downwelling disebabkan oleh Gelombang Kelvin yang dibangkitkan di Samudera Hindia tropis. Sementara pada saat muson barat laut November-Maret
downwelling disebabkan oleh angin yang menyisir pantai dan diperkuat Gelombang Kelvin.
2.4.2 Indian Ocean Dipole Mode IODM
Normalnya, Samudera Hindia tropis bagian timur lebih hangat dibandingkan bagian barat dan kondisi SPL ini berkaitan dengan angin baratan
westerly winds yang berhembus dari barat menuju timur yang bergerak menuju wilayah Indonesia Kripalini and Kumar, 2004 in Thulasi, 2011. Namun, hasil
penelitian Saji et al. 1999 menemukan dipole mode di wilayah Samudera Hindia tropis yang mirip seperti fenomena ENSO di Samudera Pasifik tropis dimana
terdapat interaksi laut-atmosfer-daratan yang kuat di Samudera Hindia. Indian Ocean Dipole Mode adalah osilasi tidak teratur SPL di Samudera Hindia.
Dinamika lautan sebagai hasil IODM antara lain anomali angin, struktur Gelombang Rossby dan interaksi laut-atmosfer yang kuat. Para peneliti terus
berupaya meningkatkan pemahaman tentang faktor penyebab dan efek fenomena ini.
IODM merupakan suatu pola variabilitas internal Samudera Hindia dimana SPL di bagian timur Samudera Hindia tropis pantai barat Sumatera
lebih rendah daripada biasanya dan sebaliknya di bagian barat samudera terjadi anomali SPL yang lebih tinggi dan diikuti dengan anomali angin dan presipitasi
Saji et al., 1999. Daerah konveksi yang normalnya berada di timur Samudera Hindia tropis warm pool bergeser ke barat. Hubungan spasial-temporal antara
SPL dan angin mempengaruhi presipitasi dan dinamika perairan. IODM bersifat khas dan inheren di Samudera Hindia dan independen terhadap ENSO.
Fenomena IODM dapat menjelaskan kenapa saat Indonesia mengalami kekeringan tapi bagian timur Afrika justru presipitasi berlebih.
Terdapat dua fase utama yang berhubungan dengan IODM, yaitu fase positif dan fase negatif. Periode positif jika nilai SPL wilayah barat lebih tinggi
dibandingkan wilayah timur dan sebaliknya pada saat periode negatif. Selama periode positif, SPL bagian barat Samudera Hindia lebih hangat dibandingkan
bagian timur dan sebaliknya pada periode negatif. Kejadian IODM dimulai dengan munculnya anomali SPL sekitar bulan Mei-Juni dan terus menguat pada
bulan-bulan berikutnya. Puncak intensifikasi anomali SPL sekitar bulan Oktober. Proses ini berkaitan dengan penguatan angin zonal yang bergerak menuju barat.
Proses perkembangan IODM ditunjukkan pada Gambar 3. Paras laut di bagian timur Samudera Hindia tropis turun 20-30 cm,
sedangkan di bagian barat naik dengan nilai yang sama Webster et al., 1998 in Irawati, 2005. Anomali SPL dan paras laut tersebut menyebar dari timur
sepanjang pantai Jawa dan barat Sumatera kemudian menuju ke 85
Karakter IODM adalah adanya kondisi SPL yang berlawanan pada kedua sisi Samudera Hindia. Karena perbedaan SPL pada kedua sisi sangat
jelas, maka IODM dapat diidentifikasi dengan menggunakan Dipole Mode Index DMI yang menggambarkan perbedaan anomali SPL antara Samudera Hindia
tropis bagian barat 50 BT
Meyers, 1996. Dangkalnya termoklin di bagian timur Samudera Hindia tropis yang berkaitan dengan rendahnya paras laut dan anomali SPL dingin terjadi
secara bersamaan yang menunjukkan bahwa upwelling memainkan peranan dalam formasi cold spot ini Irawati, 2005.
BT – 70 BT, 10
LS – 10 LU dan Samudera Hindia
tropis bagian tenggara 90 BT – 110
BT, 10 LS – katulistiwa. Korelasi antara
dua nilai SPL yang berbeda cukup besar 70. Hal ini mengindikasikan tingginya akurasi DMI dalam menggambarkan IODM berdasarkan SPL.
Gambar 3 Pola perkembangan IODM Saji et al., 1999.
IODM bersifat independen terhadap ENSO di Samudera Pasifik seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Pada gambar tersebut ditampilkan kondisi anomali
SPL Pasifik bagian tengah dan timur daerah Nino3 dan dibandingkan dengan data DMI. Tahun-tahun kejadian IODM adalah 1961, 1967, 1972, 1994 dan 1997.
Pada tahun 1961 tidak ada El Nino; 1967 IODM terjadi bersamaan dengan La Nina; 172 dan 1997 IODM muncul bersamaan dengan El Nino. Korelasi antara
DMI dan Nino3 kecil 0.35 sehingga disimpulkan bahwa IODM bersifat independen terhadap ENSO Saji et al., 1999.
Gambar 4 Perbandingan kondisi IODM dan El Nino Saji et al., 1999. Meskipun IODM sangat dipengaruhi oleh sistem sirkulasi muson, namun
ternyata korelasi antara IODM dan tingkat presipitasi di wilayah Asia yang dipengaruhi muson kecil. Hal ini disebabkan ada faktor-faktor lain yang juga
mempengaruhi IODM, seperti kecenderungan biennial yang bervariasi menurut periode muson dan reduksi konveksi di zona konvergensi tropis OTCZ. Pada
akhirnya disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang jelas antara IODM dan sistem muson Saji et al., 1999.
Bagi negara-negara di sekitar Samudera Hindia, terdapat dua anomali pola cuaca selama IODM berlangsung. Pertama, anomali meningkatnya suhu
daratan dan tingginya curah hujan di laut di bagian barat Samudera Hindia dan sebaliknya di sisi timur samudera. Kedua, meningkatnya curah hujan di atas
daratan Asia yang masih dipengaruhi angin muson yang meluas dari Pakistan hingga bagian selatan China. Bahkan fenomena IODM terasa hingga Eropa,
timur laut Asia, utara dan selatan Amrerika utara dan selatan Afrika. Bagi wilayah-wilayah jauh ini, IODM berhubungan dengan anomali meningkatnya
suhu daratan dan berkurangnya curah hujan Saji dan Yamagata, 2003.
Pada saat terjadi IODM, angin pasat di bagian timur Samudera Hindia tropis menjadi lebih kuat dan lama dan menekan intrusi arus katulistiwa sehingga
proses pendinginan lautan Indonesia berlangsung lebih lama. Hal ini menyebabkan upwelling lebih kuat dan lapisan termoklin menjadi lebih dangkal di
barat Sumatera dan selatan Jawa Saji et al., 1999. Hubungan antara SPL dan anomali kedalaman termoklin dapat dijelaskan dengan IODM Qu et al., 2005.
2.4.3 El Nino Southern Oscillation ENSO