Habitat dan Penyebaran TINJAUAN PUSTAKA

Sulawesi Selatan, makanan utama cumi-cumi sirip besar terdiri atas ikan dan krustasea, sedangkan makanan tambahan meliputi diatom, chlorophyceae, dan protozoa. Tingkat pemanfaatan sumberdaya cumi-cumi secara global dianggap masih relatif rendah dibandingkan dengan pemanfaatan sumberdaya ikan lainnya. Sebagian besar hasil tangkapan didominasi oleh cumi-cumi jenis neritik dan bentik yaitu jenis cumi-cumi yang berada di perairan paparan pantai dan paparan benua. Tingkat pemanfaatan cumi-cumi oseanik yang berada di lepas pantai yang banyak di antaranya jenis ekonomis penting diduga masih relatif rendah Worms 1983 in Badrudin Mubarak 1998. Cumi-cumi tertangkap hampir di seluruh perairan Indonesia mulai dari Paparan Sunda, Selat Makasar, Laut Flores, Laut Sulawesi, Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda dan Laut Arafura. Beberapa perairan yang telah lama dikenal sebagai daerah penangkapan cumi-cumi adalah Selat Alas dan Selat Sape. Namun, akhir-akhir ini hasil tangkapan cumi-cumi di perairan Selat Malaka pun dilaporkan cukup dominan, yaitu sekitar 23 dari rata-rata laju tangkap total Sumiono et al. 1997 in Badrudin Mubarak 1998. Produksi total cumi-cumi yang dilaporkan dalam statistik perikanan tahun 1995 adalah sekitar 27575 ton Direktorat Jenderal Perikanan 1997 in Badrudin Mubarak 1998. Sebagian besar produksi cumi-cumi tersebut berasal dari hasil penangkapan dengan berbagai alat tangkap skala kecil dan sampai saat ini belum ada kegiatan perikanan cumi-cumi dalam skala besar yang diusahakan secara intensif. Adapun potensi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya cumi-cumi pada Laut Jawa yaitu dengan potensi 5042 ton dan produksi 5099 ton tahun 1997. Produksi cumi-cumi yang dicatat di kawasan perairan Sumatera Barat dan Laut Jawa sudah berada di sekitar MSY, sedangkan di Selatan Jawa, Bali-Nusa Tenggara, Selat Malaka, Selat Makasar,dan Laut Flores tampak sudah melebihi MSY Badrudin Mubarak 1998.

2.2. Habitat dan Penyebaran

Menurut Nabithabhata 1996 cumi-cumi sirip besar hidup di daerah lepas pantai, terumbu karang, dekat daerah pantai dan estuaria. Roper et al. 1984 in Prasetio 2007 menyatakan bahwa cumi-cumi sirip besar merupakan hewan daerah neritik yang senang hidup bergerombol dan terkonsentrasi pada perairan dangkal yang mempunyai ekosistem terumbu karang dan lamun dengan daerah sebaran dari permukaan hingga kedalaman 100 m. Sumberdaya ini tersedia sepanjang tahun, musim utama penangkapan terjadi pada bulan Desember hingga Maret Shivashantini et al. 2009. Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun merupakan salah satu wilayah perairan dangkal di gugusan Kepulauan Seribu yang termasuk dalam kawasan Taman Nasional Laut. Perairan dangkal merupakan wilayah yang terletak antara perairan rendah di pantai hingga kedalaman 10-20 m Nybakken 1992. Perairan dangkal memiliki goba laguna di mana terdapat ekosistem lamun dan ekosistem karang. Goba merupakan sebuah kawasan dangkal di pesisir lautan yang terpisah dari lautan terbuka yang dibatasi oleh suatu tepian atau karang, biasanya berupa terumbu karang. Dapat juga diartikan sebagai perairan terpisah yang memiliki kedalaman hingga 30 m seperti atol Clapham 1973 in Wijaksana 2008. Goba memiliki dua zona utama yaitu terumbu goba dan dasar goba. Terumbu goba ditemukan di sekeliling batas pinggir goba dan juga merupakan potongan karang yang muncul dari dasar goba ke permukaan. Kedalaman goba biasanya kurang dari 50 m dan ini merupakan kedalaman untuk terumbu karang dapat hidup. Kondisi pertumbuhan terumbu karang di goba tidak sebaik di tubir. Hal tersebut disebabkan kondisi gelombang dan sirkulasi yang tidak besar, dan sedimentasi yang lebih besar di daerah goba. Terumbu karang yang mendominasi terumbu goba ialah Porites yang terpencil dan karang bercabang dari Acropora dengan kedalaman 15-20 m. Sementara itu pada dasar goba tidak ada karang yang dapat tumbuh. Sedimentasi di daerah pasir membuat dasar goba dapat dijadikan hamparan yang luas bagi rumput laut Thalassia dan Cymodocea atau alga hijau Caulerpa dan Halimeda Nybakken 1992. Adapun Wijaksana 2008 memperoleh kedalaman goba di perairan Pulau Pari berkisar antara 10.30–40.60 m dengan kedalaman rata-rata 30.60 m. Hal tersebut tidak sesuai Darsono 1977 in Wijaksana 2008 yang melakukan penelitian di lokasi yang sama, menyatakan bahwa kedalaman rata-rata goba adalah 6 m. Pada tepi perairan suatu pulau terdapat lereng terluar yang menghadap ke laut atau sering disebut sebagai zona penopang tubir, di mana kehidupan karang mulai melimpah pada kedalaman 50 m. Karang di daerah tersebut umumnya sedikit dan bersifat lunak. Pada kedalaman 15 m terdapat lereng yang curam ke arah laut lepas, dari permukaan hingga kedalaman tersebut karang dapat tumbuh dengan subur karena kondisi lingkungan yang optimal. Pada daerah ini terdapat gelombang yang besar. Karang yang dominan hidup dan berkembang dengan cepat di daerah tersebut ialah Acropora Nybakken 1992. Daerah penyebarannya meliputi Indopasifik, Laut Merah, Laut Arab bagian timur, Australia bagian utara, serta perairan Jepang sampai Kepulauan Hawai. Menurut Chikuni 1984 in Sulistyowati 2002 spesies ini terdapat di Laut Kuning dan Laut Cina Timur, perairan sekitar Filipina, Laut Cina Selatan, Laut Jawa hingga Laut Arafura, perairan sekitar Australia, Teluk Bengal dan Laut Arab bagian Barat. Menurut Djajasasmita et al. 1993 daerah penyebaran cumi-cumi sirip besar meliputi Indonesia, Laut Merah, Teluk Persia, Laut Arab, perairan Pakistan, India, Srilangka, Bangladesh, Andaman dan Nikobar, Australia Utara dan Timur, sampai Selatan Jepang. Studi tentang migrasi ialah hal dasar dalam biologi perikanan karena suatu sumberdaya ikan akan terus bergerak membentuk suatu putaran mulai dari spawning ground, nursery ground, hingga feeding ground. Migrasi dari suatu sumberdaya ikan akan menyebabkan bertambah atau berkurangnya suatu populasi sumberdaya tersebut Cushing 1970. Tulak 2000 in Andy Omar 2002 menemukan cumi-cumi sirip besar di perairan pantai sebelah selatan Pulau Kubur, Teluk Banten saat bulan Juni meletakkan kapsul telurnya di substrat bunga karang sponge di kedalaman 3 m. Danakusumah et al. 1996 in Andy Omar 2002 menyatakan bahwa terjadi musim pemijahan cumi-cumi sirip besar di Perairan Bojo pada bulan Juni hingga Juli dan diperoleh kapsul telur cumi-cumi sirip besar yang dipasang pada kedalaman 5, 15, dan 18 m. Segawa 1993 in Andy Omar 2002 menyatakan bahwa di perairan Jepang, cumi-cumi sirip besar sering meletakkan kapsul telurnya pada karang- karang yang telah mati di ekosistem karang, khususnya jenis Acropora spp. Cumi- cumi sirip besar juga sering meletakkan kapsul telurnya pada substrat lamun Sargassum ringgoldianum, S. pattens, S. serratifolium, Padina arborescens, dan Zostera marina Segawa 1987 in Andy Omar 2002.

2.3. Pertumbuhan