C. Semiotika Ferdinand de Saussure
Pandangan-pandangan Saussure tentang semiotika kebanyakan disampaikan ketika memberi kuliah di University of Geneva sekitar tahun 1906 sampai 1911,
yang kemudian dibukukan di bawah judul Course in General Languistics diterbitkan tahun 1915. Saussure menyarankan bahwa studi tentang bahasa
selayaknya menjadi bagian dari area yang ia sebut dengan semiology yang ketika itu belum banyak berkembang. Saussure mendasarkan pemikiran demikian pada
keyakinan bahwa studi tentang bahasa pada dasarnya adalah studi tentang sistem lambang-lambang.
Dalam hal ini, saussure menggunakan istilah semoilogi dengan makna suatu sciene that studies the life of signwithin society ilmu yang mempelajari seluk-
beluk lambang-lambang yang ada atau digunakan dalam masyarakat. Saussure dengan pemaknaan semiologi seperti itu bermaksud memberi penekanan pada
perihal yang ikut membentuk atau menentukan lambang-lambang, dan hukum- hukum atau adanya ketentuan-ketentuan bagaimana yang mengaturnya. Sejak saat
ini kemudian berkembang pandangan bahwa semiotika atau semiologi tidak lain adalah the science of signs ilmu tentang lambang-lambang.
Kalau Pierce mengidentifikasi tiga jenis lambang yakni lambang-lambang yang bersifat ikonik, indeks, dan simbolik maka Saussure menyarankan
pengelompokan lambang menjadi dua jenis: signifier the concept dan signified the sound-image. Signifier menunjuk pada aspek fiik dari lambang, misalnya
ucapan, gambar, lukisan, sedangkan signified menunjuk pada aspek mental dari lambang, yakni pemikiran bersifat asosiatif tentang lambang. Kedua jenis
lambang ini saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Bagi Saussure, lambang- lambang pada dasarnya adalah berkenaan dengan the relation of a concept not a
thing and sound image not a name. Makna dari lambang, menurut Saussure, terletak pada perbedaan dengan lambang-lambang lain. Di sini, Saussure
mengajukan dua dalil berkenaan dengan sistem lambang, terutama dalam linguistik sebagai berikut.
Pertama, bahwa hubungan antara signifier dan signified bersifat ditentukan atau dipelajari, pemberian makna terhadap lambang merupakan hasil dari proses
belajar. Kedua, bahwa signifier linguistik misalnya kata-kata atau ucapan dapat berubah dari waktu ke waktu. Hal demikian berbeda dengan signifier visual, yang
relatif tidak berubah, seperti gambar-gambar dan lukisan.
29
Ikatan yang mempersatukan penanda dan petanda bersifat semena, atau juga karena lambang bahasa kita mengartikan sebagai keseluruhan yang dihasilkan
oleh asosiasi suatu penanda dengan suatu petanda. Kita dapat mengartikan bahwa tanda bahas abersifat semena.
Prinsip kesemenaan tanda tidak dibantu oleh seorangpun, tetapi sering kali dibantu lebih mudah untuk menemukan suatu kenyataan dari pada memberinya
tempat yang sesuai. Kata semena perlu pula dijelaskan. Kata ini tidak boleh memberi gagasan
bahwa penanda tergantung pada pilihan bebas penutur akan nampak di bawah ini bahwa bukan wewenang individu untuk mengganti sebuah lambang, sekali
lambang itu melembaga di dalam suatu masyarakat bahasa; yang kami maksud
29
Pawit o, Penelitian Komunikasi Kualit at if, h.160-163.
adalah tanpa motif, artinya semena dalam kaitannya dengan petanda karena penanda tidak memilikiikatan alami apapun dengan petanda di dalam kenyataan.
Penanda yang haekatnya auditif, berlangsung dalam waktu dan memiliki ciri- ciri yang sama dengan waktu; a ia mengisi masa tertentu dalam waktu, dan b
masa ukur dalam suatu dimensi, yaitu sebuah garis. Prinsip ini gamblang, tetapi nampaknya orang selalu lalai menyebutkannya,
kemungkinan karena prinsip ini terlalu sederhana, padahal prinsip ini mendasar dan konsekuensinya tak terhitung, kepentingannya sama dengan prinsip
pertama.
30
D. Kekerasan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kekerasan adalah perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya
orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Bahaya kekerasan dalam media mempunyai alasannya yang kuat,
meskipun sering lebih mencerminkan bentuk ketakutan dari pada ancaman riil. Apa yang ditakutkan ialah skenario penularan kekerasan dalam media
menjadi kekerasan sosial riil. Informasi tentang kekerasan juga bisa menambah kegelisahan umum sehingga membangkitkan sikap represif
masyarakat, alat penegak hukum. Politikus sering mengeksploitasi perasaan tidak aman untuk kepentingannya. Ketika kekerasan dalam media berfungsi
seperti nilai barang, ia digunakan menjadi alat untuk menormalisir situasi,
30
Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguist ik Umum Yogyakart a: Gadjah M ada Universit y Press, 1988 h. 148-151.