2 KUHD disebutkan “tidak dapat dicegah maupun dihindarkan secara layak”, maka harus dipertimbangkan apakah kerugian-kerugian yang diderita tadi dapat dicegah atau dihindarkan atau tidak, menurut daya kemampuan sipengangkut. Dan adanya perkataan “secara layak”, maka pertanggungjawaban sipengankut tergantung pada keadaan danatau kejadian yang tidak dapat dipastikan terlebih dahulu Sehingga pertanggungjawabannya merupakan pertanggungjawaban secara relatif. 18 Suryatin, Hukum Dagang I dan II, Pradnya Paramita, Bandung , 1983. hlm 223-225 Universitas Sumatera Utara diserahkan atau pada waktu diserahkan. Hal ini bertujuan agar pengangkut dapat mengetahui berat-ringan resiko yang dibebankan kepadanya. Ketentuan pada Pasal 469 KUHD ini dikuatkan oleh Pasal 470, dimana ditentukan bahwa pengangkut tidak bertanggung jawab apabila ia diberi keterangan yang tidak benar tentang sifat dan harga barang yang bersangkutan. Berkaitan dengan tanggungjawabnya, sebagaimana yang telah disebutkan dalam Pasal 468 KUHD, maka dalam Pasal 470 KUHD sipengangkut tidak dibenarkan untuk mengadakan perjanjian untuk mengurangi atau menghapuskan tanggung jawabnya. Dalam pasal ini juga ditekankan bahwa pengangkut dapat diberi keringanan berkenaan dengan besarnya resiko yang menjadi bebannya. Sungguhpun pengangkut dapat mengurangi pertanggungjawabannya, namun perjanjian semacam itu tidak dapat berlaku, bila ternyata kerugian tersebut terjadi atas kelalaian pengangkut atau bawahan-bawahannya, sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 471 KUHD. Dari bahasan diatas, tentu ada acuan dasar pertanggungjawaban pengangkut terhadap sesuatu yang diangkut olehnya. Dalam KUHD dapat ditemui adanya 3 tiga prinsip tanggung jawab pengangkut dalam pengangkutan laut, yaitu: 1. Tanggung jawab praduga bersalah Presumtion of liability Dalam KUHD menganut prinsip tanggung jawab karena praduga bersalah. Dalam ketentuan pasal 468 ayat 2 KUHD yaitu, “apabila barang yang diangkut itu tidak diserahkan sebagian atau seluruhnya atau rusak, pengangkut bertanggung jawab mengganti kerugian kepada pengirim,...” 2. Tanggung jawab atas dasar kesalahan Based on fault or negligence Dalam KUHD, prinsip ini juga dianut tepatnya pada pasal 468 ayat 2 yakni “apabila barang yang diangkut itu tidak diserahkan sebagian atau seluruhnya Universitas Sumatera Utara atau rusak, pengangkut bertanggung jawab mengganti kerugian kepada pengirim, kecuali dia dapat membuktikan bahwa diserahkan sebagian atau seluruh atau rusaknya barang itu karena peristiwa yang tidak dapat dicegah atau tidak dapat dihindari terjadinya.” 3. Pembatasan tanggung jawab pengangkut limitation of liability Bila jumlah ganti rugi sebagaimana yang ditentukan oleh pasal 468 KUHD itu tidak dibatasi, maka ada kemungkinan pengangkut akan menderita rugi dan jatuh pailit. Menghindari hal ini, maka undang-undang memberikan batasan tentang ganti rugi. Jadi, pembatasan ganti rugi dapat dilakukan oleh pengangkut sendiri dengan cara mengadakan klausula dalam perjanjian pengangkutan, konosemen atau charter party, dan oleh pembentuk undang- undang. Hal ini diatur dalam KUHD pada pasal sebagai berikut: a Pasal 474 yang menyatakan, “Bila pengangkut bukan pengusaha kapal, maka tanggung jawab atas kerusakan yang diderita barang yang diangkut oleh kapal, terbatas sampai jumlah f. 50,- setiap meter kubik isi bersih kapalnya, sepanjang mengenai kapal yang digerakkan secara mekanis, ditambah dengan apa yang untuk menentukan isinya dikurangkan dari isi kotor untuk ruangan yang ditempati oleh tenaga penggerak.” b Pasal 475 yang menyatakan, “Bila pengangkut bukan pengusaha kapal, kewajiban untuk ganti rugi menurut pasal 468 yang mengenai pengangkutan laut, terbatas sampai jumlah yang dalam urusan kerusakan yang diderita, berdasarkan ketentuan pasal yang lalu, dapat ditagih pada pengusaha kapal. Dalam hal adanya perselisihan, maka pengangkut harus menunjukkan sampai seberapa batas pertanggungjawabannya.” Universitas Sumatera Utara c Pasal 476 yang menyatakan, “Dengan menyimpang dari ketentuan pasal- pasal 472-475, maka dapat dituntut ganti rugi penuh, bila kerusakan itu disebabkan oleh kesengajaan atau kesalahan besar pengangkut sendiri. Persyaratan perjanjian yang bertentangan dengan ini adalah batal.” Dalam hukum pengangkutan dikenal adanya 5 lima prinsip tanggung jawab pengangkut yaitu: 1. Prinsip Tanggung Jawab Praduga Bersalah Presumtion of Liabelity. Menurut prinsip ini, ditekankan bahwa selalu bertanggung jawab 19 2. Prinsip Tanggung Jawab Atas Dasar Kesalahan Based on Fault or Negligence. atas setiap kerugian yang timbul pada pengangkutan yang diselenggarakannya, tetapi jika pengangkut dapat membuktikan bahwa dia tidak bersalah, maka dia dibebaskan dari tanggung jawab membayar ganti rugi kerugian itu. Beban pembuktian ini diberikan kepada pihak yang dirugikan dan bukan pada pengangkut. Hal ini diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum illegal act sebagai aturan umum dan aturan khususnya diatur dalam undang-undang tentang masing-masung pengangkutan. Dapat dipahami, dalam prinsip ini jelas bahwa setiap pengangkut harus bertanggung jawab atas kesalahannya dalam penyelenggaraan pengangkutan dan harus mengganti rugi dan pihak yang dirugikan wajib membuktikan kesalahan pengangkut. Beban pembuktian ini diberikan kepada pihak yang dirugikan dan bukan pada pengangkut. Hal ini diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum illegal act sebagai aturan umum 19 Pengertian, Fungsi Dan Kegunaan Pengangkutan. Disampaikan dalam perkuliahan pertama hukum pengangkutan dan transportasi hukum bisnis syariah tanggal 22 September 2010 Rahayu Hartini. 2007. Universitas Sumatera Utara dan aturan khususnya diatur dalam undang-undang tentang masing-masung pengangkutan. 3. Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut Mutlak Absolut Liability. Pada prinsip ini, titik beratnya adalah pada penyebabnya bukan kesalahannya. Menurut prinsip ini, pengangkut harus bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dalam pengangkutan yang diselenggarakan tanpa keharusan pembuktian ada atau tidaknya kesalahan pengangkut. Prinsip ini tidak mengenal beban pembuktian, unsur kesalahan tak perlu dipersoalkan. Pengangkut tidak mungkin bebas dari tanggung jawab dengan alasan apapun yang menimbulkan kerugian itu, prinsip ini dapat dapat dirumuskan dengan pernyataan bahwa pengangkut bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul karena peristiwa apapun dalam penyelenggaraan pengangkutan ini. Dalam peraturan perundang-undangan mengenai pengangkutan, ternyata prinsip tanggung jawab mutlak tidak diatur, mungkin karena alasan bahwa pengangkut yang berusaha dibidang jasa angkutan tidak perlu di bebani dengan resiko yang terlalu berat. Akan tetapi tidak berarti bahwa pihak-pihak tidak boleh menggunakan prinsip ini dalam perjanjian pengangkutan. Para pihak boleh saja menjanjikan penggunaan prinsip ini untuk kepentingan praktis penyelesaian tanggung jawab, berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Jika prinsip ini digunakan maka dalam perjanjian pengangkutan harus dinyatakan dengan tegas, misalnya pada dokumen pengangkutan. 4. Prinsip Pembatasan Tanggung Jawab Pengangkut Limitation of Liability. Bila jumlah ganti rugi sebagaimana yang ditentukan itu tidak dibatasi, maka ada kemungkinan pengangkut akan menderita rugi dan jatuh pailit. Menghindari hal ini, maka undang-undang memberikan batasan tentang ganti Universitas Sumatera Utara rugi. Jadi, pembatasan ganti rugi dapat dilakukan oleh pengangkut sendiri dengan cara mengadakan klausula dalam perjanjian pengangkutan, konosemen atau charter party, dan oleh pembentuk undang-undang 20 5. Prinsip Tanggung Jawab Praduga Tidak Bersalah Presumtion of Non Liability . Selain itu ada hal- hal yang membuat pengangkut tidak bertanggung jawab apabila timbul suatu keadaan yang sama sekali tidak diduga sebelumnya, contohnya seperti bahaya perang, sabotase, kebakaran, kerusuhan, kekacauan dalam negeri. Asuransi tanggung jawab dibidang pengangkutan udara didasarkan atas prinsip terjadinya peristiwa asuransi tersebut karena mencakup kerugian-kerugian yang terjadi selama jangka waktu asuransi dan dilandasi kerugian yang paling dekat berdasar atas produk yang keliru. Dalam prinsip ini, pengangkut dianggap tidak memiliki tanggung jawab 21 Apabila prinsip-prinsip ini dihubungkan dengan undang-undang yang mengatur pengangkutan darat, laut dan udara di Indonesia, ternyata undang-undang pengangkutan yang mengatur ketiga jenis pengangkutan tersebut menganut prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga. Hal ini terbukti dari antara lain ketentuan salah satu pasal yakni dalam Pasal 468 ayat 2 KUHD ditentukan bahwa apabila barang yang diangkut itu tidak diserahkan seluruh atau sebagian, atau rusak, pengangkut . Dalam hal ini, bukan berarti pengangkut membebaskan diri dari tanggung jawabnya ataupun dinyatakan bebas tanggungan atas benda yang diangkutnya, tetapi terdapat pengecualian-pengecualian dalam mempertanggungjawabkan suatu kejadian atas benda dalam angkutan. 20 http:balianzahab.wordpress.commakalah-hukumhukum-pengangkutanpengangkutan-udara- dengan-asuransi 21 http:akubukanmanusiapurba.blogspot.com201007perlindungan-hukum-bagi-pengguna- jasa.html Universitas Sumatera Utara bertanggung jawab mengganti kerugian kepada pengirim. Tetapi pengangkut tidak bertanggung jawab mengganti kerugian apabila ia dapat membuktikan bahwa tidak diserahkan seluruh atau sebagian atau rusaknya brang itu karena suatu peristiwa yang tidak dapat dicegah atau dihindari terjadi. Timbulnya konsep tanggung jawab karena pengangkutan memenuhi kewajiban tidak sebagaimana mestinya, atau tidak baik atau tidak jujur atau tidak dipenuhi sama sekali. Luas tanggung jawab pengangkut ditentukan dalam Pasal 1236 dan 1246 KUH Perdata. Menurut ketentuan Pasal 1236 KUH Perdata, pengangkut wajib membayar ganti kerugian atas biaya, kerugian yang diderita dan bunga yang layak diterima, bila ia tidak dapat menyerahkan atau tidak merawat sepatutnya untuk menyelamatkan barang muatan. Pasal 1246 KUH Perdata menentukan bahwa biaya, kerugian dan bunga itu pada umumnya terdiri dari kerugian yang telah diderita dan laba yang sedianya akan diterima. C. Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Pengangkutan Laut Menurut Konvensi Internasional The Hague Rules dan The Hamburg Rules Bahwa sudah sejak lama antara pemilik kapal dan penyewa charterer, pihak dalam charter party bebas dalam membagi tanggung jawab dan kewajiban diantara mereka. Namun demikian, adalah hal biasa pula dalam charter party juga memasukan klausula paramount, yang mengaitkan ketentuan dalam Hague rule atau Hague Visby rule, Pasal 3 ayat 2 Hague rule menentukan: “The carrier shall properly and carefully load, handle, stow, carry, keep, care for and discharge the good carried.” Ketentuan tersebut diatas menekankan bahwa pengangkut harus secara tepat dan berhati-hati dalam melakukan aktifitas pemuatan, pemindahan, penyimpanan, pengangkutan dan bongkar muat atas barang yang diangkut. Universitas Sumatera Utara Sedangkan dalam hukum Indonesia belum terdapat suatu sistem yang menyeluruh mengenai tanggung jawab pemilik kapal. Walaupun dalam KUHD terdapat beberapa ketentuan yang tersebar mengenai hal tersebut pasal-pasal 474, 475, 525,526 dan 541 KUHD, namun perlu disadari bahwa saat ini sudah terdapat berbagai konvensi internasional antara lain International Convention on the Limitation of Liability for Maritime Claims 1976, yang masih perlu mendapat pengaturan dalam hukum Indonesia. Berdasarkan hal diatas secara hukum pemilik kapal Indonesia dapat dipertanggungjawabkan dalam jumlah tak terbatas atas tuntutan ganti rugi yang sebenarnya dibatasi dalam konvensi tersebut. Pemilik berkewajiban menyediakan kapal dalam keadaan seaworthy. Secara implisit maksud dari seaworthy secara umum adalah kapal harus dalam kondisi bagus dan cocok dalam bentuk, struktur, keadaan dan peralatannya untuk menghadapi bahaya-bahaya laut, dan mempunyai nakhoda serta crew atau awak kapal yang kompeten. Seaworthyness atau kelaiklautan selanjutnya mencakup “cargoworthiness”, dimana berarti kapal tersebut juga memiliki peralatan-peralatan yang cocok misalnya mesin pendingin untuk menerima dan mengangkut kargo. Dalam hukum Inggris, pemilik berkewajiban untuk menjamin atas kelaik lautan kapal dan dia dikenai tanggung jawab penuh tanpa melihat apakah pemilik sudah atau belum melakukan pemeriksaan atau pengecekan due diligence atas kelaik lautan kapal. Hukum Jerman, Perancis dan Skandinavia menerapkan prinsip yang berbeda, dimana tanggungjawab didasarkan atas adanya unsur kelalaian. Pemilik dapat dibebaskan dari tanggung jawabnya apabila dapat dibuktikan bahwa pemilik telah melakukan due diligence. Sebagai tambahan tanggung jawab yang dibebankan kepada Universitas Sumatera Utara pemilik, adalah tanggung jawab atas keamanan barang yang dipercayakan kepadanya. Tanggung jawab yang dimaksud dalam Hague Rules, pada dasarnya adalah tanggung jawab minimum atas hilang atau rusaknya kargo yang disebabkan atas kelalaian di pihak pemilik. Pasal 468 KUHD mengemukakan bahwa pengangkut bertanggung jawab atas barang yang diangkutnya sejak barang diterima olehnya sampai barang tersebut diserahkannya kepada si penerima. Ketentuan tersebut tidak cukup tegas menentukan dimana atau dalam hal apa barang dianggap telah diterima untuk diangkut dan kemudian diserahkan kepada penerima. Berbeda halnya dengan ketentuan dalam Hague Rules yang secara tegas mencantumkan bahwa pengangkut bertanggung jawab atas barang yang diangkutnya sejak barang dimuat kedalam kapal loading sampai barang dibongkar unloading di pelabuhan tujuan. Namun Konvensi tentang angkutan melalui laut Hamburg Rules lebih tegas lagi dengan mengemukakan bahwa pengangkut bertanggung jawab atas barang sejak pengangkut menguasai barang di pelabuhan muat, selama dalam pengangkutan dan di pelabuhan bongkar. Ketentuan Hamburgh Rules tersebut seolah-seolah merupakan perpanjangan dari ketentuan dalam Hague Rules, karena lingkup tanggung jawab pengangkut meliputi penguasaan barang di pelabuhan muat, dalam perjalanan maupun di pelabuhan tujuan dimana barang masih dalam penguasaan pengangkut. Masalah batas ganti rugi sebagai konsekwensi dan tanggung jawab pengangkut merupakan masalah yang serius dalam hukum maritim Indonesia. Pasal 470 KUHD menyatakan bahwa untuk suatu potong barang yang diangkut, pengangkut hanya bertanggung-jawab untuk memberikan ganti-rugi tidak boleh kurang dari Rp. 600,- kecuali jika sebelum barang diserahkan kepadanya, ia diberitahu tentang sifat dan harga barang tersebut. Kesenjangan demikian juga dialami yang menyangkut Universitas Sumatera Utara batas ganti rugi atau tanggung jawab global pengangkut yang berdasarkan pasal 474 KUHD dapat membatasi jumlah ganti rugi sebesar Rp. 50,- untuk tiap meter kubik isi bersih kapal yang bersangkutan. Dalam kenyataannya perusahaan pelayaran tersebut pada umumnya tidak menerapkan ketentuan tersebut dalam menghadapi tuntutan ganti rugi, tetapi memilih untuk menggunakan pertimbangan kebijaksanaan komersial yaitu melakukan negosiasi sehingga disepakati jumlah ganti rugi yang dapat diterima oleh pemilik atau penerima barang. Dalam pada itu ketentuan yang tercantum dalam pasal 470 itu, sebagai ketentuan Undang-undang yang masih berlaku selalu menimbulkan kekhawatiran pada pihak luar negeri yang mungkin berhadapan dengan hukum maritim Indonesia. Namun perusahaan-perusahaan Indonesia yang berlayar kedari luar negeri dalam prakteknya menggunakan konosemen internasional yang merujuk pada ketentuan ganti rugi yang tercantum dalam Hague Rules. Pasal 5 Hamburg Rules, yang mengatakan bahwa pengangkut bertanggung jawab atau akan memberi ganti rugi liable atas kerugian akibat hilang atau rusaknya barang, demikian pula sebagai akibat keterlambatan dalam menyerahkan barang, apabila peristiwa kehilangan, kerusakan atau keterlambatan tersebut terjadi pada waktu barang berada dalam penguasaan pengangkut. Dalam Hague Rules tidak terdapat sesuatu ketentuan secara eksplisit yang merupakan dasar tanggung jawab ganti rugi. Namun pasal II Hague Rules mengantipasi tentang kemungkinan kehilangan atau kerusakan barang, sedangkan dalam Hague-Visby Rules berdasarkan Protocol Brussel 1968 sebagai perubahaan atas Hague Rules terdapat suatu ketentuan pasal IV bis yang menegaskan secara eksplisit bahwa ketentuan-ketentuan mengenai batas tanggung jawab ganti rugi Universitas Sumatera Utara berlaku dalam hal adanya tuntutan ganti rugi terhadap pengangkut mengenai kehilangan atau kerusakan barang tanpa mengindahkan bahwa gugatan tersebut didasarkan pada suatu kontrak atau perbuatan melawan hukum. Azas tanggung jawab ganti rugi timbul jika terdapat unsur kesalahan yang menimbulkan tuntutan ganti rugi. Pembebasan yang dapat diberikan kepada pengangkut dalam hal pengirim barang shipper tidak memberikan keterangan yang benar mengenai sifat dan nilai barang sebelumnya atau pada waktu ia menerimanya yang kemudian menimbulkan kerusakan pada barang pasal 469 dan pasal 478 KUHD. Bahkan pengangkut berhak untuk memperoleh ganti rugi yang dideritanya akibat pemberitahuan yang diberikan kepadanya tidak benar atau tidak lengkap mengenai waktu dan sifat barang, kecuali bila ia telah mengenal atau seharusnya mengenal watak dan sifat tersebut pasal 478 KUHD Pasal IV Hague memuat suatu daftar mengenai dalam hal-hal apa pengangkut tidak bertanggung jawab ganti rugi atas kehilangan atau kerusakan barang yang meliputi hal-hal pokok sebagai berikut: 1. Tindakan, kelalaian atau kesalahan nakhoda dan awak kapal, pemandu atau orang-orang yang bekerja untuk penyelenggaraan pelayaraan atau pengelolaan kapal. 2. Kebakaran kecuali jika disebabkan atau kelalaian pengangkut. 3. Bahaya-bahaya dilaut dan force majeur bencana alam, perang, penyitaan kapal oleh penguasa, dan lain-lain 4. Hal-hal lain yang tidak dapat dibuktikan merupakan kesalahan pengangkut. Hamburg Rules menghapuskan daftar immunitas dan membebani pengangkut dengan azas tanggung jawab penuh, dimana pengangkut hanya bebas dari tanggung jawab dalam keadaan luar biasa yang tidak dapat dikuasainya Pasal 5 ayat 1 Universitas Sumatera Utara Hamburg Rules. Dengan demikian menurut Hamburg Rules pengangkut tetap betanggung jawab atas “navigational fault” yang dilakukan oleh nakhodapara pelaut. Walaupun hukum maritim nampaknya terlalu memfokuskan perhatian pada aspek-aspek tanggung jawab pengangkut, namun tidak kurang pentingnya tanggung jawab pengirim barang shipper dengan siapa perjanjian pengangkutan dibuat oleh pengangkut. Tidak banyak terdapat ketentuan dalam peraturan perundang-undangan dan konvensi-konvensi internasional mengenai tanggung jawab pengirim barang. Tanggung jawab pengirim barang terfokus pada tindakan kelalaian dalam mempersiapkan kondisi barang untuk diangkut. Hal tersebut menyangkut pengemasan barang dan pemberian informasi mengenai keadaan barang. Kewajiban ganti rugi pengangkut tidak berlaku jika kehilangan atau kerusakan barang disebabkan oleh cacat pada barang itu sendiri pasal 486 ayat 2 KUHD. Pengangkut berhak atas ganti rugi karena surat-surat yang diperlukan untuk pengangkutan tidak diserahkan kepada pengangkut pasal 478 ayat 1 KUHD. Demikian pula pengangkut berhak atas ganti rugi disebabkan adanya kerugian karena tidak diberikan keterangan tentang sifat dan macam barang kepada pengangkut, kecuali apabila pengangkut dianggap sepatutnya mengetahui hal tersebut pasal 497 KUHD. Hague Rules juga memuat beberapa ketentuan yang mewajibkan pengirim barang antara lain, seperti tercantum dalam pasal III ayat 5 yang mengatakan bahwa pengiriman dianggap telah memberikan jaminan kepada pengangkut pada waktu pengapalan mengenai kebenaran tanda, nomor, jumlah dan berat barang yang diserahkan kepada pengangkut. Pengirim akan memberikan ganti rugi kepada pengangkut terhadap kehilangan, kerusakan, dan biaya-biaya yang timbul akibat ketidakbenaran informasi yang diberikan itu. Sesuai dengan tujuannya untuk mewujudkan keseimbangan antara kepentingan pengangkut dan pengirim barang, Universitas Sumatera Utara Hamburg Rules memberikan perhatian lebih luas kepada kewajiban pengirim barang, termasuk kewajiban terhadap pengamanan barang-barang berbahaya Hamburg Rules Pasal 12 dan 13. Universitas Sumatera Utara

BAB IV PRINSIP-PRINSIP TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT

Dokumen yang terkait

Perkawinan Campuran Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Tentang Perkawinan

2 93 97

Perkawinan Dibawah Umur Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Hukum Adat Serta Kompilasi Hukum Islam

6 131 125

Sinkronisasi Antara Hukum Pajak Dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Mengenai Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR)

1 75 183

Tinjauan Yuridis Pernikahan Siri Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam

3 77 140

Mediasi Di Pengadilan Pasca Keluarnya Perma Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan

0 24 135

Tanggung Jawab pengangkut Dalam pengangkutan semen curah Melalui Laut Pada PT. Pelayaran Parnaraya Nusantara cabang Padang.

0 0 6

KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT DALAM PENGANGKUTAN BARANG MELALUI LAUT UNTUK MENYEDIAKAN KELAIKLAUTAN KAPAL YANG MENINGKAT STANDARNYA SESUAI DAERAH PELAYARAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 17 TAHUN.

0 0 1

TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN PENGANGKUT ATAS BARANG KIRIMAN APABILA KAPAL TENGGELAM AKIBAT BERTABRAKAN DENGAN KAPAL LAIN DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO 17 TAHUN 2008 TENTANG PELAYARAN DAN UNDANG-UNDAN.

0 1 1

IMPLIKASI HUKUM PENERAPAN ASAS CABOTAGE DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG PELAYARAN TERHADAP OPERASI DAN PENGANGKUTAN DI SEKTOR MIGAS.

0 0 2

Pertanggungjawaban PT Pelayaran Sakti Inti Makmur atas barang kiriman yang rusak/hilang melalui pengangkutan laut ditinjau dari undang-undang nomor 17 Tahun 2008 tentang pelayaran - Repository Universitas Bangka Belitung

0 0 13