BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diterapkan dalam sebuah Negara berdasarkan aspirasi rakyat, atau dapat dikatakan juga sebagai pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, begitulah pengertian demokrasi secara umum. Demokrasi dianggap sebagai suatu sistem pemerintahan yang dijalankan melalui
proses pemilihan yang dilakukan secara jujur dan terbuka, dimana seluruh kelompok yang ikut bertarung siap menerima hasilnya sebagai suatu realitas yang harus
dihormati dan dihargai oleh semua pihak. Kata demokrasi berangkat dari dua akar kata yang berasal dari bahasa Yunani,
yakni demos yang artinya rakyat atau orang banyak, dan kratos artinya kekuasaan. Dengan demikian, demokrasi dalam pemahaman bahasa Yunani Kuno adalah
kekuasaan yang berada di tangan rakyat.
1
Demokrasi sendiri merupakan sistem kenegaraan yang sangat populer di dunia, banyak Negara menerapkan prinsip
demokrasi sebagai landasan dalam menjalankan roda pemerintahannya, demokrasipun dianggap sebagai bentuk kehidupan bernegara yang ideal, populer dan
menjadi idaman bagi masyarakat di seluruh dunia, sekalipun Negara itu monarki absolute seperti Arab Saudi, Thailand, Jepang dan Inggris.
2
1
Prof.Dr.Hafied Cangara.2009. Komunikasi Politik : Konsep, Teori, dan Strategi, Jakarta: Rajawali Pers. hal.63.
2
Ibid. Hal.66.
Demikian pula dengan Indonesia
yang sejak tahun 1945 telah banyak melakukan praktik-praktik kenegaraan dengan berbagai macam label demokrasi, mulai dari demokrasi parlementer,
Universitas Sumatera Utara
demokrasi liberal, demokrasi terpimpin sampai demokrasi pancasila, meskipun dalam pelaksanaannya cenderung masih otoriter dan liberalisme.
Bentuk demokrasi itupun dapat tercermin dalam pelaksanaan pemilihan umum di suatu Negara tertentu untuk memilih pejabat Negara sebagai pemimpin,
pemilihan umum yang demokratis menjadi arena pertarungan para anggota masyarakat untuk dipilih dan memilih calon yang akan menduduki jabatan Negara
mulai dari presiden dan wakil presiden, anggota parlemen, utusan daerah, gubernur dan wakil gubernur sampai kepada bupatiwalikota dan wakil bupatiwalikota. Proses
pencalonan juga harus terbuka sehingga setiap warga Negara memiliki akses dan berhak untuk mencalonkan diri sesuai syarat-syarat yang diterapkan oleh undang-
undang yang berlaku.
3
Tujuan lain dari pelaksanaan desentralisasi yakni memberi kesempatan agar daerah memiliki kepercayaan diri untuk menumbuhkan kemampuannya agar bisa
mengelola sumber daya yang dimiliki, guna memberi kesejahteraan kepada warganya Salah satu tujuan dari pelaksanaan demokrasi itu sendiri adalah untuk
mensejahterakan rakyat. Dalam hal ini untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah harus berupaya untuk melakukan pembangunan di berbagai aspek baik itu dibidang
ekonomi, politik, sosial dan budaya secara merata mulai dari pemerintah pusat sampai ditingkat daerah yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Terjadinya
ketidakmerataan sistem pembangunan pada masa orde baru menyebabkan banyaknya pemekaran daerah yang tercipta pasca orde reformasi sebagai wujud dari pelaksanaan
sistem demokrasi, untuk itulah pemerintah pusat memberikan wewenang pada pemerintah daerah dengan mewujudkan sistem desentralisasi yakni penyerahan
kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya,
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI.
3
Ibid. Hal.72.
Universitas Sumatera Utara
dengan pemberian pelayanan publik yang lebih dekat dan cepat tanpa bergantung kepada pusat.
4
Karena pada dasarnya pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, baik gubernur dan wakil gubernur maupun bupatiwalikota dan wakil bupatiwalikota
secara langsung oleh rakyat merupakan perwujudan pengembalian hak-hak dasar rakyat dalam memilih pemimpin daerah. Dengan kata lain, rakyat memiliki
kesempatan dan kedaulatan untuk menentukan pemimpin daerah secara langsung, bebas dan rahasia tanpa adanya intervensi.
Maka diperlukanlah pemimpin daerah yang kita sebut sebagai gubernur ditingkat provinsi, serta bupatiwalikota ditingkat kabupatenkota.
Pemilihan kepala daerah seperti gubernurwakil gubernur maupun bupatiwalikota tentu dipilih secara langsung oleh rakyat melalui sebuah sistem Pemilihan Umum
Kepala Daerah. Pemilihan Umum Kepala Daerah secara langsung sendiri merupakan fenomena kenegaraan baru yang terjadi di Indonesia, artinya pemilihan kepala daerah
dipilih langsung oleh rakyat. Awalnya, pemilihan pemimpin daerah ini dipilih oleh DPRD, akan tetapi karena adanya perubahan yang terjadi pada masa reformasi tahun
1998 maka pemilihan umum kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Pilkada secara langsung pertama kali dilaksanakan pada tahun 2005 dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Undang-undang ini diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip
demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem NKRI yang dilaksanakan secara efektif, efisien
dan bertanggung jawab.
5
4
Ibid. Hal.73.
5
Joko J.Prihatmoko. 2005. Pemilihan Kepala Daerah Langsung: Filosofi, SIstem dan Problema Penerapan di Indonesia. Pustaka Belajar. Hal.98.
Untuk itulah, pelaksanaan pilkada langsung dianggap sebagai sebuah peningkatan demokrasi ditingkat lokal, dengan
Universitas Sumatera Utara
adanya demokrasi dalam sebuah negara, berarti dalam Negara tersebut menjalankan demokrasi yang menjunjung tinggi aspirasi, kepentingan dan suara rakyatnya.
Sehingga muncullah konsep pembaruan kabupaten yang dirumuskan sebagai transformasi kabupaten yang hendak menegaskan bahwa pembaruan bermakna
sebagai tidak lagi bekerja dengan ide dan konsep yang lama, melainkan telah bekerja dengan ide dan konsep yang baru.
6
Proses pembaruan haruslah dapat memberikan kepastian bahwa nasib rakyat akan berubah menjadi lebih baik lagi, pembaruan kabupaten juga berarti perombakan
secara menyeluruh yang dimulai dari paradigma seluruh elemen yang ada atau mengorganisir seluruh sumber daya yang ada agar mengabdi pada kepentingan massa
rakyat.
7
Dengan adanya pemekaran, membuat daerah tersebut membutuhkan seorang kepala daerah yang bertugas memimpin birokrasi, menggerakkan jalannya roda
pemerintahan dan dijadikan tempat perlindungan, pelayanan publik serta pembangunan.
8
6
Dadang Juliantara, Pembaruan Kabupaten.Yogyakarta : Pembaruan. 2004. Hal. ix-x.
7
Joko J. Prihatmoko, Op.Cit. Hal.13.
8
Ibid. Hal.203.
Karena itulah, untuk merealisasikan serta mengaplikasikan prinsip demokrasi ditingkat lokal dan implementasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
ini, maka diperlukan adanya pembaruan daerah dalam hal ini adalah pemekaran daerah Kabupaten Aceh Tamiang.
Aceh Tamiang merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Aceh. Sebelumnya merupakan bagian dari wilayah Aceh Timur yang beribukotakan
Langsa. Kabupaten ini merupakan hasil dari pemekaran daerah Aceh Timur yang terletak di perbatasan Aceh-Sumatera, dimana penduduk asli di daerah tersebut
merupakan kawasan yang banyak bermukim masyarakat Tamiang yang serupa dengan etnis Melayu, selain itu di daerah ini juga terdapat minoritas masyarakat etnis
jawa dan etnis Aceh.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai daerah pemekaran tentu banyak yang harus dibenahi oleh pemerintah daerah tersebut dengan melakukan pembangunan di berbagai kecamatan yang
terdapat di kabupaten Aceh Tamiang, tentu sudah menjadi tanggungjawab pemimpin daerah dalam hal ini Bupati yang bertugas membangun dan mensejahterakan
masyarakatnya. Pada awal berdirinya Aceh Tamiang yakni pada 2 Juli 2002, daerah ini dipimpin oleh Bupati Ishak Djuned yang notabene merupakan bupati Aceh Timur,
lalu Ishak Djuned menunjuk Abdul Latief yang merupakan karyawan PDAM kota Langsa sebagai pejabat sementara Bupati Aceh Tamiang.
Aceh Tamiang sendiri telah melewati 2 kali pelaksanaan pilkada langsung, yakni pada tahun 2007 dan 2012. Pada pilkada tahun 2007 Abdul Latief yang
merupakan bupati Aceh Tamiang ikut berkompetisi dalam proses pemilihan umum kepala daerah dan berhasil terpilih bersama wakilnya Awaluddin untuk memimpin
Aceh Tamiang periode 2007-2012. Sehabis masa bakti Abdul Latief, Aceh Tamiang kembali menyelenggarakan pemilihan umum kepala daerah yang berlangsung tahun
lalu yakni pada 9 April 2012. Penyelenggaran pilkada tersebut dilakukan dalam 2 putaran dikarenakan dari 11 pasangan calon tidak ada suara yang meraih kuota 30.
Kandidat yang masuk ke putaran kedua yakni pasangan nomor urut 4 Agussalim- Abdussamad serta pasangan nomor urut 10 Hamdan Sati-Iskandar Zulkarnain.
Pilkada putaran kedua yang dilaksanakan 12 September 2012 lalu, dimenangkan oleh pasangan nomor urut 10 yakni Hamdan Sati dan Iskandar Zulkarnain.
Kemenangan Hamdan Sati dan Iskandar Zulkarnain merupakan fenomena kontroversial bagi masyarakat Aceh Tamiang saat pesta demokrasi berlangsung,
dimana pasangan calon yang terpilih adalah pasangan yang diusung dari koalisi partai yakni PAN, PBR, PBA, dan PKS. Sementara yang semula diprediksi akan
memenangkan pilkada adalah pasangan yang diusung dari PA. Partai Aceh sendiri merupakan partai lokal yang terbentuk di Aceh pasca perdamaian Memorandum of
Understanding MoU Helsinki 2005 lalu antara Gerakan Aceh Merdeka GAM dan
Universitas Sumatera Utara
NKRI, dimana salah satu persyaratan yang diajukan petinggi GAM pada saat itu adalah dengan meminta untuk mendirikan partai lokal sebagai wujud partisipasi
politik mereka dalam mensejahterakan masyarakat Aceh, melalui proses kegiatan politik guna memperoleh kedudukan dalam pemerintahan Aceh. Sebagaimana point
1.2.1 Mou Helsinki yaitu : “Sesegera mungkin tidak lebih dari satu tahun sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, Pemerintah RI menyepakati dan akan
memfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional.”
9
Partai Aceh yang sebelumnya bernamakan Partai Gerakan Aceh Merdeka, kemudian pernah berubah menjadi Partai Gerakan Aceh Mandiri ini sendiri memiliki
basis yang cukup besar dalam menarik massa, bahkan petinggi PA juga menginginkan agar seluruh kabupatenkota yang ada di Aceh dapat dipimpin oleh
calon yang diusung dari partai mereka. Terlepas dari apakah mereka melakukan intimidasi terhadap masyarakat atau tidak namun terbukti dalam pemilihan
bupatiwalikota dari 23 kabupatenkota di Provinsi Aceh ada 8 kabupatenkota yang dimenangkan oleh PA. Seperti Kabupaten Aceh Besar dimenangkan oleh Mukhlis
Basyah-Samsulrizal, Kabupaten Pidie yang dimenangkan oleh pasangan Sarjani Abdullah-M.Iriawan, Kabupaten Aceh Timur oleh Hasballah-Syahrul bin Syamaun,
Kabupaten Aceh Utara dimenangkan oleh Muhammad M Thaib-Muhammad Djamil, Kabupaten Aceh Jaya dimenangkan oleh Azhar Abdurrahman-Tgk.Maulidi, Kota
Bireun oleh pasangan Ruslan H Daud-Mukhtar Abda,
10
9
http:www.partaiaceh.com201202sejarah-partai-aceh.html diakses 28 Juni 2013 pukul 21.00 wib.
10
http:www.acehtraffic.com201204pasangan-lusruskan-mou-menangkan-6.html diakses 28 Juni 2013 pukul 21.00 wib.
Kota Lokhseumawe oleh Suaidi YahyaNazaruddin, serta Kota Sabang oleh Zulkifli H.Adam-Nazaruddin,
begitu pula pada pemilihan Gubernur Aceh yang juga dimenangkan oleh pasangan dari Partai Aceh yakni Zaini Abdullah-Muzakir Manaf.
Universitas Sumatera Utara
Proses pemilihan bupati Aceh Tamiang 2012 sejatinya memanglah tidak berjalan mulus, dikarenakan perseteruan kepentingan oleh kedua kubu kubu Hamdan
Sati-Iskandar Zulkarnain dan Agussalim-Abdussamad yang sama-sama kuat, dalam rangka merebut posisi nomor satu di daerah ini. Berbagai ancaman kekerasan dan
teror muncul, diantaranya teror yang berdatangan dari kubu pendukung PA yang mengancam masyarakat pedalaman agar memilih calon yang mereka usung, belum
lagi berkembangnya isu yang datang dari kubu Hamdan Sati mengenai keterlibatan aparat keamanan dalam hal ini TNI dan Polri dalam proses pilkada Aceh Tamiang
yang lebih memihak pada calon terpilih Hamdan Sati. Hamdan diduga melakukan blockade
disejumlah daerah dengan mengandalkan kekuatan aparatur Negara dan memaksa masyarakat untuk memilihnya,
isu semakin berkembang saat seluruh kader dari PA menggelar aksi demonstrasi dan meminta pada Mahkamah Konstitusi untuk mengulang kembali pelaksanaan pilkada
Aceh Tamiang, mereka juga menuntut pihak Hamdan Sati karena diduga telah melakukan praktik money politic dalam proses pilkada. Namun yang menjadi
persoalan dalam hal ini adalah jika memang benar bupati terpilih melakukan kecurangan dan sebagainya, lantas apa yang membuat masyarakat masih mau
memilihnya? Apakah masyarakat Tamiang mulai terbuai dengan berbagai suap yang diberikan calon terpilih? Atau sebaliknya karena takut akan ancaman yang datang
pada mereka? Lalu seperti apa sebenarnya preferensi pemilih masyarakat Tamiang pada pilkada langsung tersebut. Apakah nilai-nilai demokrasi pilkada langsung di
Aceh Tamiang sudah mulai luntur? Ataukah malah isu mengenai proses pelaksanaan pemilu yang sarat akan kekerasan dan intimidasi tersebut, hanyalah kabar burung
yang sengaja dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab? Melihat fenomena tersebut tentu membuat penulis begitu tertarik untuk
membahas, serta mendeskripsikan lebih dalam tentang bagaimana kualitas demokrasi pilkada Aceh Tamiang 2012 sebenarnya, maka dari itu diperlukanlah sebuah
Universitas Sumatera Utara
penelitian ini untuk diangkat, guna mengetahui bagaimana kualitas demokrasi Aceh Tamiang saat penyelenggaraan pilkada berlangsung. Karena pada dasarnya pemilihan
umum kepala daerah merupakan laboratorium demokrasi di Indonesia, dari situlah kita dapat melihat sudah sejauh mana demokrasi ditingkat lokal berjalan dan ditahap
apa sebenarnya kita berada. Oleh karena itu, penyelenggaraan pilkada akan selalu hangat untuk dikaji dan diperbincangkan.
1.2 Rumusan Masalah