6
BAB II
2 KERANGKA TEORI
2.1 Penerjemahan Secara Umum
2.1.1 Definisi Penerjemahan
Penerjemahan selama ini didefinisikan melalui berbagai cara dengan latar belakang  teori  dan  pendekatan  yang  berbeda-beda.  Nida  dan  Taber  sebagaimana
yang dikutip Frans Sayogie mengemukakan bahwa penerjemahan adalah “consist
in  reproducing  in  the  receptor  language  the  closest  natural  equivalent  of  the source  language  message,  first  in  terms  of  meaning  and  secondly  in  terms  of
style ”  suatu  upaya  mengungkapkan  kembali  pesan  dan  suatu  bahasa  ke  dalam
bahasa lain.
7
Brislin memberikan definisi yang lebih luas, seperti yang dikutip Sayogie bahwa  penerjemahan  adalah  memindahkan  pikiran  atau  ide  dari  bahasa  sumber
ke  bahasa  sasaran,  baik  bahasa  itu  merupakan  tulis  atau  lisan,  baik  bahasa  itu tersusun  secara  ortografi  ataupun  standar,  ataupun  bahasa  itu  merupakan  bahasa
isyarat  untuk  orang  tuli.
8
Suhendra  Yusuf  juga  memberikan  definisi  yang  sama yaitu  bahwa  terjemah  adalah  kegiatan  manusia  dalam  mengalihkan  seperangkat
informasi  atau  pesan  baik  verbal  atau  non  verbal  dari  bahasa  sumber  ke  dalam informasi bahasa sasaran.
9
Dari  definisi-definisi  di  atas  Penulis  menyimpulkan  bahwa  1 penerjemahan  melibatkan  dua  bahasa,  yaitu  bahasa  sumber  dan  bahasa  sasaran,
7
Frans Sayogie, Penerjemahan Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif  Hidayatullah, 2008, h. 7
8
Ibid., h. 9
9
Suhendra Yusuf, Teori Penerjemahan: Pengantar ke Arah Pendekatan Linguistik dan Sosiolinguistik, Bandung: Mandar Maju, 1994, h.8
2  penerjemahan  adalah  upaya  mengalihkan  bahasa  sumber  dengan    teks  yang sepadan  dalam  bahasa  sasaran  baik  vebal  atau  pun  non  verbal,  3  yang
diterjemahkan adalah makna sebagaimana yang dimaksudkan oleh pengarang.
2.1.2 Pemerolehan Makna dalam Penerjemahan
Untuk  memperoleh  makna  dalam  penerjemahan,  Syihabuddin  dalam  hal ini  mengutip  pernyataan  Hasan  yang  menegaskan  bahwa  tujuan  penerjemahan
adalah  memberikan  pemahaman  makna  yang  ada  dari  bahasa  sumber  Bsu. Kesulitan  dalam    memperoleh  makna  muncul  ketika  menentukkan  makna  dari
struktur  Bsu  yang  memang  berbeda  dengan  struktur  yang  ada  di  bahasa  sasaran Bsa.  Kesulitan  juga  muncul  karena  keragaman  makna  yang  membuat
penerjemah harus memilih makna dengan tepat dan benar. Karena itu Syihabuddin menjelaskan  bagaimana  memperoleh  makna  dalam  proses  penerjemahan  yaitu
dengan  cara  analisis  struktur,  analisis  leksikal,  dan  analisis  kontekstual.  Berikut penjelasan cara ketiga analisis tersebut;
10
Analisis  struktural  berkaitan  dengan  penelaahan  dua  hal  pokok  yaitu, analisis  morfologis  dan  analisis  sintaksis.  Pada  analisis  morfologis,  penerjemah
harus memahami tiga hal berikut: Pertama,  kata-kata  itu  memiliki  sekumpulan  makna  morfologis  seperti
nominal,  verbal,  ajektifal,  dan  preposisional.  Kedua,    makna-makna  morfologis tersebut  telah  disajikan  melalui  konstruksi  yang  beragam.  Konstruksi  ini  terdiri
atas dasar kata mujarrad, kata yang telah mengalami afiksasi mazid, dan kata dengan morfem zero.   Ketiga,  konstruksi-konstruksi  itu  berhubungan  satu  sama
lain, baik hubungan persesuaian maupun pertentangan.
10
Syihabuddin, Penerjemahan Arab Indonesia Teori dan Praktek, hal. 33-35
Analisis sintaksis didasarkan pada empat hal, yakni; pertama, sekelompok makna  sintaksis  yang  umum.  Kelompok  ini  diistilahkan  dengan  makna  kalimat,
misalnya kalimat nominal, kalimat verbal, kalimat aktif, dan kalimat pasif. Kedua, sekelompok  makna  sintaksis  yang  khusus.  Makna  ini  terdapat  pada  setiap
konstituen  atau  unsur  pembentuk  kalimat,  misalnya  makna  objektif,  agentif,  dan idhafah.  Ketiga,  hubungan  di  antara  makna-makna  konstituen  pada  kalimat,
misalnya  hubungan  predikatif  antara  subjek  dan  predikat,  atau  antara  verba  dan pelakunya.  Jenis  hubungan  ini  ialah  isnad  predikatif,  takhsis  pengkhususan,
nisbah  atribut,  dan taba‟iyah  subordinatif.  Keempat,  bahan-bahan  yang
dihasilkan dari analisis morfologis seperti harakat, huruf, kategori, dan infleksi. Proses di  atas akan menghasilkan makna fungsional  bagi  sebuah kalimat.
Proses ini harus dilanjutkan pada analisis leksikal sebagai tahap kedua dari proses penemuan  makna.  Sebagaimana  kita  ketahui  bahwa  makna  leksikal  itu  beragam
dan memiliki banyak kemungkinan, tetapi makna yang dikehendaki oleh konteks kalimat hanya satu.
Tahap  ketiga  adalah  analisis  kontekstual,  dalam  analisis  ini  penerjemah perlu  memperhatikan  status  individu  dalam  masyarakat,  peran  individu  dalam
melakukan  tindak  tutur,  dan  tujuan  dari  tindakannya  itu.  Pemahaman  status individu  sangat  penting  dalam  menentukkan  makna.  Karena  sebuah  kata  atau
ugkapan  terkadang  berbeda  maknanya  sesuai  kedudukan  seseorang.  Jika ungkapan  “Dia  banyak  minum”  ditujukan  kepada  anak,  berarti  anak  banyak
meminum  jenis minuman ringan. Namun, jika ditujukan kepada pemabuk, berarti minuman itu adalah minuman keras.
Peran  individu  merujuk  pada  kedudukannya  sebagai  pembaca,  Penulis, pendengar,  pembicara,  pembicara,  penceramah,  dan  lain-lain.  Sementara  itu,
tujuan tindak tutur mengacu pada dua tujuan tindak berbahasa,  yaitu berinteraksi dan  berekspresi.  Tujuan  interaksi  menekankan  tujuan  pembicaraan  untuk
mempengaruhi pihak lain, sedangkan tujuan ekspresi menekankan pengungkapan sikap  individu  semata.  Jelaslah  bahwa  makna  semantis  merupakan  produk  dari
analisis fungsional, analisis leksikal, dan analisis kontekstual.
2.1.3 Diksi dalam Penerjemahan
Dalam  kegiatan    menerjemahkan  setelah  penerjemah    mendapatkan    makna  dari Bsu.  Mulailah  penerjemah menggunakan kosakata-kosakata  yang mereka punya
guna  untuk  memilih  diksi  yang  tepat  dan  baik.  Jangan  sampai  pembaca  lebih memilih  membaca  teks  asli  karena  pembaca  tidak  mengerti  maksud  dari  hasil
terjemahan  kita.  Dalam  proses  menerjemahkan  penerjemah  akan  banyak menemukan  masalah  dalam  memilih  diksi  yang  tepat  dan  baik.  Moch.  Syarif
Hidayatullah  mengemukakan  lima  tingkat  masalah  dalam  memilih  diksi,  yaitu, literal  harfiah,  syntactical  tata  bahasa,  idiomatical  peribahasa,  aesthetical
kesustraan,  dan  ethical  kesusilaan.
11
Untuk  lebih  jelas  akan  dipaparkan  satu persatu:
1  Literal Harfiah Pada  tingkat  ini  penerjemah  menerjemahkan  kata  atau  kalimat  secara
apa  adanya  yang  ada  di  dalam  kamus.  Penerjemahan  ini  juga  dapat digunakan  selama  penggunaannya  tidak  menyimpang  dari  pesan
bahasa  sumber.  Contohnya  kata ء   dalam  bahasa  Indonesia  jika
11
Moch.Syarif Hidayatullah, Tarjim al-An: Cara Mudah menerjemahkan Arab-Indonesia, Tangerang Selatan: Dikara, 2010 h. 39
diterjemahkan  secara  harfiah  mempunya i  arti  „haid  atau  menstruasi‟
mempunyai  komponen  makna  +DARAH,  sedangkan  pada  konteks lain  ada  yang  mendefinisikan  kata  t
ersebut  „suci‟,  yang  memiliki komponen makna -DARAH. Di sini  terjadi perbedaan makna. Tetapi
perbedaan  makna  ini  tidak  dapat  dielakkan.  Penerjemahan  tingkat  ini dapat digunakan sebagai sarana untuk memperoleh makna.
2  Syntactical Tata Bahasa Pemilihan
kata pada
tingkat ini,
penerjemah benar-benar
memperhatikan tata bahasa sumber.  Contohnya pada kalimat ش  َ
ف    حَ  َن   َ ش   „minumlah  dari  air  laut‟  selama  kamu tinggal di tempat ini‟. Terjemahan ungkapan   َ  َ   َ ش  secara tata
bahasa  memang  benar  tetapi  maksud  atau  pesan    tidak  benar.    Untuk itu,  di  sinilah  peran  penerjemah  guna  mentransfer  informasi  yang
benar  dan  baik  kepada  pembaca.  Terjemahan  di  atas  bisa  kita terjemahkan „berbuatlah sesuka hatimu selama kamu tinggal di tempat
ini‟. 3
Idiomatical Pemilihan  kata  berdasarkan  kesepadanan  idiom.  Pada  tingkat  ini
penerjemah  harus  menangkap  pesan  dari  suatu  ungkapan  yang merupakan  idiom.  Pada  tingkat  ini  penerjemah  tidak  lagi
menerjemahkan secara harfiah dan tata bahasa. Penerjemah pun harus jeli  menangkap  pesan  dari  suatu  kalimat.Contohnya:
ف .    Jika  kita  menerjemahkan  ungkapan  ini  tanpa  memperhatikan
aspek bahasa maka terjemahannya siapa yang tahu jauhnya perjalanan
maka siap-siap. Padahal, pesan yang ingin disampaikan setara dengan idiom sedia payung sebelum hujan.
4  Aesthetical Kesustraan Pemilihan kata pada tingkat ini benar-benar harus memperhatikan nilai
kesastraan,  seperti  konotasi  dan  irama.  Contohnya  pada  kasus  syair Imam Syafi‟i, yaitu:
ش ف ء
ش ا ه
Jika syair ini diterjemahkan secara apa adanya maka tidak akan tampak aspek kesastraannya. Contohnya:
Aku mengadu kepada Waki‟ tentang jeleknya hafalanku,
Maka ia menasehatiku untuk meninggalkan maksiat Dan mengabarkanku bahwa ilmu itu cahaya
Dan  cahaya  Allah  tidak  ditujukan  kepada  orang-orang bermaksiat.
Terjemahan  di  atas  belum  terlihat  nilai  kesastraannya.  Lain  hal  jika teks  itu  diterjemahkan  secara  aesthetical,  maka  terjemahannya  akan
sangat  baik  dan  indah.  Seperti  terjemahan  Moch.  Syarif  Hidayatullah ketika menerjemahkan syair ini;
Kuadukan kepada Waki‟ Buruk sekali hapalanku
Jauhi maksiat saja katanya Ilmu itu cahaya
Cahaya Allah tidak mau menerangi yang bernoda
Dari  kedua  terjemahan  di  atas,  terlihat  terjemahan  yang  tidak mengandung nilai sastra dan terjemahan yang mengandung nilai sastra.
Dari sinilah, penerjemah harus mampu menerjemahkan ungkapan yang bernilai  sastra  diterjemahkan  dengan  terjemahan  yang  bernilai  sastra
pula. Agar pembaca menikmati karya dan maksud dari pengarang. 5  Ethical Kesusilaan
Pada tingkat ini, penerjemah tidak hanya mampu memilih diksi dalam tingkat kesastraan,  juga harus mampu  memilih kata yang baik sesuai
pada prinsip kesopanan dan etika dalam bahasa sasaran, apalagi bahasa Indonesia  yang  sangat  menjujung  tinggi  nilai  kesopanan.  Sebagai
contoh lebih
tepat  diterjemahkan  „orang  yang  terbelakang pertumbuhan  mentalnya
‟  dari  pada  diterjemahkan  „orang  idiot‟, karena terjemahan itu lebih etis dan lebih sopan.
2.2 Medan Makna