Maka berdasarkan angka kematian yang tinggi yang disebabkan karena DM setiap tahunnya di Indonesia, serta prevalensi penderita DM Tipe 2 yang cukup tinggi di
Indonesia dan Medan. Serta didukung dengan fakta bahwa perawatan penderita DM Tipe 2 yang masih sangat rendah. Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian tentang “Analisa Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perawatan Diri Penderita Diabetes Melitus Tipe 2”
1.2 Pertanyaan Penelitian?
Berdasarkan uraian dalam latar belakang dapat diambil pertanyaan penelitian dalam penelitian ini yaitu apa faktor-faktor yang mempengaruhi perawatan diri
penderita Diabetes Melitus Tipe 2 DM Tipe 2.
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum :
Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perawatan diri pasien DM Tipe 2.
1.3.2 Tujuan Khusus :
a. Mendeskripsikan karakteristik responden meliputi usia, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, penghasilan, status pernikahan lama menderita DM, dan komplikasi DM
b. Mendeskripsikan pengetahuan responden tentang DM, dukungan keluarga,
self- efficacy dan perawatan diri DM Tipe 2 c.
Mengetahui hubungan antara lama menderita DM dengan perawatan diri DM Tipe 2
Universitas Sumatera Utara
d. Mengetahui hubungan antara komplikasi DM dengan perawatan diri DM Tipe
2 e.
Mengetahui hubungan antara pengetahuan responden tentang DM dengan perawatan diri DM Tipe 2
f. Mengetahui hubungan antara dukungan keluarga dengan perawatan diri pasien
DM Tipe 2 g.
Mengetahui hubungan antara self-efficacy dengan perawatan diri pasien DM Tipe 2
h. Mengetahui faktor yang paling mempengaruhi perawatan diri pasien DM Tipe
2
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi : 1.4.1
Pendidikan Keperawatan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan
sebagai evidance based dalam praktek pelayanan keperawatan, sehingga dapat digunakan sebagai referensi dalam pembuatan tulisan ilmiah.
1.4.2 Praktek Pelayanan Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat dijadikan seorang perawat sebagai informasi dasar ketika memberikan asuhan keperawatan dan untuk meningkatkan
kemampuan perawatan diri penderita DM Tipe 2 dengan meningkatkan efek faktor yang paling dominan mempengaruhi perawatan diri pasien DM Tipe 2.
1.4.3 Penelitian Keperawatan
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar bagi peneliti selanjutnya untuk meneliti hubungan salah satu faktor dengan permasalahan
keperawatan yang terjadi pada penderita DM Tipe 2.
Universitas Sumatera Utara
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus DM 2.1.1 Pengertian DM
DM adalah salah satu kelompok penyakit metabolik yang memiliki karakteristik yaitu terjadinya peningkatan kadar glukosa darah hiperglikemi dengan faktor
penyebabnya adalah kerusakan dalam mensekresikan insulin, kerusakan dalam fungsi insulin atau disebabkan karena keduanya. ADA, 2003 ; Smeltzer Bare,
2008. Sedangkan Utaminingsih 2009 menyatakan bahwa DM adalah suatu penyakit dengan kondisi kadar glukosa darah tinggi di dalam tubuh disebabkan
karena tubuh tidak dapat menggunakan insulin atau bahkan tidak dapat menghasilkan insulin secara adekuat. Menurut Price Wilson 2005 DM
merupakan suatu gangguan metabolik yang dapat terjadi pada seseorang yang disebabkan karena genetik atau klinis yang memiliki gejala yaitu tubuh seseorang
tersebut kehilangan toleransi terhadap karbohidrat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa DM adalah sebuah penyakit metabolik yang
disebabkan karena adanya faktor genetik atau penyebab lainnya yang mengakibatkan insulin yang dihasilkan oleh sel beta pankreas tidak diproduksi
dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tubuh atau insulin diproduksi dalam jumlah yang adekuat tetapi reseptor pada sel tubuh tidak bisa menggunakan
insulin. 2.1.2 Klasifikasi DM
Secara garis besar DM diklasifikasikan menjadi 4 jenis, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
a. DM Tipe 1 atau dikenal istilah Insulin Dependent Diabetes Melitus
DM Tipe 1 dapat terjadi disebabkan karena autoimun pada tubuh penderita yang mengakibatkan terjadinya kekurangan insulin secara absolut. Selain itu
sebagaimana yang dijelaskan oleh Price Wilson 2005 bahwa DM Tipe 1 adalah suatu penyakit autoimun yang ditentukan secara genetik yang memiliki
gejala-gejala yang akan berakhir pada tahap proses perusakan imunologik sel penghasil insulin.
Prevalensi DM Tipe 1 banyak terjadi pada anak-anak. Akan tetapi dapat terjadi pada semua usia, biasanya dibawah usia 30 tahun. Cenderung terjadi pada
orang yang memiliki tubuh kurus. Etiologinya genetik, imunologik, atau idiopatik. Sering memiliki antibodi pulau lagerhans atau antibodi terhadap
insulin sehingga penderita DM Tipe 1 akan memerlukan insulin untuk mempertahankan kelangsungan hidup Smeltzer Bare, 2008.
b. DM Tipe 2 DM Tipe 2 atau dikenal dengan istilah Noninsulin Dependent
Diabetes Melitus DM Tipe 2 biasanya disebabkan karena faktor lingkungan sehingga penderita
mengalami resisten insulin. Smeltzer Bare, 2008. Selain itu menurut Price Wison 2005 DM Tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi dan kerja insulin
sehingga terjadi resisten pada insulin. DM Tipe 2 juga merupakan salah satu gangguan metabolik dengan kondisi insulin yang diproduksi oleh tubuh tidak
cukup jumlahnya atau cukup jumlahnya akan tetapi reseptor insulin di jaringan tidak berespon terhadap insulin tersebut Lewis, 2004 ; Yusra, 2011. DM Tipe
2 biasanya disebabkan karena faktor lingkungan sehingga penderita mengalami
Universitas Sumatera Utara
resisten insulin. Smeltzer Bare, 2008. Selain itu menurut Price Wison 2005 DM Tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi dan kerja insulin sehingga
terjadi resisten pada insulin. DM Tipe 2 dapat terjadi di segala usia, akan tetapi biasanya menyerang usia di
atas 30 tahun. Cenderung terjadi pada orang yang obesitas pada saat didiagnosis. Membutuhkan agen hipogligemik atau terkadang mmebutuhkan
insulin dalam waktu yang singkat Smeltzer Bare, 2008. DM Tipe 2 berhubungan dengan obesitas, penuruan kegiatan fisik, serta diet yang tidak
sehat. Sama seperti DM Tipe 1, pasien dengan DM Tipe 2 berisiko tinggi mengalami kompllikasi mikrovaskular dan maskrovaskular WHO, 2012.
c. DM Gestational
DM gestational merupakan DM yang terjadi pada masa kehamilan biasanya terjadi trisemester kedua atau ketiga hidup Smeltzer Bare, 2008. Sebesar 2-
5 DM merupakan gestational. , 2009. Penyebab DM gestational adalah karena hormon yang disekresikan oleh plasenta yang menghambat keja insulin,
sehingga beresiko terjadinya bayi makrosmia. Diatasi dengan diet dan insulin jika diperlukan Smeltzer Bare, 2008.
d. DM Penyebab Lain
DM Penyebab Lain biasanya terjadi karena kelainan genetik pada fungsi sel beta, penyakit eksokrin pankreas, penggunaan obat-obatan atau zat kimi,
infeksi, endokrinopati seperti akromegali, sindrom chusing Soegondo, 2004. Penderita DM tipe lain ini mungkin memerlukan terapi insulin atau hanya
Universitas Sumatera Utara
dengan obat oral, tergantung pada kemampuan pankreas menghasilkan insulin Smeltzer Bare, 2008.
2.1.3 Diagnosis DM
Diagnosa penyakit DM selalu mengalami perkembangan baik yang dilakukan oleh WHO, ADA, maupun PERKENI. Menurut WHO kriteria diagnosis DM
ditegakkan dengan cara sebagai berikut : 1.
Gejala Klasik DM + glukosa darah plasma sewaku ≥ 200 mgdl 11,1 mmolL 2.
Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥ 126 mgdl 7,0 molL, puasa
diartikan bahwa pasien tidak mendapatkan kalori tambahan minimal selama 8 jam
3. Glukosa plasma 2 jam pada Toleransi Terhadap Glukosa Oral
≥ 200 mgdl 11,0 mmolL. TTGO dilakukan dengan melakukan sesuai standart WHO,
menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidurs yang dilarutkan dalam air.
Nilai TTGO setelah 2 jam pembebanan adalah jika nilainya kurang dari 140 mgdL berarti kadar glukosa darah dalam keadaan normal. Jika berada pada
rentang nilai 140-199 mgdL berarti dalam kondisi Toleransi Glukosa Terganggu, dan jika berada pada nilai lebih besar atau sama dengan 200 mgdL
maka didiagnosa DM.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1. Konsentrasi Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM menurut Suyono 2009 adalah
Bukan DM
Belum Pasti
DM DM
Konsentrasi glukosa darah sewaktu mgdL
Plasma Vena 100
100- 199
≥ 200 Darah Kapiler
90 90-199
≥ 200 Konsentrasi glukosa darah
puasa mgdL Plasma Vena
100 100-
125 ≥ 126
Darah Kapiler 90
90-99 ≥ 100
Selain dengan cara tersebut diatas ada dua cara lagi untuk mendiagnosa DM, yaitu a.
Indeks Penentuan Derajat Kerusakan Sel Beta Hal ini dapat dinilai dengan konsentrasi insulin, proinsulin, sekresi peptida
penghubung C-Peptide. Nilai glycosilated hemoglobin HbA1C, tergantung dengan metode pengukuran yang dipakai, namun nilainya berkisar antara 3.5
hingga 5.5 Schteingart,2006 atau dibawah 7 Black Hawaks,2005 Yusra, 2010.
b. Indeks Proses Diabetogenik
Untuk penilaian proses diabetagonik dilakukan dengan pemeriksaan tipe dan subtipe HLA, adanya titer dan titr antibodi dalam sirkulasi yang ditunjukkan
oleh pulau lagerhans Suyono, 2009.
2.1.4 Faktor Resiko
Faktor resiko adalah sesuatu atau faktor pencetus yang akan mempengaruhi terjadinya DM baik dalam bentuk kegiatan, zat bahan, atau kondisi tertentu
Depkes RI, 2008. Faktor resiko pada DM terdiri dari :
Universitas Sumatera Utara
a. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi seperti berat badan, obesitas, kurangnya
aktivitas fisik, hipertensi, dislipidemia, diet tidak sehat dan seimbang, riwayat Toleransi Glukosa Terganggu TGT 140-199 mgdL atau Gula Darah Puasa
Terganggu GDPT 140 mg dL Depkes RI, 2008. b.
Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi yaitu ras, genetik, umur, jenis kelamin, riwayat keluarga dengan DM, riwayat melahirkan bayi dengan BB
4000 gram Depkes RI, 2008. Menurut Izucchi 2005 faktor resiko terjadinya DM Tipe 2 adalah sebagai
berikut: 1.
Keluarga Seseorang yang memiliki orang tua atau saudara yang menderita DM maka
orang tersebut memiliki resiko yang nyata untuk menderita DM sebesar 2-6 kali lebih tinggi. Walaupun keluarga sendiri tidak dipastikan secara nyata
memiliki faktor genetiknya. 2.
Umur dan jenis kelamin Prevalensi DM Tipe 2 akan meningkat sejalan dengan usia, walaupun bentuk
kejadiannya sangat beragam. Pada populasi dengan frekuensi penyakit yang tinggi angka kejadianya akan tinggi dan mungkin meningkat pada usia dewasa
muda. Pada kondisi lain angka kejadian meningkat seiring dengan banyaknya individu di usia dewasa lanjut. Sedang pada sebagian populasi akan terjadi
penurunan angka kejadian jika dilihat dari kelompok usia tua diatas 75 tahun. 3.
Obesitas Obesitas sering secara bersamaan menjadi penyebab terjadinya DM Tipe 2.
Pada banyak studi longitudinal obesitas telah ditunjukkan sebagai faktor
Universitas Sumatera Utara
prediksi yang paling kuat. Pada individu yang tidak obesitas angka kejadian DM Tipe 2 sangat rendah. Angka kejadian DM Tipe 2 karena obesitas juga
bisa dihubungkan dengan faktor resiko lainnya. Seperti contoh di Pima India angka kejadian lebih banyak dan cenderung meninggi pada mereka dengan
body index mass BMI yang memiliki orang tua menderita DM dibandingkan yang tidak menderita. Obesitas dengan cepat meningkat pada banyak populasi
pada tahun terbaru. Peningkatan ini telah disertai oleh peningkatan prevalensi DM Tipe 2.
4. Ketidakaktifan Kegiatan Fisik
Banyak penelitian yag telah mengindikasikan peranan penting dari ketidakatifan melakukan kegiatan fisik pada perkembangan kejadian DM Tipe
2. Walaupun kata relative penting mungkin dipahami pada sebagian dari hasil penelitian karena adanya ketidaksamaan dalam pengukuran. Beberapa peneliti
melakukan penelitian sebagai dasar dari penyebab peran dari ketidakaktifan kegiatan fisik pada penderita DM Tipe 2.
2.1.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis DM dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi insulin PriceWilson, 2005. Gejala utama DM biasanya disebabkan oleh krena efek
langsung dari nilai glukosa darah yang tinggi di dalam tubuh penderita Utaminingsih, 2009. Penderita dengan defisiensi insulin tidak akan dapat
mempertahankan nilai kadar glukosa darah puasa yang normal atau nilai toleransi glukosa setelah mengkonsumsi karbohidrat Price Wilson, 2005. Jika kondisi
hiperglikemianya berat sehingga ginjal tidak bisa mentoleransi glukosa, maka
Universitas Sumatera Utara
akan terjadi glikosuria. Glikosuria akan mengakibatkan terjadinya diuresisi osmotik sehingga akan terjadi peningkatan pengeluaran urine poliuria, dan
timbul rasa haus polidipsia. Oleh karena penderita mengalami pengeluaran glukosa yang hilang bersama urine, mengakibatkan penderita mengalami
keseimbangan kalori negatif sehingga terjadi penurunan berat badan. Akibatnya akan timbul polifagia rasa lapar yang besar yang mungkin sebagai kompensasi
akibat kehilangan kalori. Dan penderita akan mengeluh lelah dan mengantuk Price Wilson, 2005.
Pasien DM Tipe 2 mungkin sama sekali tidak akan menunjukkan gejala apa pun dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium serta
tes toleransi glukosa. Akan tetapi pada keadaan yang berat pasien akan mengalami polidipsi, polifagia, poliuria, lemah dan mengantuk Yusra, 2010.
2.1.6 Komplikasi DM
Penderita diabetes melitus mengalami kondisi kadar gula darah yang tidak terkontrol yang cenderung menyebabkan kadar zat lemak dalam darah meningkat
yang mempercepat terjadinya aterosklerosis. Kondisi ini dapat menyebabkan sirkulasi ke berbagai organ dapat memburuk yang mengakibatkan terjadinya
berbagai komplikasi berupa mikrovaskular seperti retinopati dan nefropati dan makrovaskular berupa gangguan pada pembuluh darah seperti penyakit arteri
perifer dan jantung korener serta komplikasi dari mikovaskular dan makrovaskular yaitu neuropati Utaminingsih, 2009.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Schteingart, 2006, Yusra, 2010 kompllikasi DM yang sering terjadi pada pasien adalah :
a. Komplikasi Akut
1. Ketoasidosis Diabetik
Ketoasidosis diabetik DKA merupakan komplikasi akut yang serius pada pasien DM. Apabila kadar insulin sangat menurun, pasien akan mengalami
hiperglikemia dan glukosuria berat penurunan lipogenesis dan peningkatan liposis serta peningkatan oksidasi asam lemak bebas yang akan disertai dengna
pembentukan badan keton asetosetat, hidroksibutirat dan aseton. Peningkatan produksi keton meningkatkan beban ion hydrogen dan asidosis metabolik.
Glikosuria dan ketouria yang jelas sudah mengakibatkan diuresis osmotik dengna hasil akhir dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Pasien dapat menjadi
hipotensi dan mengalamai syok yang akhirnya dapat mengakibatkan perubahan perfusi ke jaringan otak sehingga terjadi koma.
2. Komplikasi Lain
Komplikasi lain yang sering terjadi dari DM adalah hipoglikemia akibat reaksi insulin dan syok insulin, terutama komplikasi terapi insulin. Hipoglikemia juga
berakibat fatal karena apabila terjadi dalam waktu yang lama dapat menyebabkan kerusakan otak permanaen dan menimbulkan kematian.
b. Komplikasi Vaskuler
Komplikasi Vaskuler jangka panjang dari DM melibatkan pembuluh-pemuluh darah kecil mikroangioapati dan pembuluh darah besar makroangiopati.
Mikroangiopati merupakan lesi spesifik DM yang menyerang kapiler dan
Universitas Sumatera Utara
arteiola retina sehingga mengakibatkan retino diabetik dan menyerang syaraf- syaraf perifer sehingga mengakibatkan neurpati diabetik.
Makroangiopati diabetik mempunyai gambaran histopatologi arteriokleroasis. Gangguan ini disebbakan oleh insufisiensi insulin. Makroangiopati diabetik
akan mengakibatkan penyumbatan vaskuler. Jika mengenai arteri-arteri perifer maka dapat mengakibatkan insufisiensi vaskuler dan perifer dan gangren pada
ekstremitas, serta insufisiensi serebral dan stroke. Jika mengenai arteri koronaria dan aorta maka dapat menyebabkan angina dan infark miokard.
2.2 Perawatan Diri DM Tipe 2 Self care DM Tipe 2
2.2.1 Pengertian Perawatan Diri
Berdasarkan Teori Keperawatan Self Care yang dikemukan oleh Dorothea Elizabeth Oerm bahwa perawatan diri adalah kemampua pasien dalam melakukan
kegiatan perawatan diri untuk meningkatkan dan mempertahankan kesehatan Asmadi, 2008. Teori orem bertujuan untuk memandirikan pasien agar pasien
dapat melakukan perawatan dirinya sendiri untuk memenuhi kebutuhannya Potter Perry, 2009. Pada penderita DM akan trejadi self care defisit atau penurunan
perawatan diri akibat penyakit DM yang diderita Kozier, 2011.
2.2.2 Perawatan Diri DM Tipe 2
Manajemen perawatan diri merupakan modal perawatan yang paling tepat untuk seseorang yang menderita penyakit kronik SousaZauszniewski, 2005.
Perawatan diri pada pasien DM merupakan sesuatu yang sangat penting sebab berperan sebagai pengontrol penyakit Sigurdardottir, 2004. Tujuan utama
perawatan diri DM adalah mengontrol status metabolik yang baik, meminimalkan
Universitas Sumatera Utara
komplikasi akibat DM dan untuk mencapai kualitas hidup yang baik Krans et al, 1992, Toljamo Hentinen, 2001.
Menurut Sigurdardottir 2005 pewaratan diri pada pasien DM terfokus pada empat aspek yaitu memonitoring kada glukosa darah, variasi nutrisi yang
dikonsumsi setiap hari, pengaturan insulin, serta latihan fisik secara regular. Sedangkan Mc Collum et al 2005 menyatakana bahwa pasien DM harus
memanajemen diet, latihan, obat DM, memonitoring glukosa dan rutin mengunjungi pelayanana kesehatan profesional Bai, Chiou, Chang, 2009.
Pengontrolan yang efektif dari DM Tipe 2 yang merupakan penyakit kronik utama adalah tergantung pada perilaku perawatan diri yaitu pengaturan diet, latihan fisik,
monitoring kadar glukosa, dan manjemen obat. Agurs-Collins, Kumanyika, Have, Adams- Campbell, 1997; Ohkubo etal., 1995; The Diabetes Control and
Complicatonn Trial Research Group |DCCT], 1993; The United Kingdom Prospective Diabetes Study |UKPDS], 1998; Sousa Zauszniewski, 2005.
Sedangkan menurut Gumbs 2012 manajemen perawatan diri pasien DM terdiri dari pendidikan manajemen perawatan diri, mengunjungi pelayanan kesehatan,
pengukuran nilai HbA1c oleh tenaga kesehatan, pemeriksaan mata, pemeriksaan kaki, pengaturan diet, manajemen latihan , dan memonitoring kadar glukosa
sendiri. Maka dapat disimpulkan bahwa self care pasien DM Tipe 2 terdiri dari :
manajemen diet, latihan fisik jasmani, monitoring kadar glukosa darah, manajemen obat serta perawatan kaki.
1. Manajemen Diet
Universitas Sumatera Utara
DM Tipe 2 umumnya terjadi saat terjadinya perubahan pola gaya hidup dan perilaku PERKENI, 2011. Salah satu modalitas yang dilakukan dalam
penatalaksanaan DM adalah terapi nonfarmakologis, salah satunya yaitu perubahan gaya hidup dengan melakukan pengaturan pola makan yang dikenal
dengan terapi gizi medis Soebardi Yunir, 2009. Penekanan tujuan terapi gizi medis pada DM Tipe 2 ditekankan pada
pengendalian glukosa, lipid, dan hipertensi. Penurunan berat badan dan diet hipokalori pada pasien yang gemuk biasanya memperbaiki kadar glikemik
jangka pendek dan mempunyai potensi meningkatkan konrol metabolik jangka panjang Sukarji, 2004. Pada pasien DM Tipe 2 perlu ditekankan pentingnya
keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurunan glukosa darah atau insulin
PERKENI, 2011. Berdasarkan Konsesus yang telah disusun oleh PERKENI 2011 terkait dengan
manajemen diet DM Tipe 2 berikut dijelaskan A.
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari: 1.
Karbohidrat Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65 total asupan energi. Pembatasan
karbohidrat total 130 ghari tidak dianjurkan pada pasien DM. Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi. Gula dalam bumbu
diperbolehkan sehingga pasien DM dapat makan bersama dengan makanan keluarga yang lain. Sukrosa tidak boleh lebih dari 5 total asupan energi.
Universitas Sumatera Utara
Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak melebihi batas aman konsumsi harian Accepted- Daily Intake. Jadwal makan yaitu tiga
kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari. Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau makanan lain sebagai
bagian dari kebutuhan kalori sehari 2.
Lemak Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25 kebutuhan kalori, tidak diperkenankan
melebihi 30 total asupan energi. Lemak jenuh 7 kebutuhan kalori, lemak tidak jenuh ganda 10 , selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal. Bahan
makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh whole milk. Anjuran
konsumsi kolesterol 200 mghari. 3.
Protein Dibutuhkan sebesar 10 – 20 total asupan energi. Sumber protein yang baik
adalah seafood ikan, udang, cumi,dll, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, dan tempe. Pada pasien
dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 gKgBB perhari atau 10 dari kebutuhan energi dan 65 hendaknya
bernilai biologik tinggi. 4.
Natrium Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran untuk
masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 gram 1 sendok teh garam dapur. Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai
Universitas Sumatera Utara
2400 mg. Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.
5. Serat
Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan mengkonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta sumber karbohidrat
yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral, serat, dan bahan lain yang baik untuk kesehatan. Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 ghari.
6. Pemanis alternatif
Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak berkalori. Termasuk pemanis berkalori adalah gula alkohol dan fruktosa. Gula alkohol
antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan xylitol. Dalam penggunaannya, pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan kalorinya
sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari. Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena efek samping pada lemak darah. Pemanis tak
berkalori yang masih dapat digunakan antara lain aspartam, sakarin, acesulfame potassium, sukralose, dan neotame. Pemanis aman digunakan sepanjang tidak
melebihi batas aman Accepted Daily Intake ADI B. Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan pasien DM. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang
besarnya 25-30 kalorikg BB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor seperti: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dan lain-lain.
Universitas Sumatera Utara
1. Perhitungan berat badan Ideal BBI dengan rumus Brocca yang dimodifikasi
adalah sebagai berikut: a.
Berat badan ideal = 90 x TB dalam cm - 100 x 1 kg. b.
Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm, rumus dimodifikasi menjadi : Berat badan ideal BBI = TB dalam cm - 100 x
1 kg. 2.
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh IMT.Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus: IMT = BBkg TBm2. Klasifikasi
IMT menurut WHO WPRIASOIOTF dalam The Asia-Pacific Perspective:RedefiningObesity and its Treatment : Berat badan kurang jika
nilai IMT kurang dari 18,5, berat badan normal jika nilai IMT 18,5-22,9, berat badan lebih jika nilai IMT lebih besar atau sama dengan 23,0, berat badan
lebih dengan resiko jika nilai IMT 23,0-24,9,berat badan obesitas I jika nilai IMT 25,0-29,9, berat badan obesitas II jika nilai IMT lebih dari 30.
C. Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :
1. Jenis Kelamin : kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria.
Kebutuhan kalori wanita sebesar 25 kalkg BB dan untuk pria sebesar 30 kal kg BB.
2. Umur : untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5
untuk dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10 untuk dekade antara 60 dan 69 tahun dan dikurangi 20, di atas usia 70 tahun.
3. Aktivitas Fisik atau Pekerjaan : kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan
intensitas aktivitas fisik. Penambahan sejumlah 10 dari kebutuhan basal
Universitas Sumatera Utara
diberikan pada kedaaan istirahat, 20 pada pasien dengan aktivitas ringan, 30 dengan aktivitas sedang, dan 50 dengan aktivitas sangat berat.
4. Berat Badan : bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30 tergantung kepada
tingkat kegemukan. Bila kurus ditambah sekitar 20-30 sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB. Untuk tujuan penurunan berat badan
jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000-1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200-1600 kkal perhari untuk pria.
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi 20, siang 30, dan sore 25, serta
2-3 porsi makanan ringan 10-15 di antaranya. Dengan sumber karbohidrat dikonsumsi 3-7 porsipenukar sehari tergantung status gizi, sumber vitamin dan
mineral: sayuran 2-3 porsipenukar, buah 2-4 porsipenukar sehari, sumber protein: lauk hewani 3 porsipenukar, lauk nabati 2-3 porsipenukar sehari. Batasi
konsumsi gula, lemak minyak dan garam. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan
sesuai dengan kebiasaan. Untuk pasien DM Tipe 2 yang mengidap penyakit lain,
pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya.
2. Latihan Fisik Jasmani
Latihan jasmani adalah bagian yang sangat penting dari rencana manajemen perawatan diri pasien DM. Latihan jasmani yang teratur telah menunjukkan
peningkatan terhadap kontrol kadar glukosa darah, mengurangi faktor resiko terjadinya penyakit kardiovaskular, berkontribusi dalam proses penurunan berat
badan, dan meningkatkan kesejahteraan ADA, 2012.
Universitas Sumatera Utara
Masalah utama pada DM Tipe 2 adalah kurangnya reseptor terhadap insulin sehingga terjadi resisten insulin. Karena adanya gangguan tersebut insulin tidak
dapat membantu transfer glukosa ke dalam sel. Kontraksi otot memiliki sifat seperti insulin insulin like effect. Permeabilitas membran terhadap glukosa
meningkat pada otot yang berkontraksi, sehingga resisten insulin menghilang dan akan terjadi sensitivitas insulin yang akan mengakibatkan kebutuhan insulin pada
pasien DM Tipe 2 akan berkurang Ilyas, 2004. Respon ini hanya akan terjadi setiap melakukan latihan jasmani, sebab pengambilan glukosa oleh jaringan otot
pada keadaan istirahat membutuhkan insulin, sedangkan pada otot aktif, walau terjadi peningkatan kebutuhan glukosa, tapi kadar insulin tidak meningkat oleh
karena itu latihan jasmani bagi pasien DM Tipe 2 harus dilakukan terus menerus dan teratur Soebardi Yunir, 2009.
Prinsip latihan jasmani bagi pasien DM Tipe 2 adalah memenuhi prinsip frekuensi, intensitas, durasi, dan jenis latihan jasmani.
a. Frekuensi
Untuk mencapai hasil yang optimal, latihan jasmani sebaiknya dilakukan secara teratur sebanyak 3-5 kali dalam seminggu Soebardi Yunir, 2009.
Dari hasil penelitian latihan jasmani dalam mengontrol kadar glukosa darah akan berefek jika latihan jasmani dilakukan rata-rata 3 atau 4 kali dalam
seminggu, selain itu sedikitnya dilakukan 3 kali dalam seminggu, dengan tidak boleh lebih dari dua hari berturut-turut tanpa latihan jasmani ADA, 2012.
b. Intensitas
Universitas Sumatera Utara
Intensitas latihan jasmani dapat dinilai dari denyut nadi, dengan intensitas ringan-sedang 50-70 maximum heart rate MHR ADA, 2012. Sedangkan
menurut Soebardi dan Yunir 2009 intensitas ringan-sedang 60-70 MHR. MHR didapat dari rumus 220-umur. Setelah MHR didapat, maka dapat
ditentukan Target Heart Rate THR. Sebagai contoh intensitas yang diprogramkan bagi seorang pasien DM Tipe 2 dengan usia 50 tahun sebesar
60, maka THR = 60 x 220-50=102. Dengan demikian bila pasien ini ingin melakukan latihan jasmani denyut nadi harus mencapai 102 kalimenit
Ilyas, 2004. c.
Durasi Durasi selama melakukan latihan jasmani yaitu 5-10 menit untuk pemanasan
Ilyas, 2004, sedangkan untuk latihan inti durasinya 30 – 60 menit Ilyas, 2004. Sedangkan menurut ADA 2012 latihan jasmani akan efektif jika
dilakukan rata-rata selama 49 menit. d.
Jenis latihan jasmani Latihan jasmani sebaiknya melibatkan otot-otot besar, serta merupakan latihan
jasmani yang disenangi. Latihan jasmani yang dianjurkan adalah jenis latihan jasmani endurans aerobik yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan
kardiorespirasi seperti jalan, jonging, berenang, dan bersepeda. PERKENI 2011 menyatakan bahwa kegiatan atau aktivitas sehari-hari harus
tetap dilakukan oleh seorang pasien DM Tipe 2. Adapun aktivitas sehari-hari yang harus tetap dilakukan yaitu : mengurangi atau menghindari aktivitas sedenter
seperti menonton televisi, bermain game komputer, bermain internet;
Universitas Sumatera Utara
mempersering aktivitas dengan mengikuti olahraga rekreasi dan beraktivitas tinggi pada saat liburan, misalnya, bersepeda, golf, olah otot, jalan cepat dan
olahraga; melakukan aktivitas harian yaitu kebiasaan hidup sehat, misalnya berjalan kaki ke pasar tidak menaiki mobil, menaiki tangga tidak menggunakan
lift, jalan dari tempat parkir. 3.
Monitoring Kadar Glukosa Darah Monitoring kadar glukosa darah yang baik dapat menurunkan resiko terjadinya
komplikasi kronik diabetes Soewondo, 2004. Menurut Soewondo 2004 manfaat monitoring kadar glukosa darah yang dilakukan secara mandiri adalah :
1. Memberikan informasi kepada pasien mengenai keadaan kadar glukosa
darahnya dari hari ke hari yang memungkinkan pasien melakukan penyesuaian diet, pengobatan, pada saat sakit dan saat latihan jasmani
2. Memberikan informasi kepada dokter atau perawat mengenai keadaan kadar
glukosa darah pasien, sehingga dapat mengevaluasi kondisi pasien dan dapat memberikan pendidikan kesehatan yang tepat.
3. Mendeteksi hipoglikemia : pemeriksaan kadar glukosa darah sendiri yang
dilakukan oleh pasien dapat memastikan atau mencegah terjadinya hipoglikemia
Profil kadar glukosa darah pasien DM Tipe 2 cenderung lebih stabil dibandingkan pasien DM Tipe 1. Sehingga pada pasien DM Tipe 2 yang terkendali dengan
perencanaan makan saja, cukup melakukan pemeriksaan kadar glukosa sendiri ketika akan berkonsultasi kembali dengan dokter. Sedangkan pada pasien DM
Tipe 2 yang mendapatkan pengobatan hipoglikemik oral OHO ataupun insulin
Universitas Sumatera Utara
mempunyai resiko terjadinya hipoglikemik. Pemeriksaan kadar glukosa darah satu kali sehari sebelum sarapan pagi atau sebelum tidur sudah cukup. Namun, bila
kadar glukosa darahnya lebih stabil, satu kali pemeriksaan sudah cukup Soewondo, 2004.
4. Manajemen Obat
Manajemen diet dan latihan fisik jasmani sebenarnya sudah sangat cukup efektif untuk dapat mengontrol keadaan metabolik pasien DM Tipe 2, akan tetapi
kebanyakan dari pasien DM Tipe 2 kurang disiplin dalam mengikuti program manajemen diet dan latihan fisik yang telah dirancang oleh tenaga kesehatan,
sehingga dokter harus memberikan pengobatan farmakologi untuk memperbaiki keadaan hiperglikemik pasien DM Tipe 2. Sehingga diperlukan manajemen obat
bagi pasien DM Tipe 2 PERKENI, 2011. Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan. Berdasarkan cara
kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan: Pemicu sekresi insulin insulin secretagogue: sulfonilurea dan glinid, peningkat sensitivitas terhadap insulin:
metformin dan tiazolidindion, penghambat glukoneogenesis metformin, penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa, DPP-IV inhibitor
PERKENI, 2011. Cara Pemberian OHO, terdiri dari: OHO dimulai dengan dosis kecil dan
ditingkatkan secara bertahap sesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal. Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan, Repaglinid,
Nateglinid: sesaat sebelum makan, Metformin : sebelum pada saat sesudah
Universitas Sumatera Utara
makan, Penghambat glukosidase Acarbose: bersama makan suapan pertama, Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan., DPP-IV inhibitor dapat
diberikan bersama makan dan atau sebelum makan. 5.
Perawatan Kaki Perawatan kaki pada pasien DM Tipe 2 merupakan salah satu manajemen
perawatan diri yang bertujuan untuk menghindari terjadinya ulkus diabetik yang dapat terjadi pada kaki. Hal yang menjadi penyebab seorang pasien dengan DM
beresiko lebih tinggi mengalami masalah pada kaki yaitu sirkulasi darah kaki dari tungkai yang menurun, berkurangnya perasaan pada kedua kaki, dan
berkurangnya daya tahan tubuh terhadap infeksi Tambunan, 2004. Perawatan kaki pada pasien DM merupakan sebagian upaya pencegahan primer
yang bertujuan untuk mencegah terjadinya resiko ulkus diabetik. Untuk seluruh pasien dengan DM, pengkajian yang komprehensive pada kaki bertujuan untuk
mengidentifikasi resiko terjadinya ulkus ADA, 2012. Pengkajian kaki yang seharusnya dilakukan inspeksi, pengkajian tekanan nadi kaki, pengukuran
kehilangin sensasi 10g monofilament dan refleks tumit ADA, 2012. Perawatan kaki yang harus dilakukan pasien DM berdasarkan PERKENI 2011
dan Tambunan 2004 adalah sebagai berikut : 1.
Melakukan pemeriksaan kaki setiap hari, yang perlu dilihat adalah kulit retak, melepuh, luka, terkelupas, kemerahan dan perdarahan. Dapat menggunakan
cermin untuk melihat bagian bawah kaki, atau bisa meminta bantuan orang lain untuk memeriksa.
Universitas Sumatera Utara
2. Membersihkan kaki setiap hari pada waktu mandi dengan air bersih dan sabun
mandi. Mengeringkan kaki dengan handuk bersih dan lembut, dan mengeringkan sela-sela jari setiap kali keluar dari kamar mandi.
3. Menjaga kaki dalam keadaan bersih dan tidak basah, serta menggunakan krim
pelembab pada daerah kaki yang kering berfungsi untuk menjaga agar kulit tidak retak.
4. Menggunting kuku kaki lurus mengikuti bentuk normal jari kaki, tidak terlalu
pendek atau terlalu dekat dengan kulit, lalu kuku dikikir agar tidak terlalu tajam. Membersihkan kuku setiap hari dan menggunting kuku secara teratur.
5. Memakai alas kaki sepatu atau sandal untuk melindungi kaki agar tidak terjadi
luka, jika berada di luar rumah. Menggunakan sepatu atau sandal yang baik sesuai dengan ukuran dan nyaman digunakan, dengan ruang sepatu yang
cukup untuk jari-jari. Menggunakan kaus kaki yang berasal dari bahan katun. 6.
Memeriksa sepatu sebelum digunakan, apakah ada kerikil, benda-benda tajam seperti jarum dan duri. Melepaskan sepatu setiap 4-6 jam serta menggerakkan
pergelangan dan jari-jari kaki agar sirkulasi darah tetap baik terutama pada pemakaian sepatu baru.
7. Melakukan pemeriksaan kaki secara rutin ke dokter, dan yang paling utama
segera memeriksakan kaki ke dokter jika terjadi luka.
2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perawatan diri self care Penderita
DM Tipe 2
Karena penderita DM Tipe 2 harus cukup mampu dan dapat dipercaya untuk melakukan perawatan diri mereka sendiri Anderson, 1996; Moon Baker, 2000;
Universitas Sumatera Utara
Wang, 1997, SousaZauszniewski, 2005 sehingga untuk melakukan perawatan diri mereka membutuhkan kekuatan yang bersumber dari kepribadian dan
lingkungan seperti pengetahuan tentang DM, dukungan sosial, dukungan finansial, konsep diri atau kepercayaan pada kemampuan diri mereka sendiri
untuk melakukan perawatan diri, dan kemampuan melakukan perawatan diri sendiri Sousa Zauszniewski, 2005. Maka hal inilah yang akan menjadi faktor-
faktor yang akan mempengaruhi seseorang dengan DM Tipe 2 untuk melakukan manajemen perawatan diri secara mandiri. Ada berbagai konsep dan penelitian
yang telah dilakukan terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi perawatan diri penderita DM Tipe 2, diantaranya yaitu :
a. Toward a Theory of Diabetes Self Care Management
Teori Toward tentang manajemen perawatan diri DM ini dikemukan oleh Sousa dan Zauszniewski pada 2005. Toward a Theory dibangun berdasarkan konsep
Teori Orem tentang Self Care dan berdasarkan pada Teori Bandura tentang teori self efficacy.
Berdasarkan kerangka konsep yang dibangun pada teori tersebut, faktor yang mempengaruhi perawatan diri pasien DM ada dua yaitu :
1. Faktor Personal
Faktor personal merupakan faktor yang berasal dari internal individu yang akan mempengaruhi individu dalam melakukan perawatan diri, kesehatan dan
kesejahteraan individu Sousa Zauszniewski, 2005. Karakteristik individu ditentukan dari interaksinya dengan lingkungannya. Faktor lingkungan akan
berkontribusi dalam perkembangan faktor personal Orem, 1991, 1995,
Universitas Sumatera Utara
Bandura, 1986, 1997. Ada tiga variabel sebagai faktor personal dalam model penelitian manajemen perawatan diri pasien DM yaitu :
a. Pengetahuan Tentang Diabetes
Pengetahuan tentang diabetes adalah pengetahuan yang dimiliki individu tentang penyakit, pengetahuan tentang diet diabetes, monitoring kadar
glukosa darah, dan manajemen obat atau insulin. Pengetahuan tentang diabetes juga menunjukkan kepada alternatif yang akan dipilih individu
untuk mengevaluasi diri mereka sendiri dan menentukan apa intervensi utama yang dibutuhkan ketika bertemu kebutuhan yang harus segera
dipenuhi serta mencegah atau memperlambat terjadinya komplikasi dari penyakit Sousa, Zauszniewski, 2005. Pengkajian tentang pengetahuan
diabetes merupakan aspek yang penting dalam pengkajian individu dengan DM Firagerald et al, 1998, Sousa Zauszniewski, 2005.
b. Self Care Agency
Orem 1991 mendefinisikan self care agency sebagai kemampuan individu untuk melakukan kegiatan perawatan diri ketika bertemu dengan kondisi
untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri individu sendiri sebagai usaha promosi, pengaturan struktur, fungsi dan perkembangan individu Sousa
Zauszniewski, 2005. c.
Self Efficacy Self efficacy merupakan integrasi dari kemampuan sosial, kognitif, dan skill
yang menjadi dasar bagi seseorang untuk melakukan suatu kegiatan Bandura, 1986, Sousa Zauszniewski, 2005. Self efficacy adalah
didasarkan pada keyakinan individu terhadap kemampuannya melakukan
Universitas Sumatera Utara
suatu bentuk perilaku yang spesifik dan berharap ada hasil yang positif dari perilaku yang ditampilkan Bandura, 1986, 1987, Sousa Zauszniewski,
2005. Self efficacy terdiri dari efficacy expectancy dan outcome expentancy. Efficacy expectancy adalah menunjukkan pada keyakinan dari kemampuan
individu, sedangkan outcome expentancy menunjukkan kepada hasil dari perilaku yang telah dilakukan Sousa Zauszniewski, 2005
2. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan merupakan faktor eksternal yang berasal dari luar individu yang akan memengaruhi individu, faktor personal, kemampuan perawatan diri,
kondisi sehat dan sejahtera Sousa Zauszniewski, 2005. Faktor lingkungan termasuk kondisi psikososial dan fisik yang akan mempengaruhi motivasi
individu untuk memperoleh perilaku sesuai dengan hasil yang diinginkan Orem, 1991, 1995, Sousa Zauszniewski, 2005.
Dukungan Sosial Dukungan sosial meliputi pada pertukaran sumber diantara dua individu dan
yang termasuk pertukaran sumber itu adalah penetapan cinta, kepercayaan, empati, kepedulian, bantuan, nasehat, pelayanan yang nyata dan informasi
House, 1981, Shumaker Brownell,1984, SousaZauszniewski, 2005. Dukungan sosial akan memfasilitasi individu melakukan perawatan diri
Orem, 1995 dan mempengaruhi perkembangan self efficacy Bandura,1997 Sousa Zauszniewski, 2005. Dukungan sosial berkontribusi untuk
meningkatkan perawatan diri DM, mengontrol kadar glukosa darah, serta
Universitas Sumatera Utara
dukungan sosial mempromosikan kesehatan dan kesejahteraan Sousa Zauszniewski, 2005.
Toljamo dan Hentinen 2001 menyatakan bahwa dukungan sosial yang berasal dari dukungan keluarga dapat mendukung kepatuhan terhadap self care dan
melalui kepatuhan terhadap self care akan membantu pasien untuk mengontrol keadaan metaboliknya menjadi lebih baik lagi.
Berdasarkan hasil penelitian Bai, Chiou, dan Chang 2009 menyatakan bahwa faktor yang paling penting untuk mempengaruhi self care pasien DM adalah
dukungan sosial yang sesuai dengan pernyataan Tillotson dan Smith 1996 an Chiang 2003. Ketika individu didiagnosa dengan suatu penyakit kronik, salah
satu dari invidu mungkin membutuhkan asisten yang peduli yang dapat berasal dari keluarga atau teman. Oleh karena itu, seorang perawat praktisi seharusnya
memahami dan menyediakan dukungan sosial termasuk dari keluarga yang adekuat ketika memeberikan pengajaran dalam manajemen diabetes bagi
pasien DM dengan demikian pasien akan memiliki kekuatan untuk mengontrol penyakit kroniknya SousaZauszniewski, 2005.
Universitas Sumatera Utara
BAB III KERANGKA PENELITIAN
3.1 Kerangka Penelitian