31
Republik di perbatasan Medan Area. Dalam serangan-serangan ke basis-basis tentara Republik ini beberapa tokoh politik bahkan ditawan, seperti M. Saleh Umar.
Kerasnya tindakan Inggris di Medan Area menimbulkan beberapa permasalahan bagi pemimpin pemerintahan Republik. Baik dr. Amir maupun Ahmad Tahir
menyadari bahwa konfrontasi besar dengan Inggris akan mengancam keselamatan Pemerintahan Republik di Sumatera Timur. Beberapa upaya pun dilakukan dr. Amir
untuk mencari solusi damai dengan Inggris, yakni jalur diplomasi seperti yang dilakukan pemerintah pusat.
Keadaan kota Medan yang semakin tidak kondusif akibat dari konflik tersebut akhirnya menjadi alasan dilakukannya pemindahan pusat pemerintahan provinsi
Sumatera dari Medan ke Pematangsiantar pada April 1946. Pindahnya Ibukota juga diikuti oleh seluruh jawatan pemerintahan dan juga Markas TRI Divisi IV, hal ini
kemudian juga diikuti oleh penduduk Medan dan sekitarnya yang merasa keadaan sudah tidak lagi aman akibat teror dari pasukan Sekutu.
2.4. Revolusi Sosial
Menurut Mochtar Lubis, revolusi itu seperti banjir, dan sekarang tidak seorang pun dapat mengendalikannya. Apapun yang kita lakukan, ia mengikuti jalannya
sendiri, tanpa menghiraukan kita yang menciptakannya. Revolusi sosial adalah suatu revolusi untuk mengubah dtruktur masyarakat kolonial atau feodal kepada suatu
32
susunan masyarakat atas dasar Undang-Undang Dasar 1945.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa situasi di Sumatera Timur pasca kemerdekaan Indoneisa mengalami gejolak. Berbagai konflik dan hambatan satu
persatu datang menghadang Negara Republik Indonesia di wilayah Sumagtera Timur yang baru terbentuk. Mulai dari kerusuhan yang dipelopori oleh SekutuNICA,
hingga mengontrol kelompok radikal yang non-kooperatif
32
dalam mempertahankan Republik Indonesia. Laskar-laskar rakyat dan partai-partai politik yang bergabung di
dalam Volksfront merasa tidak suka dengan sikap dan kebijakan yang ditunjukkan olh Mr. T.M. Hasan dalam memimpin pemerintahan.
33
Sikap tidak suka yang berawal dari pertemuan yang diadakan pada tanggal 8 September 1945 sebelum pertemuan di Taman Siswa oleh Mr. T.M. Hasan dengan
tokoh politik lainnya seperti, Abdul Xarim MS, Mohammad Said, dan Jahja Jacoeb di rumah dr. Amir di Tanjunga Pura. Dalam pertemuan ini Mr. T.M. Hasan dan dr. Amir
lalai sehingga sama sekali tidak menyinggung masalah kemerdekaan Indonesia kepada mereka. Hal ini menimbulkan kekecewaan para tokoh politik terhadap kedua
pemimpin tersebut. Sikap dr. Amir sendiri sudah tidak begitu perduli terhadap proklamasi kemerdekaan karena beliau menganggap proklamasi hanyalah sandiwara
32
Kelompok radikal tersebut antara lain, Saleh Umar, Marzuki Lubis, dsn Jacob Siregar PNINapindo, Laut Siregar dan Nathar Zainuddin PKI, Sarwono Sastrosutardjo, Pesindo, dan
Bachtiar Yunus Hizbullah. Lihat Suprayitno, “Revolusi Sosial di Sumatera Timur Maret 1946 Tregedi Amir Hamzah” dalam Agus Suwigno ed., Sejarah Sosial di Indonesia : Perkembangan dan Kekuatan
70 Tahun Prof. Dr. Suhartono Wiryo Pranoto, Yogyakarta : Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada, 2011, hal. 149
33
Ibid, hal. 150
33
belaka.
34
Sikap yang ditunjukkan para kaum republik bermula ketika tersiar kabar tentang pertemuan yang dilakukan oleh kaum bangsawan Sumatera Timur pada tanggal 25
Agustus 1945. Sebuah pertemuan yang melibatkan raja-raja, sultan-sultan, dan para pamongpraja ini diadakan oleh dr. Mansoer yang saat itu menjabat sebagai ketua Shu
Shangi Kai Sumatera Timur, di kediamannya di sudut jalan raja jalan Amalium. Pertemuan ini diadakan untuk mengatur cara-cara dalam menyambut kedatangan
Belanda kembali. Dalam pertemuan tersebut telah dibentuk comite van ontvangat panitia penyambutan kedatangan Belanda yang diketuai oleh Sultan Langkat dan dr.
Mansoer sebagai wakilnya. Selanjutnya fakta-fakta yang tidak dimumumkan secara resmi tersebut tersebar luas dimasyarakat. Hal inilah yang menjadi desas-desus dan
akhirnya setelah semakin jauh dari tempat asal kejadian, maka isinya semakin Kekecewaan para tokoh politik ini semakin mendalam dengan adanya
kebijakan Mr. T.M. Hasan yang berusaha melakukan diplomasi terhadap golongan bangsawan kesultanan di Sumatera Timur agar melebur ke dalam republik.
Para tokoh politik menganggap bahwa kaum bangsawan Sumatera Timur adalah sebuah ancaman bagi pemerintahan republik. Anggapan ini muncul ketika tersiar
kabar bahwa para kaum bangsawan dan kesultanan Sumatera Timur membentuk sebuah panitia untuk menyambut kedatangan Belanda kembali. Hal ini yang
kemudian memunculkan sikap ketidaksukaan kaum republik atas upaya Mr. T. M. Hasan melakukan upaya diplomasi terhadap kaum bangsawan Sumatera Timur.
34
Biro Sejarah Prima, Op.cit, hlm. 100-101
34
berbeda.
35
Akibat desakan para pemimpin politik, pada tanggal 31 September 1945 Mr. T.M. Hasan memanggil seluruh pemuda yang tergabung dalam BPI dalam rapat sosialisasi
kemerdekaan Indonesia di gedung Taman Siswa Medan. Akhirnya pada tanggal 6 Oktober 1945, bendera merah putih resmi berkibar di lapangan Esplanade lapangan
medeka sekarang Medan. Berita keberadaan comite van ontvangst yang diyakini sebagai upaya
memuluskan kembalinya Belanda oleh kaum bangsawan Sumatera Timur menjadi salah satu hambatan terjadinya proklamasi kemerdekaan di Sumatera Timur. Mr. T.M.
Hasan yang medapat tanggung jawab atas proklamasi tersebut bersikap ragu-ragu karena merasa tidak memiliki kekuataan politik untuk melakukan hal tersebut. Sikap
ini yang kemudian menimbulkan kekecewaan di kalangan tokoh politik yang mendukung proklamasi yang pada akhirnya mengambil tindakan untuk mendesak Mr.
T.M. Hasan untuk melakukan kewajibanya.
36
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa awal tahun 1946 keadaan politik di Sumatera Timur semakin memanas karena konflik antara pihak SekutuNica dengan laskar
rakyat dan adanya perpecahan antar golongan. Perpecahan antar golongan ini misalnya, perpecahan antara kerajaan yang konservatis dan perpecahan antara
35
Ibid, hal. 94-116
36
Anthony Reid, Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera Timur, Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1987, hal. 268; 271
35
Pemerintah Republik Indonesia dengan Persatuan Perjuangan. Perpecahan ini menimbulkan perebutan pengaruh dan kekuasaan diantara golongan partai, serta
adanya pertentangan lain antara golongan pemilik modal dengan para buruh dan raja-raja dengan rakyat. Pertentangan-pertentangan ini kemudian menimbulkan
pernyataan untuk menghapuskan swapraja sultan, raja, Sibayak, dan datu yang menjadi dasar dari tujuan Persatuan Perjuangan untuk menghapus sistem kerajaan di
Sumatera Timur.
37
Pada awal Februari 1946 diadakan rapat antara Komite Nasional Indonesia KNI daerah Sumatera Timur dengan Gubernur Sumatera dan para Sultan, raja, dan sibayak
seluruh Sumatera Timur. Dalam rapat itu KNI meminta kepada agar para sultan, raja-raja, dan sibayak segera mengubah sistem pemerintahannya ke demokrasi sesuai
Keadaan ini semakin memanas lagi karena munculnya kesan kurang kerjasama antara Gubernur Mr. T.M. Hasan dengan wakilnya dr. Amir dalam menangani
kelompok yang bertikai. Bahkan kedua tokoh ini seakan didikte oleh para pemimpin pergerakan yang bertikai itu. Hal ini yang menyebabkan aktivitas golongan kiri lebih
didukung oleh para pemuda dari pada kedua tokoh tersebut yang lebih berhaluan moderat. Dalam keadaan kacau seperti ini para pemuda biasanya cenderung mudah
digiring pada tindakan-tindakan yang mengandung kekerasan. Itulah sebabnya para tokoh golongan kiri lebih mendapat tempat dikalangan pemuda dari pada tokoh-tokoh
moderat.
37
Ibid, hal 356
36
dengan Undang-undang Dasar Republik Indonesia.
38
Sultan-sultan dan raja-raja akan memrintah sesuai dengan kemauan dewan itu. Dewan tersebut membuat undang-undang, raja-raja
mengerjakan keputusan dari Badan Perwakilan tersebut..........” Dalam pertemuan tersebut, Mr.
T.M. Hasan selaku perwakilan republik menyampaikan pidato :
“............Pemerintah Negara Republik Indonesia telah menegaskan politiknya terhadap daerah istimewa yaitu Negara Republik Indonesia
mengakui daerah “zelfbestuur”. Di jaman Belanda kedudukan raja-raja terikat sekali; Belanda yang melakukan pemerintahan, sedang raja-raja
digunakan sebagai perkakas kaum penjajah dan kaum kapitalis. Dalam zaman Indonesia merdeka ini, raja-raja mesti menjadi pemimpin
bangsanya kembali. Pemerintahan otokrasi raja-raja yang ditanamkan oleh Belanda harus ditukar menjadi pemerintahan demokrasi dan raja-raja
hendaknya bersiap memimpin rakyat. Raja-raja berhak menjadi pemimpin Negara Republik Indonesia.
39
Dilain pihak, para sultan dan raja-raja yang diwakili oleh Sultan Langkat memberikan pidato bahwa mereka berjanji akan setia terhadap Pemerintahan
Republik Indonesia. Dalam pidatonya, Sultan Langkat juga meminta agar gubernur Sumatera dapat menyampaikan kepada Presiden R.I mengenai permohonan para
sultan agar mempertimbangkan pembentukan daerah istimewa di Sumatera Timur.
40
Dari pidato yang disampaikan Sultan Langkat, tersirat bahwa Sulatan-sultan Sumatera Timur belum menunjukkan kesungguhan mereka untuk meletakkan haknya
sebagai swapraja dan setia ke dalam republik. Hal ini terlihat dalam pidato Sultan
38
Kementrian Penerengan R.I, Republik Indonesia : Provinsi Sumatera Utara, Medan: CV Karya Purna, 1953, hal. 76
39
A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid II, Bandung: DISJARAH-AD dan Angkasa Bandung, 1977, hal. 595
40
Permintaan untuk menjadi daerah istimewa di Sumatera Timur berkaitan dengan kebijakan Presiden R.I terhadap peleburan kerajaan di Jawa Yogyakarta menjadi daerah Istimewa Yogyakarta.
Pidato dultan Langkat pada tanggal 3 Februari 1946, lihat Mansyur, The Golden Bridge : Jembatan Emas 1945, Medan : Lembaga Sosial Juang 45 Medan Area, Tanpa Tahun, Hal. 265-266.
37
Langkat yang menginginkan supaya wilayah kekuasaan para sultan-sultan di Sumatera Timur menjadi daerah istimewa sehinggaa tetap melanggengkan sistem
otokrasi mereka meskipun tidak seperti pada masa Belanda.
Sikap dari para sultan dan swapraja Sumatera Timur ini membuat ketegangan semakin meningkat. Selain itu, sikap Gubernur Mr. T.M. Hasan yang menyatakan
belum berniat untuk menghapus kerajaan-kerajaan karena ada dasar hukum untuk menjadi daerah istimewa semakin menimbulkan kecurigaan dikalangan partai politik
terutama golongan kiri. Mereka mengnggap bahwa Gubernur belum ingin menghapuskan sistem pemerintahan kerajaan. Hal ini jelas betentangan dengan
program persatuan perjuangan.
Di tengah situasi ini, golongan kiri telah berhasil menyusupi berbagai posisi penting dalam peta kekuatan daerah Sumatera Timur. Keadaan ini semakin parah
ketika jabatan pemerintahan dipegang olah dr. Amir selama kepergian Mr. T.M. Hasan meninjau daerah-daerah. Para tokoh golongan kiri mulai ikut menyertai setiap
kegiatan dr. Amir kesetiap daerah-daerah genting seperti Simalungun dan Asahan. Tujuan utama mereka ialah melakukan provokasi rakyat dengan isu-isu yang dapat
menimbulkan kebencian mereka terhadap pihak kerajaan dan bangsawan. Keadaan ini disambut antusias oleh rakyat yang kemudian digunakan oleh pihak golongan kiri
untuk segera bergerak melakukan aksinya.
Tanggal 1 Maret 1946, tidak ada tanda-tanda akan terajdi revolusi sosial. Pada
38
saat itu, masih ada pertemuan makan di hotel Wi Yap, dimana hadir antara lain Datu Jamil, Tengku Busu dari Indrapura, Tengku Hafaz, Raja Kalimansyah dari
Sumalungun, Raja Silima Huta, dan Mahadi.
41
Pada awal maret itu juga M. Yunus Nasution dan Marzuki Lubis mengadakan suatu pembicaraan dengan Kolonel Ahmad
Tahir Panglima Divisi dan Mayor Mazuar, di kediaman Laut Siregar. Dalam pertemuan ini pihak volksfront membentangkan rencana mereka untuk menghapuskan
struktur pemerintahan swapraja. Mereka mengemukakan bahwa tanda-tanda pihak swapraja akan melawan republik telah kelihatan, maka dari itu pihak volksfront ingin
bertindak. Pihak TRI menyetujui rencana mereka kalau dilakukan tanpa penahanan-penahanan dan pembunuhan-pembunuhan.
42
Pada tanggal 3 Maret 1946 menjelang 4 Maret meledaklah peristiwa yang dikenal dengan revolusi sosial di setiap daerah kerajaan Sumatera Timur. Gelora
revolusi sosial dimulai di Sunggal pada tanggal 3 Maret, menyusul Binjai, Perbaungan, Indrapura, Lima Puluh, Tanah Datar, Seribudolok dan Kualuh. Pada
Pihak TRI yang mendapat berita bahwa partai-partai politik akan melakukan penurunan raja-raja, Diminta supaya jangan campur tangan karena persoalanya
adalah urusan sipil. TRI mengintruksikan kepada bawahannya di setiap daerah agar jangan mencampuri urusan tersebut, kecuali terjadi kekacauan yang membahayakan
keamanan.
41
A.H. Nasution, Op.cit, hal. 598
42
T. Haji M. Lah Husny, Revolusi sosial 1946 di Sumatera TimurTapanuli Serta Pangkal dan Akibatnya prolog dan nalognya, Medan: Badan Penerbit Husny, 1984, hal. 49
39
tanggal 5 Maret dilakukan di Pematangsiantar, Tiga Dolok, Raya, dan Barus Jahe. Tanggal 6 Maret di Purba dan 7 Maret di Tanjung Pura. Ini masih diteruskan ke
Berastagi, Tanjung Balai dan Bilah pada 8 Maret, menyusul ke Merbau pada 9 Maret serta Kota Pinang pada 11 Maret. Pada umumnya yang mengambil tindakan ini
adalah laskar-laskar rakyat yang tergabung dalam persatuan perjuangan yang didukung oleh rakyat. Mereka menumbangkan kekuasaan raja-raja dengan menahan,
merampok, dan membunuh raja-raja serta membumihanguskan istana-istana kerajaan.
Demikian halnya yang terjadi di Simalungun, sebelum meletusnya peristiwa tersebut Ketua KNI Laut Siregar mengirim surat kepada kepada pemimpin TRI
tentang kerusuhan yang akan terjadi. Ia meminta supaya pihak TRI tidak memihak pada golongan manapun. Namun akibat dari isi surat yang tidak jelas. pihak TRI tidak
menduga akan terjadi bentrokan antara laskar dan pihak swapraja. Ahmad Tahir selaku Komandan TRI yang menyetujui tindakan ini meminta para amggota TRI
untuk mengawasi peristiwa revolusi tersebut agar sesuai denga ketentuan-ketentuan yang telah disepakati, yakni:
1. Penangkapan dilakukan dengan bersih, tertib, dan sopan
2. Semua tangkapan harus diserahkan pada pihak polisi atau pihak yang
berwenang untuk diperiksa 3.
Yang benar-benar salah akan dihukum, yang tidak salah akan dibebaskan
40
4. Pihak TRI akan mengawasi hal ini sebagai peninjau dalam tindakan-tindakan
pembersihan itu.
43
Kejadian justru sebaliknya, dimana tindakan-tindakan yang dilakukan menjadi liar dan tidak sesuai dengan apa yang dibicarakan di rumah Mr. Laut Siregar. Di
Simalungun, Saleh Umar mengeluarkan intruksi kepada pemimpin Pesindo, BHL dan PKI Pematangsiantar untuk menangkapi raja-raja di Simalungun. Pihak BHL
mendapat peranan utama dalam peristiwa ini untuk mencegah terjadinya tuduh menuduh yang bersifat kesukuan di pedalaman Simalungun. Namun hal ini yang
justru membawa keadaan semakin buruk bagi raja-raja itu. Di pedalaman Simalungun tidak terdapat adanya oposisi terpadu terhadap pemerintahan raja-raja, BHL yang
bertindak di daerah-daerah ini dipimpin oleh beberapa tokoh yang memiliki dendam pribadi dan para pengikutnya yang tidak terpelajar.
Ketua BHL A.E. Saragih Ras
44
43
Jonner Hasibuan, Runtuhnya Feodalisme di Simalungun 1946, Skripsi Sarjana Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya USU, Medan: Tidak diterbitkan, 1992, hal. 86-87
44
A.E. Saragih Ras merupakan Putra perbapaan Tiga ras Pane. Hal ini membuat ia mendapat pendidikan seadanya dan magang di Kantor Kerajaan Pane. Dia berhenti tahun 1923, masuk dalam dunia
kejahatan untuk beberapa tahun, kemudian menjadi supir taksi 1927-1930. Pada tahun 1931 menggantikan ayahnya sebagi kepala kampungnya, tetapi rupanya Raja Pane menolaknya menurunkan
diri, dan menjadi salah seorang yan pertama masuk Gerindo pada tahun 1938 dan F-kikan pada tahun 1942. Oleh karena itu wajar dia diserahkan Kenkokutai di Simalungun dan penerusnya, Barisan Harimau
Liar. Pasukannya pada mulanya tidak begitu menonjol, sampai pasukan ini mengumpulakn harta kekayaan dalam “revolusi sosial”. Sesudah tahun 1949, Saragih Ras banyak berada di penjara Republik
dan perkaranya tidak pernah dibawa ke sidang pengadilan. A.E. Saragih Ras merupakan salah seorang pemimpin revolusi sosial untuk bagia Kabupaten Simalungun sekaligus menjadi pemimpin BHL,
Anthony Reid, Op.cit, hal 307,
dan ketua Pesindo A. Azis Siregar merupakan pemeran utama dalam peristiwa revolusi sosial di Simalungun. Saragih Ras memulai
gerakan ini terhadap Raja dari Pane. Mereka ditangkap BHL pada tanggal 3 Maret
41
malam beserta seluruh keluarga dan harta bendanya dirampas. Raja Pane dan beberapa pengikutnya dibawa pada suatu tempat pertahanan BHL dimana diadakan
sebuah pesta dan kemudian semuanya dibunuh. Esok harinya BHL mengejar dan menangkap raja Raya untuk dibunuh dibawah jembatan besar. Rumahnya
diobrak-abrik, emas dan barang berharganya dirampok. Sementara itu, raja Purba beruntung diselamatkan pasukan TRI dari tangan BHL. Raja Silimakuta yang
kebetulan berada di Pematangsiantar saat rumahnya disergap dan dibakar juga selamat. Bersama dengan raja-raja Simalungun lainnya, kedua raja ini akhirnya
mendapat pengamanan tahanan TRI di Pematangsiantar.
45
45
Ibid, hal 374
Kota Pematangsiantar sendiri yang telah menjadi markas TRI di awal 1946, menjadi wilayah yang cukup aman dari peristiwa revolusi sosial. Bahkan
Pematangsiantar menjadi tempat perlindungan bagi para korban-korban revolusi sosial dari daerah-daerah yang bergolak seperti Asahan, Labuhan Batu, Deli
Serdang, Langkat, Tanah Karo dan Simalungun. Seperti Sultan Langkat T. Abdul Jalil Rahmatsyah dan keluarga yang ditempatkan diloteng sebuah toko milik seorang
Pakistan di Jalan Sutomo sekarang.
42
BAB III Pematangsiantar Ibukota Provinsi Sumatera