a Menentukan jumlah selang kelas yang diperlukan
b Menentukan lebar selang kelas, untuk melihat sebaran data yang lebih rinci
penggunaan lebar kelas dalam penelitian ini diperkecil dengan cara membagi dua lebar kelas yang diperoleh berdasarkan persamaan sebelumnya.
c Menentukan kelas frekuensi dan memasukkan frekuensi masing-masing kelas
dengan memasukkan panjang mantel masing-masing cumi-cumi sirip besar pada selang kelas yang telah ditentukan
Distribusi frekuensi panjang mantel yang telah ditentukan dalam masing- masing kelas, diplotkan dalam sebuah grafik untuk melihat jumlah distribusi
normalnya. Grafik tersebut menggambarkan pergeseran sebaran kelas panjang mantel setiap pengambilan contohnya.
3.4.3. Identifikasi kelompok ukuran
Pendugaan kelompok ukuran dilakukan dengan menganalisis frekuensi panjang mantel cumi-cumi sirip besar. Data frekuensi panjang mantel dianalisis
dengan mengunakan metode NORMSEP Normal Separation yang terdapat dalam program FISAT II FAO-ICLARM Stock Assesment Tool. Sebaran frekuensi
panjang mantel dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok ukuran yang diasumsikan menyebar normal, masing-masing dicirikan oleh rata-rata dan
simpangan baku. Dalam memisahkan kelompok ukuran perlu diperhatikan nilai indeks separasi karena sangat diperhatikan dalam penggunaan metode NORMSEP
Hasselblad 1996, Mc New Summeffelt 1978, serta Clark 1981 in Sparre Venema 1999. Apabila indeks separasi kurang dari dua 2 maka tidak mungkin
dilakukan pemisahan kelompok ukuran karena terjadi tumpang tindih antara kedua kelompok ukuran yang dipisahkan. Apabila nilai indeks separasi lebih dari dua 2
maka hasil pemisahan kelompok ukuran dapat diterima dan digunakan untuk analisis selanjutnya.
3.4.4. Pola pertumbuhan
Pola pertumbuhan dapat dilihat dari hubungan panjang dan bobot yang digambarkan dalam dua bentuk yaitu isometrik dan alometrik Effendi 2002.
Menurut Bagenal Tesch 1978 dan Ricker 1975 in Shivashantini et al. 2009
untuk cumi-cumi sirip besar hubungan panjang mantel dan bobot tubuh berlaku
persamaan:
W = a L
b
Keterangan: W
= bobot tubuh g L
= panjang mantel mm a b = Konstanta hasil regresi
Untuk menguji nilai b=3 atau b≠3 b=3, pertumbuhan panjang mantel seimbang dengan pertumbuhan bobot atau b≠3, pertumbuhan panjang mantel tidak
seimbang dengan pertumbuhan bobot dilakukan uji-t, dengan hipotesis : H
: b = 3, hubungan panjang mantel dengan bobot adalah isometrik H
1
: b ≠ 3, hubungan panjang mantel dengan bobot adalah allometrik
t
hitung
=
1 1
Sb b
b −
Keterangan : b
1
= nilai b hubungan dari panjang mantel dan bobot tubuh b
= 3 Sb
1
= simpangan koefisien b Selanjutnya, nilai t
hitung
dibandingkan dengan nilai t
tabel
pada selang kepercayaan 95. Apabila:
t
hitung
t
tabel
: tolak hipotesis nol H t
hitung
t
tabel
: gagal tolak hipotesis nol H Setelah itu apabila hasil uji diperoleh allometrik, maka dapat ditentukan
bentuk allometriknya dari nilai b yang diperoleh dimana allometrik positif, jika b3 pertumbuhan bobot lebih dominan daripada pertumbuhan panjang mantel dan
allometrik negatif, jika b3 pertumbuhan panjang mantel lebih dominan daripada pertumbuhan bobot Effendie 2002.
3.4.5. Pendugaan parameter pertumbuhan
Pertumbuhan panjang sumberdaya ikan dapat dinyatakan dengan model Von Bertalanffy sebagai berikut Sparre Venema 1999.
L
t
= L
∞
1-e
-Kt- t0
Keterangan: L
t
= panjang cumi-cumi pada saat umur ke-t L
∞
= panjang maksimum yang tidak mungkin dicapai panjang asimtotik mm K
= koefisien pertumbuhan per tahun t
= umur teoritis saat panjang sama dengan nol tahun Nilai L
∞
dan K diperoleh dari hasil perhitungan dengan metode Non Parametrik Scoring of Von Bertalanffy Growth Function melalui bantuan software
ELEFAN 1 Electronic Length Frequencys Análisis yang terintegrasi dalam program FiSAT II. Umur teoritis t
saat panjang sama dengan nol dapat diduga secara terpisah dengan menggunakan persamaan empiris Pauly 1984 in Sparre dan
Venema 1999 sebagai berikut: Log -t
= 0.3922 – 0.2752 Log L
∞
– 1.0380 Log K Keterangan:
L
t
= panjang cumi-cumi pada saat umur ke-t L
∞
= panjang maksimum yang tidak mungkin dicapai panjang asimtotik mm K
= koefisien pertumbuhan per tahun t
= umur teoritis saat panjang sama dengan nol tahun
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar
4.1.1. Distribusi spasial
Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap tersebar di perairan dangkal hingga dalam.
Penangkapan cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun lebih banyak dilakukan di wilayah yang lebih dalam seperti tubir dan
goba Gambar 2. Nelayan cenderung menangkap cumi-cumi sirip besar di perairan yang lebih dalam karena pengaruh pasang surut laut. Nelayan Pulau Panggang
melakukan aktivitas penangkapan cumi-cumi sirip besar pada pagi hingga sore hari, dan selama penelitian berlangsung terjadi surut pada siang hari yang mengakibatkan
nelayan lebih sering melakukan penangkapan pada daerah yang lebih dalam. Kondisi pasang surut juga mempengaruhi jalan kapal nelayan dalam melakukan
penangkapan cumi-cumi sirip besar karena saat pasang kapal nelayan dapat masuk ke dalam perairan dangkal, sedangkan saat kondisi surut kapal nelayan tidak dapat
masuk ke perairan dangkal sehingga lebih banyak melakukan aktivitas penangkapan di daerah yang lebih dalam seperti tubir, goba, dan hamparan dangkal yang lebih
dalam. Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang
Lebar, dan Semak Daun dibedakan menjadi tiga sub area yaitu hamparan dangkal, goba, dan tubir. Pada perairan Karang Congkak rata-rata tangkapan cumi-cumi sirip
besar yang paling banyak terdapat di tubir sebesar 5 + 15 ekor, sedangkan di perairan Karang Lebar dan Semak Daun rata-rata tangkapan paling banyak di daerah
goba sebanyak 3 + 2 ekor Gambar 4 dan Tabel 2. Rata-rata tangkapan cumi-cumi sirip besar pada masing-masing sub area pada kedua lokasi penelitian bervariasi
nilainya Gambar 4 dan Tabel 2.