dengan obat oral, tergantung pada kemampuan pankreas menghasilkan insulin Smeltzer Bare, 2008.
2.1.3 Diagnosis DM
Diagnosa penyakit DM selalu mengalami perkembangan baik yang dilakukan oleh WHO, ADA, maupun PERKENI. Menurut WHO kriteria diagnosis DM
ditegakkan dengan cara sebagai berikut : 1.
Gejala Klasik DM + glukosa darah plasma sewaku ≥ 200 mgdl 11,1 mmolL 2.
Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥ 126 mgdl 7,0 molL, puasa
diartikan bahwa pasien tidak mendapatkan kalori tambahan minimal selama 8 jam
3. Glukosa plasma 2 jam pada Toleransi Terhadap Glukosa Oral
≥ 200 mgdl 11,0 mmolL. TTGO dilakukan dengan melakukan sesuai standart WHO,
menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidurs yang dilarutkan dalam air.
Nilai TTGO setelah 2 jam pembebanan adalah jika nilainya kurang dari 140 mgdL berarti kadar glukosa darah dalam keadaan normal. Jika berada pada
rentang nilai 140-199 mgdL berarti dalam kondisi Toleransi Glukosa Terganggu, dan jika berada pada nilai lebih besar atau sama dengan 200 mgdL
maka didiagnosa DM.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1. Konsentrasi Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM menurut Suyono 2009 adalah
Bukan DM
Belum Pasti
DM DM
Konsentrasi glukosa darah sewaktu mgdL
Plasma Vena 100
100- 199
≥ 200 Darah Kapiler
90 90-199
≥ 200 Konsentrasi glukosa darah
puasa mgdL Plasma Vena
100 100-
125 ≥ 126
Darah Kapiler 90
90-99 ≥ 100
Selain dengan cara tersebut diatas ada dua cara lagi untuk mendiagnosa DM, yaitu a.
Indeks Penentuan Derajat Kerusakan Sel Beta Hal ini dapat dinilai dengan konsentrasi insulin, proinsulin, sekresi peptida
penghubung C-Peptide. Nilai glycosilated hemoglobin HbA1C, tergantung dengan metode pengukuran yang dipakai, namun nilainya berkisar antara 3.5
hingga 5.5 Schteingart,2006 atau dibawah 7 Black Hawaks,2005 Yusra, 2010.
b. Indeks Proses Diabetogenik
Untuk penilaian proses diabetagonik dilakukan dengan pemeriksaan tipe dan subtipe HLA, adanya titer dan titr antibodi dalam sirkulasi yang ditunjukkan
oleh pulau lagerhans Suyono, 2009.
2.1.4 Faktor Resiko
Faktor resiko adalah sesuatu atau faktor pencetus yang akan mempengaruhi terjadinya DM baik dalam bentuk kegiatan, zat bahan, atau kondisi tertentu
Depkes RI, 2008. Faktor resiko pada DM terdiri dari :
Universitas Sumatera Utara
a. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi seperti berat badan, obesitas, kurangnya
aktivitas fisik, hipertensi, dislipidemia, diet tidak sehat dan seimbang, riwayat Toleransi Glukosa Terganggu TGT 140-199 mgdL atau Gula Darah Puasa
Terganggu GDPT 140 mg dL Depkes RI, 2008. b.
Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi yaitu ras, genetik, umur, jenis kelamin, riwayat keluarga dengan DM, riwayat melahirkan bayi dengan BB
4000 gram Depkes RI, 2008. Menurut Izucchi 2005 faktor resiko terjadinya DM Tipe 2 adalah sebagai
berikut: 1.
Keluarga Seseorang yang memiliki orang tua atau saudara yang menderita DM maka
orang tersebut memiliki resiko yang nyata untuk menderita DM sebesar 2-6 kali lebih tinggi. Walaupun keluarga sendiri tidak dipastikan secara nyata
memiliki faktor genetiknya. 2.
Umur dan jenis kelamin Prevalensi DM Tipe 2 akan meningkat sejalan dengan usia, walaupun bentuk
kejadiannya sangat beragam. Pada populasi dengan frekuensi penyakit yang tinggi angka kejadianya akan tinggi dan mungkin meningkat pada usia dewasa
muda. Pada kondisi lain angka kejadian meningkat seiring dengan banyaknya individu di usia dewasa lanjut. Sedang pada sebagian populasi akan terjadi
penurunan angka kejadian jika dilihat dari kelompok usia tua diatas 75 tahun. 3.
Obesitas Obesitas sering secara bersamaan menjadi penyebab terjadinya DM Tipe 2.
Pada banyak studi longitudinal obesitas telah ditunjukkan sebagai faktor
Universitas Sumatera Utara
prediksi yang paling kuat. Pada individu yang tidak obesitas angka kejadian DM Tipe 2 sangat rendah. Angka kejadian DM Tipe 2 karena obesitas juga
bisa dihubungkan dengan faktor resiko lainnya. Seperti contoh di Pima India angka kejadian lebih banyak dan cenderung meninggi pada mereka dengan
body index mass BMI yang memiliki orang tua menderita DM dibandingkan yang tidak menderita. Obesitas dengan cepat meningkat pada banyak populasi
pada tahun terbaru. Peningkatan ini telah disertai oleh peningkatan prevalensi DM Tipe 2.
4. Ketidakaktifan Kegiatan Fisik
Banyak penelitian yag telah mengindikasikan peranan penting dari ketidakatifan melakukan kegiatan fisik pada perkembangan kejadian DM Tipe
2. Walaupun kata relative penting mungkin dipahami pada sebagian dari hasil penelitian karena adanya ketidaksamaan dalam pengukuran. Beberapa peneliti
melakukan penelitian sebagai dasar dari penyebab peran dari ketidakaktifan kegiatan fisik pada penderita DM Tipe 2.
2.1.5 Manifestasi Klinis