Masa Pemerintahan Kesultanan Banten 1. Maulana Hasanuddin 1552-1570

11 pelabuhan Banten menjadi sepi karena kapal-kapan dari negara lain segan untuk berlabuh karena ancaman serangan oleh Belanda yang menetap di Jayakarta sejak tahun 1610. Untuk mengatasi itu, Sultan Abul Fath yang dinobatkan menjadi raja pada tangal 10 Maret 1651, mengatur strategi untuk meningkatkan stabilitas perekonomian dan sosial Banten dengan memerintahkan pasukannya untuk membuat kerusuhan pada setiap instalasi milik Belanda dan pada tahun 1658 tercetuslah perang antara pasukan Banten dengan Batavia dengan nama Perang Sabil. Penyerangan yang dilakukan oleh pasukan Banten membuat Belanda terdesak dan pada tanggal 10 Juli 1659 dilakukan perjanjian damai. Perjanjian damai tersebut dimanfaatkan oleh Sultan Abul Fath untuk memperbaiki kondisi Banten akibat perang serta mempersiapkan senjata dan prajurit. Untuk mengontrol pergerakan Batavia, Sultan Abul Fath juga membuat istana sekaligus sebagai tempat peristirahatan di daerah Desa Tirtayasa, Pontang Gambar 6. Pada bidang pertanian, sultan memerintahkan kepada sekitar 20.000 orang warganya untuk menanam pohon kelapa di dekat Sungai Ontong Jawa Cisadane dekat perbatasan Batavia. Penempatan penduduk tersebut memiliki maksud politis sebagai pendudukan wilayah perbatasan serta dapat mendukung aktifitas di Istana Tirtayasa. Untuk memudahkan jalur komunikasi dan pengangkutan hasli pertanian Sultan Abul Fath membuat jalur perairan yang menghubungkan Banten dengan Istana Tirtayasa. Proyek tersebut dimulai pada tanggal 27 April 1663 dengan membuat terusan yang menghubungkan Sungai Tanara ke Sungai Pasilian lalu bulan September 1663 diteruskan dengan membuat terusan dari Sungi Pasilian ke Sungai Cisadane. pada bulan Oktober 1670, sultan melaksanakan proyek pengairan kedua yang menghubungkan daerah Pontang dan Tanara dengan membuat terusan kearah laut. Terusan tersebut merubah tanah disekitarnya menjadi lahan pertanian Guillot, 2008. Dalam masa pembangunan tersebut Sultan Abul Fath menetap di Istana Tirtayasa dan bergelar Sultan Ageng Tirtayasa. Gambar 6 Sketsa peta Istana Tirtayasa Sumber : Tropen Museum 12

6. Sultan Haji – Abun Nasr ’Abdul Kahhar 1683-1687

Sultan Abun Nasr mendapat julukan Sultan Haji setelah menunaikan ibadah haji. Saat itu sultan Haji menjabat sebagai putra mahkota yang kekuasaannya meliputi kebijakan dalam negeri sedangkan kebijakan luar negeri dipegang oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Selama Sultan Haji pergi ke Mekkah, pemerintahan Surosowan diserahkan kepada adiknya, Pangeran Purbaya Michrob dan Chudari, 2011. Kepercayaan yang diberikan oleh Sultan Ageng Tirtayasa kepada Pangeran Purbaya membuat hubungan antara mereka dengan Sultan Haji merenggang, hal tersebut dimanfaatkan oleh Belanda untuk menghasut Sultan Haji. Kedekatan Sultan Haji dengan Belanda membuat Sultan Haji berkeingingan untuk menguasai Banten secara menyeluruh. Karena dirasa pengaruh Belanda sudah semakin besar kepada pemerintahan Banten, tanggal 27 Februari 1682, Sultan Ageng Tirtayasa menyerang dan berhasil merebut Keraton Surosowan. Namun, pada bulan Maret 1682 dengan bantuan Belanda Sultan Haji menyerang dan berhasil merebut Surosowan kembali. Pada bulan Desember 1682 setelah melakukan perjanjian kerjasama dengan Belanda Sultan Haji menyerang Istana Tirtayasa. Sultan Ageng Tirtayasa terdesak dan membumihanguskan Istana Tirtayasa sebelum akhirnya ditangkap dan dipenjara di Batavia hingga meninggal pada tahun 1692 Michrob dan Chudari, 2011. Jenasah Sultan Ageng Tirtayasa dikirim kembali dan dimakaman di samping makam utara Masjid Agung Banten Hichrob dan Chudari, 2011. Setelah menyusutnya perlawanan dari pendukung-pendukung Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan Haji dikukuhkan menjadi pemimpin pemerintahan Kesultanan Banten dengan berbagai syarat yang diajukan oleh Belanda. Gambar 7 Peta Banten sekitar tahun 1902 oleh Serruirer. Sumber : Juliadi et all, 2005