Komposisi dan Proporsi Layak Tangkap pada Experimental Crib Nilai L

Secara teoritis apabila kemampuan kompetitif antara ketiga jenis ikan karnivor sama maka yang berpeluang memiliki populasi yang lebih tinggi adalah ikan lencam karena memiliki spektrum makanan yang lebih luas dibanding ikan barracuda dan kuwe. Sesuai fakta ini pula maka dapat diduga bahwa kemungkinan besar bony fishes sebagai fraksi makanan yang dikonsumsi oleh ketiga jenis ikan karnivor menjadi item makanan utama dari ketiga jenis ikan tersebut. Jika tidak maka semestinya ikan lencam yang spektrum makanannya lebih luas memiliki populasi yang lebih tinggi karena apabila bony fishes terbatas maka dia dapat mengkonsumsi jenis lainnya yang tidak bersaing dengan ikan kuwe maupun barracuda. Keunggulan kompetitif ikan barakuda sangat ditunjang oleh morfologi dan fisik terkait dalam mendapatkan makanan. Ikan barracuda merupakan ikan pelagis yang dilengkapi gigi-gigi yang tajam, mata, dan kemampuan renang yang lebih cepat sangat memungkinkan ikan ini lebih unggul dibandingkan dengan lencam dan kuwe dalam mencari dan memperebutkan makanan yang umumnya terdiri dari nekton yang aktif bergerak.

8.5 KESIMPULAN DAN SARAN

8.5.1 Kesimpulan

1. Setiap jenis ikan cenderung memiliki fraksi makanan yang tidak berbeda menurut habitat dan variasi komposisi item makanan berdasarkan waktu pengamatan relatif sangat kecil. 2. Kondisi ekologis ketiga ekosistem pantai di perairan pitumpanua dilihat dari trofik level ikan yang tertangkap dengan sero relatif masih baik. 3. Ikan planktivor yang tertangkap berada pada kisaran trofik level 2,32 - 2,92, ikan omnivor pada kisaran 2,46 - 4,49, dan ikan karnivor pada kisaran 3,41- 5,00.

8.5.2 Saran

Sebaiknya perlu penelitian lanjutan mengenai trofik level pada hasil tangkapan alat tangkap lain untuk melihat jalur rantai makanan yang terjadi di perairan pantai Pitumpanua Kabupaten Wajo, Teluk Bone. 10 KESIMPULAN DAN SARAN

10.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Kondisi lingkungan secara umum menunjukkan perbedaan yang signifikan parameter fisika-kimia dan biologi antara ketiga habitat, namun kisaran parameter lingkungan pada tiga habitat selama penelitian menunjukkan bahwa perairan pantai masih layak dalam batas nilai yang masih ditoleransi untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup beberapa jenis ikan yang tertangkap dengan alat tangkap sero. 2. Pengelolaan sero harus memperhatikan ragam dari ekosistem yang ada karena adanya perbedaan komunitas ikan pada ketiga habitat yaitu ikan biji nangka, baronang lingkis, kerong-kerong, kuwe, baronang, dan barakuda lebih berasosiasi pada habitat lamun. Ikan lencam, kapas-kapas, dan pepetek lebih berasosiasi pada habitat sekitar mangrove sedangkan udang putih dan kepiting rajungan berasosiasi dengan muara sungai. 3. Berdasarkan analisis selektivitas mata jaring 4 cm pada experimental crib sero didapatkan hanya ikan barakuda dan pepetek yang tertangkap sudah memenuhi panjang yang diperbolehkan L 50 , ikan kapas-kapas dan biji nangka mendekati panjang yang diperbolehkan, sedangkan baronang lingkis, baronang, kerong-kerong, dan kuwe masih sangat kecil dari panjang yang diperbolehkan. 4. Pengelolaan perikanan sero di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone sebaiknya menerapkan ukuran mata jaring 4 cm di habitat lamun sedangkan di muara sungai dan dekat mangrove dengan ukuran mata jaring 4 cm.

10.2 Saran

Alat tangkap sero di perairan pantai Pitumpanua sebaiknya menggunakan ukuran mata jaring lebih besar 4 cm. Diperlukan penelitian lanjutan terhadap kajian yang sama pada alat tangkap lain sehingga pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dapat diterapkan di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone PERIKANAN SERO DI PERAIRAN PANTAI PITUMPANUA KABUPATEN WAJO - TELUK BONE : SUATU KAJIAN EKOLOGIS TENRIWARE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2 0 12 DAFTAR PUSTAKA [APHA] American Public Health Association. 2005. Standard methods for the examination of water and wastewater 21 th edition. American Public Health Association. American Waters Works Association and Water Pollution Control Federation. Washington. Adam. Jaya I, Sondita MF. 2006. Model numerik difusi populasi rajungan di Perairan Selat Makassar. J Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, XII 2:83-88. Fahmi, Adrim M. 2009. Diversitas ikan pada komunitas padang lamun di perairan pesisir Kepulauan Riau. J Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 35:75- 90. Afdal, Riyono SH. 2004. Sebaran klorofil-a kaitannya dengan kondisi hidrologi di Selat Makassar. J. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 36:69-82. Al-Gahwari YAK. 2003. Use of Phytoplankton Abundance and Species Diversity for Monitoring Coastal Water Quality. Tesis Malaysia: Universiti Sains Malaysia. Alianto, Adiwilaga EM, Damar A. 2008. Produktivitas primer fitoplankton dan keterkaitannya dengan unsur hara dan cahaya di perairan Teluk Banten. J Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 151:21-26. Allam SM, Faltas SN, Ragheb E. 2004. Age and growth of barracudas in the Egyptian Mediterania Waters. Journal of Aquatic Research 30B:281- 289. Amiruddin 2006. Interaksi predasi teri Stolephorus spp selama proses penangkapan ikan dengan bagan rambo: Hubungannya dengan kelimpahan plankton tesis. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Anakotta ARF. 2002. Studi Kebiasaan Makanan Ikan-Ikan yang Tertangkap di Sekitar Ekosistem Mangrove Pantai Oesapa dan Oebelo Teluk Kupang – Nusa Tenggara Timur tesis. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 121 hal Andriyani 2004. Analisis Hubungan Parameter Fisika-Kimia dan Klorofil-A dengan Produktivitas Primer Fitoplankton di Perairan Pantai Kabupaten Luwu Tesis. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. 85 hal Arami H. 2006. Seleksi Teknologi Penangkapan Ikan Karang Berwawasan Lingkungan dalam Pengembangan Perikanan Tangkap di Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara Tesis. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Aranchibia H, Neira S. 2005. Long-term change in the mean trophic level of Central Chile fisheries landings. J. Marine Sci 692: 295-300. Arief D. 1992. A Study on Low Frequency Variability in Current and Sea Level in the Lombok Strait and Adjacent Region. Dissertation. Lousiana: Lousiana State University: 198 Pp. Arinardi OH. 1989. Zooplankton di perairan sekitar Cilacap Jawa Tengah dan hubungannya dengan perikanan. J Penelitian Perikanan Laut 53:97-105. Aryawati R. 2007. Kelimpahan dan Sebaran Fitoplankton di Perairan Berau Kalimantan Timur tesis. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 81 hal Asriyana 2011. Interaksi Trofik Komunitas Ikan Sebagai Dasar Pengelolaan Sumber Daya Ikan di Perairan Teluk Kendari Sulawesi Tenggara disertasi. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 106 hal. Azis MF. 2007. Tipe estuari Binuangeun Banten berdasarkan distribusi suhu dan salinitas perairan. J. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 33:97- 110. Bengen, DG. 2004. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Boer M, Aziz KA, Widodo J, Djamali A, Ghofar A, Kurnia R. 2001. Potensi Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Jakarta: Direktorat Riset dan Eksplorasi Sumberdaya Hayati, Direktur Jenderal Penyerasian Riset dan Eksplorasi Laut. Departemen Kelautan dan Perikanan Bekerjasama-Komisi Pengkajian Sumberdaya Perikanan Laut-Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. 44 hal. Budiman, Supriharyono, Asriyanto. 2006. Analisis sebaran ikan demersal sebagai basis pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Kendal. J Pasir Laut 2 1:52-63 Chande AL, Mgaya YD. 2003. The Fisheries of Portunus pelagicus and Species Diversity of Portunid Crabs the Coast of Dar es Salaam, Tanzania. Western Indian Ocean. J. Marine Sci II1:75-84. Chassot E, Gascuel D, Colomb A. 2005. Impact of trophic interactions on production function and on the ecosystem response to fishing: a simulation approach. Aquatic Living Resources 18: 1–3. Dahuri R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut, Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 412 hal. Dangnga S, Tenriware, Nur M. 2009. Karakteristik Parameter Lingkungan Kaitannya Pengembangan Alat Tangkap Sero di Perairan Teluk Bone Kecamatan Pitumpanua Kabupaten Wajo. J. Agribisnis I:1-10. Djokosetiyanto D, Rahardjo S. 2006. Kelimpahan dan keanekaragaman fitoplankton di perairan pantai Dadap Teluk Jakarta. J Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia 132:135-141. Douglas RM. 2001. Physical Oceanography. Illinois: Department of Geophysical Science, University of Chicago. 157 pp. Duxburry AB 2002. Fundamental of Oceanography-4 th eds. New York: McGraw- Hill Companies. 344 pp. Effendie MI. 1997. Biologi Perikanan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. 163 hal. Ernawati T, Sumiono B. 2006. Sebaran dan kelimpahan ikan kuniran Mullidae di perairan selat Makassar. Prosiding Seminar Nasional Ikan IV, Jatiluhur, 29-30 Agustus 2006. Hal 95-104. Fachrul MF. 2007. Metode sampling bioekologi. Edisi 1. Jakarta: Bumi Aksara. 198 hal. FAO. 1999. Regional guildelines for responsible fisheries in Southeast Asia. Bangkok: South Asian Fisheries Development Centre. 71 p. Fortes MD. 1989. Seagrass: A Resources Unknown in the ASEAN Region. ICLARM Education Series 5. Manila: ICLARM, Philippines. 46 pp. Fridman AL. 1986. Perhitungan dalam Merancang Alat Penangkap Ikan. Revisi dan diedit dan dikembangkan oleh PJG Carrothers. Team Penterjemah BPPI. Semarang. 300 hal. Genisa AS. 1999. Pengenalan jenis-jenis ikan laut ekonomis penting di Indonesia. Oseana 241:17-38. Gilanders BM. 2006. Seagrasses, Fish, and Fisheries. In Larkum AWD, Orth RJ. Duarte CM Eds, Seagrasses: Biology, Ecology, and Conservation, Springer, The Netherland. 503-536pp Gulland JA. 1974. Fish Stock Assessment. A Manual of Basic Methods. Wiley Series on Food Agriculture FAO. Volume 1: 241p. Gunarso W. 1996. Tingkah laku ikan dan set net. Diktat kuliah [tidak dipublikasikan]. Bogor: Departemen PSP Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. IPB. 64 hal.