Biologi Cumi-Cumi Sirip Besar

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biologi Cumi-Cumi Sirip Besar

Klasifikasi cumi-cumi sirip besar Gambar 1 menurut Voss 1963 adalah sebagai berikut: Filum Moluska Kelas Cephalopoda Subkelas Coleida Ordo Teuthida Subordo Myopsida Famili Loliginidae Subfamili Sepioteuthinae Genus Sepioteuthis Spesies Sepioteuthis lessoniana Nama Indonesia : Cumi-cumi sirip besar Nama Lokal : Cumi-cumi karang Nama FAO : Big fin reef squid Gambar 1. Cumi-cumi sirip besar Sepioteuthis lessoniana Sumber: Koleksi Pribadi Cumi-cumi sirip besar memiliki mantel yang panjang dan berbentuk seperti tabung. Memiliki sirip yang besar dan membentang 1 mm hingga 2 mm dari mantel bagian anterior hingga posterior. Sirip tersebut bersatu pada bagian posterior. Terdapat corong panjang pada permukaan kepala yang terhubung dengan saluran dalam tubuh. Memiliki kepala yang kokoh dengan mata yang menonjol. Memiliki 5 pasang lengan dengan satu pasang diantaranya lebih panjang daripada yang lain dan berfungsi untuk menangkap mangsanya dan disebut tentakel. Pada jantan, satu atau kedua dari lengan ketiga atau lengan keempat berubah bentuknya menjadi alat kopulasi dan disebut hektokotil untuk menyalurkan sperma. Memiliki kromatopor yang besar dan sangat banyak di dalam mantel bagian dorsal, sirip, kepala, dan lengan namun berjumlah sedikit pada bagian ventral Voss 1963. Cumi-cumi sirip besar memiliki mantel yang sangat panjang dengan lebar 40 dari panjangnya, siripnya sangat besar yang panjangnya mencapai 90 dari panjang mantel, dan lebar siripnya lebih dari 75 lebar mantel Karpenter Niem 1998. Roper et al. 1984 in Prasetio 2007 menyatakan cumi-cumi sirip besar memiliki sirip yang sangat besar dengan ukuran sekitar 90 sampai 100 dari panjang mantel, lebarnya hampir mencapai 75 dari mantel, bagian terbesar terdapat pada bagian posterior sampai bagian pertengahan. Tentakel panjang dan besar serta memiliki alat penghisap sucker yang menyerupai cincin dengan 14–23 gigi tajam. Cincin penghisap sucker ring memiliki 18–29 gigi tajam dan berbentuk segitiga, tentakel panjang dan kuat. Lengan kiri keempat pada individu jantan merupakan alat yang berfungsi sebagai hektokotil yaitu alat untuk memindahkan spermatofora. Berbeda dengan kerabat-kerabat moluska lainnya, cephalopoda dilengkapi dengan cangkang dalam kecuali bangsa Nautiloida. Cangkang dalam cephalopoda berupa kepingan khitin atau kapur yang terletak pada rongga mantel di bawah kulit bagian punggung. Fungsi kepingan tersebut ialah sebagai rangka penguat tubuh. Pada bangsa Teuthioida kepingan terdiri dari zat tanduk chitine Djajasasmita et al. 1993. Makanan utama cumi-cumi sirip besar ialah udang dan ikan Karpenter Niem 1998. Menurut Andy Omar 2002 komposisi makanan cumi-cumi sirip besar berubah dengan semakin tumbuhnya tubuh mereka. Saat juvenil memakan udang yang berukuran kecil, saat lebih besar young memakan ikan dan udang, dan saat dewasa adult memakan udang, ikan, dan cephalopoda lainnya. Segawa 1993 in Andy Omar 2002 menyatakan bahwa terjadi kanibalisme antara cumi-cumi sirip besar itu sendiri. Menurutnya kanibalisme tidak terjadi jika ukuran pemangsa hanya berkisar antara 1 hingga 1.5 kali lebih besar daripada mangsanya. Menurut Hamsiah 1990 in Andy Omar 2002 di perairan Pulau Panikiang, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, makanan utama cumi-cumi sirip besar terdiri atas ikan dan krustasea, sedangkan makanan tambahan meliputi diatom, chlorophyceae, dan protozoa. Tingkat pemanfaatan sumberdaya cumi-cumi secara global dianggap masih relatif rendah dibandingkan dengan pemanfaatan sumberdaya ikan lainnya. Sebagian besar hasil tangkapan didominasi oleh cumi-cumi jenis neritik dan bentik yaitu jenis cumi-cumi yang berada di perairan paparan pantai dan paparan benua. Tingkat pemanfaatan cumi-cumi oseanik yang berada di lepas pantai yang banyak di antaranya jenis ekonomis penting diduga masih relatif rendah Worms 1983 in Badrudin Mubarak 1998. Cumi-cumi tertangkap hampir di seluruh perairan Indonesia mulai dari Paparan Sunda, Selat Makasar, Laut Flores, Laut Sulawesi, Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda dan Laut Arafura. Beberapa perairan yang telah lama dikenal sebagai daerah penangkapan cumi-cumi adalah Selat Alas dan Selat Sape. Namun, akhir-akhir ini hasil tangkapan cumi-cumi di perairan Selat Malaka pun dilaporkan cukup dominan, yaitu sekitar 23 dari rata-rata laju tangkap total Sumiono et al. 1997 in Badrudin Mubarak 1998. Produksi total cumi-cumi yang dilaporkan dalam statistik perikanan tahun 1995 adalah sekitar 27575 ton Direktorat Jenderal Perikanan 1997 in Badrudin Mubarak 1998. Sebagian besar produksi cumi-cumi tersebut berasal dari hasil penangkapan dengan berbagai alat tangkap skala kecil dan sampai saat ini belum ada kegiatan perikanan cumi-cumi dalam skala besar yang diusahakan secara intensif. Adapun potensi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya cumi-cumi pada Laut Jawa yaitu dengan potensi 5042 ton dan produksi 5099 ton tahun 1997. Produksi cumi-cumi yang dicatat di kawasan perairan Sumatera Barat dan Laut Jawa sudah berada di sekitar MSY, sedangkan di Selatan Jawa, Bali-Nusa Tenggara, Selat Malaka, Selat Makasar,dan Laut Flores tampak sudah melebihi MSY Badrudin Mubarak 1998.

2.2. Habitat dan Penyebaran