Ekstraksi Karotenoid dari Kepala Udang secara Enzimatis dan Karakterisasi Profil Karotenoid sebagai Antioksidan

(1)

EKSTRAKSI KAROTENOID DARI KEPALA UDANG

SECARA ENZIMATIS DAN KARAKTERISASI

PROFIL KAROTENOID SEBAGAI ANTIOKSIDAN

DIAH LESTARI AYUDIARTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Ekstraksi Karotenoid dari Kepala Udang secara Enzimatis dan Karakterisasi Profil Karotenoid sebagai Antioksidan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2011

Diah Lestari Ayudiarti


(4)

(5)

ABSTRACT

DIAH LESTARI AYUDIARTI. Extraction of Carotenoid through Enzymatic from Shrimp Head and Characterization of Carotenoid Profile as Antioxidant. Supervised by JOKO SANTOSO, SRI PURWANINGSIH and ROSMAWATY PERANGINANGIN.

Shrimp head is fisheries waste that contains minerals, chitin and pigments. These waste can be extracted as an antioxidant source since it’s contains carotenoids such as astaxanthin and beta carotene. The purpose of this research was to determine the optimum concentration of HCl on demineralizing shrimp head and to determine the optimum concentration of enzymes (pepsin or papain) on carotenoid pigments extracting and to characterize it’s antioxidant properties. The research consisted of two steps, i.e. preliminary and main research. The preliminary research was carried out to find out the optimum HCl concentration on demineralizing of shrimp head; whereas the main research was conducted to determine the optimum concentration of pepsin and papain enzymes on extracting of carotenoid pigments. Demineralization of shrimp head was initiated by cooking for 10 minutes (70-80 oC), continued by soaking in HCl in concentration of 0; 0.75; 1.00 and 1.25M for 30 minutes. The optimum condition to demineralize of shrimp head waste was using HCl 1,25M for 30 minutes, whereas the optimum activities of pepsin and papaine enzymes were pH 4 at 45 oC and pH 6.2 at 55 oC respectively. The concentration optimum of pepsin enzyme on carotenoid pigments extracting was 3%, which obtained phenolic compound of 83.76 mg GAE/l, inhibited oxidation of 32.87% (equal to 285.79 mgAAE/100 g), had IC50 2.05 μg/ml and contained 15.58% of beta carotene and 13.65% of astaxanthin; whereas the optimum concentration of papain enzyme was 8%, produced phenolic compound of 49.35 mgGAE/L, inhibited oxidation 17.27% (equal to 150.00 mgAAE/100 g), had IC50 3.85 μg/ml, contained 15,58% of beta caroten and 11,62% of astaxanthin.

Keywords: Antioxidant, carotenoid, characterization, enzymatic, extraction, shrimp head.


(6)

(7)

RINGKASAN

DIAH LESTARI AYUDIARTI. Ekstraksi Karotenoid dari Kepala Udang secara Enzimatis dan Karakterisasi Profil Karotenoid sebagai Antioksidan. Dibimbing oleh JOKO SANTOSO, SRI PURWANINGSIH dan ROSMAWATY PERANGINANGIN.

Udang di Indonesia sampai sekarang masih merupakan komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Volume ekspor udang Indonesia tahun 2010 mencapai 140.940 ton yang memiliki nilai sebesar US$ 989.708.000. Potensi ekspor udang beku di Indonesia tiap tahun semakin meningkat. Ekspor udang beku tanpa kulit dan kepala sebesar 60% dari total ekspor. Limbah padat hasil produksi olahan udang vanname sebesar 36-47% dari total ekspor. Penanganan limbah harus ditangani secara tepat agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Kepala dan kulit udang banyak mengandung protein, senyawa kitin dan pigmen karotenoid. Pigmen karotenoid terdiri dari beberapa jenis seperti likopen, karoten, xantophil, zeaxanthin dan astaxanthin. Penelitian ini bertujuan untuk mengekstrak karotenoid dari limbah kepala udang secara enzimatis untuk dikarakterisasi sebagai antioksidan.

Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah limbah kepala udang yang diperoleh dari limbah hasil pengolahan perusahaan di daerah Muara Baru. Hasil karakteristik bahan baku kepala udang vanname adalah kadar air 75,13%, kadar abu 7,05%, kadar lemak 1,98%, dan kadar protein 15,31%.

Pada penelitian pendahuluan dilakukan proses demineralisasi menggunakan HCl yang berfungsi untuk mengurangi jumlah mineral seperti kalsium. Proses demineralisasi dilakukan dengan cara merendam kepala udang dalam HCl 0; 0,75; 1,00 dan 1,25 M selama 30 menit, sehingga jumlah mineral (kalsium) dalam kepala udang dapat berkurang. Hasil demineralisasi kepala udang terbaik adalah menggunakan asam klorida sebesar 1,25 M karena dapat mendemineralisasi kadar abu yang terdapat dalam kepala udang sebesar 4,09%.

Ekstraksi karotenoid dari kepala udang dilakukan dengan menggunakan enzim pepsin dan enzim papain yang merupakan modifikasi dari metode Babu et al. (2008). Kepala udang diagitasi dalam larutan enzim pepsin menggunakan pelarut buffer fosfat-sitrat dengan konsentrasi 2, 3 dan 4% (b/b) selama 2 jam (pH 4 dan suhu 45 °C) atau enzim papain menggunakan buffer fosfat-sitrat dengan konsentrasi 4, 6 dan 8% (b/b) (pH 6,2 dan suhu 55 °C) selama 2 jam. Ekstraksi menggunakan enzim pepsin 3% dapat menghasilkan senyawa fenolat sebesar 83,76 mgGAE/L, memiliki kandungan beta karoten sekitar 15,58 ppm dan astaxanthin sebesar 13,65 ppm yang dapat menghambat terjadinya oksidasi sebesar 32,87% yang setara dengan 285,79 mgAAE/100g dan memiliki IC50 sebesar 2,05μg/mL. Hasil ekstraksi menggunakan enzim papain 8% dapat

menghasilkan senyawa fenolik sebesar 49,35 mgGAE/L, memilki kandungan beta karoten sekitar 15,58 ppm dan astaxanthin sebesar 13,42 ppm dengan kemampuan untuk menghambat antioksidan sebesar 17,27% yang setara dengan 150,00 mgAAE/100g dan memiliki IC50 sebesar 3,85 μg/mL.


(8)

(9)

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(10)

(11)

Kegiatan penelitian dalam rangka penulisan Tesis ini dibiayai oleh :

Balai Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan


(12)

(13)

EKSTRAKSI KAROTENOID DARI KEPALA UDANG

SECARA ENZIMATIS DAN KARAKTERISASI

PROFIL KAROTENOID SEBAGAI ANTIOKSIDAN

DIAH LESTARI AYUDIARTI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Teknologi Hasil Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(14)

(15)

Judul Tesis : Ekstraksi Karotenoid dari Kepala Udang secara Enzimatis dan Karakterisasi Profil Karotenoid sebagai Antioksidan Nama Mahasiswa : Diah Lestari Ayudiarti

NRP : C351070091

Mayor : Teknologi Hasil Perairan

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si Ketua

Dr. Ir. Sri Purwaningsih, M.Si Prof(R). Dr. Rosmawaty P., MS Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Teknologi Hasil Perairan

Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr


(16)

(17)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah Ekstraksi Karotenoid dari Kepala Udang secara Enzimatis dan Karakterisasi Profil karotenoid sebagai Antioksidan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si, Dr. Ir. Sri Purwaningsih, M.Si, dan Prof. Dr. Rosmawaty Peranginangin, MS selaku Pembimbing, yang telah

membimbing, memberikan arahan dan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini;

2. Dra. Ella Salamah, M.Si selaku Penguji, yang telah memberikan arahan dan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini;

3. Dr. Tati Nurhayatai, S.Pi, M.Si selaku Ketua Program Studi Pasca Sarjana yang telah memberikan masukan kepada penulis;

4. Bapak Wayan Lendra dan Ibu Mariyam yang telah memberikan dukungan dan motivasi;

5. Kepala Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Prof. Dr. Hari Eko Irianto;

6. Prof. Dr. Sumpeno Putro (alm) yang telah membantu dalam memilih Program Studi di IPB serta memotivasi dalam kelancaran studi, dan beasiswa;

7. Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) sebagai sponsor beasiswa; 8. Ibu Dwi Suryaningrum, dan Ibu Murniyati sebagai Koordinator kegiatan di

Pengolahan Produk;

9. Teman dekat dan sahabat, Ekin, yang selalu ada disetiap saat, serta kakakku Meivi Janti;

10.Teman-teman atau sahabat-sahabatku di BBRP2B seperti Mba Ema, Mba Ida, Devi, Mba Yeni, dan Mba Yanti yang selalu mendukung, dan membagi informasi selama proses penelitian ini;

11.Teman-teman THP angkatan 2007, Mba Elin, Mba Tati, Krisan, Ulin, Sevri, Pak Sitkun, Mba Rita, Vita, dan Mba Julin, serta teman-teman THP yang lain,


(18)

seperti Mba Uci yang teman berjuang di garis finish serta Lilis, Vivin, dan Indah (THP S1);

12.Teman-teman kos Lia, Mba Mila, dan Dian yang selalu mendoakan kelulusanku;

13.Teman-teman di BBRP2B lainnya yang selalu membantu dan memotivasi selama proses penelitian ini seperti Pak Tazwir, Pak Nurul, Mba Dewi Zilda, Gintung, dan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu;

14.Mba Ema dan Mas Ismail staff administrasi THP yang selalu membantu Saya.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih ada kekurangan, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan agar dapat memberikan informasi dalam pengembangan karya tulis ini lebih lanjut. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2011


(19)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 15 Maret 1981 sebagai anak kedua dari dua bersaudara, pasangan Wayan Lendra dan Mariyam. Penulis

memasuki jenjang Sekolah Dasar tahun 1987 dan lulus tahun 1993 di SDN Dr. Soetomo VII, Surabaya; melanjutkan ke jenjang SMP tahun 1993

sampai 1996 di SMPN 10 Surabaya; jenjang SMU di tahun 1996 sampai 1999 di SMUN 21 Surabaya. Penulis melanjutkan kuliah Strata 1 tahun 1999 di Program Studi Kimia (FMIPA) Universitas Airlangga sampai tahun 2003.

Penulis bekerja sebagai Pelaksana Peneliti di Kelompok Pengolahan Produk di Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan sejak tahun 2003. Pada tahun2007 penulis memperoleh kesempatan menjadi karya siswa BRKP untuk melanjutkan jenjang pendidikan ke Strata 2 di Sekolah Pascasarjana Mayor Teknologi Hasil Perairan (THP) Institut Pertanian Bogor.


(20)

(21)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

1.4 Hipotesis ... 4

1.5 Kerangka Pemikiran ... 4

2. TINJAUAN PUSTAKA... 7

2.1 Udang Vanname (Litopenaeus vannamei) ... 7

2.2 Pigmen Karotenoid ... 9

2.3 Ekstraksi Karotenoid ... 12

2.4 Enzim Protease ... 13

2.3.1 Papain ... 14

2.3.2 Pepsin ... 16

2.5 Antioksidan ... 17

2.6 Uji Aktivitas Antioksidan Metode 2,2-difenil-1-pikrihidrazil (DPPH) ... 19

3. METODE PENELITIAN ... 21

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 21

3.2 Bahan dan Alat ... 21

3.2.1 Bahan ... 21

3.2.2 Alat ... 21

3.3 Tahapan Penelitian ... 22

3.3.1 Penelitian pendahuluan ... 22

3.3.2 Penelitian utama ... 23

3.4 Prosedur Analisis ... 24

3.4.1 Analisis kadar air (AOAC 2000) ... 24

3.4.2 Analisis kadar abu (AOAC 2000) ... 24

3.4.3 Analisis kadar lemak (AOAC 2000) ... 25

3.4.4 Analisis kadar protein (AOAC 2000) ... 25

3.4.5 Uji aktivitas enzim (Bergmeyer 1983) ... 26


(22)

3.4.7 Analisis total fenol dengan metode folin-ciocalteu

(Orak 2006) ... 27 3.4.8 Penentuan komposisi beta karoten (Zhao et al. 2004) ... 28 3.4.9 Penentuan komposisi astaxanthin (Lee et al. 2004) ... 28 3.4.10 Uji aktivitas antioksidan metode

2,2-difenil-1-pikrilhidrazil (DPPH) (Okawa 2001)... 28

3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data ... 29

4. HASIL PEMBAHASAN ... 31

4.1 Penelitian Pendahuluan ... 31 4.1.1 Karakterisasi bahan baku kepala udang vanname ... 31 4.1.2 Pengaruh demineralisasi terhadap kadar air kulit kepala

udang vanname (Litopenaeus vannamei) ... 32 4.1.3 Pengaruh demineralisasi terhadap kadar abu kulit kepala

udang vanname (Litopenaeus vannamei) ... 33 4.1.4 Pengaruh demineralisasi terhadap kadar lemak kulit kepala

udang vanname (Litopenaeus vannamei) ... 35 4.1.5 Pengaruh demineralisasi terhadap kadar protein kulit kepala

udang vanname (Litopenaeus vannamei) ... 36 4.1.6 Uji aktivitas enzim pepsin dan papain ... 38

4.2 Penelitian Utama ... 40 4.2.1 Karakteristik total fenol hasil ekstraksi dari kepala udang

vanname (Litopeneaus vannamei) ... 40 4.2.2 Profil beta karoten hasil ekstraksi dari kepala udang

vanname (Litopenaus vannamei) ... 42 4.2.3 Profil astaxanthin hasil ekstraksi dari kepala udang

vanname (Litopenaus vannamei) ... 44 4.2.4 Karakteristik aktivitas antioksidan hasil ekstraksi dari

kepala udang vanname (Litopenaus vannamei) ... 46 5. SIMPULAN DAN SARAN ... 51 5.1 Kesimpulan ... 51 5.2 Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 53 LAMPIRAN ... 61


(23)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Komposisi kimia udang vanname ... 9 2 Pengelompokan enzim protease ... 14 3 Komposisi asam amino penyusun papain ... 16 4 Uji aktivitas enzim ... 26 5 Komposisi proksimat bahan baku kepala udang vanname segar ... 31


(24)

(25)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Kerangka pemikiran penelitian ... 6 2 Anatomi udang ... 8 3 Jenis karotenoid ... 10 4 Mekanisasi oksidasi asam lemak ... 18 5 Donor proton pada uji DPPH ... 20 6 Proses demineralisasi kepala udang ... 22 7 Proses ekstraksi karotenoid dari kepala udang ... 23 8 Nilai rata-rata kadar air kepala udang hasil demineralisasi ... 33 9 Nilai rata-rata kadar abu kepala udang hasil demineralisasi ... 34 10 Nilai rata-rata kadar lemak kepala udang hasil demineralisasi ... 36 11 Nilai rata-rata kadar protein kepala udang hasil demineralisasi ... 37 12a Uji aktivitas enzim pepsin pada suhu optimum ... 38 12b Uji aktivitas enzim papain pada suhu optimum ... 38 13a Uji aktivitas enzim pepsin pada pH optimum ... 39 13b Uji aktivitas enzim papain pada pH optimum... 39 14a Kandungan total fenol hasil ekstraksi kepala udang menggunakan

enzim pepsin ... 41 14b Kandungan total fenol hasil ekstraksi kepala udang menggunakan

enzim papain ... 41 15 Profil standar beta karoten ... 42 16a Profil beta karoten untuk hasil ekstraksi menggunakan

enzim pepsin 2% ... 43 16b Profil beta karoten untuk hasil ekstraksi menggunakan

enzim pepsin 3% ... 43 16c Profil beta karoten untuk hasil ekstraksi menggunakan

enzim pepsin 4% ... 43 16d Profil beta karoten untuk hasil ekstraksi menggunakan

enzim papain 4% ... 43 16e Profil beta karoten untuk hasil ekstraksi menggunakan


(26)

16f Profil beta karoten untuk hasil ekstraksi menggunakan

enzim papain 8% ... 43 17 Profil standar astaxanthin ... 44 18a Profil astaxanthin untuk hasil ekstraksi menggunakan

enzim pepsin 2% ... 45 18b Profil astaxanthin untuk hasil ekstraksi menggunakan

enzim pepsin 3% ... 45 18c Profil astaxanthin untuk hasil ekstraksi menggunakan

enzim pepsin 4% ... 45 18d Profil astaxanthin untuk hasil ekstraksi menggunakan

enzim papain 4% ... 45 18e Profil astaxanthin untuk hasil ekstraksi menggunakan

enzim papain 6% ... 45 18f Profil astaxanthin untuk hasil ekstraksi menggunakan

enzim papain 8% ... 45 19a Persen inhibisi hasil ekstraksi menggunakan enzim pepsin ... 47 19b Persen inhibisi hasil ekstraksi menggunakan enzim papain ... 47 20a Aktivitas antioksidan (AEAC) hasil ekstraksi menggunakan

enzim pepsin ... 48 20b Aktivitas antioksidan (AEAC) hasil ekstraksi menggunakan

enzim papain ... 48 21a Aktivitas antioksidan (IC50) hasil ekstraksi menggunakan

enzim pepsin ... 49 21b Aktivitas antioksidan (IC50) hasil ekstraksi menggunakan


(27)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Tabel analisis ragam dan hasil uji lanjut Tukey pada proses demineralisasi

terhadap kadar air kepala udang vanname (Litopenaeus vannamei) ... 63 2 Tabel analisis ragam dan hasil uji lanjut Tukey pada proses demineralisasi

terhadap kadar abu kepala udang vanname (Litopenaeus vannamei) ... 64 3 Tabel analisis ragam dan hasil uji lanjut Tukey pada proses demineralisasi

terhadap kadar lemak kepala udang vanname (Litopenaeus vannamei) ... 65 4 Tabel analisis ragam dan hasil uji lanjut Tukey pada proses demineralisasi

terhadap kadar protein kepala udang vanname (Litopenaeus vannamei) ... 66 5 Kurva kalibrasi asam galat dan kadar total fenol hasil ekstraksi ... 67 6 Tabel analisis ragam dan hasil uji lanjut Tukey terhadap kadar total fenol

hasil ekstraksi dari kepala udang vanname (Litopenaeus vannamei)

menggunakan enzim pepsin. ... 68 7 Tabel analisis ragam dan hasil uji lanjut Tukey terhadap kadar total fenol

hasil ekstraksi dari kepala udang vanname (Litopenaeus vannamei)

menggunakan enzim papain ... 69 8 Analisis kemampuan inhibisi asam askorbat dan aktivitas antioksidan

sampel hasil ekstraksi dari kepala udang ... 70 9 Tabel analisis kemampuan inhibisi dan hasil analisis uji lanjut Tukey

terhadap hasil ekstraksi dari kepala udang vanname

(Litopenaeus vannamei) menggunakan enzim pepsin ... 71 10 Tabel analisis kemampuan inhibisi dan hasil analisis uji lanjut Tukey

terhadap hasil ekstraksi dari kepala udang vanname

(Litopenaeus vannamei) menggunakan enzim papain ... 72 11 Tabel analisis aktivitas antioksidan AEAC dan hasil analisis

uji lanjut Tukey terhadap hasil ekstraksi dari kepala udang vanname

(Litopenaeus vannamei) menggunakan enzim pepsin ... 73 12 Tabel analisis aktivitas antioksidan AEAC dan hasil analisis

uji lanjut Tukey terhadap hasil ekstraksi dari kepala udang vanname

(Litopenaeus vannamei) menggunakan enzim papain ... 74 13 Tabel analisis aktivitas antioksidan IC50 dan hasil analisis

uji lanjut Tukey terhadap hasil ekstraksi dari kepala udang vanname


(28)

14 Tabel analisis aktivitas antioksidan IC50 dan hasil analisis

uji lanjut Tukey terhadap hasil ekstraksi dari kepala udang vanname

(Litopenaeus vannamei) menggunakan enzim papain ... 76


(29)

1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Udang di Indonesia sampai sekarang masih merupakan komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Pemerintah melalui Departemen Perdagangan telah menetapkan udang sebagai komoditas ekspor pada urutan keenam (Departemen Kelautan dan Perikanan 2008). Komoditas udang saat ini diperoleh dari penangkapan di alam maupun dari hasil budidaya tambak. Data menunjukkan lahan tambak udang

vanname sebesar 1,2 juta hektar dengan kapasitas produksi tahun 2007 mencapai 352.220 ton, 75% lahan ditangani oleh petambak tradisional dan sisanya oleh petambak semi-intensif dan petambak intensif oleh perusahaan (Trobos 2009).

Volume ekspor udang Indonesia tahun 2010 mencapai 140.940 ton yang memiliki nilai sebesar US$ 989.708.000. Potensi ekspor udang beku di Indonesia tiap tahun semakin meningkat. Ekspor udang beku tanpa kulit dan kepala sebesar 60% (KKP 2011). Hafiz (2009) menyatakan ukuran rata-rata berat per ekor udang

vanname (Litopenaeus vannamei) siap konsumsi adalah 15 g dengan komposisi daging 8,67 g, bobot kepala sebesar 4,33 g, dan bobot kulit sebesar 2 g. Komposisi rendemen rata-rata per ekor udang vannamei adalah daging sebesar 58%, kepala sebesar 29% dan kulit sebesar 13%. Limbah padat hasil produksi olahan udang

vanname sebesar 36-47%.

Holanda dan Netto (2006) menyatakan pemanfaatan limbah cangkang udang selama ini hanya terbatas untuk campuran pakan ternak dan pembuatan kitosan. Kepala dan kulit udang ini banyak mengandung protein, senyawa kitin dan pigmen karotenoid. Rodriguez-Amaya (2006) menunjukkan bahwa pigmen karotenoid terdiri dari beberapa jenis, seperti likopen, karoten, xantophil, zeaxanthin, dan astaxanthin. Astaxanthin merupakan pigmen dominan dalam kulit udang yang akan mengalami perubahan warna dari biru-hijau-coklat menjadi merah keoranyean bila terkena panas.

Astaxanthin adalah pigmen golongan karotenoid yang termasuk karoten dengan struktur hidrokarbon dan turunan isoprenoid (Firdaus 2001). Olson (1999)


(30)

2

menyatakan karotenoid bermanfaat bagi kesehatan manusia, sebab karotenoid dapat mencegah aktivitas kanker paru-paru, kanker prostat, penyakit jantung, katarak, infeksi Human Immune Virus.

Ciapara et al. (2006) menunjukkan bahwa karotenoid juga dapat mencegah infeksi bakteri, meningkatkan sistem kekebalan tubuh, mencegah peradangan dan sebagai pelindung kerusakan Deoxyribonucleic Acid akibat sinar ultra violet. Furr dan Clark (1997) menyatakan karotenoid berfungsi sebagai antikolesterol karena dapat membentuk emulsi dengan lemak membentuk kilomikron dan mudah terabsorpsi pada lapisan pencernaan. Penelitian Kurashige et al. (1990) dan Shimidzu et al. (1996) menunjukkan karotenoid mempunyai aktivitas sebagai antioksidan 100 kali lebih kuat dibandingkan vitamin E. Berdasarkan hasil penelitian Chew et al. (1999) karotenoid dapat mengurangi pertumbuhan tumor payudara sebesar 50% melalui uji in vivo.

Metode ekstraksi karotenoid pada udang telah dilakukan baik dengan pelarut bahan kimia, super kritikal karbondioksida, dan enzim. Ekstraksi menggunakan pelarut bahan kimia memerlukan jumlah bahan kimia yang banyak sehingga akan menghasilkan banyak limbah cair pada akhir proses dan dimungkinkan pada hasil ekstraksi masih terdapat residu bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan. Ekstraksi karotenoid menggunakan metode super kritikal karbondioksida menghasilkan rendemen yang kecil. Babu et al. (2008) menyatakan ekstraksi karotenoid secara enzimatis menghasilkan rendemen yang tinggi dan ramah lingkungan. Shacindra et al. (2005) telah melakukan ekstraksi karotenoid menggunakan pelarut aseton pada berbagai bagian tubuh udang dan menghasilkan rendemen sebesar 10,4-17,4 g/g pada daging udang, 35,8-153,1 µg/g pada kepala, 59,8-104,7 g/g pada kulit udang. Lopez et al. (2004) membandingkan bahwa ekstraksi karotenoid menggunakan superkritikal karbondioksida menghasilkan rendemen 71% lebih kecil dibandingkan dengan cara manual. Hasil penelitian Babu (2008) menunjukkan ekstraksi karotenoid menggunakan enzim juga telah diaplikasikan pada kepala udang, hasil rendemen yang diperoleh sebesar 75,7–96,8 µg/g.


(31)

3

Chakrabarti (2002) telah melakukan penelitian ekstraksi karotenoid menggunakan enzim protease dan rendemen yang dihasilkan sebesar 30-40 ppm. Enzim protease berfungsi untuk memutus ikatan peptida sehingga pigmen yang terdapat dalam kulit dan kepala udang dapat diekstrak dan diperoleh pigmen karotenoid bebas. Mineral dalam kulit udang seperti kalsium, karbonat, dan fosfor akan menghambat proses ekstraksi. Mineral dapat berasosiasi dengan protein dan menguatkan ikatan peptida. Proses pemanasan tidak dapat menghilangkan mineral tetapi penambahan asam atau basa dapat memutuskan ikatan mineral (demineralisasi) dan meningkatkan daya tolak menolak elektrostatik sehingga melonggarkan jaringan protein. Penelitian untuk melihat pengaruh proses demineralisasi terhadap ekstraksi karotenoid dari kepala udang menggunakan enzim papain dan pepsin komersial perlu dilakukan serta menguji karakteristik hasil ekstraksi sebagai antioksidan.

1.2 Perumusan Masalah

Pada umumnya udang diekspor dalam bentuk segar dan beku. Ekspor beku dapat menggunakan atau tanpa menggunakan kepala dan kulit. Kepala dan kulit udang sisa pengolahan pembekuan digolongkan sebagai limbah padat. Selama ini limbah padat tersebut hanya dimanfaatkan sebagai pakan dan sebagai sumber kitin serta kitosan. Padahal limbah kepala dan kulit udang mengandung pigmen karotenoid yang mempunyai banyak manfaat antara lain sebagai antioksidan.

Ekstraksi karotenoid telah banyak dilakukan dengan berbagai metode baik dengan pelarut bahan kimia, super kritikal karbondioksida ataupun enzim. Proses ekstraksi menggunakan pelarut bahan kimia menghasilkan banyak limbah cair pada akhir proses dan dimungkinkan pada hasil ekstraksi masih terdapat residu bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan. Ekstraksi karotenoid menggunakan metode super kritikal karbondioksida menghasilkan rendemen yang kecil. Alternatif proses ekstraksi karotenoid yang lebih murah, menghasilkan rendemen yang tinggi, dan ramah lingkungan perlu dicari.


(32)

4

Penelitian untuk melihat pengaruh proses demineralisasi terhadap ekstraksi karotenoid dari kepala udang menggunakan enzim pepsin dan papain perlu dilakukan serta menguji karakteristik hasil ekstraksi sebagai antioksidan.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian diharapkan dapat menemukan metode ekstraksi secara enzimatis untuk mendapatkan karotenoid terbaik serta dapat menjadi salah satu alternatif dalam pemenuhan kebutuhan antioksidan yang berasal dari limbah kepala udang. Tujuan umum penelitian ini adalah mengekstrak karotenoid dari limbah kepala udang secara enzimatis untuk dikarakterisasi sebagai antioksidan. Tujuan khusus penelitian ini adalah:

1) Menentukan konsentrasi HCl optimum dalam proses demineralisasi.

2) Menentukan konsentrasi enzim pepsin terbaik untuk mengekstraksi karotenoid sebagai antioksidan.

3) Menentukan konsentrasi enzim papain terbaik untuk mengekstraksi karotenoid sebagai antioksidan.

1.4 Hipotesis

Adapun hipotesis penelitian ini adalah:

(1) Penggunaan HCl akan berpengaruh terhadap proses demineralisasi.

(2) Penggunaan konsentrasi enzim pepsin akan berpengaruh terhadap ekstrak karotenoid sebagai antioksidan.

(3) Penggunaan konsentrasi enzim papain akan berpengaruh terhadap ekstrak karotenoid sebagai antioksidan.

1.5 Kerangka Pemikiran

Saat ini udang beku diekspor tanpa menggunakan kepala dan kulit sehingga menghasilkan banyak limbah padat. Kepala dan kulit udang mengandung pigmen karotenoid yang berwarna merah keoranyean. Pigmen ini memiliki banyak fungsi


(33)

5

diantaranya sebagai antioksidan. Proses ekstraksi karotenoid dapat dilakukan dengan pelarut bahan kimia, super kritikal karbondioksida dan secara enzimatis. Proses ekstraksi menggunakan pelarut bahan kimia menghasilkan banyak limbah cair dan berbahaya bagi kesehatan. Ekstraksi karotenoid menggunakan metode super kritikal karbondioksida menghasilkan rendemen yang kecil. Ekstraksi karotenoid secara enzimatis lebih ramah lingkungan dan menghasilkan rendemen yang tinggi. Ekstraksi karotenoid dari limbah kepala udang dengan enzim dapat lebih ekonomis bila menggunakan enzim komersial yang berharga rendah, misalnya enzim papain dibandingkan menggunakan enzim murni, seperti enzim pepsin. Enzim papain dan pepsin merupakan enzim protease yang memiliki spesifitas tinggi, hanya mengkatalisis substrat tertentu, tidak membentuk produk samping yang tidak diinginkan, mempunyai produktivitas yang tinggi sehingga dapat mengurangi biaya. Produk akhir pada umumnya tidak terkontaminasi sehingga mengurangi biaya purifikasi dan mengurangi efek kerusakan terhadap lingkungan. Kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.


(34)

6

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian. Kulit udang

Proses demineralisasi menggunakan HCl

Proses ekstraksi menggunakan enzim

enzim

Enzim papain dan pepsin

Karotenoid

Profil karotenoid dan aktivitas antioksidan Spesifitas tinggi

Mengkatalisis substrat tertentu Murah dan aman


(35)

7

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1Udang Vanname (Litopenaeus vannamei)

Udang vanname (Litopnaeus vannamei) merupakan organisme akuatik asli pantai Pasifik Meksiko, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan. Udang vanname

memiliki nama umum Pacific white shrimp, camaron blanco, dan longostino. Udang vaname dapat tumbuh sampai 230 mm, menyukai dasar yang berpasir dengan kedalaman sekitar 72 m dari permukaan laut. Wyban dan Sweeney (1991) mengklasifikasikan udang vanname sebagai berikut:

Filum : Anthropoda Kelas : Crustacea Subkelas : Eumalacostraca Ordo : Decapoda

Subordo : Dendrobranchiata Famili : Penaidae

Genus : Panaeus

Subgenus : Litopenaeus

Spesies : Vannamei

Bagian tubuh udang vaname terdiri dari kepala yang bergabung dengan dada (chepalothorax) dan perut (abdomen). Kepala udang vaname terdiri dari antenula, antena, mandibula, dan sepasang maxillae. Kepala udang vaname juga dilengkapi dengan 5 pasang kaki jalan (periopod) yang terdiri dari 2 pasang maxillae dan 3 pasang maxiliped. Perut udang vanamei terdiri dari 6 ruas dan juga terdapat 5 pasang kaki renang (pleopod) serta sepasang uropod (mirip ekor) yang membentuk kipas bersama-sama telson. Sifat udang vaname aktif pada kondisi gelap dan dapat hidup pada kisaran salinitas lebar dan suka memangsa sesama jenis (kanibal), tipe pemakan lambat tapi terus menerus (continous feeder) serta mencari makan lewat organ sensor. Spesies ini memiliki 6 stadia naupli, 3 stadia protozoa, 3 stadia mysis,


(36)

8

menjadi juvenil dan akhirnya menjadi dewasa. Anatomi tubuh udang dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Anatomi udang (Pustekom 2005).

Pada udang betina, gonad pada awal perkembangannya berwarna keputih-putihan yang kemudian berubah menjadi coklat keemasan atau hijau kecoklatan pada saat pemijahan. Pada masa pemijahan, telur akan dibuahi oleh sperma. Telur-telur yang telah dibuahi akan terdapat pada bagian dasar atau melayang-layang di air. Telur jenis udang ini tergantung dari ukuran individu, udang dengan berat 30g sampai 45 g menghasilkan telur sebanyak 100.000 sampai 250.000 butir. Telur yang memiliki diameter 0,22 mm, proses claeveage pada tingkat nauplius terjadi kira-kira 14 jam setelah proses bertelur (Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah 2009).

Hafiz (2009) menyatakan udang vanname memiliki berat kepala sebesar 29%, daging sebesar 58%, dan pada kulit sebesar 13%. Ukuran rata-rata tiap bagian-bagian udang didapatkan berat total rata-rata sebesar 15 g, tanpa kepala sebesar 10,67 g, tanpa kepala dan kulit sebesar 8,67 g, bobot kepala sebesar 4,33 g, dan bobot rata-rata kulit sebesar 2 g. Komposisi kimia pada udang vanname (Litopenaeus vannamei) dapat dilihat pada Tabel 1.


(37)

9

Tabel 1 Komposisi kimia udang vanname

Parameter Jumlah (%)

Protein 18,1

Lemak 0,8

Air 78,2

Abu 1,5

Karbohidrat 1,4

Sumber :Hafiz(2009)

2.2 Pigmen Karotenoid

Karotenoid adalah pigmen alami yang disintesis oleh tanaman, alga, jamur, kapang dan bakteri. Karotenoid juga ditemukan dalam ikan (salmon, trout, sea beam, kakap merah, dan tuna), kulit, cangkang atau kerangka luar hewan air, seperti moluska (clam, oyster, scallop) dan crustacea (lobster, kepiting, udang). Gimeno et al. (2007) menyatakan pigmen ini tidak dapat disintesis sendiri oleh hewan-hewan tersebut tetapi diperoleh dari makanan, yaitu alga.

Jenis pigmen karotenoid terdiri dari beberapa jenis, seperti likopen, karoten, xantophil, zeaxanthin, dan astaxanthin. Hal ini disebabkan karotenoid dapat mengalami reaksi kimia yang menghasilkan turunannya dengan sifat kimia yang masih sama (Rodriguez-Amaya et al. 2006). Struktur karotenoid merupakan turunan dari likopen yang masing-masing terdiri dari 40 atom C dengan dua cincin pada bagian ujungnya. Cincin yang terdapat pada karotenoid dihubungkan oleh atom C yang terkonjugasi atau sistem polien. Dua pigmen karotenoid, yaitu α dan β-karoten hanya disusun oleh atom C dan H yang pada bagian ujungnya mengalami siklisasi. Xanthophil merupakan turunan karotenoid yang mengalami substitusi oksigen, zaexanthin merupakan turunan karotenoid yang mengalami hidrogenasi dan mengandung gugus hidroksi. Gugus oksi terdapat dalam canthaxanthin, sedangkan kombinasi gugus hidroksi dan oksi terdapat dalam astaxanthin. Ikatan ganda terkonjugasi pada karotenoid merupakan gugus kromofor yang memberikan warna. Setiap ikatan rangkap pada rantai alifatisnya akan memberikan dua bentuk konfigurasi geometri, yaitu isomer cis dan trans. Isomer cis lebih stabil dibandingkan


(38)

10

pigmen yang memberikan warna kuning, oranye atau merah pada ikan dan udang (Ciapara et al. 2006). Struktur Pigmen karotenoid dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Jenis karotenoid(Ciapara et al. 2006).

Hasil penelitian Babu et al. (2008) menunjukkan bahwa astaxanthin merupakan komposisi pigmen karotenoid terbesar dalam crustacea (lobster, kepiting, udang). Gugus hodroksil dan keton pada cincin dalam molekul astaxanthin mengindikasikan bahwa senyawa tersebut lebih polar dibandingkan karotenoid lainnya dan memiliki aktivitas antioksidan yang sangat tinggi. Gugus hidroksi dapat bereaksi dengan satu atau dua asam lemak membentuk monoester dan diester. Bentuk teresterifikasi ini mengakibatkan astaxanthin bersifat hidrofobik (tidak larut dalam air), diester bersifat lebih hidrofobik dibandingkan dengan bentuk monoester. Astaxanthin dalam keadaan bebas bersifat tidak stabil dan mudah teroksidasi. Astaxanthin stabil dalam


(39)

11

bentuk terkonjugasi dengan protein atau membentuk ester dengan asam lemak seperti palmitat, oleat atau linoleat (Hussein et al. 2006).

Karotenoid memiliki sifat tidak larut dalam air, sedikit larut dalam minyak, larut dalam hidrokarbon alifatik dan aromatik serta larut dalam hidrokarbon terklorinasi, seperti kloroform dan metilen klorida (Simpson 1982). Karotenoid sangat bermanfaat bagi kesehatan karena dapat mencegah oksidasi asam lemak tak jenuh (Khanafari 2007).

Karotenoid bermanfaat bagi kesehatan manusia, sebab karotenoid dapat mencegah aktivitas kanker paru-paru, kanker prostat, penyakit jantung dan katarak (Olson 1999). Ciapara et al. (2006) menyatakan bahwa karotenoid juga dapat mencegah infeksi bakteri, meningkatkan sistem kekebalan tubuh, mencegah peradangan dan sebagai pelindung kerusakan DNA akibat sinar UV. Olson (1999) menyatakan beta karoten dapat mencegah beberapa aktivitas kanker, seperti kanker tenggorokan dengan konsumsi sebesar 15 mg selama 6 tahun, kanker usus dengan dosis sebesar 25 mg selama 5 tahun, kanker kulit dengan dosis 50 mg selama 5 tahun, dan kanker prostat dengan dosis 20 mg selama 5-8 tahun. Astaxanthin dapat mencegah aktivitas kanker karena dapat menekan pertumbuhan kanker dan meningkatkan daya tahan tubuh untuk melawan antigen. Chew et al. (1999) menyatakan bahwa 0,1 dan 0,4% astaxanthin dapat mencegah kanker payudara pada tikus. Astaxanthin juga dapat mencegah penyakit jantung, sebab astaxanthin dapat mencegah oksidasi Low Density Lipoprotein (LDL) yang merupakan kolesterol jahat penyebab arteriosclerosis.

Astaxanthin dapat berfungsi sebagai antibakteri dari Helicobacter pylori

penyebab kanker usus. Koloni H. pylori di lapisan mukosa usus dihambat karena adanya astaxanthin pada lapisan mukosa usus (Wadstron & Alejung 2001). Astaxanthin memiliki efek antiinflamasi dengan menghambat sitokin dan chemokin. Astaxanthin bisa mencegah kelelahan mata, katarak diabetik, mempertajam penglihatan. meningkatkan daya tahan otot, dan mencegah kerut (Hussein et al.


(40)

12

2.3Ekstraksi Karotenoid

Ekstraksi karotenoid merupakan suatu proses untuk memperoleh karotenoid dari bahan yang diduga mengandung karotenoid, seperti kulit udang. Karotenoid dalam kulit udang merupakan senyawa kompleks yang berikatan secara nonkovalen dengan protein (Gimeno et al. 2007).

Babu et al. (2008) menyatakan ekstraksi karotenoid telah banyak dilakukan dengan berbagai metode, yaitu menggunakan pelarut kimia, minyak, superkritikal karbondioksida, bakteri, dan enzim. Ekstraksi karotenoid meggunakan pelarut kimia telah banyak dilakukan diantaranya menggunakan heksana, aseton, metanol, dan etanol. Ekstraksi karotenoid menggunakan pelarut kimia memang efektif akan tetapi memiliki beberapa kekurangan, yaitu proses pemisahan pelarut kimia dengan karotenoid sangat sulit sehingga dapat mendegradasi karotenoid dan hasil ekstraksinya tidak aman bagi kesehatan. Maoka dan Akimoto (2008) telah mengekstraksi karotenoid dari kulit udang menggunakan aseton menghasilkan rendemen sebesar 0,1 mg/g. Gimeno et al. (2007) menyatakan bahwa ekstraksi karotenoid menggunakan aseton lebih efektif dibandingkan dengan etanol.

Ekstraksi menggunakan pelarut minyak tidak dapat dijadikan sebagai suplemen kesehatan karena kandungan asam lemak tak jenuhnya sangat tinggi sehingga tidak baik untuk kesehatan (Lee et al. 1999). Shacindra et al. (2005) telah melakukan ekstraksi karotenoid menggunakan pelarut aseton pada berbagai bagian tubuh udang dan menghasilkan rendemen sebesar 10,4-17,4 ppm pada daging udang, 35,8-153,1 ppm pada kepala, dan 59,8-104,7 ppm pada kulit udang.

Ekstraksi karotenoid menggunakan superkritikal karbondioksida juga telah banyak dilakukan. Hasil ekstraksi menggunakan metode ini sangat kecil dan merusak struktur dari astaxanthin. Lopez et al. (2004) membandingkan bahwa ekstraksi karotenoid menggunakan superkritikal karbondioksida menghasilkan rendemen 71% lebih kecil dibandingkan dengan cara manual. Chakrabarti (2002) telah melakukan penelitian ekstraksi karotenoid menggunakan enzim protease dan rendemen yang dihasilkan sebesar 30 – 40 ppm. Penggunaan enzim protease berguna untuk memutus ikatan protein dengan karotenoid sehingga diperoleh karotenoid bebas. Penggunaan


(41)

13

enzim dalam ekstraksi karotenoid tidak menghasilkan residu yang berbahaya bagi tubuh dan lingkungan.

2.4 Enzim Protease

Enzim merupakan suatu kelompok protein yang berperan sangat penting dalam proses aktivitas biologis. Enzim terdapat pada hewan, tumbuhan, maupun mikroba. Enzim berperan sebagai katalisator pada sel dan sifatnya sangat khas karena enzim hanya bekerja pada substrat tertentu dan dengan jenis reaksi tertentu (Lehninger 1995). Enzim memiliki efisiensi katalitik yang tinggi dimana sebuah molekul enzim dapat mengurai 10 ribu sampai 1 juta substrat per menit (Richardson 1976).

Kelebihan enzim sebagai katalisator dibandingkan dengan bahan-bahan kimia lainnya adalah memiliki sifat spesifitas yang tinggi, hanya mengkatalisis substrat tertentu, tidak terbentuk produk samping yang tidak diinginkan, mempunyai produktivitas yang tinggi sehingga dapat mengurangi biaya, produk akhir pada umumnya tidak terkontaminasi sehingga mengurangi biaya purifikasi dan mengurangi efek kerusakan terhadap lingkungan (Chaplin dan Burke 1990).

Protease adalah enzim yang mengkatalisasi pemecahan ikatan peptide dalam peptide, polipeptida, dan protein dengan menggunakan reaksi hidrolisis menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana seperti peptide rantai pendek dan asam amino (Naiola & Widyastusti 2002). Aktivitas enzim ini membutuhkan air sehingga dikelompokkan dalam kelas hidrolase. Hidrolisis ikatan peptide adalah reaksi penambahan-penghilangan, dimana protease bertindak sebagai nukleofili membentuk intermediet tetrahedral dengan atom karbon karbonil pada ikatan peptide (Bauer et al.

1996). Protease berperan dalam sejumlah reaksi biokimia seluler yang diperlukan untuk degradasi protein nutrien, mekanisme patogenisitas, proses koagulasi darah, proses sporulasi, diferensiasi, sejumlah proses pasca translasi protein, dan mekanisme ekspresi protein ekstra seluler (Rao et al. 1998). Enzim protease dapat dibagi menjadi empat golongan sebagaimana disajikan pada Tabel 2.


(42)

14

Tabel 2 Pengelompokan enzim protease

Pengelompokan Jenis Enzim Keterangan Contoh

Golongan pertama Enzim

protease serin

Sisi aktifnya adalah residu serin

Tripsin, kimotripsin, elastase, subtilin

Golongan kedua Enzim protease sulfhidril

Sisi aktifnya adalah residu sulfhidril

Papain, fisin, bromelin

Golongan ketiga Enzim

protease metal Sisi aktifnya tergantung pada adanya hubungan metal Karboksipeptidase A

Golongan keempat Protease asam Pada sisi aktifnya terdapat dua gugus karbonil

Pepsin, renin

Sumber : Winarno (1986)

Aktivitas enzim dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain suhu dan pH. Suhu yang semakin tinggi dapat memprcepat terjadinya reaksi kimia dan juga mempercepat reaksi yang dikatalisis enzim, tetapi kenaikan suhu dapat mempengaruhi struktur enzim sehingga terjadi inaktivasi (Reed 1975). Semua enzim adalah protein, dan aktivitasnya tergantung kepada integritas strukturnya sebagai protein. Penataan tertentu pada rantai samping asam amino suatu enzim di sisi aktifnya menentukan tipe molekul yang dapat terikat dan bereaksi di situ. Ada sekitar lima rantai samping dalam enzim. Banyak molekul-molekul nonprotein kecil yang terhubung pada sisi aktif enzim, molekul-molekul ini disebut kofaktor atau koenzim (Ngili 2009). Sumber enzim adalah organisme hidup seperti hewan, tanaman, dan mikroba. Enzim protease dibagi menjadi dua golongan yaitu golongan eksopeptidase dan golongan endopeptidase.

2.4.1 Papain

Papain merupakan salah satu enzim proteolitik yang paling banyak digunakan dalam industri. Aplikasinya cukup luas, mulai dari bahan pelunak daging hingga berbagai industri pangan, minuman, farmasi, detergen, kulit, wool, kosmetika, dan


(43)

15

industri biologi lainnya (Winarno 1986). Papain stabil terhadap suhu tinggi pada pH mendekati netral. Pada pH asam (kurang dari 4) papain akan cepat menjadi inaktif pada suhu tinggi. Pada pH yang sangat asam (kurang dari 2) inaktivasi sangat cepat terjadi walaupun pada suhu 25OC. Papain mempunyai pH optimum 7,2 pada substrat

Benzoil Arginil Etil Ester (BAEE), pH 6,5 pada substrat kasein, pH 7,0 pada albumin, dan pH 5,0 pada gelatin (Muchtadi et al. 1992).

Berat molekul papain adalah 20.500 kDa, di bawah mikroskop bentuk kristal papain dari getah kering buah papaya berupa jarum tetapi setelah disimpan beberapa bulan pada suhu rendah akan berubah hexagonal pipih memanjang. Perubahan bentuk kristal ini tidak merubah aktivitasnya (Arief 1975). Enzim ini tergolong protease sulfhidril. Papain mempunyai keaktifan sintetik. Disamping keaktifan untuk memecah protein, papain mempunyai kemampuan membentuk protein baru atau senyawa yang menyerupai protein yang disebut plastein dari hasil hidrolisis protein (Winarno 1986). Kemurnian aktivitas enzim papain ditandai dengan daya aktivitas proteolitik yang tinggi dan kelarutan dalam air yang tinggi juga. Daya proteolitik enzim papain sangat aktif pada suasana reduktif sehingga dengan penambahan bahan-bahan pereduksi akan menambah aktivitas yang besar terhadap sisi aktif sehingga enzim menjadi inaktif. Penambahan garam NaCl dan KCl konsentrasi rendah akan menambah aktivitas enzim, tetapi konsentrasi lebih dari 2% akan merusak enzim papain (Arief 1975).

Kemampuan papain dalam menghidrolisis sebagian besar substrat protein lebih ekstensif dibandingkan dengan protease lainnya, seperti tripsin dan pepsin (Leung 1996). Aktivitas katalisis papain dilakukan melalui hidrolisis yang berlangsung pada sisi aktif papain. Mekanisme pengikatan enzim terhadap substrat tersusun atas dua tahap yaitu, tahap pertama reaksi asilasi dengan bentuk intermediet acyl-enzim dan tahap kedua merupakan deasilasi yang menghidrolisis hasil intermediet (Wong 1989). Komposisi asam amino penyusun papain dapat dilihat pada Tabel 3.


(44)

16

Tabel 3 Komposisi asam amino penyusun papain

Asam Amino Jumlah (Unit) Asam Amino Jumlah (Unit)

Lisin 10 Glisin 28

Histidin 2 Alanin 14

Arginin 12 Valin 18

Asam Aspartat 6 Isoleisin 12

Aspargin 13 Leusin 11

Asam Glutamat 8 Tirosin 19

Glutamin 12 Fenilalanin 4

Treonin 8 Triptofan 5

Serin 13 Sistein 1

Sumber: Arief (1975)

Semua jenis asam amino ikut menyusun struktur papain kecuali metionin. Aktivitas papain ditentukan oleh 2 gugus sulfhidril bebas dari 6 gugus sulfhidril yang dimiliki. Protease sulfhidril ini mengandung unsur sulfur sekitar 1,2% (Glazer dan Smith 1971).

Logam berat seperti Cd2+, Zn2+, Fe2+, Cu2+, Hg2+, dan Pb2+ bersifat menghambat papain. Papain dapat diaktifkan kembali dengan penambahan sistein serta Etilen Diamin Tetra Asetat (EDTA) dengan cara mengikat logam yang telah terikat pada sisi aktif logam. Aktivitas papain dipengaruhi oleh gugus aktif –SH bebas, maka pelarut tiol juga bertindak sebagai penghambat papain. Iodoasetat atau iodoasetamida bereaksi dengan gugus sulfhidril bebas dari papain menyebabkan inaktivasi irreversibel begitu juga dengan pereaksi aldehida (Liener 1974).

2.4.2 Pepsin

Pepsin adalah kelompok enzim protease asam. Enzim pepsin memiliki penamaan EC 3.4.4.1 dan mempunyai gugus aktif karbonil. Pepsin merupakan enzim hidrolase yang mengkatalisis reaksi hidrolisis suatu substrat dengan pertolongan molekul air (Winarno 1986). Pepsin dapat memecah protein menjadi fragmen yang lebih kecil. Pepsin adalah enzim pencernaan yang dibentuk di dalam mukosa lapis lambung berbentuk pepsinogen. Keasaman isi lambung yang tinggi

akan membantu perubahan pepsinogen menjadi pepsin secara autokatalitik (De Man 1997). Pepsin merupakan enzim endopeptidase yang memecah protein dari


(45)

17

dalam enzim ini suka memecah ikatan peptida yang terdapat diantara gugus aromatik dari asam amino. Enzim ini akan menghirolisis ikatan peptida antara asam amino seperti –Leu-Val-, -Glu-Ala-, -Ala-Leu- (Bergmeyer 1983).

Pepsin sangat aktif pada pH rendah (pH1,0). Pada pH di bawah 5, pepsinogen terpecah dan terbentuklah pepsin yang aktif. Berat molekul pepsin adalah 33.000 kDa mempunyai 321 residu asam amino, sangat stabil pada pH 5-5,3, dan aktif pada pH 1-4 dengan keaktifan optimum pada pH 1,8 (Winarno 1986).

Enzim pepsin mempunyai daya katalitik yang lebih tinggi pada keasaman yang tinggi sehingga menguntungkan karena dapat mencegah kontaminasi bakteri dan pembusukan. Indonesia mempunyai potensi yang besar sebagai penghasil enzim pepsin, karena enzim pepsin dapat diperoleh dari lambung hewan ruminansia, seperti sapi, kambing, dan domba dimana populasi hewan ternak tersebut sangat tinggi (Mahdi dan Aulannia`am 2001)

2.5 Antioksidan

Antioksidan merupakan senyawa yang dapat mencegah terjadinya oksidasi. Antioksidan dikelompokkan berdasarkan mekanisme kerjanya menjadi antioksidan primer dan antioksidan sekunder. Antioksidan primer merupakan antioksidan yang dapat bereaksi dengan radikal lemak dan mengubahnya menjadi produk yang lebih stabil seperti tokoferol, lesitin, dan asam askorbat. Antioksidan sekunder merupakan antioksidan yang dapat mereduksi kecepatan rantai inisiasi seperti asam sitrat dan EDTA (Gordon 1990).

Ranney (1979) mengklasifikasikan antioksidan berdasarkan prinsip kerjanya dalam mencegah terjadinya proses oksidasi menjadi 3 golongan. Pertama adalah antioksidan yang memiliki gugus fenol dan amina aromatik seperti Butil Hidroksi Anisole (BHA) dan Butil Hidroksi Toluen (BHT). Antioksidan bekerja dengan cara menangkap radikal bebas dan membentuk produk substrat nonradikal dan suatu radikal antioksidan. Radikal antioksidan ini cukup stabil sehingga dapat mencegah reaksi berikutnya, sehingga radikal tersebut tidak akan berperan sebagai inisiator dari reaksi berikutnya. Kedua adalah antioksidan yang mengandung sulfur teroksidasi


(46)

18

seperti dilauril tiodipropionat (DLTP). Antioksidan ini bekerja dengan cara menangkap molekul-molekul hidroperoksida dalam sistem. Ketiga adalah antioksidan yang dapat menginaktivasi logam yang bisa mempercepat terjadinya oksidasi.

Radikal bebas merupakan sekelompok zat kimia yang sangat reaktif karena memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas adalah oksidan, tetapi tidak semua oksidan merupakan radikal bebas. Oksidan merupakan senyawa yang dapat menerima elektron dan radikal bebas merupakan atom atau gugus yang orbital luarnya memiliki elektron yang tidak berpasangan (Fessenden dan Fessenden1994).

Tubuh mencerna makanan untuk menghasilkan energi, pada proses ini sejumlah radikal bebas juga terbentuk. Radikal bebas berfungsi untuk memberikan perlindungan tubuh terhadap serangan bakteri dan parasit. Radikal bebas tidak menyerang sasaran spesifik, sehingga akan menyerang asam lemak tidak jenuh ganda dari membran sel, struktur sel, dan DNA. Tahapan oksidasi lemak dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Mekanisasi oksidasi asam lemak (Bragadóttir 2001).

Mekanisme terjadinya oksidasi lemak diawali dengan terjadinya donor hidrogen dari lemak (LH) ke radikal bebas(X•) yang terjadi pada tahap inisiasi. Proses penyerangan radikat bebas akan membentuk radikal peroksidasi lipid (LOO•) pada tahap propogasi. Peroksidasi lipid (LOO•) merupakan reaksi berantai yang


(47)

19

sangat berpotensi memiliki efek menghancurkan. Peroksidasi lipid dapat dikurangi atau dikontrol dengan menambahkan antioksidan (AH) yang akan menghentikan proses oksidasi. Deshpande et al. (1996) menyatakan senyawa karotenoid dapat menangkap radikal bebas dan menonaktifkannya. Struktur molekul karotenoid memiliki rantai karbon terkonjugasi yang sangat reaktif karena terdapat banyak elektron yang mampu bereaksi dengan radikal peroksil dan senyawa elektrofilik lainnya. Senyawa karotenoid bereaksi dengan radikal peroksil membentuk radikal resonansi yang terstabilkan (Burton dan Ingold 1984) atau terjadi transfer elektron sehingga terbentuk anion peroksida alkil dan kation astaxanthin radikal (Britton 1995). Terao (1989) menyatakan bahwa astaxanthin dan canthaxanthin lebih reaktif terhadap hidroperoksida dibandingkan β-karoten dan zeaxanthin. Miki (1991) menyatakan bahwa astaxanthin dapat menangkap reactive oxygen species (ROS) 10 kali lebih kuat dibandingkan zeaxanthin, lutein, tunaxanthin, canthaxanthin, dan β -karoten serta 100 kali lebih kuat dibandingkan dengan α-tocopherol. Jørgensen dan Skibsted (1993) menyatakan tingkat keefektifan senyawa karotenoid sebagai antioksidan adalah astaxanthin > canthaxanthin > β-carotene. Andersen et al. (1990) menyatakan astaxanthin memiliki dua gugus hidroksil pada atom C 3 dan 3´, yang membuatnya bersifat lebih hidrofobik dibandingkan senyawa karotenoid lainnya sehingga semakin hidrofobik senyawa antioksidan itu semakin mudah bereaksi dengan hidrogenperoksida dalam lemak.

2.6 Uji Aktivitas Antioksidan Metode 2,2-difenil-1-pikrilhidrazil (DPPH)

Pengujian aktivitas antioksidan dapat menggunakan metode DPPH (2,2-difenil-1-pikrilhidrazil) yang merupakan metode serapan radikal. Metode ini sangat efektif karena metodenya sederhana, mudah, dan menggunakan sampel dalam jumlah yang sedikit dengan waktu yang singkat (Hanani 2005). Pengukuran aktivitas antioksidan sampel dilakukan pada panjang gelombang 517 nm yang merupakan panjang gelombang maksimum DPPH. Adanya aktivitas antioksidan dari sampel mengakibatkan perubahan warna pada larutan DPPH dalam metanol yang semula berwarna violet pekat menjadi kuning pucat (Permana 2003). Aktivitas antioksidan


(48)

20

dari ekstrak dinyatakan dalam persentase inhibisinya terhadap radikal DPPH. Persentase inhibisi ini didapatkan dari perbedaan serapan antara absorban DPPH dengan absorban sampel yang diukur dengan spektrofotometer UV-Vis. Besarnya aktivitas antioksidan ditandai dengan nilai IC50, yaitu konsentrasi larutan sampel yang

dibutuhkan untuk menghambat 50% radikal bebas DPPH.

Mekanisme penangkapan radikal DPPH oleh antioksidan cukup sederhana, yaitu berupa donasi proton kepada radikal. Senyawa-senyawa yang memungkinkan mendonasikan protonnya memiliki aktivitas penangkapan radikal cukup kuat. Senyawa tersebut adalah golongan fenol, flavonoid, tanin, senyawa yang memiliki banyak gugus sulfida, dan alkaloid. Donasi proton menyebabkan radikal DPPH (berwarna ungu) menjadi senyawa non-radikal. Senyawa non-radikal DPPH tersebut tidak berwarna. Aktivitas penangkapan radikal dapat dihitung dari peluruhan radikal DPPH. Kadar radikal DPPH tersisa diukur secara spektrofotometri pada panjang gelombang 517 nm (Blois. 1958; Munim et al. 2008). Mekanisme Donor proton pada uji DPPH dapat dilihat pada Gambar 5.


(49)

21

3. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2009-November 2010. Penelitian ini dilakukan di Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan (BRP2BKP) Slipi, Jakarta. Proses penelitian ini dilakukan di laboratorium pengolahan hasil perikanan untuk preparasi kepala udang dan ekstraksi karotenoid, laboratorium kimia untuk uji proksimat kepala udang, laboratorium bioteknologi untuk uji aktivitas enzim protease, dan laboratorium instrumen untuk karakterisasi hasil ekstraksi seperti uji aktivitas antioksidan dan komposisi karotenoid di Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan.

3.2 Bahan dan Alat

Penelitian ini menggunakan bahan yang terdiri dari bahan untuk proses ekstraksi dan bahan analisis.

3.2.1 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah kepala udang, yang diperoleh dari PT. Wirontono Baru, Jakarta. Limbah kepala udang diperoleh dalam keadaan mentah kemudian dicuci dan disimpan dalam cold storage. Bahan lain yang digunakan dalam proses ekstraksi adalah enzim papain, enzim pepsin, buffer sitrat fosfat, Na2SO4,CHCl3, dan metanol. Bahan yang digunakan untuk analisis adalah

H2SO4, batu didih, folin ciocalteu, NaOH, H3BO3, HCl, larutan dietil eter, buffer

asam, dan basa serta akuades. 3.2.2 Alat

Alat-alat yang digunakan untuk penelitian ekstraksi karotenoprotein terdiri dari

beaker glass, magnetik stirrer, hot plate, mortar, dan corong pisah. Alat-alat yang digunakan untuk analisis adalah spektrofotometer UV (Shimadzhu), tabung Kjeldahl,

destruktor, labu takar, buret, cawan porselen, oven, desikator, labu lemak, alat


(50)

22

3.3 Tahapan Penelitian

Penelitian dilakukan dalam 2 bagian, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan yaitu melakukan proses demineralisasi menggunakan HCl dan penelitian utama adalah mengekstraksi karotenoid menggunakan enzim papain dan enzim pepsin kemudian mengkarakterisasi hasil ekstraksi sebagai antioksidan.

3.3.1 Penelitian pendahuluan

Penelitian pendahuluan ini dilakukan proses demineralisasi menggunakan HCl yang berfungsi untuk mengurangi jumlah mineral, seperti kalsium. Kepala udang yang mentah dibersihkan dan dicuci menggunakan air sampai bersih dan dikukus sampai berubah warna kemerahan selama 10 menit. Proses demineralisasi dilakukan dengan cara merendam kepala udang dengan menggunakan HCl pada konsentrasi 0; 0,75; 1,00, dan 1,25 M selama 30 menit dengan perbandingan 1:4 (b/v) (limbah kepala udang : larutan HCl). Kepala udang yang telah direndam dalam HCl kemudian dicuci menggunakan air bersih sampai pH netral kemudian dianalisis kadar air, abu, protein, dan lemak. Proses demineralisasi kepala udang dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Proses demineralisasi kepala udang (Turana 1997). Kepala udang

(Demineralisasi*)

Penambahan HCl (0; 0,75; 1,00 dan 1,25 M) (kulit udang : HCl (1:4), selama 30 menit

Pembersihan dan Pencucian

Pengukusan


(51)

23

3.3.2 Penelitian utama

Ekstraksi karotenoid dari kepala udang dilakukan menggunakan enzim papain dan enzim pepsin yang merupakan modifikasi dari metode Babu et al. (2008). Diagram alir proses ekstraksi pigmen karotenoid dari kepala udang dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Proses ekstraksi karotenoid dari kepala udang (Babu et al. 2008) Keterangan: = proses yang dilakukan, = bahan.

Kepala Udang

Pemanasan suhu 100 °C (10 menit)

Karotenoid Pembekuan suhu -18 °C Ekstraksi menggunakan

enzim pepsin 2, 3 dan 4% (pH 4 dan suhu 45 °C selama 2 jam)

Agitasi

(2 jam dalam keadaan gelap)

Demineralisasi (HCl 1,25 M, selama 30 menit)

Ekstraksi menggunakan enzim papain 4, 6 dan 8% (pH 6,2 dan suhu 55 °C selama 2 jam)

Penyaringan

Filtrat

Residu

Inkubasi (24 jam, suhu 28 + 2 °C)


(52)

24

Kepala udang diagitasi dalam larutan enzim papain menggunakan pelarut buffer fosfat-sitrat dengan konsentrasi 4, 6, dan 8% (b/b) selama 2 jam (pH 6.2 dan suhu 55 °C) atau pepsin (pH 4 dan suhu 45 °C) menggunakan pelarut bufer fosfat-sitrat dengan konsentrasi 2, 3, dan 4% (b/b) selama 2 jam. Larutan disaring menggunakan penyaring yang berukuran pori 5-10 µm dan filtratnya dipanaskan selama 10 menit pada suhu 100 °C dan didiamkan selama 24 jam pada suhu 28 + 2 °C, kemudian filtrat disaring menggunakan kertas whatman 41 dan dibekukan pada suhu -18 °C. Filtrat yang sudah beku kemudian freeze drying kering.

3.4 Prosedur Analisis

3.4.1 Analisis kadar air (AOAC 2000)

Sampel yang sudah homogen ditimbang 2 g dan diletakkan di dalam cawan kosong yang sudah ditimbang beratnya, cawan dan tutupnya sudah dikeringkan di dalam oven serta didinginkan di dalam desikator. Cawan yang berisi sampel kemudian ditutup dan dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 100 °C selama 5 jam atau sampai beratnya konstan. Cawan lalu didinginkan di dalam desikator dan setelah dingin cawan ditimbang. Kadar air dapat dihitung dengan rumus:

Kadar air (wet basis) (%) = 100% W1

W2 -W1

Keterangan:

W1 = berat sampel awal (g)

W2 = berat sampel setelah dikeringkan (g)

3.4.2 Analisis kadar abu (AOAC 2000)

Sampel sebanyak 2 g dimasukkan ke dalam cawan pengabuan yang telah ditimbang dan dibakar di dalam tanur serta didinginkan dalam desikator. Cawan yang berisi sampel dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dan dibakar sampai diperoleh abu berwarna keabu-abuan. Suhu pemanasan dinaikkan secara bertahap sampai suhu mencapai 650 °C dan dibiarkan selama 1 jam. Setelah suhu tungku pengabuan turun sekitar 200 °C, cawan yang berisi abu tersebut didinginkan di dalam desikator selama 30 menit dan kemudian


(53)

25

ditimbang beratnya. Perlakuan ini diulang sampai mencapai berat yang konstan. Kadar abu dapat dihitung dengan rumus:

Kadar abu total (%) = 100%

(g) sampel Berat (g) abu Berat

3.4.3 Analisis kadar lemak (AOAC 2000)

Labu lemak dikeringkan dalam oven, didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Sebanyak 5 g sampel dibungkus kertas saring, kemudian dimasukkan ke dalam alat ekstruksi soxhlet. Pelarut lemak dituangkan secukupnya ke dalam labu lemak. Refluks dilakukan selama minimum 5 jam sampai pelarut yang turun kembali ke dalam labu lemak berwarna jernih. Pelarut yang ada di labu lemak tersebut didestilasi, labu yang berisi hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 100 ºC selama 60 menit atau sampai beratnya tetap. Labu lemak yang telah didinginkan dalam desikator, lalu ditimbang sampai memperoleh berat yang konstan. Berat lemak dapat dihitung dengan rumus:

% 100 (g) sampel Berat (g) lemak Berat (%) lemak Kadar

3.4.4 Analisis kadar protein (AOAC 2000)

Penentuan kadar protein dilakukan dengan metode mikrokjeldahl. Sampel ditimbang sebanyak 0,5 g, kemudian dimasukkan ke dalam labu destruksi, ditambahkan kjeltab dan 10 mL H2SO4 pekat. Sampel didestruksi sampai terbentuk

larutan hijau bening. Larutan dibiarkan sampai dingin lalu dipindahkan ke dalam alat destilasi. Labu kjeldahl dicuci menggunakan akuades kemudian larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan 20 mL NaOH pekat sampai berwarna coklat kehitaman, kemudian didestilasi. Destilat ditampung ke dalam erlenmeyer 125 mL yang berisi 10 mL H3BO3 4% dan 2 tetes indikator campuran

metilen merah dan metilen biru sampai berwarna hijau kebiruan, destilasi dihentikan dan destilat dititrasi dengan HCl 0,02 N sampai berwarna merah muda. Larutan blanko dianalisis seperti contoh. Kadar protein dapat dihitung dengan rumus:


(54)

26 25 , 6 N % protein Kadar % 100 sampel mg 14,007 HCl N blanko mL -HCl mL (%) N Kadar

3.4.5 Uji aktivitas enzim (Bergmeyer 1983)

Aktivitas enzim papain dan pepsin diuji berdasarkan jumlah tirosin yang dibebaskan oleh substrat. Substrat kasein dan standar yang digunakan adalah tirosin. Perlakuan penentuan suhu optimum papain maka larutan diinkubasi pada suhu 45, 50, 55, 60, dan 65 oC dengan pH buffer 6, sedangkan perlakuan penentuan suhu optimum pepsin larutan diinkubasi pada suhu 35, 40, 45, 50, dan 55 °C dengan pH buffer 4,5. Perlakuan penentuan pH optimum papain maka larutan diinkubasi dilakukan dengan menggunakan pH buffer 5,8; 6,0; 6,2; 6,4; dan 6,6 dengan suhu optimum yang telah diketahui sedangkan perlakuan penentuan pH optimum pepsin larutan diinkubasi dengan menggunakan pH buffer 4,1; 4,3; 4,5; 4,7; dan 4,9 dengan suhu optimum yang telah diketahui. Untuk setiap sampel yang dianalisis, harus disertai dengan blanko dan standar, dengan perincian seperti pada Tabel 4.

Tabel 4 Uji aktivitas enzim

Pereaksi Sampel (ml) Blanko (ml) Standar (ml)

Buffer fosfat citrate (0,01 M) 1.0 1.0 1.0

Substrat (2%) 1.0 1.0 1.0

Enzim dalam CaCl2 (10 mmol/l) 0.2 - -

Standar Tirosin - - 0.2

Akuades - 0.2 -

Inkubasi pada perlakuan selama 10 menit

TCA (0,1 M) 2.0 2.0 2.0

CaCl2 0.2 - -

Enzim dalam CaCl2 (10 mmol/l) - 0.2 0.2

Didiamkan pada suhu sesuai perlakuan selama 10 menit lalu disaring dengan kertas saring

Filtrat 1.50 1.50 1.50

Na2CO3 (0,4 M) 5.00 5.00 5.00

Pereaksi Folin 1.00 1.00 1.00

Didiamkan selama 20 menit pada suhu sesuai perlakuan

Diukur dengan spektrofotometer pada = 578 nm(enzim pepsin) dan = 650 nm (enzim papain).


(55)

27

Aktivitas total enzim dihitung berdasarkan jumlah tirosin yang dihasilkan per mL enzim per menit dengan rumus sebagai berikut :

UA = (Asp-Abl) X P X 1/T (Ast-Abl)

Keterangan :

UA = jumlah tirosin yang dihasilkan per mL enzim per menit Asp = nilai absorbansi sampel

Abl = nilai absorbansi blanko Ast = nilai absorbansi standar P = faktor pengenceran

T = waktu inkubasi (10 menit)

3.4.6 Analisis kadar protein enzim (Lowry et al. 1951)

Pembuatan kurva standar dilakukan dengan memasukkan larutan BSA kedalam tabung reaksi dengan volume masing-masing 0,1; 0,2; 0,3; 0,4; 0,5; 0,6; 0,7; 0,8; 0,9 dan 1,0 mL. Blanko dipersiapkan dengan membuat larutan tanpa protein standar.

Pada setiap tabung reaksi ditambahkan air hingga volume total 4 mL dan 5,5 mL pereaksi C, dicampur secara merata dan dibiarkan selama 10-15 menit pada

suhu kamar. Pada masing-masing tabung reaksi ditambahkan 0,5 pereaksi folin ciocalteu, larutan dikocok merata dengan cepat sesudah penambahan. Larutan dibiarkan selama lebih kurang 30 menit sampai warna biru terbentuk dan diukur absorbansinya pada 750 nm, kemudian dibuat kurva standar.

3.4.7 Analisis total fenol dengan metoda folin-ciocalteu (Orak 2006)

Sampel sebanyak 0,3 g dilarutkan sampai 10 mL dengan metanol:air (1:1) Larutan sampel dipipet 0,2 mL, ditambahkan 15,8 mL akuabidest, dan 1 mL reagen Folin–Ciocalteu kemudian dikocok. Larutan didiamkan selama 8 menit dan ditambahkan 3 mL Na2CO3 20% kemudian didiamkan selama 2 jam pada suhu

kamar. Sampel dianalisis menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang serapan maksimum 765 nm yang akan memberikan komplek biru. Larutan induk asam galat dibuat dengan menimbang 0,25 g asam galat, ditambahkan 5 mL etanol 96 %, dan ditambahkan akuabidest sampai 50 mL, sehingga diperoleh konsentrasi 5 mg/mL. Larutan induk diencerkan dengan akuabidest sampai


(56)

28

konsentrasi 50, 100, 150, 200, 250, dan 300 mg/L asam galat. Larutan asam galat ditambahkan 1 mL reagen Folin Ciocalteu lalu dikocok. Larutan didiamkan selama 8 menit tambah 3 mL larutan Na2CO3 dikocok sampai homogen kemudian didiamkan

selama 2 jam pada suhu kamar. Larutan diukur absorbansinya pada panjang gelombang serapan maksimum 765 nm, lalu dibuat kurva kalibrasinya hubungan antara konsentrasi asam galat (mg/L) dengan absorban.

3.4.8 Penentuan komposisi beta karoten (Zhao et al. 2004)

Kadar beta karoten ditentukan dengan metode HPLC. Sampel dielusi dengan HPLC Shimadzu Liquid Chromatograph, kolom C18 15 cm x 4 mm, detector

UV-VIS Photodiode Array, dengan fasa gerak metanol : asetonitril : tetrahidrofuran (75:20:5) pada kecepatan alir 1,2 mL/menit. Eluen dimonitor menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 400 nm.

3.4.9 Penentuan komposisi astaxanthin (Lee et al. 1999)

Kadar astaxanthin ditentukan dengan menggunakan metode HPLC. Sampel sebanyak 0,3 mL direaksikan dalam 5 mL aseton kemudian diinjeksikan dalam HPLC melalui kolom ODS (25 cm X 4,6 mm dengan ukuran partikel 5µm). Sampel dielusi menggunakan campuran metanol : diklorometan : asetonitril : air (67,5:22,5:9,5:0,5) dengan daya alir 1 mL/mnt. Eluen dimonitor menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 450 nm.

3.4.10 Uji aktivitas antioksidan metode 2,2-difenil-1-pikrilhidrazil (DPPH) (Okawa 2001)

Ekstrak ditimbang sebanyak 10 mg, kemudian dilarutkan dengan 10 mL metanol dalam labu ukur 10 mL, maka didapatkan konsentrasi 1 mg/mL. Pengenceran dilakukan dengan menambahkan metanol sehingga diperoleh sampel dengan konsentrasi (10, 30, 50, 70, 90 g/mL). Penentuan aktivitas antioksidan masing-masing konsentrasi dipipet sebanyak 0,2 mL larutan sampel dengan pipet mikro dan dimasukan ke dalam vial, kemudian tambahkan 3,8 mL larutan DPPH


(57)

29

50 M. Campuran dihomogenkan dan dibiarkan selama 30 menit ditempat gelap, serapan diukur dengan spektrofotometer UV - Vis pada panjang gelombang 515 nm, sebagai pembanding digunakan asam askorbat (konsentrasi 2,3,4,5,6 g/mL) dengan perlakuan yang sama dengan sampel uji. Aktivitas antioksidan sampel ditentukan oleh besarnya hambatan serapan radikal DPPH melalui perhitungan persentase inhibisi serapan DPPH dengan menggunakan rumus :

Inhibisi (%) = 100%

kontrol A sampel A -kontrol A Keterangan :

A kontrol = Serapan radikal DPPH 50 M pada panjang gelombang 515 nm.

A Sampel = Serapan sampel radikal DPPH 50 M pada panjang gelombang 515 nm.

Aktivitas antioksidan juga dapat diekspresikan dalam ascorbic acid equivalent antioxidant capacity (AEAC) (Leong dan Shui 2002) menggunakan persamaan sebagai berikut :

AEAC = -AA)) x [ ] AA(mg/mL mL

Keterangan :

A0 = Absorbansi kontrol A1 = Absorbansi sampel AA = Asam Askorbat

Perhitungan IC50 atau inhibiton concentration berdasarkan pada persamaan berikut :

IC50 = IC50 askorbat / AEAC (mgAA /100 g)

100.000

3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Pada penelitian ini variabel proses yang diduga berpengaruh terhadap kualitas astaxanthin yang dihasilkan adalah konsentrasi HCl dan konsentrasi enzim. Pada proses demineralisasi dicobakan HCl pada empat konsentrasi yaitu 0; 0,75; 1,00; dan 1,25 dengan tiga kali ulangan. Pada proses ekstraksi astaxanthin dicobakan dua jenis enzim yaitu pepsin dengan tiga taraf konsentrasi yaitu 2, 3, dan 4% dan papain dengan tiga taraf konsentrasi yaitu 4, 6, dan 8%. Ulangan dilakukan sebanyak tiga kali. Rancangan percobaan yang digunakan untuk melihat pengaruh HCl dan


(58)

30

pengaruh konsentrasi enzim adalah rancangan acak lengkap faktor tunggal dengan model linier (Torrie & Steel 1995). Persamaan yang digunakan adalah:

Yij = µ + Ai + εij

Keterangan:

Yij = Respon percobaan karena pengaruh faktor A taraf ke-i, ulangan ke-j

= Nilai tengah umum atau rataan

Ai = Pengaruh taraf ke-i (i = 0; 0,75; 1,00; dan 1,25 M) atau (i = , 2, 3, dan 4%)

atau (i = 4, 6, dan 8%) dimana faktor A (A = Konsentrasi HCl atau enzim pepsin atau papain)

εij = Kesalahan percobaan karena pengaruh faktor ke-A taraf ke-i pada ulangan

ke-j (j= 1, 2, 3)

Jika hasil analisis berbeda nyata, dilanjutkan uji lanjut Tukey (w). Rumus yang digunakan:

w = qα (p,fe)SY

Keterangan:

qα = (Ymaks – Ymin) / SY ;

fe = derajat bebas galat

p = t adalah banyaknya perlakuan; SY = s/ (n)1/2


(59)

31

4. HASIL PEMBAHASAN

4.1 Penelitian Pendahuluan

Pada tahap ini dilakukan demineralisasi untuk menghilangkan atau melarutkan mineral didalam kepala udang yang dilakukan menggunakan larutan kimia yang bersifat asam. Komponen mineral tersebut dapat dilarutkan dengan penambahan asam encer seperti asam klorida, asam sulfat atau asam laktat (Bastaman 1989). Analisis kimia yang diuji adalah kadar air, kadar abu, kadar lemak, dan kadar protein.

4.1.1 Karakteristik bahan baku kepala udang vanname

Komposisi kimia kepala udang dipengaruhi oleh faktor endogenus dan faktor

eksogenus. Faktor endogenus yang mempengaruhi komposisi kimia udang antara lain faktor genetik, jenis kelamin, ukuran, tingkat, dan kematangan gonad, sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi adalah suhu, salinitas, habitat, musim jenis komposisi, dan ketersediaan makanan (Gocke et al. 2004).

Bahan baku yang digunakan adalah limbah kepala udang mentah yang diperoleh dari limbah hasil pengolahan perusahaan di daerah Muara Baru, Jakarta. Data analisis bahan baku kepala udang vanname dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Komposisi proksimat bahan baku kepala udang vanname mentah Parameter Persen (%)

Kadar air 75,13 + 0,13

Kadar abu 7,05 + 0,07

Kadar lemak 1,98 + 0,32 Kadar protein 15,31 + 0,25

Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar air kepala udang vanname memiliki kandungan air yang tinggi yaitu 75,13% (bb) sedangkan kadar abu sebesar 7,05% (bb); kadar lemak 1,98% (bb); dan kadar protein sebesar 15,31% (bb). Nilai proksimat kepala udang vanname ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian


(60)

32

Babu et al. (2008) yang menyatakan kadar air Panaeus monodon yang hidup di alam memiliki kadar air 67,4%; kadar abu 9,1%; kadar lemak 1,2%; dan kadar protein 11,3% sedangkan Panaeus monodon yang dibudidayakan memiliki kadar air 77,00%; kadar abu 6,0%; kadar lemak 1,7%; dan kadar protein 13,7%.

Perbedaan nilai kadar air lebih dipengaruhi oleh tingkat kekeringan sampel saat dipreparasi. Perbedaan kadar lemak dipengaruhi oleh jenis udang dan fase hidup udang saat dipanen. Udang pada fase molting memiliki kandungan lemak yang lebih tinggi (Cuzon & Guillaume 2001). Abu pada kepala udang merupakan makro dan mikro mineral yang diserap oleh udang melalui insang, kulit dan mulut untuk pembentukan jaringan kulit udang, seperti kalsium, magnesium, kalium dan fosfor (Kaushik 2001).

4.1.2 Pengaruh demineralisasi terhadap kadar air kulit kepala udang vanname

(Litopenaeus vannamei)

Semua bahan mengandung kadar air yang berbeda-beda, baik hewani maupun nabati. Kadar air merupakan karakteristik yang sangat penting pada bahan pangan, karena kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut. Kadar air yang tinggi akan mengakibatkan bakteri, kapang dan khamir mudah berkembang biak sehingga akan terjadi perubahan pada bahan pangan yang mempercepat proses pembusukan. Pada analisis kadar air, pemanasan menggunakan oven akan menguapkan air bebas dan air terikat secara fisik, banyaknya jumlah air yang menguap dihitung sebagai kadar air bahan (Winarno 2008). Menurut Sudarmadji et al. (1989) air dalam bentuk hidrat memiliki kemampuan terikat kuat sehingga sulit untuk dihilangkan atau diuapkan. Kadar air kepala udang yang mengalami proses demineralisasi berkisar antara 72,78-76,24%, hasil analisis kadar air kepala udang dapat dilihat pada Gambar 8.


(61)

33

Gambar 8 Nilai rata-rata kadar air kepala udang hasil demineralisasi. Notasi huruf yang sama pada histogram rata rata (a) menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan (p < 0,05).

Hasil analisis ragam untuk pengaruh demineralisasi pada kadar air kepala udang (Lampiran 1) menunjukkan bahwa perlakuan demineralisasi tidak memberikan pengaruh yang nyata (p < 0,05) terhadap kadar air. Penggunaan konsentrasi larutan HCl yang masih rendah dan waktu perendaman yang singkat selama proses demineralisasi, belum dapat memutuskan semua ikatan hidrogen molekul air dalam membran atau jaringan matriks kepala udang sehingga belum dapat menghilangkan semua kandungan air terikat dalam kepala udang.

Molekul air yang terikat pada molekul lain seperti atom O dan N memerlukan energi yang besar untuk menghilangkannya. Energi yang diperlukan ini dapat berasal dari proses pemanasan biasa. Pemanasan akan memutus ikatan van der walls dan kovalen atom hidrogen sehingga mengurangi kemampuan air terikat dalam kepala udang untuk berikatan dengan senyawa lain (Winarno 2008).

4.1.3 Pengaruh demineralisasi terhadap kadar abu kulit kepala udang vanname

(Litopenaeus vannamei)

Kadar abu dapat menunjukkan kandungan mineral yang terdapat dalam bahan baku. Kadar abu kepala udang yang mengalami proses demineralisasi berkisar


(62)

34

antara 4,09-8,01%, hasil analisis kadar abu kepala udang dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Nilai rata-rata kadar abu kepala udang hasil demineralisasi. Notasi huruf yang berbeda pada histogram rata rata (a,b) menunjukkan berbeda nyata antar perlakuan (p < 0,05).

Hasil analisis ragam untuk pengaruh demineralisasi pada kadar abu kepala udang (Lampiran 2) menunjukkan bahwa perlakuan demineralisasi memberikan pengaruh yang nyata (p < 0,05) terhadap kadar abu. Uji lanjut Tukey (Lampiran 2) menunjukkan bahwa kadar abu kepala udang perendaman dalam HCl 0M berbeda nyata dengan kadar abu kepala udang yang telah direndam dalam HCl 0,75N; 1,00N dan 1,25N. Kadar abu kepala udang yang direndam dalam HCl cenderung mengalami penurunan sebesar 38,11-41,89% dari kadar abu kepala udang mentah sebesar 7,05%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi HCl 1,25N adalah konsentrasi terbaik untuk demineralisasi mineral dalam kepala udang, karena dapat menurunkan kadar abu kepala udang hingga 41,89%, hal ini dimungkinkan HCl merupakan asam kuat yang dapat mengurangi mineral. Menurut Bastaman (1989) mineral yang terdapat pada limbah udang sebagian besar berupa CaCO3 dan sebagian

kecil berupa Ca3(PO4)2. Proses demineralisasi kepala udang akan mengubah CaCO3


(63)

35

CaCO3 + HCl CaCl2 + H2CO3

H2CO3 H2O + CO2

Ca3(PO4)2 + HCl CaCl2 + H3PO4

Konsentrasi HCl yang semakin tinggi akan mengakibatkan mineral yang terlepas dari ikatan khitin lebih banyak. Kulit kepala udang yang mengalami proses demineralisasi lebih lunak dibandingkan dengan yang direbus atau yang dikukus. Semakin tinggi konsentrasi HCl yang digunakan akan semakin memperlunak tekstur kepala udang. Hal ini dimungkinkan mineral yang terdapat pada kepala udang mulai berkurang. Suharto (1984) dan Winarti (1992), menyatakan bahwa demineralisasi akan memperbesar volume partikel bahan (substrat), sehingga ikatan antar komponen menjadi renggang, dan mampu menghidrolisis gugus asetil pada khitin.

Komponen mineral tersebut dapat larut dalam asam encer seperti asam klorida, asam sulfat atau asam laktat (Bastaman 1989). Mineral yang terlarut dalam proses demineralisasi adalah Ca, P, Al, Mg, Fe, Na, dan K (Winarti 1992).

4.1.4 Pengaruh demineralisasi terhadap kadar lemak kulit kepala udang vanname

(Litopenaeus vannamei)

Lemak adalah senyawa yang memiliki ikatan organik yang terdiri dari C, H dan O yang memiliki sifat dapat larut dalam zat-zat pelarut tertentu (zat pelarut lemak). Lemak yang memegang peranan penting adalah lemak netral (Sediaoetama 2006). Menurut Poedjiadi (1994) lemak hewan pada umumnya berupa padatan pada suhu ruang, sedangkan lemak tumbuhan berupa zat cair. Kadar lemak kepala udang setelah mengalami proses demineralisasi berkisar antara hingga 0,50-0,92%, hal ini disajikan pada Gambar 10.


(1)

Lampiran 9 Tabel analisis kemampuan inhibisi dan hasil analisis uji lanjut Tukey terhadap hasil ekstraksi dari kepala udang vanname (Litopenaeus vannamei) menggunakan enzim pepsin

Tabel analisis kemampuan inhibisi dan terhadap hasil ekstraksi dari kepala udang vanname (Litopenaeus vannamei) menggunakan enzim pepsin

Sumber keragaman JK db KT F hitung Sig.

Model terkoreksi 681.386a 2 340.693 23.688 0.001

Intercept 4123.352 1 4123.352 286.693 0

perlakuan 681.386 2 340.693 23.688 0.001

Error 86.295 6 14.382

Total 4891.033 9

Total terkoreksi 767.681 8

a. R Squared = ,888 (Adjusted R Squared = ,850)

Hasil analisis uji lanjut Tukey terhadap kemampuan inhibisi hasil ekstraksi dari kepala udang vanname (Litopenaeus vannamei)menggunakan enzim pepsin

Perlakuan N Subset untuk α = 0.05

1 2

2 3 11.7997

3 3 32.8683

4 3 19.5453


(2)

Lampiran 10 Tabel analisis kemampuan inhibisi dan hasil analisis uji lanjut Tukey terhadap hasil ekstraksi dari kepala udang vanname (Litopenaeus vannamei) menggunakan enzim papain

Tabel analisis kemampuan inhibisi terhadap hasil ekstraksi dari kepala udang vanname (Litopenaeus vannamei) menggunakan enzim papain

Sumber keragaman JK db KT F hitung Sig.

Model terkoreksi 297.116a 2 148.558 139.975 0

Intercept 773.303 1 773.303 728.624 0

perlakuan 297.116 2 148.558 139.975 0

Error 6.368 6 1.061

Total 1076.787 9

Total terkoreksi 303.483 8

Hasil analisis uji lanjut Tukey terhadap kemampuan inhibisi hasil ekstraksi dari kepala udang vanname (Litopenaeus vannamei) menggunakan enzim papain

Perlakuan N Subset untuk α = 0.05

1 2

4 3 4.054

6 3 6.481

8 3 17.2733


(3)

Lampiran 11 Tabel analisis aktivitas antioksidan AEAC dan hasil analisis uji lanjut Tukey terhadap hasil ekstraksi dari kepala udang vanname (Litopenaeus vannamei) menggunakan enzim pepsin

Tabel analisis aktivitas antioksidan AEAC hasil ekstraksi dari kepala udang vanname (Litopenaeus vannamei) menggunakan enzim pepsin

Sumber keragaman JK db KT F hitung Sig.

Model terkoreksi 51572.070a 2 25786.04 21.321 0.002

Intercept 311098.82 1 311098.8 257.235 0

perlakuan 51572.07 2 25786.04 21.321 0.002

Error 7256.365 6 1209.394

Total 369927.255 9

Total terkoreksi 58828.434 8

Hasil analisis uji lanjut Tukey terhadap aktivitas antioksidan AEAC hasil ekstraksi dari kepala udang vanname (Litopenaeus vannamei)menggunakan enzim pepsin

Perlakuan N Subset untuk α = 0.05

1 2

2 3 102.513

3 3 285.7427

4 3 169.5067


(4)

Lampiran 12 Tabel analisis aktivitas antioksidan AEAC dan hasil analisis uji lanjut Tukey terhadap hasil ekstraksi dari kepala udang vanname (Litopenaeus vannamei) menggunakan enzim papain

Tabel analisis aktivitas antioksidan AEAC hasil ekstraksi dari kepala udang vanname (Litopenaeus vannamei) menggunakan enzim papain

Sumber keragaman JK db KT F hitung Sig.

Model terkoreksi 22389.810a 2 11194.91 143.374 0

Intercept 58341.089 1 58341.09 747.179 0

perlakuan 22389.81 2 11194.91 143.374 0

Error 468.491 6 78.082

Total 81199.39 9

Total terkoreksi 22858.301 8

a. R Squared = ,980 (Adjusted R Squared = ,973)

Hasil analisis uji lanjut Tukey terhadap aktivitas antioksidan AEAC hasil ekstraksi dari kepala udang vanname (Litopenaeus vannamei)menggunakan enzim papain

Perlakuan N Subset untuk α = 0.05

1 2

4 3 35.2893

6 3 56.2447

8 3 150.005


(5)

Lampiran 13 Tabel analisis aktivitas antioksidan IC50 dan hasil analisis uji lanjut Tukey terhadap hasil ekstraksi dari kepala udang vanname (Litopenaeus vannamei) menggunakan enzim pepsin

Tabel analisis aktivitas antioksidan IC50 terhadap hasil ekstraksi dari kepala udang vanname (Litopenaeus vannamei) menggunakan enzim pepsin

Sumber keragaman JK db KT F hitung Sig.

Model terkoreksi 27.993a 2 13.997 5.509 0.044

Intercept 138.953 1 138.953 54.693 0

perlakuan 27.993 2 13.997 5.509 0.044

Error 15.244 6 2.541

Total 182.19 9

Total terkoreksi 43.237 8

Hasil analisis uji lanjut Tukey terhadap aktivitas antioksidan IC50 hasil ekstraksi dari kepala udang vanname (Litopenaeus vannamei) menggunakan enzim pepsin

Perlakuan N Subset untuk α = 0.05

1 2

2 3 6.289

3 3 2.05

4 3 3.4488 3.4488


(6)

Lampiran 14 Tabel analisis aktivitas antioksidan IC50 dan hasil analisis uji lanjut Tukey terhadap hasil ekstraksi dari kepala udang vanname (Litopenaeus vannamei) menggunakan enzim papain

Tabel analisis aktivitas antioksidan IC50 terhadap hasil ekstraksi dari kepala udang vanname (Litopenaeus vannamei) menggunakan enzim papain

Sumber keragaman JK db KT F hitung Sig.

Model terkoreksi 248.942a 2 124.471 26.791 0.001

Intercept 971.028 1 971.028 209.004 0

perlakuan 248.942 2 124.471 26.791 0.001

Error 27.876 6 4.646

Total 1247.846 9

Total terkoreksi 276.817 8

Hasil analisis uji lanjut Tukey terhadap aktivitas antioksidan IC50 hasil ekstraksi dari kepala udang vanname (Litopenaeus vannamei) menggunakan enzim papain

Perlakuan N Subset untuk α = 0.05

1 2 3

8 3 3.8565

6 3 10.5696

4 3 16.7352