BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Plumbum Pb merupakan salah satu logam berat yang bersifat racun bagi
manusia. Pb dapat ditemukan pada semua lingkungan sekitar kita. Pakar lingkungan sependapat bahwa Pb merupakan kontaminan terbesar dari seluruh debu logam di
udara Winarno, 1993. Mayoritas Pb berasal dari pembakaran bahan bakar kendaraan bermotor, emisi industri dan penggunaan cat bangunan yang mengandung
Pb. Pb juga dapat mencemari air minum karena adanya kontaminasi dari pipa, solder dan kran air Hariono, 2005.
Pb yang paling banyak terdapat di udara adalah Pb anorganik, terutama berasal dari pembakaran bahan bakar kendaraan bermotor yang mengandung Pb tetraethyl
dan Pb tetramethyl USEPA,1986; WHO,1987. Komisi Penghapusan Bensin Ber-Pb KPBB melaporkan bahwa konsentrasi Pb di udara ambient di beberapa kota
besar seperti: Jabotabek pada tahun 2000 menunjukkan 1,75-3,5 gm
3
, Kota Bandung pada tahun 2004 2-3,5 gm
3
, Yogyakarta 2 gm
3
, Makassar 9 gm
3
, dan Semarang 9 gm
3
. Konsentrasi 1 gm
3
Pb yang berada di udara berdampak pada peningkatan kadar Pb dalam darah 2,5-5,3 gdL KPBB, 2006. Akumulasi
kandungan Pb dalam darah akan menyebabkan berbagai dampak buruk antara lain: Peningkatan kematian orang dewasa akibat penyakit kardiovaskuler, menurunnya IQ
anak-anak, gangguan saluran cerna, anemia, nephropathy dan encephalopathy Hidayat dan Haryadi, 2002.
Manusia dewasa dan anak-anak sering terpapar Pb melalui udara, air dan makanan Elias, 1985. Problema intoksikasi Pb yang lebih luas ialah kadar Pb yang terdapat
dalam udara yang dapat diabsorbsi melalui paru dengan baik, dimana 25-50 Pb yang dihirup akan diabsorbsi ke dalam darah Sjamsudin dan Suyatna, 1978.
Dari beberapa hasil penelitian FKM UI tahun 1987 menunjukkan kadar Pb pada spesimen darah pekerja jalan Tol Jagorawi adalah 39,2-75,9 gdL Demikian juga
hasil penelitian Nani pada tahun 1984 menunjukkan bahwa 30-46 pengemudi dan petugas polantas mempunyai kadar Pb dalam darah 40 gdL. Sedangkan kadar Pb
yang diperkenankan WHO pada orang dewasa normal adalah 10-25 gdL dan untuk usia anak-anak adalah 0-10 gdL Depkes, 2001.
Sifat toksikologi Pb saat ini banyak diteliti. Sistem pencernaan, sistem saraf pusat Busnell dan Levin,1983; Cohn et al, 1993, sistem hemopoietik Baloh, 1974,
sistem kardiovaskuler Stofen, 1974 dan ginjal Baloh, 1974; Nolan dan Shaikh, 1992 meru- pakan sistem dan organ tubuh yang paling sensitif terhadap efek toksik.
Intoksikasi Pb akut jarang terjadi, biasanya bersifat accidental poisoning yaitu termakannya senyawa Pb akut yang mengenai saluran pencernaan, susunan saraf
pusat dan susunan saraf perifer. Anemia hemolitik berat kadang-kadang terjadi pada intoksikasi Pb akut. Hal ini diduga karena Pb merangsang hemolisis oksidatif dan
merusak membran sel eritrosit muda dan dewasa pada sumsum tulang serta darah tepi, menurunkan aktivitas superoksida dismutase SOD dan peningkatan konversi
oksihemoglobin menjadi methemoglobin Gurer dan Ercal, 2000. Pb menyebabkan penghancuran eritrosit melalui pembentukan peroksida-peroksida lipid dalam
membran sel. Pb juga menurunkan absorbsi besi di saluran cerna dan menghambat biosintesa heme, menyebabkan gagalnya pembentukan hemoglobin darah dan juga
menurunkan aktifitas katalase yang memerlukan heme sebagai gugus prostetiknya Ercal et al, 2001. Intoksikasi Pb kronik didapatkan melalui paparan terhadap Pb
secara terus-menerus sehingga akumulasi Pb makin meningkat dalam jaringan dan akhirnya menimbulkan gejala intoksikasi Sjamsudin dan Suyatna, 1978. Pengaruh
Pb ternyata sangat luas, Pb juga diketahui dapat menginduksi terjadinya stres oksidatif pada tubuh dengan merangsang pembentukan radikal bebas dan mereduksi
sistem pertahanan antioksidan dari sel Gurer dan Ercal, 2000. Stres oksidatif yang muncul merupakan akibat ketidakseimbangan antara produksi dan penghancuran
Reactive Oxigen Spesies ROS seperti peroksidasi lipid, anion superoksida, peroksida hidrogen, dan peroksinitrit. Stres oksidatif yang terjadi ditandai dengan
naiknya Lipid Peroxidation Potensial LPP di dalam jaringan yang dapat ditentukan dengan mengukur molekul malondialdehyde MDA. Pengukuran MDA banyak
dilakukan sebagai parameter terjadinya peroksidasi lipid. Penelitian pada hewan percobaan yang diberikan Pb asetat dosis tunggal 200 mgkgBB melalui injeksi
peritoneal selama 4 minggu ternyata dapat menyebabkan stress oksidatif yang ditandai dengan naiknya LPP di dalam jaringan. Acharya et al, 2003.
Banyak bukti - bukti ilmiah yang mengindikasikan bahwa kerusakan sel yang diperantarai oleh ROS atau stres oksidatif kemungkinan berperan dalam patologi
intoksikasi Pb Hemes-Lima et al, 1991; Bechara et al, 1993; Sandhir et al, 1995; Adonaylo dan Oteiza, 1999. Kadar MDA di dalam darah mempunyai hubungan yang
kuat dengan konsentrasi Pb dalam darah pada orang yang terpapar Pb Jiun dan Hsien, 1994. Pada eritrosit dari individu yang terpapar Pb, aktivitas enzim-enzim
antioksidan seperti superoksida dismutase dan glutathion peroksidase, ditandai lebih tinggi dari pada mereka yang tidak terpapar Pb Monteiro et al, 1986. Menurut
Gurer et al 1999 dalam penelitiannya mendapati bahwa Pb meningkatkan rasio prooksidanantioksidan pada tikus yang diberi Pb.
Kemampuan menetralisir senyawa oksidan sebenarnya sudah dimiliki oleh sel atau tubuh itu sendiri. Enzim glutathion peroksidase, uric acid dan enzim katalase bekerja
menetralisir oksidan hidrogen peroksida. Hidrogen peroksida H
2
O
2
dapat menimbulkan ROS yang memicu terjadinya peroksidasi lipid. Selain itu senyawa
oksida seperti superoksida O
2
dapat dinetralisir oleh tubuh dengan bantuan enzim superoksida dismutase SOD, radikal hidroksil dan oksigen singlet dinetralisisr oleh
uric acid. Walaupun tubuh memiliki enzim-enzim antioksidan sendiri, namun kerjanya banyak berada di intrasel. Kemampuan tubuh tidak cukup untuk menetralisir
seyawa oksidan akibat paparan bahan-bahan beracun yang berasal dari lingkungan yang bersifat radikal, termasuk salah satunya Pb dari pembakaran bahan bakar
kendaraan bermotor, pestisida, nitrat, radioaktif dan sebagainya Goodman, 1995. Asam askorbat L-Ascorbic Acid merupakan senyawa alami yang bersifat
antioksidan kuat dan mempunyai kemampuan mengikat zat-zat radikal seperti superoksida dan radikal hidroksil, serta juga bereaksi langsung dengan hidrogen
peroksida Carr dan Frei, 1999. Pada beberapa reaksi asam askorbat bersifat sebagai
donor elektron. Asam askorbat dengan dosis 400 mg dapat melindungi otot dari
kerusakan oksidatif selama aktivitas jangka panjang seperti berolahraga berat dan menstimulasi reparasi fungsi otot Tjay dan Rahardja, 2006. Pada tikus yang
terpapar Pb, dengan pemberian konsentrasi 500 mgL Asam askorbat di dalam air minumnya dapat menurunkan kadar ROS sebesar 40 Hsu et al, 1998.
Pada penelitian yang menggunakan asam askorbat dengan dosis 1000 mg pada ibu-ibu hamil didapatkan adanya s
uatu hubungan yang terbalik antara konsentrasi Pb darah dan kadar asam askorbat pada wanita hamil West et al, 1994. Hasil-hasil
yang didapat tersebut mendorong anggapan bahwa antioksidan mungkin memegang peranan penting pada penanganan keracunan Pb.
Penelitian sebelumnya juga menemukan bahwa asam askorbat dengan dosis 400mgkgBB yang diberikan secara
oral, mampu meningkatkan kadar glutathion di darah maupun di hati tikus albino swiss sebagai indikator terjadinya perbaikan terhadap stress oksidatif Gajawat et al,
2006. Meskipun telah banyak penelitian tentang keracunan Pb, namun belum banyaknya
kajian tentang bagaimana efektivitas proteksi asam askorbat terhadap berbagai konsentrasi paparan Pb memberi peluang penelitian selanjutnya.
I.2. Perumusan Masalah