PENDAHULUAN PENDAHULUAN Perikanan sero di Perairan Pantai Pitumpanua Kabupaten Wajo - Teluk Bone: suatu kajian ekologis

6.3.3 Jumlah dan Berat Hasil Tangkapan Berdasarkan Habitat dan Waktu

Penangkapan Hasil tangkapan sero selama penelitian menunjukkan adanya variabilitas jumlah hasil tangkapan menurut jenis ikan Gambar 12. Disamping itu terlihat bahwa ada jenis ikan yang jumlahnya tidak signifikan berbeda antar ketiga habitat. Hal ini menunjukkan bahwa jenis ikan tersebut bervariasi menurut ukuran rata-rata antara habitat. Selain perbedaan antara habitat, jumlah, dan berat hasil tangkapan beberapa jenis ikan yang dominan tertangkap dengan sero juga berbeda menurut waktu penangkapan. Analisis ragam ANOVA menyimpulkan bahwa semua jenis ikan yang tertangkap berbeda menurut lokasi habitat tetapi tidak semua jenis ikan yang tertangkap berbeda berdasarkan waktu penangkapan. Kepiting rajungan yang tertangkap tidak berbeda menurut habitat dan waktu penangkapan, sedangkan udang putih berbeda menurut lokasi dan berbeda menurut waktu penangkapan Lampiran 14. Total jumlah hasil tangkapan kecuali kepiting dan udang berbeda menurut habitat dan tidak berbeda menurut waktu penanngkapan Lampiran 14. Gambar 12 Jumlah hasil tangkapan berdasarkan habitat dan waktu penangkapan selama penelitian. Berat hasil tangkapan sero selama penelitian menunjukkan adanya variabilitas menurut jenis ikan Gambar 13. Analisis ragam menunjukkan bahwa berat hasil tangkapan semua jenis ikan berbeda menurut waktu penangkapan dan tidak semua jenis ikan berbeda menurut habitat α = 0,05, Lampiran 15. Analisis ragam Anova untuk total berat hasil tangkapan kecuali kepiting dan udang berbeda menurut habitat dan waktu penanngkapan α = 0,05, Lampiran 15. Gambar 13 Berat hasil tangkapan berdasarkan habitat dan waktu penangkapan selama penelitian

6.3.4 Hubungan Panjang-Berat Hasil Tangkapan

Analisis biometri menyimpulkan bahwa semua jenis hasil tangkapan pada 3 tiga habitat bersifat allometrik negatif. Artinya pertambahan panjang ikan tidak secepat dengan pertambahan beratnya Gambar 14 15 dan Lampiran 16. Gambar 14 Kurva hubungan panjang-berat jenis ikan biji nangka a, baronang lingkis b, kerong-kerong c, kapas-kapas d, lencam e, pepetek f, kuwe g, dan baronang h. Gambar 15 Kurva hubungan panjang-berat jenis ikan barakuda i, hubungan lebar karapas-berat rajungan j, hubungan panjang karapaks-berat udang putih k.

6.3.5 Hubungan Berat Hasil Tangkapan dengan Parameter Lingkungan

Berdasarkan hasil perhitungan regresi linier berganda antara berat hasil tangkapan setiap jenis ikan dengan parameter lingkungan Lampiran 17-26 maka didapatkan rangkuman yang menunjukkan hubungan antara berat ikan hasil tangkapan dengan parameter lingkungan dan yang dominan pengaruhnya seperti dirangkum dalam Tabel 12. Tabel 12 Parameter yang digunakan dalam regresi dan parameter yang dominan pengaruhnya serta besar koefisien determinasi R 2 yang didapatkan dalam hasil regresi antara berat hasil tangkapan dengan parameter lingkungan Jenis Ikan Parameter dlm Regresi Parameter berpengaruh Dominan R 2 Biji nangka Suhu, salinitas, pH, DO, arus dan klorofil a Klorofil a 0,519 Baronang lingkis Suhu, salinitas, pH, DO, arus, klorofil a, fito, dan zoo DO dan arus 0,639 Kerong-kerong Suhu, salinitas, pH, DO, arus, klorofil a, fito, dan zoo Zoo, salinitas, pH, dan klorofil a 0,667 Kapas-kapas Suhu, salinitas, pH, DO, arus, klorofil a, fito, dan zoo Suhu, DO, arus, dan klorofil a 0,623 Lencam Suhu, salinitas, pH, DO, arus, klorofil a, fito, dan zoo DO, arus, dan klorofil a 0,602 Pepetek - - - Kuwe Suhu, salinitas, DO, arus, dan fito Suhu, DO, arus, dan fito 0,445 Baronang - - - Barakuda - - - Total hasil tangkapan Suhu, pH, DO, arus, Klorofil a dan fito Suhu dan DO 0,499

6.3.6 Asosiasi antara Hasil Tangkapan Dominan dengan Habitat

Hasil analisis factorial correspondence analiss FCA menunjukkan bahwa terdapat asosiasi antara jenis ikan dengan habitat dan waktu tertentu. Berdasarkan perhitungan didapatkan bahwa 87,47 keragaman terjelaskan dalam 3 sumbu utama pertama dengan akar ciri secara berurut masing-masing 0,076, 0,034 dan 0,015 Tabel 13 Lampiran 27. Habitat lamun berkontribusi cukup besar dalam pembentukan sumbu utama 1 sedangkan mangrove dan muara sungai berkontribusi besar dalam membetuk sumbu utama 2 positif dan negatif. Plot jenis ikan dan habitat per waktu pengamatan menunjukkan bahwa ikan biji nangka, baronang, baronang lingkis, kerong-kerong, barakuda, dan kuwe lebih berasosiasi dengan habitat lamun. Ikan lencam, kapas-kapas, dan pepetek lebih berasosiasi dengan habitat dekat mangrove sedangkan udang dan rajungan berasosiasi dengan muara sungai Gambar 16, 17 18. Tabel 13 Hasil analisis factorial correspondence analiss FCA menunjukkan bahwa terdapat asosiasi antara jenis ikan dengan habitat selama penelitian F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8 F9 F10 Eigenvalue 0,076 0,034 0,015 0,009 0,005 0,002 0,001 0,000 0,000 0,000 Inertia 52,922 23,989 10,554 6,626 3,432 1,417 0,678 0,334 0,028 0,019 Cumulative 52,922 76,911 87,465 94,091 97,523 98,940 99,618 99,952 99,981 100,000 Gambar 16 Plot stasiun dan waktu pengamatan pada sumbu FCA 1 dan 2. Gambar 17 Plot jenis ikan pada sumbu FCA 1 dan 2. Gambar 18 Konfigurasi tiga komponen utama untuk asosiasi antara jenis hasil tangkapan dan habitat di lokasi pemasangan sero di Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo selama penelitian. Asosiasi antara habitat dan jenis ikan yang dihitung berdasarkan biomassa hasil tangkapan Gambar 17 18 hal tersebut terjadi karena setiap jenis ikan memiliki toleransi dan preverensi terhadap parameter lingkungan tertentu. Kondisi optimal paramater lingkungan bagi ikan dan makanan setiap jenis ikan yang berbeda antara jenis ikan dan perbedaan parameter lingkungan yang terjadi pada setiap habitat dapat terjadi secara simultan dengan terjadinya perubahan ukuran ikan. Demikian pula dengan perbedaan kebiasaan makanan dan pengaruh parameter lingkungan terhadap jenis makanan masing-masing spesies dapat menyebabkan perbedaan dan perubahan preverensi habitat bukan saja antar spesies tetapi antar ukuran berbeda dalam spesies yang sama.

6.4 PEMBAHASAN

6.4.1 Komposisi Jumlah dan Berat Hasil Tangkapan

Jenis ikan yang tertangkap dengan sero selama penelitian nampak bahwa jenis ikan pepetek, baronang lingkis, kerong-kerong, kuwe, biji nangka, dan baronang yang banyak tertangkap dan hampir merata di semua habitat Tabel 9. Hal ini disebabkan karena jenis ikan ini memang menghuni habitat muara sungai, mangrove, dan lamun. Sebagian besar jenis hasil tangkapan tersebut tergolong jenis ikan-ikan demersal kecil yang bernilai ekonomis penting Boer et al. 2001. Jenis ikan pelagis yang tertangkap hanya ikan barakuda. Kemungkinan jenis ini mengejar mangsanya kemana-mana sehingga ikut tertangkap pada alat tangkap, karena diketahui bahwa ikan barakuda tergolong ikan omnivor dan karnivor. Ikan barakuda yang tertangkap di perairan pantai Pitumpanua dengan alat tangkap sero memiliki volume yang tinggi. Berbeda yang ditemukan di perairan Kabupaten Barru Selat Makassar dengan alat tangkap bagan rambo, jenis ikan ini ditemukan relatif sedikit Hatta 2010. Hal ini diduga karena pada alat tangkap sero waktu tenggang pengangkatan alat tangkap sero hauling cukup lama dibandingkan bagan rambo, sehingga diduga bahwa ikan barakuda dengan leluasa mencari makan dalam bunuhan, dengan terperangkapnya pada bunuhan menyulitkan untuk meloloskan diri melalui pintu bunuhan sero. Jenis krustasea yang dominan tertangkap yaitu kepiting rajungan dan udang putih. Tertangkapnya kedua jenis krustasea tersebut disebabkan karena rajungan dan udang putih secara ekologis hidup bersama-sama dan berinteraksi dalam satu ruang ekosistem dengan ikan pada daerah pantai. Diketahui bahwa udang putih dan rajungan sebagian daur hidupnya berada di daerah pesisir pantai seperti estuaria dan sebagian di laut Saputra Subiyanto 2007; Suharyanto Tjaronge 2009. Lebih lanjut dipertegas Pasquier P ẻrez 2004 bahwa keberadaan hidupnya pada masa juvenile di pantai atau estuaria dan dewasa bermigrasi ke laut terbuka. Banyaknya hasil tangkapan ikan demersal pada alat tangkap sero karena pengoperasian sero berada pada perairan dangkal. Hal ini diperkuat oleh pernyataan oleh Widodo dan Suadi 2008 bahwa perairan dangkal dengan kedalaman kurang dari 100 meter dengan dasar perairan yang berlumpur serta relatif datar merupakan daerah penangkapan demersal yang baik. Dipertegas Yusof 2002 bahwa pada kedalaman perairan yang kurang dari 80 m didominasi oleh ikan demersal 95,40 dari total hasil tangkapan, lebih lanjut mengatakan bahwa perairan 5-18 meter di perairan Peninsular Malaysia tertangkap 62-89 jenis ikan demersal. Berat hasil tangkapan yang terbanyak selama penelitian yaitu ikan barakuda, kerong-kerong, baronang, baronang lingkis, kuwe, dan lencam Tabel 10. Urutan komposisi berat tersebut lebih disebabkan karena faktor ukuran jenis ikan tersebut, dimana jenis ikan yang mempunyai ukuran lebih besar memiliki komposisi berat yang lebih berat dibanding dengan jenis ikan yang ukurannya lebih kecil, walaupun jumlah hasil tangkapannya lebih sedikit dibanding ikan-ikan yang berukuran lebih kecil seperti pepetek, biji nangka, dan kapas-kapas. Penelitian yang di lakukan Pujiyati 2008 justru jenis ikan pepetek merupakan berat hasil tangkapan yang paling banyak ditemukan di Laut Jawa dengan alat tangkap bottom mini trawl yaitu 90,70 kg pada kedalaman 40 m. Kemungkinan disebabkan kedalaman daerah penangkapan yang berbeda, karena di perairan pantai Pitumpanua kedalaman daerah penangkapan sero hanya sekitar 8-15 m, sehingga beragam jenis ikan demersal yang tertangkap. Hal ini diperkuat pernyataan Pujiyati 2008 berdasarkan hasil penelitiannya bahwa densitas ikan demersal menyukai daerah dangkal, semakin dalam perairan densitas ikan demersal semakin rendah. Begitu pula hasil penelitian Soadiq 2010 menemukan pepetek sebagai hasil tangkapan terbanyak di perairan Selayar dengan alat tangkap fyke net. Komposisi berat ikan baronang yang tertangkap di perairan pantai Pitumpanua yaitu rata-rata 14,37. Tingginya persentase ini kemungkinan disebabkan karena ikan baronang di daerah ini secara ekologis lebih mendukung kelangsungan hidupnya. Hal ini dipertegas oleh Kurnia 2003 dalam penelitian di tempat sama dengan alat tangkap bubu yaitu ternyata ikan baronang memiliki berat hasil tangkapan yang lebih besar dibanding dengan ikan lainnya. Hasil tangkapan seperti ikan pepetek, biji nangka, kapas-kapas, kepiting rajungan, dan udang putih memiliki persentase berat hasil tangkapan yang kecil. Kecilnya persentase komposisi berat hasil tangkapan bukan berarti bahwa jenis hasil tangkapan ini dari segi jumlah hasil tangkapan lebih sedikit dengan lainnya, bahkan jenis hasil tangkapan ini frekuensi kemunculan tertangkap lebih besar. Hal sama yang diungkapkan oleh Imron 2008 bahwa jenis ikan-ikan demersal yang kontinyu tertangkap di perairan Tegal Jawa Tengah dengan alat tangkap dogolcantrang dan jaring arad yaitu ditemukan 8 delapan jenis ikan demersal seperti pepetek, biji nangka, dan udang yang juga ditemukan di perairan pantai Pitumpanua. 6.4.2 Kisaran Panjang Total dan Berat Setiap Jenis Ikan Kisaran panjang total ikan biji nangka yang tertangkap di perairan pantai Pitumpanua yaitu 5,6-20 cm Tabel 11. Kisaran tersebut lebih besar yang didapatkan perairan Demak yaitu antara 8-30 cm dengan modus panjang yaitu 16,2 cm Saputra et al. 2009. Begitupula kisaran yang ditemukan di perairan Terengganu Peninsular, Malaysia juga lebih besar yaitu 22,8-24,3 cm Rahardjo 1997. Kisaran yang ditemukan hampir sama di lokasi penelitian yaitu di perairan Andhara-Oissa yaitu 9,1-17,7 cm Reuben et al. 1992. Ukuran yang ditemukan di Brondong Jawa Timur dengan alat tangkap danish seine yaitu 13,3 cm. Tidak berbeda jauh juga yang ditemukan oleh Ernawati dan Sumiono 2006 di perairan Selat Makassar yaitu 5,0-17,0 cm. Begitupula halnya yang ditemukan di Teluk Palu dengan menggunakan pukat pantai yaitu 9,1 cm. Hal ini memberikan indikasi bahwa ukuran-ukuran tersebut sangat dipengaruhi oleh lokasi daerah penangkapan, dimana daerah penangkapan yang berdekatan memiliki kisaran yang hampir sama. Kisaran-kisaran tersebut sudah sesuai yang dikemukakan oleh Genisa 1999 bahwa kisaran ikan biji nangka umumnya tertangkap yaitu 15 cm. Ikan baronang lingkis yang tertangkap di daerah perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone yaitu 5,9-25,7 cm. Kisaran tersebut lebih banyak tertangkap pada ukuran kecil sampai sedang. Penelitian ini sejalan yang ditemukan oleh Jalil et al. 2003 bahwa ikan baronang lingkis tertangkap di perairan Kecamatan Bua Kabupaten Luwu Teluk Bone memiliki kisaran 6,2-22,0 cm dan kisaran tersebut lebih banyak tertangkap pada kisaran kecil sampai sedang. Kemiripan kisaran tersebut dikarenakan karena daerah penangkapannya satu wilayah yaitu Teluk Bone. Ikan kerong-kerong yang tertangkap yaitu pada kisaran 5,6-20,3 cm. Kisaran ini hampir sama dikemukakan oleh Subani 1990 bahwa umumnya tertangkap di perairan Indonesia pada kisaran 5,0-25,0 cm. Kisaran hampir sama juga didapatkan di pantai selatan laut India yaitu 8,0-19,0 cm, dan yang ditemukan di Teluk Rayong, Thailand yaitu 9,6-28, cm www.fishbase.org. Senada yang dikemukakan oleh Marwoto et al. 2006 bahwa jenis ikan kerong- kerong yang tertangkap dengan jaring arad di perairan pantai Cilacap yaitu pada kisaran panjang 6,6-20,6 cm. Bisa dikatakan bahwa jenis ikan ini ukurannya hampir sama diberbagai daerah. Kisaran panjang total ikan Kapas-kapas yang tertangkap di perairan Pitumpanua Teluk Bone yaitu 4,2-18,6 cm. Kisaran ini sangat jauh berbeda yang didapatkan pada penelitian tahun 2005 di lokasi yang sama yaitu tertangkap pada kisaran 3,0-23,5 cm Tenriware 2005. Bisa disimpulkan bahwa selama 5 lima tahun terakhir ini, jenis ikan kapas-kapas yang berukuran di atas 20 cm sudah habis tertangkap di lokasi tersebut. Kisaran ukuran panjang ikan yang ditemukan jauh lebih kecil yang didapatkan di perairan pantai Mayangan, Jawa Barat yaitu 9,5-14,0 cm untuk jantan dan 10,2-16,5 cm untuk betina Sjafei dan Syaputra 2009. Sejalan yang dikemukakan oleh Genisa 1999 bahwa ukuran ikan kapas- kapas umumnya tertangkap pada ukuran panjang total 15 cm dan jenis ikan ini bisa mencapai pada ukuran 25 cm. Ikan lencam atau bisa dikenal katamba tertangkap pada kisaran 8,3-20,0 cm. Ukuran ini sangat kecil bila dibandingkan yang dikemukakan oleh Genisa 1999 bahwa pada umumnya jenis ikan ini tertangkapa pada kisaran 25-35 cm. Tahun 2005 di perairan pantai Pitumpanua masih ditemukan ukuran panjang maksimun yaitu 25,9 cm Tenriware 2005. Hal memberikan gambaran bahwa jenis ikan lencam di lokasi tersebut semakin hari ukuran semakin kecil yang tertangkap. Ikan pepetek atau peperek cina tertangkap pada kisaran 6,0-23,2 cm. Diduga bahwa jenis ikan ini merajai perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone. Dugaan ini berdasarkan hasil tangkapan yang didapatkan yaitu paling banyak tertangkap dan penelitian sebelumnya pada tahun 2005 ukuran jenis ikan ini hanya tertangkap pada kisaran 3,4-17,4 cm, namun pada saat ini kisarannya lebih besar dari sebelumnya. Kemungkinan pertumbuhan dan perkembangbiakan jenis ikan ini lebih cepat. Pernyataan ini didukung oleh Pauly 1977 bahwa jenis ikan tersebut berkembang biak dengan pesat karena jenis ikan ini terhindar dari pemangsa karena keseluruhan tubuh pepetek menghasilkan cahaya, dimana cahaya ini dilepaskan pada siang hari ke arah bawah berupa cahaya difusi yang cenderung memecah bayangan dirinya menjadi tidak utuh, akibatnya pemangsa potensial tidak dapat melihat nyata mangsanya dalam hal ini pepetek. Ikan kuwe yang tertangkap di perairan pantai Pitumpanua kisaran ukuran panjangnya masih sangat kecil yaitu 6,0-21,2 cm. Kisaran tersebut jauh lebih kecil yang dikemukakan oleh Genisa 1999 bahwa jenis ikan ini umumnya tertangkap pada ukuran panjang total 50 cm dan bisa mencapai pada ukuran 75 cm. Seperti yang ditemukan di perairan Teluk Arab dengan alat tangkap trap ukuran kecil ikan kuwe Caranx sexfaciatus didapatkan pada panjang 34 cm, sedangkan pada alat tangkap trap ukuran besar didapatkan panjang 50 cm Tharwat dan Rahman 2006. Ikan baronang tertangkap pada kisaran 8,0-23,5 cm. Kisaran ini jauh lebih kecil yang didapatkan di perairan Pulau Pari, wilayah Pulau-pulau Seribu yaitu 14,0-21,0 cm Sutomo dan Juwana 1990. Tidak berbeda jauh yang dikemukakan oleh Genisa 1999 bahwa jenis ikan ini umumnya tertangkapa pada ukuran 20 cm dan bisa mencapai panjang 35 cm. Ikan barakuda tertangkap pada kisaran 11,8- 55,0 cm. Kisaran ini hampir sama yang dikemukan oleh Genisa 1999 bahwa umumnya tertangkap pada panjang 40-60 cm dan bisa mencapai 100 cm. Kisaran tersebut sangat jauh berbeda yang ditemukan oleh Allam et al. 2004 di perairan Mediterania yaitu Sphyraena chrysotaenia 13-27 cm, S. flavicauda 17-41 cm, dan S. sphyraena 16-44 cm. Kemungkinan disebabkan karena kondisi iklim yang berbeda dan daerah penangkapan. Kepiting rajungan tertangkap pada kisaran lebar karapaks yaitu 6,0-15,2 cm. Kisaran ini hampir sama yang didapatkan di Pantai Khuzestan, Teluk Persia yaitu dari kisaran 8,0-17,9 cm Jazayeri et al. 2011. Kisaran ukuran yang didapatkan masih jauh lebih besar bila dibandingkan di Tanzania dengan ukuran terkecil 1,5 cm dan ukuran terbesarnya yaitu 11,5 cm Chande dan Mgaya 2003. Adanya perbedaan kisaran ukuran yang sangat mencolok, kemungkinan disebabkan karena disetiap wilayah mempunyai rajungan yang berbeda baik itu secara morfologi, genetik, dan ukurannya Lai et al. 2010. Kisaran panjang karapaks udang putih yang tertangkap di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone yaitu 5,0-16,8 cm. Kisaran panjang ini tidak berbeda jauh yang telah didapatkan di sekitar Perairan Semarang dengan menggunakan alat tangkap jaring arad baby trawl yaitu Pramonowibowo et al. 2007.

6.4.3 Jumlah dan Berat Hasil Tangkapan Berdasarkan Habitat dan Waktu

Penangkapan Jumlah dan berat hasil tangkapan ikan biji nangka yang tertangkap di perairan pantai Pitumpanua berbeda menurut habitatlokasi penangkapan tetapi waktu penangkapan tidak menunjukkan adanya perbedaan. Jumlah yang tertangkap pada daerah mangrove lebih sedikit di lamun sedangkan di muara sungai tidak menunjukkan adanya perbedaan hasil tangkapan pada dua lokasi lainnya. Sementara berat hasil tangkapan di muara sungai dan muara sungai lebih sedikit dibanding pada lamun. Hal ini menunjukkan bahwa ikan biji nangka pada daerah lamun variabilitas ukurannya lebih kecil dan jumlahnya lebih sedikit. Tidak berbeda waktu penangkapan memberikan gambaran bahwa jenis ikan ini tertangkap sepanjang tahun. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Imron 2008 bahwa salah satu ikan yang kontinyu tertangkap di perairan Tegal Jawa Tengah yaitu ikan kuniran biji nangka. Seperti halnya yang ditemukan di perairan Selat Makassar salah satu jenis ikan kuniran yang lebih dominan tertangkap yaitu Upeneaus sulphureus dibandingkan ikan kuniran jenis lainnya seperti U. vittatus, U. tragula, U. bensasi, U. sundaicus, dan U. moluccensis Ernawati dan Sumiono 2006 Ikan baronang lingkis yang tertangkap berbeda menurut habitatlokasi dan waktu penangkapan berdasarkan jumlah maupun berat hasil tangkapan. Jumlah hasil tangkapan pada muara sungai dan mangrove lebih sedikit dibandingkan pada daerah lamun, sementara berat hasil tangkapan berbeda dari ketiga habitat tersebut muara sungai mangrove lamun. Artinya berat hasil tangkapan terbanyak pada daerah lamun dibandingkan kedua habitat tersebut, begitujuga dengan jumlah hasil tangkapannya. Kuat dugaan bahwa dengan beratnya hasil tangkapan di habitat kemungkinan disebabkan jenis ikan termasuk kedalam kelompok ikan herbivora yang makanannya adalah alga, sehingga kondisi ekologisnya sangat mendukung dibandingkan dengan kedua habitat lainnya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Tuwo 2011 bahwa salah satu jenis ikan di daerah lamun yaitu Siganus spp memanfaatkan lamun sebagai tempat berlindung, memijah dan mengasuh anaknya, dan sebagai tempat mencari makan. Ikan kerong-kerong yang tertangkap berbeda menurut habitatlokasi dan waktu penangkapan berdasarkan jumlah dan berat hasil tangkapan. Jumlah hasil tangkapan pada muara sungai dan mangrove lebih banyak dibanding di lamun, namun berat hasil tangkapan lebih banyak di daerah muara sungai dibandingkan kedua habitat lainnya. Diduga jenis ikan kerong-kerong bisa beradaptasi di daerah estuari dan toleran pada salinitas rendah. Hal ini diperkuat penelitian Muchlisin dan Azizah 2010 bahwa salah satu jenis ikan yang tertangkap di sungai-sungai di perairan Aceh yaitu ikan kerong-kerong. Jumlah dan berat hasil tangkapan ikan kapas-kapas yang tertangkap selama penelitian berbeda menurut habitatlokasi dan waktu penangkapan. Jumlah hasil tangkapan pada muara sungai dan lamun lebih besar dibanding pada mangrove, sementara berat hasil tangkapan pada mangrove dan muara sungai lebih sedikit dibanding di habitat lamun. Walaupun hasil tangkapan lebih banyak di lamun dibandingkan mangrove, tetapi tidak menjamin berat hasil tangkapan yang lebih banyak, ini menandakan bahwa ukuran ikan kapas-kapas pada habitat lamun lebih kecil dibanding pada kedua habitat lainnya. Banyaknya hasil tangkapan di daerah estuaria diduga jenis ikan kapas-kapas lebih menyukai perairan yang air lebih sedikit tawar. Hal dibuktikan oleh Muchlisin dan Azizah 2010 bahwa ikan dari famili Gerreidae tertangkap di muara-muara sungai di perairan Aceh. Seperti halnya juga tertangkap di perairan sekitar hutan lindung Angke Kapuk Novanistati 2001 dalam Sjafei dan Syaputra 2009. Jumlah dan berat hasil tangkapan ikan lencam yang tertangkap berbeda menurut habitatlokasi dan waktu penangkapan. Jumlah hasil tangkapan di muara sungai lebih sedikit dibanding di lamun, sedangkan di mangrove tidak ada perbedaan jumlah hasil tangkapan dari kedua habitat tersebut. Berat hasil tangkapan di muara sungai dan mangrove lebih banyak dibanding di lamun. Kondisi seperti ini menujukkan bahwa keberadaan ikan lencam di lamun kebanyakan ikan-ikan yang masih mudah atau juvenil berukuran kecil. Jumlah hasil tangkapan ikan pepetek berbeda menurut habitatlokasi tapi tidak berbeda menurut waktu penangkapan. Sementara berat hasil tangkapan berbanding terbalik yaitu berbeda menurut waktu dan tidak berbeda menurut lokasi. Artinya ikan pepetek yang tertangkap dengan jumlah berbeda dari setiap habitat tidak menunjukkan adanya perbedaan berat di setiap habitat walaupun waktu penangkapan yang berbeda, sehingga bisa disimpulkan bahwa jenis ikan ini mempunyai variabilitas ukuran berat tidak berbeda setiap lokasi, tetapi variasi jumlah setiap lokasi yang berbeda, walaupun jumlah hasil tangkapan ikan pepetek lebih banyak didapatkan di muara sungai dibanding kedua habitat tersebut. Jumlah hasil tangkapan ikan kuwe berbeda menurut habitatlokasi tetapi tidak berbeda menurut waktu penangkapan. Berat hasil tangkapan berbeda menurut waktu tetapi tidak berbeda habitatlokasi. Jumlah hasil tangkapan pada muara sungai lebih sedikit dibanding di mangrove, sedangkan di lamun tidak menunjukkan adanya perbedaan di kedua habitat tersebut. Walaupun dari segi perbedaan jumlah hasil tangkapan terjadi pada habitat tertentu tetapi berat hasil tangkapan tidak mempengaruhi di setiap habitat. Indikasi ini menunjukkan bahwa pada daerah mangrove jenis ikan ini banyak ditemukan dibanding di kedua habitat, namun ukuran berat seiap jenis ikan lebih kecil dibanding habitat lainnya. Hal inilah menunjukkan adanya variasi ukuran berat setiap habitat. Jumlah dan berat hasil tangkapan ikan baronang yang tertangkap berbeda menurut habitatlokasi dan waktu penangkapan. Jumlah dan berat hasil tangkapan pada muara sungai lebih sedikit dibanding di lamun, sedangkan di mangrove tidak menunjukkan adanya perbedaan di kedua habitat tersebut. Jumlah dan berat hasil tangkapan ikan barakuda yang tertangkap berbeda menurut habitatlokasi dan waktu penangkapan. Jumlah tangkapan ikan barakuda lebih sedikit dibanding di mangrove, sedangkan di muara tidak menunjukkan adanya perbedaan kedua habitat tersebut. Berat hasil tangkapan menunjukkan bahwa pada muara sungai lebih sedikit dibanding di lamun, sedangkan di mangrove tidak berbeda keduanya. Artinya ikan barakuda di habitat lamun mempunyai ukuran berat yang lebih kecil dibanding di habitat lainnya dan jumlahnya lebih sedikit. Kepiting rajungan yang tertangkap tidak menunjukkan perbedaan jumlah hasil tangkapan berdasarkan habitatlokasi dan waktu penangkapan. Sementara berat hasil tangkapan berbeda menurut waktu dan lokasi penangkapan. Artinya berat kepiting yang tertangkap berbeda menurut habitat walaupun jumlah kepiting sama pada setiap habitat. Kemungkinan hal ini disebabkan karena pada habitat tertentu mempunyai ketersediaan makanan yang cukup sehingga bobot atau berat kepiting lebih besar dibanding pada habitat lainnnya. Terlihat bahwa pada muara sungai berat kepiting rajungan lebih berat dibanding kedua habitat lainnya. Udang putih yang tertangkap tidak menunjukkan adanya perbedaan jumlah hasil tangkapan berdasarkan habitatlokasi tetapi berbeda menurut waktu penangkapan. Berat hasil tangkapan berbeda menurut habitat dan waktu penangkapan. Artinya walaupun penangkapan udang dilakukan waktu yang berbeda tetapi tidak menunjukkan adanya perbedaan jumlah tangkapan, tetapi berdasarkan berat berbeda pada setiap habitat. Hal ini menunjukkan adanya variasi berat udang putih pada ketiga habitat. Dimana berat udang putih yang tertangkap di muara sungai lebih banyak dibanding kedua habitat lainnya. Kemungkinan hal ini disebabkan karena udang yang tertangkap di mangrove adalah udang-udang yang sudah berukuran besar karena sebagaimana kita ketahui bahwa udang memijah di sekitar hutan bakau atau mangrove. Berdasarkan total jumlah hasil tangkapan ikan selain kepiting dan udang yang tertangkap berbeda menurut waktu penangkapan tetapi tidak berbeda menurut habitatlokasi. Sementara berat total hasil tangkapan ikan berbeda menurut habitatlokasi dan waktu penangkapan. Artinya waktu penangkapan tidak mempengaruhi total jumlah hasil tangkapan, sedangkan waktu yang berbeda mempengaruhi total berat hasil tangkapan setiap habitat. Dimana berat total hasil tangkapan di mangrove lebih banyak dibanding di lamun, sedangkan di muara sungai tidak berbeda dari kedua habitat tersebut. Jumlah dan berat total hasil tangkapan berdasarkan waktu penangkapan terlihat bahwa jumlah hasil tangkapan cenderung berfluktuasi selama penelitian Gambar 12 13. Dimana jumlah hasil tangkapan pada akhir bulan Januari mulai menurun sampai pada awal Februari, dan kembali terjadi peningkatan jumlah dan berat total hasil tangkapan mulai akhir Februari sampai awal April, dan kembali menurun pada pertengahan April. Berfluktuasinya hasil tangkapan sero selama penelitian memberikan ilustrasi bahwa musim penangkapan ikan dengan alat tangkap sero di perairan pantai Pitumpanua mulai bulan Januari – April, dengan puncak penangkapan pada bulan Maret sampai pertengahan April. Hal ini didukung penelitian Budiman et al. 2006 bahwa penangkapan ikan demersal di pesisir Kendal dengan alat tangkap cantrang terjadi musim penangkapan pada bulan Januari, Maret, April, dan puncak musim terjadi pada bulan Maret – April. Terjadinya fluktuasi hasil tangkapan kemungkinan lebih cenderung dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan. Hal ini terkait dengan pola kehidupan ikan yang tidak bisa dipisahkan dengan adanya berbagai faktor lingkungan Luasunaung et al. 2008 lebih lanjut bahwa faktor fisik yang paling berpengaruh keberadaan sumberdaya ikan adalah suhu dan salinitas. Laevastu dan Hayes 1982 dalam Luasunaung et al. 2008 adanya perubahan baik suhu maupun salinitas akan mempengaruhi keadaan organisme di suatu perairan. Marwoto et al. 2006 mengatakan bahwa distribusi ikan di laut sangat ditentukan oleh faktor internal dan eksternal dari lingkungan diantaranya parameter oseanografis seperti suhu, salinitas, densitas dan kedalaman, lapisan termoklin, arus dan sirkulasi massa air, oksigen serta kelimpahan makanan. Hasil tangkapan di daerah lamun lebih banyak dibanding di muara sungai dan mangrove. Hal ini kemungkinan karena pada daerah lamun memiliki produktivitas sekunder dan dukungan yang besar terhadap kelimpahan dan keragaman ikan Gilanders 2006 sehingga padang lamun merupakan tempat berbagai jenis ikan berlindung, mencari makan, bertelur, dan membesarkan anaknya. Sejalan yang dikemukan oleh Bell dan Pollard 1989 dalam Rappe 2010 mengindentifikasi karakteristik utama kumpulan ikan yang berasosiasi dengan lamun dikatakan bahwa : 1 keanekaragaman dan kelimpahan ikan di padang lamun biasanya lebih tinggi daripada substrat kosong, 2 sebagian besar asosiasi ikan dengan padang lamun didapatkan dari plankton sehingga padang lamun adalah daerah asuhan untuk banyak spesies, 3 zooplankton dan epifauna krustasean adalah makanan utama ikan yang berasosiasi dengan lamun, dengan tumbuhan, pengurai, dan komponen infauna dari jaring-jaring makanan di lamun yang dimanfaatkan oleh ikan, 5 hubungan yang kuat terjadi antara padang lamun dan habitat yang berbatasan, kelimpahan relatif dan komposisi spesies ikan di padang lamun menjadi tergantung pada pada tipe terumbu karang, estuaria, mangrove dan jarak dari habitat yang terdekat.

6.4.4 Hubungan Panjang-Berat Hasil Tangkapan

Analisis biometri menyimpulkan bahwa semua jenis hasil tangkapan pada 3 tiga habitat bersifat allometrik negatif. Artinya pertambahan panjang ikan tidak secepat dengan pertambahan beratnya Gambar 14 15, Lampiran 16. Jenis hasil tangkapan yang menghampiri nilai b = 3 yaitu ikan biji nangka dan jenis ikan yang memiliki nilai b paling kecil yaitu ikan baronang lingkis. Hasil analisis biometri menunjukkan bahwa jenis ikan biji nangka, baronang lingkis, lencam, kuwe, dan baronang memiliki nilai b pada habitat lamun lebih tinggi bila dibandingkan dengan kedua habitat lainnya. Kemungkinan disebabkan karena pada daerah lamun cukup tersedia sumber makanan, sehingga tidak salah bila dikatakan bahwa daerah lamun sebagai tempat mencari makanan bagi ikan atau biota lainnya yang berasosiasi dengannya. Jenis ikan tersebut merupakan ikan-ikan karang. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Soadiq 2010 bahwa ikan- ikan karang yang tertangkap dengan fyke net di sekitar karang seperti famili Serranidae, Lethrinidae, Lutjanidae, Mullidae, Nemipteridae, Plotoseidae, dan Haemulidae diduga tertangkap karena sifat ini bermigrasi keluar karang secara horizontal untuk mencari makanan . Hubungan panjang-berat ikan kuniran yang ditemukan di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone di habitat lamun tidak berbeda jauh yang ditemukan di perairan Demak yaitu allometrik negatif dengan nilai b = 2,918 Saputra et al. 2009. Nilai b tersebut menghampiri nilai b = 3, artinya pertumbuhan panjang ikan kuniran di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone hampir seimbang dengan pertumbuhan berat tubuhnya. Berbeda yang ditemukan oleh Sjafei Susilawati 2001 pertumbuhan ikan biji nangka yang didapatkan bersifat isometrik. Ikan- ikan lainnya yang didapatkan di perairan pantai Pitumpanua mempunyai nilai b jauh lebih kecil dari nilai 3. Hal ini bisa dijelaskan bahwa pertumbuhan ikan kurus atau pertumbuhan panjang lebih cepat dibanding beratnya. Ikan kapas-kapas, pepetek, kerong-kerong, barakuda, dan udang putih mempunyai nilai b yang hampir seragam sama pada ketiga habitat. Artinya pertumbuhan jenis ikan tersebut tidak di pengaruhi oleh adanya faktor habitat. Berbeda dengan kepiting rajungan didapatkan pada habitat mangrove nilai b lebih besar dibanding dengan habitat lainnya. Kemungkinan hal ini terjadi karena kepiting rajungan di daerah mangrove masih pada tahap juvenil yang tertangkap sehingga pertumbuhan lebih cepat dibandingkan kepiting dewasa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa walaupun dari segi jumlah lebih banyak ditemukan di daerah mangrove tetapi berat total lebih kecil dibanding pada habitat lamun, sehingga bisa disimpulkan bahwa kepiting yang tertangkap di habitat mangrove adalah ukurannya hampir sama dengan ukuran yang kecil. Pernyataan ini dibenarkan oleh Adam 2006 bahwa semakin jauh dari pantai, ukuran tubuh dan bobot rajungan semakin meningkat. Lebih lanjut mempertegas bahwa kepiting rajungan pada fase juvenil sampai dewasa berada pada daerah estuaria dalam hal ini pantai.

6.4.5 Hubungan Berat Hasil Tangkapan dengan Parameter Lingkungan

Sesuai dengan hasil analisis yang disajikan dalam Tabel 12 terlihat bahwa suhu dan DO sangat dominan mempengaruhi total berat hasil tangkapan. Hasil tangkapan berat total ikan cenderung meningkat dengan menurunnya suhu dan meningkatnya kadar DO. Hubungan yang menunjukkan meningkatnya berat total hasil tangkapan dengan menurunnya suhu mengindikasikan bahwa keseluruhan jenis ikan yang tertangkap dengan sero di sekitar pantai di lokasi penelitian kemungkinan lebih menyukai air yang bersuhu lebih rendah di sekitar muara sehingga populasinya meningkat ketika masukan air tawar yang lebih dingin banyak yang masuk ke wilayah pantai melalui aliran sungai. Sementara pengaruh kadar DO yang berbanding lurus dengan hasil tangkapan menunjukkan bahwa kadar DO yang lebih tinggi memungkinkan lebih banyaknya ikan dan juga berpengaruh langsung terhadap proses fisiologis respirasi ikan. Kondisi ini umum terjadi seperti didapatkan oleh Ridho 1999 di perairan pantai barat Sumatera bahwa tingginya keanekaragaman ikan dan keseragaman ikan demersal dipengaruhi oleh salinitas yang rendah serta kadar oksigen terlarut DO dan suhu yang tinggi. Sedangkan distribusi jenis-jenis ikan demersal di perairan Laut Cina Selatan dipengaruhi oleh faktor suhu, salinitas, kecerahan, dan kedalaman perairan Ridho 2004. Pengaruh parameter lingkungan yang dominan pengaruhnya terhadap berat hasil tangkapan nampak bervariasi diantara jenis ikan. Suhu dominan berpengaruh terhadap hasil tangkapan ikan kapas-kapas dan kuwe. Salinitas dan pH berpengaruh dominan terhadap ikan kerong-kerong. Kecepatan arus berpengaruh dominan terhadap ikan baronang lingkis, kapas-kapas, lencam dan kuwe. Klorofil a terlihat dominan pengaruhnya terhadap berat hasil tangkapan ikan biji nagka, kerong-kerong, kapas-kapas, dan lencam. Fitoplankton berpengaruh dominan terhadap ikan Kuwe sedangkan zooplankton berpengaruh dominan terhadap ikan kerong-kerong. Hubungan yang signifikan antara berat hasil tangkapan dengan parameter lingkungan yang bervariasi pada setiap jenis ikan menunjukkan bahwa setiap jenis ikan memiliki respon dan prevarensi habitat berdasarkan karakteristik lingkungannya. Perlu diketahui bahwa hubungan linier yang signifikan yang ditunjukkan dalam analisis tersebut dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Hubungan langsung yang paling mungkin terjadi secara teoritis adalah pengaruh parameter fisika kimia yang memang dapat berpengaruh langsung terhadap aktivitas biologis dan fisiologis setiap jenis ikan. Sementara pengaruh parameter biologi seperti klorofil-a, kelimpahan fitoplankton dan zooplankton dapat terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh tidak langsung dapat terjadi karena parameter biologi mempengaruhi makanan atau predator terhadap suatu jenis ikan. Sebagai contoh terlihat dari pengaruh dominan klorofil a terhadap ikan biji nangka sebagai ikan omnivor yang tidak mengkonsumsi langsung fitoplankton yang mengandung klorofil a. Mekanisme pengaruh tidak langsung klorofil a terhadap ikan biji nangka dapat saja terjadi karena klorofil a mempengaruhi kelimpahan zooplankton yang selanjutnya mempengaruhi salah satu makanan ikan biji nangka yaitu udang-udangan yang banyak mengkonsumsi zooplankton. Hal ini menyebabkan semakin meningkatnya jumlah ikan biji nangka dengan meningkatnya kandungan klorofil a dalam perairan. Hal serupa terjadi pada ikan kuwe yang menunjukkan pengaruh dominan zooplankton sedangkan ikan kuwe tidak mengkonsumsi langsung zooplankton. Variasi pengaruh parameter lingkungan terhadap setiap jenis ikan dapat menjelaskan terjadinya variasi perbedaan jumlah dan berat hasil tangkapan berdasarkan waktu dan lokasi habitat. Variasi lingkungan yang terlihat antara muaras sungai, lamun dan sekitar daerah mangrove mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung pertumbuhan dan kelangsungan hidup setiap spesies ikan yang tertangkap dengan sero Pengaruh parameter lingkungan bukan saja dapat bervariasi antar spesies tetapi dalam spesies yang sama respon dan toleransi ikan dapat berbeda terhadap paremater lingkungan. Hal ini sangat mendukung sebagai alasan sehingga terlihat adanya variasi ukuran rata-rata hasil tangkapan yang relatif berbeda antar habitat pada beberapa jenis ikan yang didapatkan dalam penelitian ini. Fakta ini terlihat dari analisis hasil tangkapan yang menunjukkan jumlah tangkapan yang sama pada beberapa jenis ikan namun menunjukkan perbedaan dalam berat.

6.4.6 Asosiasi antara Hasil Tangkapan Dominan dan Habitat

Hasil analisis FCA menunjukkan bahwa terdapat asosiasi antara hasil tangkapan jenis ikan dengan habitat dan waktu tertentu di lokasi penelitian Gambar 17 18. Ditemukan 6 enam jenis ikan yang berasosiasi di habitat lamun yaitu ikan biji nangka, baronang, baronang lingkis, kerong-kerong, barakuda, dan kuwe. Ditemukannya jumlah ikan di habitat lamun lebih tinggi dibanding kedua habitat lainnya kemungkinan karena pada daerah lamun merupakan tempat berbagai jenis ikan berlindung, mencari makan, bertelur, dan membesarkan anaknya. Hal ini dipertegas oleh Gilanders 2006 bahwa daerah lamun memiliki kelimpahan dan keragaman ikan yang tinggi karena dukungan produktivitas sekunder. Jenis-jenis ikan yang ditemukan di habitat lamun tersebut merupakan ikan-ikan yang juga berasosiasi dengan habitat lain. Penelitian ini sama yang ditemukan oleh Fahmi Adrim 2009 bahwa jenis ikan-ikan yang ditemukan pada lamun di Kepulauan Riau umumnya merupakan ikan-ikan yang berasosiasi dengan habitat lain dan menjadikan padang lamun sebagai daerah asuhan, pembesaran dan tempat mencari makanan. Ternyata jenis ikan yang didapatkan oleh Fahmi Adrim 2009 berbeda yang ditemukan di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone. Dikatakan bahwa jenis Leiognathus spp dan Gerres spp merupakan jenis ikan yang banyak ditemukan di padang lamun sedangkan di lokasi penelitian ini, kedua jenis ikan tersebut lebih banyak ditemukanberasosiasi pada daerah mangrove. Jenis-jenis ikan yang berasosiasi di habitat lamun di perairan pantai Pitumpanua termasuk kedalam famili Siganidae, Theraponidae, dan Mulidae. Famili-famili tersebut sama yang ditemukan di Teluk Kotania dan Pelitajaya Supriyadi 2009, hal ini kemungkinan disebabkan karena jenis lamun yang banyak ditemukan di kedua daerah tersebut dari jenis Enhalus acoroides. Hal ini diperkuat oleh Rappe 2010 bahwa ditemukannya ikan baronang dan baronang lingkis di stasiun LPO lamun padat monospesifik diduga disebabkan antara lain karena ikan tersebut memiliki kebiasaan hidup bergerombol di daerah padang lamun, terutama lamun monospesifik yang hanya disusun oleh jenis Enhalus acoroides. Selanjutnya dikatakan bahwa dari 14 famili yang ditemukan di padang lamun Pulau Barrang Lompo, 2 dua diantaranya ditemukan di perairan pantai Pitumpanua yaitu famili Siganidae dan Sphhyraenidae. Ikan lencam, kapas-kapas, dan pepetek lebih berasosiasi dengan habitat dekat mangrove. Ikan kapas-kapas sebenarnya ikan yang hidupnya lebih banyak di estuaria, namun pada saat penelitian ini ditemukan lebih berasosiasi pada daerah dekat mangrove, kemungkinan jenis ikan tersebut mencari tempat pemijahan pada daerah sekitar mangrove. Sebagaimana yang dikemukan oleh Blaber 1997 dalam Sjafei dan Syaputra 2009 bahwa jenis ikan ini di Natal, Afrika Selatan meninggalkan estuaria saat ingin melakukan pemijahan. Lebih lanjut dikatakan bahwa musim pemijahan biasanya pada bulan Februari, musim pemijahan ini bertepatan pada saat melakukan penelitian. Udang putih dan rajungan berasosiasi dengan muara sungai Gambar 15. Kedua jenis krustasea ini kemungkinan lebih dipengaruhi oleh sebagian daur hidupnya berada di daerah pesisir pantai seperti estuaria dan sebagian di laut Saputra Subiyanto 2007; Suharyanto Tjaronge 2009. Pasquier P ẻrez 2004 bahwa udang putih dan kepiting rajungan keberadaan hidupnya pada masa juvenile di pantai atau estuaria dan dewasa bermigrasi ke laut terbuka.

6.5 KESIMPULAN DAN SARAN

6.5.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Komposisi hasil tangkapan dari jumlah hasil tangkapan paling banyak ditemukan yaitu ikan pepetek, sedangkan berat biomassa hasil tangkapan yaitu ikan barakuda. 2. Total jumlah hasil tangkapan ikan yang tertangkap berbeda menurut waktu penangkapan tetapi tidak berbeda menurut habitat. Sementara berat total hasil tangkapan ikan berbeda menurut habitatlokasi dan waktu penangkapan. 3. Kisaran panjang total ikan yang tertangkap masih lebih banyak yang berukuran juvenil atau ikan-ikan muda. 4. Hubungan panjang-berat hasil tangkapan pada semua habitat bersifat allometrik negatif. 5. Parameter lingkungan yang sangat dominan pengaruhnya terhadap total berat hasil tangkapan sero yaitu parameter suhu dan kadar oksigen terlarut DO. 6. Ada perbedaan komunitas ikan pada ketiga habitat. Ikan biji nangka, baronang lingkis, kerong-kerong, kuwe, baronang, dan barakuda lebih berasosiasi pada habitat lamun. Ikan pepetek, kapas-kapas, dan lencam lebih berasosiasi pada daerah sekitar mangrove. Kepiting rajungan dan udang putih lebih berasosiasi pada muara sungai.

6.5.2 Saran

Sebaiknya dipertimbangkan pengelolaan sero di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone saat ini karena terbukti kisaran panjang total ikan yang tertangkap lebih banyak yang berukuran juvenil atau ikan-ikan muda. Perlu kiranya regulasi untuk memperbesar mata jaring alat tangkap sero untuk meloloskan ikan-ikan yang masih mudah. . 7 SELEKTIVITAS MATA JARING EXPERIMENTAL CRIB 4 CM PADA CRIB SERO

7.1 PENDAHULUAN

Perairan pantai yang terdiri dari berbagai ekosistem seperti lamun, terumbu karang, mangrove, dan muara sungai memiliki berbagai peran sebagai darerah pemijahan, perlindungan, pembesaran, dan tempat mencari makanan. Oleh karena itu daerah penangkapan sero di pantai dihuni oleh berbagai jenis dan ukuran biota laut termasuk ikan yang menjadi target penangkapan. Sero yang dioperasikan dengan ukuran tertentu jelas memiliki selektivitas tertentu dan sangat besar kemungkinannya bervariasi menurut spesies dan habitat. Sero dengan ukuran mata jaring tertentu dapat saja selektif terhadap salah satu jenis ikan tertentu tetapi tidak selektif terhadap jenis ikan lainnya pada habitat tertentu. Hal ini disebabkan perbedaan persebaran ukuran berdasarkan habitat. Sehubungan dengan hal itu maka kajian mengenai selektivitas sero yang mengkaji secara simultan berdasarkan jenis ikan dan habitat daerah penangkapan sero sangat penting dilaksanakan agar dapat menentukan tingkat selektivitas sero terhadap jenis ikan berdasarkan habitat yang ada di perairan pantai. Kajian mengenai selektivitas sero yang ada saat ini umumnya terbatas pada habitat tertentu saja dan sangat jarang melihat sekaligus berdasarkan jenis dan habitat daerah penangkapan alat tangkap sero. Mengkaji selektivitas mata jaring sero pada beberapa jenis ikan yang dominan tertangkap pada 3 tiga tipe habitat di perairan pantai Pitumpanua maka diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kesesuaian ukuran mata jaring dengan lokasi pemasangan sero di pantai sehingga dari aspek selektivitas mata jaring sero tetap ramah terhadap lingkungan. Apalagi dalam penelitian ini secara serentak juga dilihat perbandingan hasil tangkapan pada ketiga tipe habitat tersebut. Hasil analisis selektivitas yang dihasilkan dari penelitian ini dapat menjadi referensi dan pertimbangan dalam regulasi operasional sero di perairan pantai khususnya kelayakan ukuran mata jaring dan habitat daerah pemasangannya. Meskipun dalam penelitian ini hanya menggunakan satu jenis ukuran mata jaring, namun dapat menunjukkan bahwa apakah ukuran yang digunakan sebaiknya ditingkatkan agar dapat selektif terhadap salah satu atau beberapa jenis ikan yang dominan tertangkap apabila sero akan dipasang di muara sungai, perairan di sekitar mangrove atau lamun. Pemasangan alat tangkap sero maupun penggunaan bahan alat tangkap sero oleh nelayan di perairan pantai Pitumpanua tidak didasari pertimbangan yang cermat. Hal ini disebabkan karena selain kurangnya sosialisasi dari pemerintah setempat, juga karena tidak adanya dasar kebijakan yang tepat untuk pengelolaan perikanan sero di daerah ini. Selama ini penangkapan sero di perairan pantai Pitumpanua berlangsung terus menerus sepanjang tahun dengan menggunakan mata jaring ukuran yang sangat kecil 0,5 cm. Bila hal tersebut dibiarkan, maka tentunya berdampak pada berkurangnya stok sumberdaya pada masa akan datang, karena dengan ukuran mata jaring yang sangat kecil tentunya ikan-ikan muda tidak dapat meloloskan diri untuk berkembang biak sebelum ditangkap. Parahnya lagi karena alat tangkap ini di pasang pada daerah pantai yang merupakan daerah pemijahan dan pembesaran bagi juvenile berbagai jenis ikan dan biota lainnya. Kajian ini bertujuan untuk menghitung proporsi ukuran layak tangkap setiap jenis ikan yang tertangkap pada experimental crib dan menganalisis L 50, setiap jenis ikan yang dominan tertangkap dengan sero di perairan pantai Pitumpanua Kabupaten Wajo Teluk Bone. Manfaat yang diharapkan yaitu sebagai dasar untuk menentukan kebijakan pengelolaan perikanan dalam hal pengaturan mata jaring yang selektif pada daerah penangkapan sero sehingga sumberdaya perikanan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.

7.2 METODE PENELITIAN

7.2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Kegiatan pembuatan desain kantong bunuhan experimental crib dilakukan pada tanggal 18 Nopember 2010 – 10 Januari 2011. Experimental fishing dilakukan pada tanggal 15 Januari – 14 Mei 2011 di perairan pantai Pitumpanua Kabupaten Wajo, Teluk Bone.

7.2.2 Alat dan bahan

Alat dan bahan yang digunakan untuk pembuatan desain experimental crib dan experimental fishing adalah sebagai berikut : Tabel 13 Jenis alat dan bahan yang digunakan pembuatan desain experimental crib dan experimental fishing selama penelitian No Alat dan bahan Jumlah Kegunaan Pembuatan desain experimental crib 1 Jaring trawl D12x1 1 2 7,7 kg Desain jaring pengukuran selektivitas 2 Benang trawl D9 4 rol Benang jahit pembuatan experimental crib 3 Coban 4 buah Untuk menjurai menjahit jaring 4 Tali nilon no 4 dan 5 4 kg Tali ris experimental crib 5 Gunting 1 buah Untuk keperluan memotong benang 6 Meteran 1 buah Untuk pengukuran Kegiatan experimental fishing Perahu motor 1 unit Sebagai sarana transportasi Sero 3 unit Experimental fishing Serok 3 buah Mengambil hasil tangkapan Tali nilon no 4 dan 5 2 kg Tali kolor experimental crib Measuring Board 4 buah Mengukur panjang ikan Mikrometer skrup caliper 1 buah Mengukur mata jaring dan waring Plastik sample Tempat hasil tangkapan yang sudah disortir Cool Boxkulkas 3 buah Penyimpanan hasil tangkapan Timbangan Analitik 1 unit Menimbang sampel ikan per ekor Kamera digital 1 buah Pengambilan gambar Buku identifikasi ikan Mengetahui jenis ikan Alat tulisdata sheet Mencatat data Alat bantu lainnya Digunakan di lapangan

7.2.3 Percobaan Penangkapan Ikan

Kegiatan percobaan penangkapan dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu : tahapan desain experimental crib, tahapan pembuatan experimental crib, tahapan pemasangan experimental crib, dan tahapan proses pengambilan hasil tangkapan. Hasil tangkapan yang didapatkan dari experimental crib dan cover-net dianalisis untuk melihat sejauhmana kesesuaian mata jaring yang diujicobakan pada ketiga habitat.

7.2.3.1 Tahapan desain experimental crib

Percobaan pada alat tangkap sero ini hanya pada bagian bunuhan yang dimodifikasi dengan cara ketiga sero yang telah ditentukan pada daerah penangkapan berbeda diberikan experimental crib yang ukuran mata jaringnya sama yaitu 4 cm yang berfungsi sebagai bunuhan percobaan sedangkan jaring bunuhan aslinya berfungsi sebagai cover-net. Ukuran dari experimental crib tersebut yaitu panjang dan lebar jaringnya 2 m x 2 m, sedangkan crib asli berukuran 4 m x 5 m. Jarak dinding experimental crib dengan dinding cover-net sebelah kiri dan kanan yaitu 0,5 m, bagian belakang 1 m dan bagian depan berhimpit sedangkan bagian dasar atau bawah experimental crib dengan cover-net jaraknya 0,5 m. Gambar 17 Proses pembuatan desain experimental crib sero. 5 m 1 m 0 .5 m 4 m 2 m 0 . 2 m 2 . 5 m 3 m 0 . 5 m 1 m 3 . 5 m 0 . 7 m 1 m 2 0 m 2 m 1 0 m 1 0 0 m A = B u n u h a n c r ib E x p . C r i b C r i b a s l i B = P e ru t b e l l y C = B a d a n b o d y D = S a y a p w i n g E = P e n a j u A E x p e r i m e n t a l c r i b C r i b a s l i 2 m D E C B Gambar 18 Desain experimental crib pada alat tangkap sero. 7.2.3.2 Tahapan pembuatan experimental crib Tahapan pembuatan experimental crib pada alat tangkap sero adalah sebagai berikut : 1 Bahan yang digunakan adalah jaring trawl yang terbuat dari polyethylen berwarna hijau dengan ukuran mata jaring 4 cm. 2 Semua jaring tersebut dilakukan pemotongan secara all bar dengan ukuran setiap lembar jaring 2 m 3 Jumlah lembaran jaring yang diperlukan untuk satu experimental crib yaitu 5 lembaran dengan ukuran yang sama besar 4 Tiap lembaran jaring dijurai membentuk empat persegi panjang dengan ukuran p x l x t 2 m x 2 m x 3 m, yang berfungsi sebagai experimental crib. 5 Setiap pinggiran jaring yang telah digunting diberikan tali ris sebagai penguat jaring dimana diameter tali sebesar 0,5 cm 6 Pada bagian depan jaring experimental crib dan cover-netnya dibuatkan mulut yang berfungsi sebagai pintu masuk ikan dengan lebar pintu yaitu 0,2 m 7 Semua sudut jaring dan bagian depan jaring diberikan tali penarik yang berfungsi untuk mengencangkan experimental crib, agar jaring tertata dengan sempurna bila dipasang di perairan. 7.2.3.3 Tahapan pemasangan experimental crib Tahapan pemasangan experimental crib pada bagian bunuhan sero adalah sebagai berikut : 1 Experimental crib yang telah dibuat dipasang pada bagian dalam bunuhan asli dalam hal ini yang berfungsi juga sebagai cover-net yang terbuat dari waring dengan mata jaring 0,5 cm dengan ukuran 4 m x 5 m x 3,5 m 2 Bagian mulut experimental crib dipasang sejajar dengan mulut cover-net 3 Tali penarik yang dipasang pada bagian bawah dan sudut experimental crib melalui sisi cover-net, kemudian tali penarik tersebut dikencangkan dan diikat pada tiang yang terpancang pada sisi cover-net tersebut 4 Jaring experimental crib yang dipasang diberikan jarak, baik dari sisi depan, belakang, kiri dan kanan serta sisi bagian bawah, agar ikan diharapkan untuk memberikan ruang gerak untuk meloloskan diri keluar dari jaring experimental crib bila ukuran girth maximum ikan tersebut lebih kecil dari ukuran mata jaring dari experimental crib 5 Jaring experimental crib dan cover net dari bagian sisi depan berhimpit dan sisi belakang berjarak 1 m, sedangkan bagian sisi kanan dan kiri yaitu 0,5 m, begitu pula dengan sisi bagian bawah jaraknya dari cover-net yaitu 0,5 m. 6 Setelah proses pemasangan experimental crib telah selesai semua tali penarik dari tiap sudut experimental crib yang melewati sisi cover-net, dikencangkan dengan cara ditarik agar experimental crib tertata dengan sempurna atau tidak kendur, kemudian diikat pada tiang yang telah dipasang di samping cover-net. Gambar 19 Pemasangan jaring experimental crib pada alat tangkap sero. 7.2.3.4 Tahapan pengambilan hasil tangkapan Tahapan pengambilan hasil tangkapan pada experimental crib pada bagian bunuhan sero adalah sebagai berikut : 1 Kegiatan pengambilan hasil tangkapan sero dilakukan hanya sekali sehari yaitu pada pagi hari 2 Pelaksanaan hauling dilakukan di atas bunuhan sero dengan cara yaitu semua tali kolor baik dari tali kolor dari experimental crib cod-end maupun tali cover-net dibuka secara bersamaan dengan perlahan-lahan. 3 Mulut depan bunuhan diangkat terlebih dahulu secara bersamaan baik itu cod- end maupu cover-net dengan tujuan agar ikan-ikan tidak bisa lagi meloloskan diri keluar dari tempat dimana ikan tersebut tersaringtertahan. 4 Perlahan-lahan kedua jaring tersebut diangkat sampai ketinggian air dalam jaring sekitar 80 cm. 5 Hasil tangkapan pada cod-end terlebih dahulu diambil dengan menggunakan serok bunre’, disusul hasil tangkapan pada cod-end sero. Hasil tangkapannya dipisahkan. 6 Setelah pengambilan hasil tangkapan selesai, jaring kembali dibuangdipasang untuk proses penangkapan selanjutnya. 7 Kegiatan penangkapan berlangsung pada 3 tiga unit sero pada daerah penangkapan yang berbeda.

7.2.4 Metode Pengukuran

Metode pengukuran untuk menentukan kesesuaian mata jaring sero pada 3 tiga daerah penangkapan dilakukan dengan cara yaitu dengan cara setiap hasil tangkapan yang tertahan pada mata jaring experimental crib yang terpasang dipisahkan dengan yang tertahan pada cover-net sero pada setiap daerah penangkapan. Alat tangkap sero yang mempunyai hasil tangkapan banyak hanya diambil 15 total hasil tangkapan sedangkan sero yang hasil tangkapan sedikit semua diambil untuk keperluan analisis. Sampel yang terambilterwakili kemudian diidentifikasi berdasarkan jenisnya kemudian dipisahkan, apabila sampel terlalu banyak maka sampel diawetkan sebagian dan dilakukan pengukuran panjang total ikan dan berat ikan secara bertahap. Pengukuran panjang ikan dengan measuring board dan berat ikan menggunakan timbangan analitik dengan ketelitian 0,1 gram Kegiatan penangkapan selama penelitian untuk keperluan analisis kelayakan mata jaring dilakukan sebanyak 16 kali trip. Pengambilan hasil tangkapan dilakukan hanya sekali seminggu selama 4 bulan pada 3 tiga unit sero yang diberikan experimental crib pada masing-masing daerah penangkapan habitat.

7.2.5 Analisis Data

7.2.5.1 Perbandingan komposisi dan proporsi ukuran ikan layak tangkap Untuk menghitung komposisi ukuran ikan layak tangkap yang tertahan pada experimetal crib di setiap habitat dilakukan dengan cara sebagai berikut : 1. Hasil tangkapan sero di setiap habitat dipisahkan berdasarkan setiap jenis ikan; 2. Menghitung jumlah dan frekuensi panjang ikan yang tertangkap; 3. Membandingkan ukuran ikan yang tertangkap dengan length at first maturity Lmat yang dilaporkan oleh beberapa peneliti sebelumnya; 4. Menghitung proporsi ikan yang layak tangkap berdasarkan length at first maturity dari total ikan yang tertangkap; 5. Membuat tabel dan grafik terhadap ikan yang layak tertangkap dari setiap jenis ikan dominan tertangkap berdasarkan habitat. 7.2.5.2 Perbandingan jumlah hasil tangkapan pada experimental crib Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian experimental crib sero adalah rancangan acak kelompok RAK. Perlakuan adalah tiga habitat muara sungai, mangrove, dan lamun. Ulangan adalah 16 blok waktu penangkapan hasil tangkapan. Model matematis rancangan tersebut sebagai berikut: Y ij = µ + H i +T j + ε ij ......................................................................7 Dimana : i = 1, 2, 3 dan j = 1, 2, 3 .....16 Y ij = Respon pengamatan pada experimental crib ke-i dan kelompok ke-j µ = Nilai rataan umum H i = pengaruh experimental crib ke-i habitat i = 1,2, dan 3; T j = pengaruh kelompok blok waktu penangkapan ke-j; εijk = Galat percobaan dari perlakuan ke-I dan kelompok ke-j. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam ANOVA. Analisis data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SPSS Release 15.0. Untuk membandingkan antar habitat yang berbeda jika hasil uji F dalam ANOVA signifikan berbeda maka digunakan uji lanjut menggunakan uji beda rerata Tukey Tukey’s HSD Test Zar 1984 dan Petersen 1985. 7.2.5.3 Analisis selektivitas mata jaring 4 cm Analisis selektivitas mata jaring 4 cm dalam hal ini sebagai experimental crib dari setiap unit sero didekati dengan menggunakan model logistik seperti yang biasa dilakukan dalam kajian selektivitas trawl Paloheimo dan Cadima 1964, Kimura 1977 dan Hoydal et al. 1982 dalam Sparre dan Venema 1999. Pendekatan ini mengandalkan data komposisi ukuran ikan dan proporsi ikan yang tertangkap. [ ] L b a L S exp 1 1 − + = ………..……………………............8 Dimana : ∑ ∑ − = net er crib erimental dalam L length dengan ikan crib erimental dalam L length dengan ikan S L cov exp exp ……….9 Dari persamaan di atas dapat dituliskan kembali sebagai : L b a S L 1 1 ln − = ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ − …………………………...……..…….10 Persamaan di atas dapat mewakili garis lurus. Dengan demikian observasi terhadap bagian yang ditahan dapat digunakan untuk menentukan kurva logistik yang sesuai terhadap observasi-observasi tersebut. Untuk menghitung kisaran panjang total ikan yang tertangkap pada experimental crib sero dengan peluang tertangkap sebesar 50 dengan rumus sebagai berikut : b a L = 50 ………………………………………………..…..11

7.3 HASIL PENELITIAN

7.3.1 Komposisi dan Proporsi Layak Tangkap pada Experimental Crib

Komposisi jenis hasil tangkapan yang tertahan pada jaring experimental crib alat tangkap sero yang dioperasikan pada habitat berbeda di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone Tabel 15 berikut. Tabel 15 Komposisi jenis hasil tangkapan yang tertahan dan meloloskan diri pada jaring experimental crib sero di habitat berbeda selama penelitian No Jenis Ikan Habitat Muara Mangrove Lamun Tertahan Lolos Tertahan Lolos Tertahan Lolos 1 Rajungan 100,00 0,00 100,00 0,00 100,00 0,00 2 Kerong kerong 72,26 27,74 71,32 28,68 67,78 32,22 3 Barakuda 78,53 21,47 62,44 37,56 55,81 44,19 4 Kuwe 67,86 32,14 68,73 31,27 58,12 41,88 5 Lencam 58,55 41,45 62,78 37,22 73,05 26,95 6 Baronang lingkis 63,51 36,49 61,32 38,68 69,54 30,46 7 Baronang 63,68 36,32 59,17 40,83 62,83 37,17 8 Pepetek 64,49 35,51 62,27 37,73 54,43 45,57 9 Biji nangka 42,92 57,08 34,53 65,47 34,59 65,41 10 Kapas kapas 34,54 65,46 40,08 59,92 34,05 65,95 Adapun proporsi jumlah hasil tangkapan yang layak tangkap yang tertahan pada experimental crib yaitu 5 lima jenis ikan tertangkap di atas 50,0 dari ukuran layak tangkap dan selebihnya masih di bawah 50,0 layak tangkap Tabel 16 dan Gambar 20. Tabel 16 Proporsi ukuran layak tangkap hasil tangkapan yang tertahan pada jaring experimental crib selama penelitian No Jenis ikan Muara Sungai Mangrove Lamun Rata-rata 1 Pepetek 80,21 81,47 71,75 77,81 2 Kapas-kapas 64,93 83,51 42,59 63,68 3 Barakuda 58,59 67,39 61,11 62,36 4 Kerong kerong 54,43 60,14 65,35 59,97 5 Biji nangka 51,83 46,40 51,72 50,00 6 K. rajungan 33,96 33,33 77,97 48,42 7 B. lingkis 30,39 34,02 38,46 34,29 8 Lencam 12,36 16,39 11,43 13,39 9 Baronang 21,48 14,79 11,52 15,93 10 Kuwe Gambar 20 Rata-rata ukuran layak tangkap hasil tangkapan yang tertahan pada experimental crib selama penelitian di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone.

7.3.2 Nilai L

50 Setiap Jenis Ikan yang Tertangkap pada Experimental Crib Hasil perhitungan parameter kurva selektivitas dengan menggunakan metode Sparre-Venema dengan menutupi experimental crib dengan cover-net yaitu terlihat bahwa L 50 dari setiap jenis ikan yang sama dan jenis lainnya yaitu berbeda pada setiap habitat Tabel 17, Gambar 21-22, dan Lampiran 28-30. Tabel 17 Nilai L 50 ± standar deviasi SD setiap jenis ikan berdasarkan habitat selama penelitian Jenis ikan Muara sungai Mangrove Lamun L mat Biji nangka 10,2 ± 0,55 10,5 ± 0,64 11,4 ± 0,48 12,0 A Baronang lingkis 8,0 ± 1,48 11,9 ± 0,89 12,0 ± 0,67 17,0 B Kerong-kerong 12,8 ± 1,08 13,2 ± 1,57 12,9 ± 2,41 18,0 C Lencam 14,4 ± 0,84 13,4 ± 0,15 14,6 ± 0,94 18,2 D Pepetek 9,3 ± 0,73 9,4 ± 0,79 9,0 ± 0,95 9,0 E Kapas-kapas 10,0 ± 0,42 10,1 ± 0,55 10,0 ± 0,76 10,5 F Kuwe 11,3 ± 1,42 12,1 ± 0,95 11,7 ± 0,70 30,0 G Baronang 15,0 ± 0,90 14,8 ± 0,93 14,7 ± 0,90 21,0 H Barakuda 18,5 ± 1,20 17,8 ± 1,53 22,7 ± 1,24 17,3 I Keterangan : E Martasuganda et al. 1991 F Sjafei Syaputra 2009 F Wassef Hady 1997 G Tharwat Rahman 2006 G Situ Sadovy 2004 H Sutomo Juwana 1990 H Krajangdara 2004 I Allam et al. 2004 E Pauly 1977 dalam Sjafei Saadah 2001 Muara sungai Mangrove Lamun Keterangan : A = Biji nangka C = Kerong kerong B = Baronang lingkis D = Kapas kapas Gambar 21 Kurva selektivitas mata jaring 4 cm untuk jenis ikan biji nangka, baronang lingkis, kerong kerong, dan kapas kapas pada daerah penangkapan yang berbeda. Muara sungai Mangrove Lamun Keterangan : E = Biji nangka H = Kapas kapas F = Baronang lingkis I = Barakuda G = Kerong kerong Gambar 22 Kurva selektivitas mata jaring 4 cm untuk jenis ikan lencam, pepetek, kuwe, baronang, dan barakuda pada daerah penangkapan yang berbeda. Nilai L 50 pada kurva selektivitas setiap jenis ikan di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone selama penelitian tidak menunjukkan perbedaan yang jauh bila dibandingkan L 50 setiap jenis ikan berdasarkan habitat Gambar 19. Keterangan : A = Biji nangka D = Kapas kapas G = Kuwe B = Baronang lingkis E = Lencam H = Baronang C = Kerong kerong F = Pepetek Keterangan : I = Barakuda Gambar 23 Kurva selektivitas setiap jenis ikan selama penelitian di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone.

7.4 PEMBAHASAN

7.4.1 Komposisi dan Proporsi Layak Tangkap pada Experimental Crib

Jenis ikan yang dominan tertahan pada experimental sero di perairan pantai Pitumpanua, Teluk Bone umumnya adalah ikan demersal, yaitu: 1 biji nangka Upeneaus sulphureus, 2 baronang lingkis Siganus canaliculatus, 3 kerong-kerong Therapon jarbua, 4 kapas-kapas Gerres kapas, 5 lencam Lethrinus lentjam, 6 pepetek Leiognathus splendens, 7 kuwe Caranx sexfaciatus, 8 baronang Siganus guttatus, dan 9 barakuda Sphyraena sphyraena Tabel 16. Spesies nomor 9 adalah jenis ikan pelagis. Dominasi ikan demersal tersebut berkaitan dengan daerah pengoperasian sero, yaitu perairan dangkal. Hal ini diperkuat oleh pernyataan oleh Widodo dan Suadi 2008 bahwa perairan dangkal dengan kedalaman kurang dari 100 meter dengan dasar perairan yang berlumpur serta relatif datar merupakan daerah penangkapan demersal yang baik. Dipertegas Yusof 2002 bahwa hasil tangkapan dari perairan berkedalaman 5-18 meter di perairan Peninsular Malaysia berupa 62-89 jenis ikan demersal. Jenis ikan yang tertangkap sero ini pada umumnya memiliki aktivitas relatif rendah, gerak ruaya tidak terlalu jauh dan membentuk gerombolan yang tidak terlalu besar, sehingga sebarannya relatif lebih terkonsentrasi jika dibandingkan dengan ikan-ikan pelagis Boer et al. 2001. Ikan barakuda yang merupakan ikan pelagis satu-satunya dominan tertangkap di perairan pantai Pitumpanua, kemungkinan jenis ikan ini merupakan ikan predator yang mengejar mangsanya sehingga ikut tertangkap. Jumlah ikan yang tertahan pada experimental crib jaring dipengaruhi oleh berbagai faktor; salah satunya adalah bentuk tubuh ikan. Ikan yang berukuran besar cenderung tertangkap oleh alat penangkapan ikan yang dioperasikan dengan metode menyaring air filtering sehingga jika ukuran mata jaring relatif kecil maka ragam ukuran ikan dapat menjadi lebih tinggi, yaitu mulai dari yang berukuran kecil hingga besar. Hal ini berbeda dari alat penangkapan ikan yang dirancang untuk menangkap ikan secara menjerat tubuh ikan gilling, seperti pada jaring insang. Jika ukuran ikan lebih kecil atau lebih besar dari ukuran optimum maka peluang tertangkapnya menjadi lebih rendah sehingga ragam ukuran menjadi lebih rendah Nielsen dan Lampton 1983. Selain ukuran tubuh, bentuk badan dan tingkah laku ikan juga merupakan faktor yang menentukan ikan tertangkap Pope 1975. Tingginya proporsi hasil tangkapan yang tertahan di experimental crib Tabel 15 bukan berarti ikan-ikan tersebut secara biologi layak tangkap. Hal ini lebih cenderung disebabkan oleh jenis spesies ikan yang tertangkap. Dalam penelitian ini ada 5 spesies ikan dengan proporsi layak tangkap di atas 50,0, yaitu pepetek, kapas-kapas, barakuda, kerong-kerong, dan biji nangka Tabel 16 Gambar 20. Tingginya proprosi pepetek yang layak tangkap disebabkan ikan ini cepat mencapai dewasa pada ukuran yang relatif kecil Saadah 2000 dalam Novitriana et al. 2004. Sebaliknya, semua ikan kuwe yang tertangkap berstatus tidak layak tangkap. Hal ini kemungkinan disebabkan habitat ikan kuwe dewasa adalah perairan terumbu karang atau yang lebih dalam dan perairan pantai tempat penelitian adalah habitat untuk ikan-ikan muda, seperti dilaporkan Rudi et al. 2011 dari penelitiannya di perairan Sabang. Ikan kuwe yang tertangkap di perairan pantai Pitumpanua tidak berbeda jauh didapatkan oleh Mardjudo 2002 di perairan pantai Palu yang didapatkan berukuran sangat kecil, sehingga diduga bahwa jenis ikan ini pada masa juvenil lebih banyak menghuni daerah pantai. 7.4.2 Nilai L 50 Setiap Jenis Ikan yang Tertangkap pada Experimental Crib Nilai L 50 dari experimental crib bermata-jaring 4 cm untuk setiap jenis ikan dominan tidak selalu sama pada setiap habitat Tabel 17. Seharusnya nilai L 50 untuk suatu jenis ikan adalah sama karena spesifikasi bahan jaring pembentuk crib. Perbedaan-perbedaan nilai tersebut kemungkinan besar ditentukan oleh nilai-nilai proporsi ikan pada setiap kelas ukuran ikan yang tertahan pada crib. Nilai-nilai L 50 dari sembilan jenis ikan dominan umumnya lebih kecil dari panjang TL ikan ketika matang gonad pertama kali L mat . Tujuh dari sembilan jenis ikan tersebut memiliki L mat kurang dari 20 cm TL; ikan kwe adalah ikan dengan L mat terbesar 30 cm. Hanya dua jenis ikan yang memiliki L mat lebih kecil dari L 50 , yaitu pepetek dan barakuda. Hal ini berarti sero dengan crib bermata-jaring 4 cm cocok untuk kedua jenis ikan ini karena menangkap ukuran yang layak tangkap secara biologis. Kondisi hasil tangkapan ini mirip dengan hasil tangkapan pepetek di Teluk Labuan, Banten yang didominasi oleh ikan-ikan pepetek berukuran 9,5- 16,2 cm lebih dari 80, seperti dilaporakan oleh Sjafei dan Saadah 2001. Nilai L 50 experimental crib ikan biji nangka dan kapas-kapas mendekati ukuran L mat jenis ikan tersebut Tabel 17. Pada ikan biji nangka, L 50 pada habitat lamun lebih besar dibandingkan pada muara sungai dan mangrove. Nilai L 50 ini hampir sama dengan yang didapatkan di perairan Teluk Palu antara 7,8- 9,9 cm Mardjudo 2002. Faktor penyebab perbedaan ini kemungkinan adalah morfologi ikan yang berkaitan dengan lingkar tubuh ikan body girth. Pada panjang yang sama, ikan-ikan biji nangka di muara sungai dan mangrove diperkirakan lebih ”gemuk” sehingga lebih mudah ditangkap tidak dapat meloloskan dibandingkan dengan yang berada di lamun. Faktor komposisi jenis kelamin ikan tampaknya sulit dianggap sebagai penyebab perbedaan nilai L 50 di antara ketiga habitat tersebut meskipun Saputra et al. 2009 dari penelitiannya di perairan Demak melaporkan bahwa L 50 cantrang untuk biji nangka jantan adalah 15,7 cm sedangkan untuk betina adalah 16,4 cm. Penelitian di Demak ini dapat diinterpretasikan bahwa ikan jantang lebih ”gemuk” dari ikan betina. Nilai L 50 untuk empat jenis ikan lainnya, yaitu baronang lingkis, kerong- kerong, lencam, dan baronang adalah lebih rendah dari L mat Tabel 17. Hal ini merupakan indikasi kuat bahwa semua jenis ikan ini tertangkap experimental sero dalam keadaan masih muda juvenile sehingga dapat disimpulkan bahwa sero ini tidak cocok bagi keempat jenis ikan tersebut. Ukuran ikan baronang lingkis yang didapatkan di perairan pantai Pitumpanua tidak berbeda dengan yang ditangkap di perairan Kecamatan Bua, Kabupaten Luwu, yaitu antara 6,2-17,0 cm Jalil et al. 2003. Kesamaan ini kemungkinan disebabkan oleh kesamaan kondisi ekologi perairan pantai Pitumpanua dan perairan Kecamatan Bua, keduanya saling berdekatan di Teluk Bone. Perbedaan nilai L 50 setiap habitat tidak menunjukkan perbedaan yang terlalu tinggi Tabel 17. Hal ini kemungkinan disebabkan karena faktor parameter lingkungan perairan dan sumber makanan bagi ikan pada ketiga habitat tersebut hampir sama. Terbukti setelah dibuatkan kurva selektivitas setiap jenis ikan secara keseluruhan tanpa berdasarkan habitat, nilai L 50 pun diperlihatkan tidak jauh berbeda yang didapatkan di ketiga habitat tersebut Gambar 23. Hal ini menunjukkan bahwa nilai ukuran kelas panjang ikan yang tertangkap di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone lebih seragam homogen. Penelitian ini memberikan gambaran bahwa rekomendasi tentang spesifikasi alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan untuk suatu jenis ikan belum tentu cocok untuk ikan lain, terutama pada perikanan yang memiliki sumber daya yang bersifat multispecies. Berdasarkan nilai L 50 dan L mat , sero dengan bunuhan crib bermata jaring 4 cm ini cocok untuk meloloskan ikan pepetek dan barakuda namun tidak cocok untuk ikan-ikan lainnya. Perbaikan bisa dilakukan lagi dengan memperbesar mata jaring sehingga nilai-nilai L 50 akan meningkat dan peluang ikan-ikan muda untuk meloloskan diri menjadi semakin tinggi. Pilihan ukuran mata jaring ini akhirnya ditentukan oleh keberpihakan nelayan dalam menentukan karakteristik ikan-ikan yang menjadi sasarannya target species. Sangat diharapkan para nelayan bersikap menyetujui ide bahwa meloloskan ikan agar tumbuh menjadi lebih besar adalah lebih baik dari menangkap ikan ketika masih berukuran kecil.

7.5 KESIMPULAN DAN SARAN

7.5.1 Kesimpulan

1. Hasil tangkapan sero dengan bunuhan bermata-jaring 4 cm di pantai Pitumpanua didominasi oleh ikan pepetek, baronang lingkis, kerong kerong, kuwe, biji nangka, baronang, lencam, kapas kapas, dan barakuda dimana lima jenis di antaranya masing-masing memiliki kategori layak tangkap dengan proporsi lebih dari 50. 2. Nilai L 50 experimental sero untuk ikan pepetek dan barakuda lebih besar dari panjang ketika kedua jenis ikan ini matang gonad pertama kali. 3. Sero dengan bunuhan bermata-jaring 4 cm tidak layak dioperasikan di perairan pantai Pitumpanua.

7.5.2 Saran

Alat tangkap sero di perairan pantai Pitumpanua sebaiknya menggunakan ukuran mata jaring lebih besar 4 cm. Rekomendasi ukuran tersebut harus disesuaikan dengan karakteristik hasil tangkapan yang diharapkan target species oleh nelayan yang memiliki wawasan keberlanjutan sumber daya ikan. 8 POSISI JENIS IKAN YANG TERTANGKAP DALAM PIRAMIDA MAKANAN

8.1 PENDAHULUAN

Interaksi trofik merupakan salah satu kunci untuk mengetahui peran ekologis suatu populasi atau spesies di dalam ekosistem. Mengingat trofik level mengambarkan hubungan keterkaitan antar organisme mulai tingkatan trofik terendah sampai dengan tingkatan trofik tertinggi. Chassot et al. 2005 mengemukakan bahwa tingkatan trofik dalam jejaring makanan terdapat mekanisme yang saling mempengaruhi antara tingkatan trofik paling atas terhadap tingkatan trofik di bawahnya top down effect dan sebaliknya dari tingkatan trofik paling bawah ke tingkatan trofik di atasnya bottom up effect. Aktivitas penangkapan sero di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone berlangsung secara terus menerus. Dampaknya bisa diprediksi bahwa telah terjadi perubahan struktur trofik yang ada dalam ekosistem tersebut. Perubahan yang biasanya terjadi meliputi perubahan kelimpahan, produktivitas, dan struktur komunitas seperti perubahan dominansi spesies, spektra ukuran, dan hasil tangkapan. Akibatnya, hasil tangkapan perikanan secara bertahap berubah dari spesies yang berada di tingkat trofik atas menjadi spesies yang berada pada tingkat trofik bawah dalam jejaring makanan Jaureguizar Milessi 2008. Mengkaji struktur trofik pada daerah pantai seperti di habitat muara sungai, mangrove, dan lamun sangat diperlukan. Mengingat pada daerah pantai merupakan daerah yang kaya dengan keanekaragaman hayati, sehingga dalam ekosistem tersebut banyak sistem interaksi pemangsaan yang terjadi. Kaitannya dengan penangkapan bahwa bisa saja ikan tertangkap pada alat tangkap bukan karena target spesies alat tangkap tersebut, melainkan ikan jenis tertentu bermigrasi atau beruaya di sekitar alat tangkap karena terkait item makanan spesies tersebut berada di sekitar wilayah penangkapan, sehingga ikan tersebut turut tertangkap. Pengetahuan tentang trofik level setiap jenis ikan di setiap habitat dimaksudkan untuk melengkapi dan memperjelas hasil kajian mengenai hasil tangkapan dan selektivitas sebagai bagian utama dalam penelitian ini. Analisis trofik level ini diharapkan dapat memperjelas faktor penyebab tertangkapnya jenis