juga didapatkan oleh Zainuddin 2011 di perairan Palopo dan sebelah timur Teluk Bone Perairan Kolaka.
Nilai salinitas di daerah lamun tidak berbeda dengan di mangrove, tetapi kedua daerah tersebut berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan di muara sungai
Tabel 8 Lampiran 12. Rendahnya salintas di muara sungai dikarenakan pada muara sungai dipengaruhi oleh daratan, dimana dari daratan masuk aliran air
tawar melalui sungai menuju muara sungai yang menyebabkan penurunan salinitas di daerah muara sungai tersebut, atau pada muara sungai terjadi proses
percampuran air tawar dari sungai. Salinitas yang tinggi di daerah mangrove dan lamun karena terletak di wilayah yang jauh dari muara sungai. Semakin jauh dari
muara sungai ke arah laut, salinitas akan bertambah Duxburry 2002. Sebaran
salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai Nontji 2005.
Kecepatan arus berbeda pada setiap stasiun. Kecepatan arus tertinggi dijumpai pada daerah muara sungai 0,26 mdetik Tabel 8 Lampiran 12. Hal
ini kemungkinan besar disebabkan besarnya arus yang mengalir karena derasnya aliran sungai yang masuk ke perairan muara sungai. Tidak jauh berbeda yang
didapatkan di perairan pantai Kabupaten Luwu yaitu 0,19 mdetik Andriani 2004. Namun relatif kuat yang didapatkan di Teluk Kotania pada pasang dan
surut masing-masing 0,7 mdetik Supriyadi 2009, di Selat Bangka yaitu lebih
dari 50 cmdetik Nurhayati 2007, dan di perairan Berau memiliki nilai tertinggi
adalah sebesar 115,3 cmdetik dan kecepatan arus permukaan terendah diperoleh nilai sebesar 5,4 cmdetik Aryawati 2007.
Nilai pH cenderung lebih rendah didapatkan di muara sungai karena adanya pengaruh masukan massa air tawar dari sistem sungai yang bermuara.
Tabel 8 Lampiran 12. Secara umum kisaran pH yang didapatkan yaitu 6,7-7,2 jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian Andriani 2004 di
perairan pantai Kabupaten Luwu Teluk Bone yaitu 8,0-8,1. Kisaran yang didapatkan selama penelitian masih menunjang kehidupan fitoplankton yaitu
berada pada kisaran 6,5-8,5 Prescod 1973. Lebih lanjut Sachlan 1982 bahwa fitoplankton dapat hidup subur pada pH 7-8 bilamana terdapat cukup mineral di
dalam perairan tersebut.
Nilai kandungan oksigen terlarut berbeda berdasarkan habitat. Kadar oksigen terlarut di daerah lamun berbeda dengan di muara sungai, tetapi kedua
daerah tersebut tidak berbeda nyata dengan di daerah mangrove Tabel 8. Kadar oksigen terlarut yang didapatkan di ketiga habitat berada pada kisaran 5,0-6,1 mll
Lampiran 12. Salmin 2005 mengemukakan bahwa perairan yang kadar oksigen terlarutnya DO 5 maka perairan tersebut tingkat pencemarannya rendah dan
bisa dikategorikan sebagai perairan yang baik. Kadar oksigen terlarut rata-rata yang didapatkan dalam penelitian ini tidak jauh berbeda dengan yang terdapat di
perairan Berau Kalimantan Timur berkisar antara 4,77–6,14 mll Aryawati 2007, di perairan pantai Kabupaten Pinrang Selat Makassar 3,8-8,7 ppm Umar 2009,
dan di Selat Makassar Kabupaten Barru berkisar antara 3,9-7,9 Hatta 2010. Kandungan nitrat berbeda setiap habitat. Kandungan nitrat di muara sungai
0,209 µgL lebih tinggi dibandingkan di daerah mangrove dan lamun. Rata-rata kandungan nitrat 0,175 µgL Tabel 8 Lampiran 12 secara umum di perairan
pantai Pitumpanua Teluk Bone sedikit lebih rendah ambang batas kebutuhan oftimal pertumbuhan fitoplankton. Sebagaimana yang dikemukakan oleh
Mackentum 1969 bahwa kadar nitrat yang dibutuhkan oleh fitoplankton laut adalah 0,203-0,790
µg–atl, bila kurang dari nilai tersebut maka menyebabkan nitrat sebagai faktor pembatas di perairan tersebut.
Rata-rata kandungan fosfat di habitat muara sungai dan mangrove 0,118 µgL dan 0,110 µgL lebih tinggi dibanding pada lamun Tabel 8 Lampiran
12. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena adanya masukan dari daratan. Nontji 1984 menyatakan bahwa kandungan fosfat di suatu perairan antara lain
dapat disebabkan karena masukan dari darat atau karena terjadinya pengayaan dari lapisan dalam, baik karena penaikan air maupun karena pengadukan. Lebih
lanjut dijelaskan pula bahwa proses penaikan air lebih banyak terjadi di perairan dalam sedangkan proses pengadukan lebih banyak berperan di perairan dangkal.
Nilai rata-rata kandungan fosfat yang ditemukan di lokasi penelitian masih kondisi yang normal baik. Hal ini diperkuat oleh Mackentum 1969 bahwa
kandungan fosfat yang baik bagi pertumbuhan fitoplankton adalah berkisar 0,09- 1,80
µgL dan ditambahkan oleh Sumardianto 1985 dalam Andriyani 2004 bahwa kandungan ortofosfat yang optimal bagi pertumbuhan fitoplankton adalah
0,27-5,51 µgL dan jika kurang dari 0,02 µgL maka akan menjadi faktor
pembatas. Rata-rata kandungan silikat 0,015
µgL di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone tidak menunjukkan adanya perbedaan, baik berdasarkan waktu
pengamatan maupun habitat Tabel 8 dan Lampiran 12. Menurut Cushing dan Walsh 1976 dalam Aryawati 2007 salah satu sumber silikat adalah buangan
dari darat melalui run off. Lebih lanjut Millero dan Sohn 1991 menerangkan bahwa pada dasarnya sumber silikat di laut sebagian besar merupakan hasil
pelapukan yang terbawa oleh aliran sungai. Hasil penelitian ini sama yang didapatkan di perairan pantai Kabupaten Luwu Teluk Bonen yaitu sebesar 0,011-
0,031 µgL Andriani 2004.
Kandungan klorofil-a di perairan pantai Pitumpanua menunjukkan nilai yang sangat fluktuatif dan heterogen. Kandungan klorofil-a di habitat muara
sungai dan lamun 0,835 dan 0,976 mgm
3
lebih tinggi dibandingkan di habitat mangrove 0,687 mgm
3
Tabel 8 Lampiran 12. Tinggi rendahnya kandungan klorofil-a di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone sangat berhubungan dengan
pasokan nutrien yang berasal dari darat melalui aliran sungai-sungai yang bermuara ke perairan tersebut. Afdal Riyono 2004 mempertegas bahwa tinggi
rendahnya kandungan klorophil-a di laut sangat dipengaruhi oleh faktor hidrolgi perairan suhu, salinitas, nitrat, dan fosfat. Pada kedalaman 0-50 m suhu,
salinitas, nitrat, dan fosfat tidak terlalu mempengaruhi kandungan klorofil-a, sedangkan pada kedalaman 100 m mempengaruhi.
Bila dibandingkan dengan kandungan klorofil di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone dengan perairan Barru Selat Makassar maka kandungan
klorofil-a di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone memiliki nilai yang lebih tinggi. Menurut Hatta 2010 kandungan klorofil-a di perairan Barru Selat
Makassar berkisar 0,015-0,383 mgm
3
dan menurut Alianto et al. 2008 kandungan klorofil-a di perairan Teluk Banten memiliki berkisar 0,069-0,303
mgm
3
. Tetapi apabila dibandingkan dengan kandungan klorofil-a di perairan Ujung Watu, Jepara; pantai Kartini, Jepara, dan Teluk Jakarta, nilai kandungan
klorofil-a di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone relatif lebih rendah. Di perairan Ujung Watu, Jepara kandungan rata-rata klorofil-a adalah sebesar 4,68
mgm
3
Sutomo et al. 1989. Kadar klorofil-a yang tinggi di perairan Indonesia umumnya disebabkan karena penyuburan yang terjadi akibat turbulensi atau
pengadukan air di daerah dangkal, aliran dari sungai-sungai run off ataupun
karena ”upwelling”.
Kelimpahan fitoplankton dan zooplankton di perairan pantai Pitumpanua berbeda secara signifikan berdasarkan waktu pengamatan dan habitat. Rata-rata
kelimpahan fitoplankton tertinggi selama penelitian di dapatkan di habitat lamun sebesar 13011 sell Tabel 8 Lampiran 12. Kelimpahan ini lebih tinggi
dibandingkan dengan yang didapatkan oleh Andriyani 2004 di perairan Bua Kabupaten Luwu Teluk Bone 4511 selliter dan yang didapatkan oleh Hatta
2010 di perairan Barru Selat Makassar yaitu berkisar 431-5438 selliter. Tingginya kelimpahan yang didapatkan kemungkinan disebabkan karena lokasi
pengambilan sampel berada pada daerah pantai yang tersedia banyak unsur hara yang dimanfaatkan oleh fitoplankton untuk pertumbuhan dan
perkembangbiakannya. Berbeda yang didapatkan oleh Djokosetiyanto Rahardjo 2006 di perairan pantai Dadap Teluk Jakarta yaitu 21955 selliter sangat jauh
lebih tinggi dibandingkan di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone. Sedangkan rata-rata kelimpahan tertinggi zooplankton di dapatkan di habitat muara sungai
yaitu sebesar 1010 indliter Tabel 8 Lampiran 12. Bila dibandingkan kelimpahan yang di dapatkan Thoha 2007 di Teluk Gilimanuk, Bali yang
mendapatkan kelimpahan zooplankton rata-rata 23938 indl, sangat jauh lebih rendah bila dibandingkan yang ditemukan di perairan pantai Pitumpanua Teluk
Bone. Kelimpahan zooplankton yang didapatkan selama penelitian berada pada kisaran yang didapatkan oleh Andriyani 2004 di Kabupaten Luwu Teluk Bone
yaitu 920-1227 indliter dengan rata-rata kelimpahan 1022 indliter.
5.4.2 Karakteristik Habitat
Hasil analisis PCA menunjukkan bahwa karakteristik di lokasi penelitian dicirikan oleh parameter DO, pH, salinitas, dan silikat cenderung lebih tinggi di
daerah sekitar mangrove dan lamun, sedangkan parameter kadar nitrat, fosfat, dan kecepatan arus cenderung lebih tinggi di daerah muara sungai Gambar 10 11.
Secara umum, kadar nitrat di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone memperlihatkan nilai yang tinggi di daerah muara sungai dibandingkan pada
daerah lamun dan sekitar mangrove. Hal ini bisa dimengerti karena lokasi ini dapat disebabkan kondisi sekitar muara sungai, dimana sepanjang pinggiran
sungai terdapat mangrove yang dapat menyumbangkan hara dari serasahnya yang membusuk mengalir ke muara sungai. Sesuai dengan pernyataan Wattayakorn
1988 bahwa kandungan nitrat di suatu daerah estuaria selain berasal dari perairan itu sendiri juga tergantung kepada keadaan sekelilingnya antara lain,
sumbangan dari daratan melalui sungai yang bermuara ke perairan tersebut, juga tergantung kepada hutan mangrove yang serasahnya membusuk, karena adanya
bakteri, terurai menjadi zat hara. Begitu juga dengan kandungan fosfat di muara sungai lebih tinggi dibanding dengan lamun dan mangrove, kemungkinan besar
oleh karena adanya masukan dari darat. Nontji 1984 mempertegas bahwa tingginya fosfat di muara karena proses pengadukan lebih banyak terjadi di
perairan dangkal. Alasan tersebut sejalan dengan kecepatan arus yang ditemukan di muara sungai juga tinggi. Tingginya kecepatan arus tersebut disebabkan karena
derasnya aliran sungai yang mengalir keluar masuk muara sungai sehingga terjadi pengadukan di muara sungai.
Parameter suhu, DO, pH, dan salinitas lebih tinggi ditemukan di daerah lamun dan sekitar mangrove Gambar 10 11. Tingginya kadar oksigen terlarut
DO kemungkinan disebabkan karena tingginya efek produksi fotosintesis dari lamun, begitupula halnya dengan nilai pH kemungkinan diakibatkan oleh
kurangnya proses penguraian bahan organik dibandingkan di muara sungai. Salinitas yang tinggi di lamun dan mangrove diakibatkan tidak adanya
percampuran air tawar yang bersalinitas rendah seperti pada di habitat muara sungai. Kandungan silikat secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata antara ketiga habitat tersebut α = 0,05, Lampiran 8.
6 KOMUNITAS IKAN DI HABITAT BERBEDA
6.1
PENDAHULUAN
Sero merupakan alat tangkap yang pengoperasiannya di daerah pantai. Sebagaimana kita ketahui bahwa pantai terdiri didalamnya beberapa ekosistem
seperti ekosistem estuaria muara sungai, mangrove, lamun, dan terumbu karang. Kesemua ekosistem tersebut sangat produktif hingga berfungsi sebagai daerah
pertumbuhan nursery ground bagi larva, post-larva dan juvenil dari berbagai jenis ikan, udang, dan kerang-kerangan, dan daerah penangkapan Dahuri 2003.
Bila dicermati secara seksama dengan keberadaan pengoperasian sero ini, tentunya sangat mempengaruhi keberadaan sumberdaya ikan bila tidak dikelola
dengan baik. Terlebih lagi ukuran mata jaring sero yang sangat kecil 0,5 cm yang digunakan di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone, tidak menutup
kemungkinan juvenil dan ikan-ikan yang belum matang gonad yang berada pada habitat tersebut ikut tertangkap.
Hasil tangkapan merupakan parameter yang menjadi bahan pertimbangan dalam memilih alat tangkap. Banyaknya hasil tangkapan sero sangat dipengaruhi
oleh berbagai faktor diantaranya kelimpahan ikan dalam perairan dan ukuran mata jaring. Kelimpahan ikan itu sendiri sangat ditentukan oleh habitat atau kondisi
daerah penangkapan. Pemasangan sero di perairan pantai Pitumpanua di muara sungai, mangrove, dan lamun banyak dijumpai jenis ikan yang tertangkap
menghuni ketiga habitat tersebut dan beruaya menurut umur dan waktu. Hal ini tentu berdampak pada hasil tangkapan sesuai dinamika perubahan kelimpahan
ikan pada masing-masing habitat, sehingga kajian hasil tangkapan sero sangat penting untuk dikaji.
Penelitian ini bertujuan untuk 1 mengetahui komposisi hasil tangkapan; 2 mengetahui kisaran ukuran panjang total ikan dan berat setiap jenis ikan;
3 membandingkan jumlah hasil tangkapan pada habitat berbeda; 4 menganalisis hubungan panjang-berat ikan pada habitat berbeda; 5 mengidentifikasi parameter
lingkungan yang berpengaruh terhadap biomassa hasil tangkapan; dan 6 menentukan asosiasi antara hasil tangkapan dominan dengan habitat.
6.2 METODE PENELITIAN
6.2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Pelaksanaan pengambilan sampel hasil tangkapan dilakukan selama 4 empat bulan, terhitung tanggal 15 Januari - 14 Mei 2011 selama 16 trip
penangkapan. Lokasi pengambilan sampel dilakukan di 3 tiga unit sero pada 3 tiga daerah penangkapan sero yang berbeda yaitu muara sungai, mangrove, dan
lamun di perairan pantai Pitumpanua Kabupaten Wajo, Teluk Bone.
6.2.2 Alat dan bahan
Alat dan bahan yang digunakan selama pengambilan data untuk analisis hasil tangkapan diantaranya perahu motor, sero, serok, global position system
gps, measuring board mistar, formalin 90, plastik sample, cool boxkulkas, timbangan analitik, kamera, buku identifikasi ikan, alat tulisdata sheet, dan alat
bantu lainnya.
6.2.3 Teknik Pengumpulan Data
Ikan yang tertangkap sero yang dioperasikan pada kondisi habitat berbeda muara sungai, mangrove, dan lamun diambil sebanyak 25 dari total hasil
tangkapan setiap unit sero. Ikan dipisahkan berdasarkan jenisnya. kemudian ikan diukur panjang total dengan measuring board atau mistar dan beratnya ditimbang
menggunakan timbangan. Panjang total diukur mulai dari ujung kepala terdepan sampai ujung bagian ekornya.
6.2.4 Analisis Data
6.2.4.1 Analisis perbandingan hasil tangkapan berdasarkan waktu dan habitat
Untuk membandingkan hasil tangkapan semua jenis ikan dominan tertangkap antara habitat dan waktu pengamatan maka digunakan analisis ragam
ANOVA, dengan rancangan percobaan adalah rancangan acak kelompok RAK. Perlakuan adalah tiga habitat muara sungai, mangrove, dan lamun.
Ulangan adalah 16 blok waktu penangkapan hasil tangkapan. Model matematis rancangan tersebut sebagai berikut:
Y
ij =
µ + H
i
+T
j
+ ε
ij
.....................................................................4 Dimana : i = 1, 2, 3 dan j = 1, 2, 3 .....16
Y
ij
= Respon pengamatan pada hasil tangkapan ke-i dan kelompok ke-j µ = Nilai rataan umum
H
i
= pengaruh hasil tangkapan ke-i habitat i = 1,2, dan 3; T
j
= pengaruh kelompok blok waktu penangkapan ke-j;
εijk
= Galat percobaan dari perlakuan ke-I dan kelompok ke-j. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam ANOVA.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak SPSS Release 15.0. Untuk membandingkan antar habitat yang berbeda jika hasil uji F
dalam ANOVA signifikan berbeda maka digunakan uji lanjut menggunakan uji beda rerata Tukey Tukey’s HSD Test Zar 1984 dan Petersen 1985.
6.2.4.2 Analisis hubungan panjang-berat
Hubungan panjang-berat dihitung dengan menggunakan analisis biometri Romimohtarto dan Juwana 2001. dengan mengacu pada persamaan eksponensial
yang dikemukakan oleh Teisser 1960 dan Carlander 1968 dalam Effendie 1997 :
W = aL
b
……………………………………………....…5 Dimana :
W = berat ikan gram a. b = konstanta
L = panjang total cm.
Nilai a dan b yang dihitung dari transformasi data ke dalam persamaan regresi linier. sehingga membentuk persamaan :
log W = log a + b log L …………………………………………… 6 Jika nilai b 3. maka pertumbuhan bersifat allometrik negatif. sedangkan
pola pertumbuhan bersifat allometrik positif dan isometrik apabila nilai b masing-masing b 3 dan b = 3 Effendie 1997.
6.3 HASIL PENELITIAN
6.3.1 Komposisi Jumlah dan Berat Hasil Tangkapan Sero
Jenis hasil tangkapan dominan pada alat tangkap sero di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone yaitu ikan pepetek Leiognathus splendens, baronang
lingkis Siganus canaliculatus, kerong-kerong Therapon jarbua, kuwe Caranx sexfaciatus, biji nangka Upeneaus sulphureus, baronang Siganus guttatus,
udang putih Peneaus margueinsis, lencam Lethrinus lentjam, barakuda Sphyraena sphyraena, kapas-kapas Gerres kapas, dan kepiting rajungan
Portunnus pelagicus. Komposisi jumlah hasil tangkapan sero selama penelitian di perairan
pantai Pitumpanua Teluk Bone paling banyak tertangkap ikan pepetek dan paling sedikit yaitu kepiting rajungan Tabel 9. Untuk komposisi berat hasil tangkapan
terbanyak yaitu ikan barakuda dan terkecil yaitu udang putih Tabel 10. Tabel 9 Komposisi jumlah hasil tangkapan sero berdasarkan jenis ikan setiap
habitat selama penelitian No Jenis
ikan Muara Sungai
Mangrove Lamun
Rata-rata 1
Pepetek 25,72 17,96
12,12 18,60
2 Baronang lingkis
9,60 12,89
17,11 13,20
3 Kerong-kerong 12,57
14,58 6,97
11,37 4
Kuwe 7,05 9,98
16,90 11,31
5 Biji nangka
10,13 6,60
9,54 8,76
6 Baronang 7,16
7,50 10,48
8,38 7
Udang putih 6,36
7,34 5,92
6,54 8
Lencam 4,72 6,44
7,68 6,28
9 Barakuda 6,79
7,29 3,95
6,01 10 Kapas-kapas 7,10
5,12 6,09
6,10 11 Kepiting rajungan
2,81 4,28
3,24 3,44
Tabel 10 Komposisi berat hasil tangkapan sero berdasarkan jenis ikan setiap habitat selama penelitian
No Jenis ikan
Muara Sungai Mangrove
Lamun Rata-rata
1 Barakuda 24,49
23,12 13,63
20,41 2
Kerong kerong 18,06
18,97 9,70
15,58 3
Baronang 13,18 11,81
18,12 14,37
4 B. Lingkis
7,08 12,51
18,68 12,76
5 Kuwe 6,35
7,73 11,23
8,43 6
Lencam 5,61 6,75
8,90 7,09
7 Biji nangka
7,32 4,15
6,09 5,85
8 Rajungan 3,58
4,64 4,33
4,18 9
Pepetek 6,27 3,58
2,49 4,11
10 Kapas-kapas 4,31 2,88
3,69 3,63
11 Udang putih 3,50
3,87 3,21
3,52 Total Presentase
100 100
100 100
6.3.2 Kisaran Berat dan Panjang Total Setiap Hasil Tangkapan Sero
Kisaran berat dan panjang total setiap hasil tangkapan sero hampir merata pada setiap habitat. Kisaran panjang total dan berat jenis ikan yang tertangkap di
perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone Tabel 11. Tabel 11 Kisaran berat dan panjang total setiap jenis hasil tangkapan sero di
perairan pantai Pitumpanua selama penelitian Jenis Ikan
Kisaran Berat gr
Kisaran Panjang cm
Lmat cm
Biji nangka 7-163
5,6-20,3 10,2
A
Baronang lingkis 13-164
5,9-25,7 17,0
B
Kerong-kerong 7-163 5,6-20,3
18,0
C
Lencam 15-217 8,3-20,8
18,2
D
Pepetek 5-102 6,0-23,2
9,0
E
Kapas-kapas 10-312 4,2-18,6
10,5
F
Kuwe 12-189 6,0-21,2
30,0
G
Baronang 41-393 8,0-23,5
21,0
H
Barakuda 30-380 11,8-55,0
17,3
I
Kepiting rajungan 23-171
6,0-15,2 9,5
J
Udang putih 6-95
5,0-16,8 15,2
K
Keterangan :
A
Martasuganda et al. 1991
B
Wassef Hady 1997
G
Tharwat Rahman 2006
C
Situ Sadovy 2004
H
Sutomo Juwana 1990
D
Krajangdara 2004
I
Allam et al. 2004
E
Pauly 1977 dalam Sjafei Saadah 2001
J
Jazayery et al. 2011
F
Sjafei Syaputra 2009
K
Machado et al. 2009
6.3.3 Jumlah dan Berat Hasil Tangkapan Berdasarkan Habitat dan Waktu
Penangkapan
Hasil tangkapan sero selama penelitian menunjukkan adanya variabilitas jumlah hasil tangkapan menurut jenis ikan Gambar 12. Disamping itu terlihat
bahwa ada jenis ikan yang jumlahnya tidak signifikan berbeda antar ketiga habitat. Hal ini menunjukkan bahwa jenis ikan tersebut bervariasi menurut ukuran
rata-rata antara habitat. Selain perbedaan antara habitat, jumlah, dan berat hasil tangkapan beberapa jenis ikan yang dominan tertangkap dengan sero juga berbeda
menurut waktu penangkapan. Analisis ragam ANOVA menyimpulkan bahwa semua jenis ikan yang
tertangkap berbeda menurut lokasi habitat tetapi tidak semua jenis ikan yang tertangkap berbeda berdasarkan waktu penangkapan. Kepiting rajungan yang
tertangkap tidak berbeda menurut habitat dan waktu penangkapan, sedangkan udang putih berbeda menurut lokasi dan berbeda menurut waktu penangkapan
Lampiran 14. Total jumlah hasil tangkapan kecuali kepiting dan udang berbeda menurut habitat dan tidak berbeda menurut waktu penanngkapan
Lampiran 14.
Gambar 12 Jumlah hasil tangkapan berdasarkan habitat dan waktu penangkapan selama penelitian.