Trofik Level Ikan Dominan
karakteristik kimia fisika lingkungan yang berbeda Gambar 9 10 pada Bab V. Habitat muara sungai mempunyai ciri menonjol dalam hal kandungan nitrat,
fosfat, dan kecepatan arus yang tinggi. Sementara itu dua habitat lainnya yaitu lamun dan mangrove mempunyai ciri menonjol dalam hal suhu, DO, pH, salinitas,
dan silikat yang tinggi, dan secara statistik kandungan silikat tidak berbeda nyata berdasarkan habitat Lampiran 8.
Selanjutnya, komunitas ikan yang direpresentasikan sebagai kelompok dari 9 spesies ikan dominan, kepiting rajungan, dan udang putih ternyata memiliki
keterkaitan dengan karakteristik habitat. Perbedaan karakteristik lingkungan dan komunitas ikan menunjukkan bahwa komposisi taksa penyusun komunitas ikan
berkaitan erat dengan karakteristik habitat. Jenis ikan biji nangka, baronang lingkis, kerong-kerong, kuwe, baronang, dan barakuda lebih berasosiasi dengan
habitat lamun. Ikan pepetek, kapas-kapas, dan lencam lebih berasosiasi dengan habitat dekat mangrove sedangkan udang putih dan kepiting rajungan lebih
berasosiasi pada habitat muara sungai. Dengan demikian pendekatan atau strategi pengelolaan yang akan diterapkan pada kawasan pesisir harus memperhatikan
ragam dari ekosistem yang ada. Adanya ragam dari ekosistem tersebut memberikan konsekuensi bahwa pengelolaan perikanan di kawasan pesisir tropika
sebaiknya tidak menerapkan pendekatan single species fisheries management Widodo dan Suadi 2008.
Berdasarkan kondisi lingkungan secara umum di lokasi penelitian yang dijelaskan Bab V menunjukkan perbedaan yang signifikan parameter fisika-
kimia dan biologi antara ketiga habitat yang diteliti. Selama penelitian parameter lingkungan mengalami fluktuasi sehingga terlihat adanya variasi temporal
berdasarkan waktu pengamatan, meskipun tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam nilai rata-rata nutrien, klorofil-a, dan arus. Kisaran parameter
lingkungan pada tiga habitat selama penelitian menunjukkan bahwa perairan pantai di lokasi penelitian masih layak dan dalam batas nilai yang masih
ditoleransi untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup beberapa jenis ikan yang tertangkap dengan alat tangkap sero. Selain itu kondisi umum perairan juga
masih dalam batas yang layak untuk pertumbuhan dan kelangsungan beberapa biota laut termasuk yang menjadi makanan ikan terhadap ikan yang tertangkap
dengan sero. Hal ini ditunjukkan dari kisaran nilai amatan yang tidak memperlihatkan nilai ekstrim yang jauh di bawah maupun di atas ambang batas
kebutuhan biota laut pada umumnya.
Distribusi spasiotemporal parameter lingkungan berdampak pada proses dan kondisi ekologis dalam ekosistem pantai. Karakteristik lingkungan pada
setiap habitat yang terlihat dari fluktuasi parameter lingkungannya berimplikasi pada aspek biologis baik terhadap ikan maupun terhadap makanannya. Perbedaan
toleransi dan preverensi ikan dan organisme makanan ikan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap kelimpahan ikan yang ada pada setiap
habitat dalam suatu waktu tertentu. Lebih lanjut dampak perubahan spasiotemporal parameter lingkungan tersebut menyebabkan perbedaan
kelimpahan dan hasil tangkapan beberapa jenis ikan pada masing-masing habitat.
Hasil analisis hubungan antara biomassa ikan hasil tangkapan sero dengan parameter lingkungan yang pada umumnya menunjukkan hubungan linier yang
signifikan menguatkan argumen bahwa dampak dari perubahan dan perbedaan parameter lingkungan antar habitat mempengaruhi kelimpahan ikan yang ada
pada setiap habitat. Hasil analisis itu juga menjelaskan fakta bahwa keberadaan ikan dalam suatu habitat tertentu dipengaruhi oleh interaksi berbagai faktor
lingkungan atau tidak hanya dikontrol oleh salah satu faktor lingkungan saja. Faktor lain yang tidak dianalisis dalam penelitian ini juga memiliki pengaruh
terhadap kelimpahan ikan yang ada di setiap habitat. Lebih spesifik dapat dijelaskan bahwa variabilitas faktor lingkungan dominan yang paling
mempengaruhi biomassa setiap jenis ikan yang tertangkap menguatkan bahwa setiap jenis ikan memiliki preverensi dan toleransi yang beragam terhadap
parameter lingkungan. Hasil ini diperkuat dengan analisis factorial correspondence analysis FCA yang menunjukkan bahwa terdapat asosiasi yang
kuat antara satu jenis ikan dengan habitat.
Asosiasi antara spesies ikan dengan habitat yang dikaji secara umum tanpa melihat ukuran menggunakan biomassa total dalam analisis FCA
menggambarkan secara umum pemilihan tipe habitat setiap jenis ikan. Jika dikaitkan dengan analisis ragam ANOVA biomassa dan jumlah ikan
berdasarkan habitat, maka lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa terlihat adanya
jenis ikan yang mengalami perubahan preverensi habitat berdasarkan ukurannya. Hal ini diperkuat dari hasil analisis ragam yang menunjukkan perbedaan biomassa
tetapi tidak berbeda jumlahnya antar habitat atau sebaliknya perbedaan jumlah tetapi biomassa tidak berbeda, dan inkonsistensi dalam perbedaan jumlah dan
berat antar habitat. Perubahan dan perbedaan biomassa dan jumlah ikan yang tertangkap berdasarkan habitat ini dapat terjadi karena pengaruh langsung maupun
tidak langsung parameter lingkungan baik terhadap ikan maupun terhadap
makanannya.
Perbedaan preverensi dan toleransi setiap jenis ikan terhadap parameter lingkungan yang terjadi secara simultan dengan perubahan ukuran ikan
mempengaruhi secara langsung kondisi fisiologis setiap jenis ikan dan makanannya. Hasil analisis isi lambung memperlihatkan bahwa jenis-jenis ikan
yang tertangkap dengan sero memiliki kebiasaan makanan yang berbeda yang terdiri dari ikan planktivora, omnivora, dan karnivora. Proporsi secara total ikan
planktivora, omnivora dan karnivora dan kisaran trofik level 3, 3-4 dan 4 yang hampir berimbang mengindikasikan bahwa secara umum rantai makanan masih
cukup efektif ditransfer dari trofik rendah ke trofik yang lebih tinggi. Hal ini mengindikasikan dan menguatkan bahwa kondisi lingkungan di lokasi penelitian
masih layak untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup berbagai jenis ikan yang tertangkap dengan sero. Hanya saja jika dikaji lebih mendalam tentang jejaring
makanan food webs maka nampak bahwa hanya efektif dalam rantai tertentu yang proporsinya jauh lebih besar ke ikan barakuda. Transfer energi dalam rantai
makanan yang melalui ikan lencam dan kuwe jauh lebih sedikit dibandingkan ke ikan barakuda. Variasi antar habitat trofik level setiap jenis ikan tersebut terkait
dengan adamya perbedaan parameter lingkungan, preverensi habitat, dan
perubahan ukuran setiap jenis ikan yang terjadi secara simultan.
Sehubungan dengan ukuran ikan dan alat tangkap sero yang sifatnya pasif dan memiliki ukuran mata jaring maka kajian selektivitas alat tangkap
menunjukkan bahwa proporsi antara biomassa ikan yang layak tangkap dengan tidak layak tangkap pada ukuran mata jaring 4 cm bervariasi antara jenis ikan dan
habitat. Hasil analisis memperlihatkan bahwa hanya ikan barakuda dan pepetek yang tertangkap sudah memenuhi panjang yang diperbolehkan, ikan kapas-kapas
dan biji nangka mendekati panjang yang diperbolehkan, sedangkan baronang lingkis, baronang, kerong-kerong, dan kuwe masih jauh dari panjang yang
diperbolehkan. Bahkan ikan kuwe tidak ada yang tertangkap dengan ukuran
panjang yang diperbolehkan ukuran layak tangkap.
Mengacu pada hasil analisis parameter lingkungan, hasil tangkapan dan hubungannya dengan parameter lingkungan, kajian trofik level dan selektivitas
sero mata jaring 4 cm maka dapat dirumuskan alternatif pengelolaan perikanan sero di lokasi penelitian. Fakta bahwa kajian selektivitas alat tangkap yang
memperlihatkan bahwa hanya ikan barakuda dan pepetek yang memenuhi panjang yang diperbolehkan maka alternatif yang paling ideal adalah meningkatkan
ukuran mata jaring menjadi 4 cm. Rekomendasi ini didasarkan pada pertimbangan dari nilai ekonomis ikan, keramahan alat tangkap sero, dan daya
dukung lingkungan.
Berdasarkan nilai ekonomis, kedua jenis ikan ini secara ekonomis bukan merupakan jenis yang memiliki nilai ekonomis tertinggi. Harga satuan ikan
pepetek dan barakuda sebesar Rp 3000,- dan Rp 12000,- per kg jauh lebih rendah dibandingkan ikan kuwe dan lencam yang berharga Rp 19000,- dan Rp 20000,-
per kg. Dengan meningkatkan mata jaring 4 cm maka peluang meningkatnya populasi jenis ikan lain yang lebih ekonomis terutama pada trofik lebih tinggi
seperti ikan lencam dan kuwe. Peningkatan ukuran mata jaring sero 4 cm berpeluang meningkatkan populasi ikan kuwe dan lencam pada trofik level yang
lebih tinggi melalui 2 mekanisme yaitu peningkatan populasi ikan melalui peningkatan rekruitmen akibat meloloskan ikan yang lebih besar sehingga ikan
yang berpeluang memijah lebih besar sehingga tambahan populasi dari kelahiran semakin besar. Mekanisme lain adalah pengaruh tidak langsung terhadap populasi
makanan ikan lencam dan kuwe. Penambahan ukuran mata jaring menyebabkan ukuran ikan dan beberapa jenis nekton lainnya yang menjadi makanan ikan
lencam yang tertangkap dengan mata jaring 4 sebagian akan diloloskan sehingga meningkatkan daya dukung untuk makanan ikan pada trofik level yang lebih
tinggi termasuk ikan lencam dan kuwe.
Alternatif peningkatan mata jaring sero menajdi 4 cm secara teoritis memang memungkinkan untuk menangkap ikan pada ukuran yang seharusnya