1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas maka yang menjadi permasalahan adalah belum diketahuinya profil pasien penderita tumor ganas
sinonasal dan hubungan antara karakteriktik penderita jenis kelamin, usia, suku bangsa, lama menderita, keluhan utama dengan karakteristik tumor ganas
sinonasal lokasi, stadium, histopatologi.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui profil penderita dan hubungan karakteristik penderita dengan karakteristik tumor ganas sinonasal di RSUP H. Adam Malik Medan periode
2005 – 2009. 1.3.2.
Tujuan Khusus
Untuk memberikan informasi yang berhubungan dengan peningkatan pelayanan kesehatan bagi penderita tumor ganas sinonasal.
1.4. Manfaat Penelitian
Untuk memperoleh data tentang tumor ganas sinonasal di RSUP H. Adam Malik Medan.
Universitas Sumatera Utara
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tumor Ganas Sinonasal
Tumor ganas sinonasal merupakan penyebab kesakitan dan kematian di bidang otorinolaringologi di seluruh dunia. Kebanyakan tumor ini berkembang dari sinus
maksilaris dan tipe histologi yang paling sering ditemukan adalah karsinoma sel skuamosa Fasunla dan Lasisi, 2007; Luce et al, 2002.
2.2. Anatomi
Kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri Corbridge,
1998.
2.2.1. Septum Nasi
Septum nasi dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya
dilapisi juga dengan mukosa nasal Corbridge, 1998. Bagian tulang terdiri dari :
• Lamina perpendikularis os etmoid
Lamina perpendikularis os etmoid terletak pada bagian supero-posterior dari septum nasi dan berlanjut ke atas membentuk lamina kribriformis dan krista gali.
• Os vomer
Os vomer terletak pada bagian postero-inferior. Tepi belakang os vomer merupakan ujung bebas dari septum nasi.
Universitas Sumatera Utara
• Krista nasalis os maksila
Tepi bawah os vomer melekat pada krista nasalis os maksila dan os palatina. •
Krista nasalis palatina Corbridge, 1998; Lund, 1997. Bagian tulang rawan terdiri dari :
• Kartilago septum kartilago kuadrangularis
Kartilago septum melekat dengan erat pada os nasal, lamina perpendikularis os etmoid, os vomer dan krista nasalis os maksila oleh serat kolagen.
• Kolumela
Kedua lubang berbentuk elips disebut nares, dipisahkan satu sama lain oleh sekat tulang rawan dan kulit yang disebut kolumela Corbridge, 1998; Lund,
1997.
2.2.2. Perdarahan
Bagian postero-inferior septum nasi diperdarahi oleh arteri sfenopalatina yang merupakan cabang dari arteri maksilaris dari a,karotis eksterna. Septum nasi
bagian antero-inferior diperdarahi oleh arteri palatina mayor juga cabang dari a.maksilaris yang masuk melalui kanalis insisivus. Arteri labialis superior cabang
dari a.fasialis memperdarahi septum bagian anterior mengadakan anastomose membentuk fleksus Kiesselbach yang terletak lebih superfisial pada bagian anterior
septum. Daerah ini disebut juga Little’s area yang merupakan sumber perdarahan pada epistaksis.
Arteri karotis interna memperdarahi septum nasi bagian superior melalui arteri etmoidalis anterior dan superior.
Vena sfenopalatina mengalirkan darah balik dari bagian posterior septum ke fleksus pterigoideus dan dari bagian anterior septum ke vena fasialis. Pada
Universitas Sumatera Utara
bagian superior vena etmoidalis mengalirkan darah melalui vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus sagitalis superior Lund, 1997.
2.2.3. Sinus Paranasal
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang terletak di sekitar nasal dan mempunyai hubungan dengan kavum nasi melalui ostiumnya
Mangunkusumo, 1999. Terdapat empat pasang sinus paranasal, yaitu sinus frontalis, sfenoidalis, etmoidalis, dan maksilaris. Sinus maksilaris dan etmoidalis
mulai berkembang selama dalam masa kehamilan. Sinus maksilaris berkembang secara cepat hingga usia tiga tahun dan kemudian mulai lagi saat usia tujuh tahun
hingga 18 tahun dan saat itu juga air-cell ethmoid tumbuh dari tiga atau empat sel menjadi 10-15 sel per sisi hingga mencapai usia 12 tahun Jhosephson dan Roy,
1999. Sinus maksilaris adalah sinus paranasal pertama yang mulai berkembang dalam
janin manusia. Sinus ini mulai berkembang pada dinding lateral nasal sekitar hari 65 kehamilan. Sinus ini perlahan membesar tetapi tidak tampak pada foto polos
sampai bayi berusia 4-5 bulan. Pertumbuhan dari sinus ini bifasik dengan periode pertama di mulai pada usia tiga tahun dan tahap kedua di mulai lagi pada usia tujuh
hingga 12 tahun. Selama tahap kedua ini, pneumatisasi meluas secara menyamping hingga dinding lateral mata dan bagian inferior ke prosesus alveolaris bersamaan
dengan pertumbuhan gigi permanen. Perluasan lambat dari sinus maksilaris ini berlanjut hingga umur 18 tahun dengan kapasitasnya pada orang dewasa rata-rata
14,75 ml. Sinus maksilaris mengalirkan sekret ke dalam meatus media Jhosephson dan Roy, 1999; Russel, 2000
Universitas Sumatera Utara
Sel etmoid mulai berkembang dalam bulan ketiga pada proses perkembangan janin. Sinus etmoidalis anterior merupakan evaginasi dari dinding lateral nasal dan
bercabang ke samping dengan membentuk sinus etmoidalis posterior dan terbentuk pada bulan keempat kehamilan. Saat dilahirkan sel ini diisi oleh cairan sehingga
sukar untuk dilihat dengan rontgen. Saat usia satu tahun sinus etmoidalis baru bisa dideteksi melalui foto polos dan setelah itu membesar dengan cepat hingga usia
12 tahun. Sinus etmoidalis anterior dan posterior ini dibatasi oleh lamina basalis. Jumlah sel berkisar 4-17 sel pada sisi masing-masing dengan total volume rata-rata
14-15 ml. Sinus etmoidalis anterior mengalirkan sekret ke dalam meatus media, sedangkan sinus etmoidalis posterior mengalirkan sekretnya ke dalam meatus
superior. Menurut Kennedy, diseksi sel-sel etmoid anterior dan posterior harus dilakukan dengan hati-hati karena terdapat dua daerah rawan. Daerah pertama
adalah daerah arteri etmoid anterior yang merupakan cabang arteri oftalmika, terdapat di atap sinus etmoidalis dan membentuk batas posterior resesus frontal.
Arteri ini berada pada dinding koronal yang sama dengan dinding anterior bula etmoid. Daerah yang kedua adalah variasi anatomi yang disebut dengan sel onodi.
Sel onodi adalah sel udara etmoid posterior yang berpneumatisasi ke postero-lateral atau postero-superior terhadap dinding depan sinus sfenoidalis dan melingkari
nervus optikus dan dapat dikira sebagai sinus sfenoidalis Jhosephson dan Roy, 1999; Russel, 2000.
Sinus frontalis mulai berkembang sepanjang bulan keempat kehamilan, merupakan satu perluasan ke arah atas dari sel etmoidal anterosuperior. Sinus
frontalis jarang tampak pada pemeriksaan foto polos sebelum umur lima atau enam tahun setelah itu perlahan tumbuh, total volume 6-7 ml. Pneumatisasi sinus frontalis
Universitas Sumatera Utara
mengalami kegagalan pengembangan pada salah satu sisi sekitar 4-15 populasi. Sinus frontalis mengalirkan sekretnya ke dalam resesus frontalis Jhosephson dan
Roy, 1999; Russel, 2000. Sinus sfenoidalis mulai tumbuh sepanjang bulan keempat masa kehamilan
yang merupakan evaginasi mukosa dari bagian superoposterior kavum nasi. Sinus ini berupa suara takikan kecil di dalam os sfenoid sampai umur tiga tahun ketika
mulai pneumatisasi lebih lanjut, Pertumbuhan cepat untuk mencapai tingkat sella tursika pada umur tujuh tahun dan menjadi ukuran orang dewasa setelah umur
18 tahun, total volume 7,5 ml. Sinus sfenoidalis mengalirkan sekretnya ke dalam meatus superior bersama dengan etmoid posterior Jhosephson dan Roy, 1999.
Mukosa sinus terdiri dari ciliated pseudostratified, columnar epithelial cell, sel Goblet, dan kelenjar submukosa menghasilkan suatu selaput lendir bersifat
melindungi. Selaput lendir mukosa ini akan menjerat bakteri dan bahan berbahaya yang dibawa oleh silia, kemudian mengeluarkannya melalui ostium dan ke dalam
nasal untuk dibuang Jhosephson dan Roy, 1999.
2.3. Epidemiologi
Tumor ganas rongga nasal dan sinus paranasal diperkirakan sebesar 1 dari seluruh neoplasma ganas manusia dan 3 dari jumlah ini ditemukan pada kepala
dan leher. Secara tipikal ditemukan pada dekade ke lima dan ke tujuh kehidupan dan rasio perbandingan antara pria dan wanita adalah sebesar 2:1 Bailey, 2006;
Barnes, Eveson, Reichart, Sidransky, 2005. Insiden tumor ganas rongga nasal dan sinus paranasal tumor ganas sinonasal
rendah pada kebanyakan populasi 1,5100.000 pada pria dan 0,1100.000 pada
Universitas Sumatera Utara
wanita. Insiden tertinggi keganasan sinonasal ditemukan di Jepang yaitu 2-3,6 per 100.000 penduduk pertahun, juga ditemukan di beberapa tempat tertentu di Cina
dan India. Di Departemen THT FKUI RS Cipto Mangunkusumo, keganasan ini ditemukan pada 10-15 dari seluruh tumor ganas THT. Laki-laki ditemukan lebih
banyak dengan rasio laki-laki banding wanita sebesar 2:1 Roezin, 2007. Rifqi mengemukakan data yang dikumpulkannya dari rumah sakit umum di sepuluh kota
besar di Indonesia bahwa frekuensi tumor hidung dan sinus adalah 9,3–25,3 dari keganasan THT dan berada pada peringkat kedua setelah tumor ganas nasofaring
Tjahyadewi dan Wiratno, 1999. Di RSUP H. Adam Malik Medan selama Januari 2002 sampai dengan Desember 2008 pasien yang dirawat dengan diagnosis
karsinoma hidung dan sinus paranasal adalah sebanyak 52 kasus. Insidensi di India sekitar 0,44 dari seluruh keganasan di India dengan
perbandingan antara pria dan wanita adalah 0,57 banding 0,44. Insiden pada tahun 2000 adalah 0,3 per 100.000 penduduk. Kebanyakan melibatkan sinus
maksila diikuti dengan sinus etmoid, frontal dan sfenoid. Penyakit ini sering pada usia 40-60 tahun Dhingra, 2007.
Karsinoma sel skuamosa merupakan jenis yang paling sering ditemukan. Enam puluh persen tumor sinonasal berkembang di dalam sinus maksilaris,
20-30 di dalam rongga nasal, 10-15 di dalam sinus etmoidalis, dan 1 di dalam sinus sfenoidalis dan frontalis. Apabila hanya melibatkan sinus-sinus
paranasal tersendiri, 77 tumor maligna muncul di dalam sinus maksilaris, 22 di dalam sinus etmoidalis dan 1 di dalam sinus sfenoidalis dan frontalis.
Neoplasma maligna pada tempat-tempat ini dapat mengakibatkan kematian dan
Universitas Sumatera Utara
kecacatan dalam jumlah yang signifikan Barnes, Eveson, Reichart, Sidransky, 2005.
2.4. Etiologi