54
Gubernur Sumatera dan BPI Medan. Atas intruksi ini, pada tanggal 2 Oktober 1945 dibawah naungan KNI, BPI, BKPI, dan Cap Rante, para pemuda Simalungun dan
Pematangsiantar bersatu mengambil alih kantor Bunsuco dan instansi lainnya di Pematangsiantar tanpa adanya gencatan senjata. Pada peristiwa itu, Maja Purba yang
saat itu berstatus sebagai wakil Bunsuco diangkat oleh para pemuda sebagai pemimpin daerah.
Setelah peristiwa pengambil alih kekuasaan, diutuslah beberapa perwakilan untuk melaporkan perkembangan yang dicapai wilayah Simalungun dan
Pematangsiantar. Perwakilan ini sekaligus mengikuti upacara nasional pertama di lapangan Fukuraido Lapangan Merdeka Medan tanggal 4 Oktober 1945. Pada
upacara ini disampaikan pula tentang kemerdekaan Indonesia dan Proklamasi, dan saat itulah merupakan perwujudan nyata akan proklamasi di Ibukota Sumatera Timur.
Sementara wilayah Simalungun sendiri telah diwujudkan sebelumnya pada tanggal 27 September 1945 meski dengan pengibaran bendera merah putih tanpa pembacaan
proklamasi.
3.3. Pematangsiantar Menjadi Ibukota Sumatera
Seperti dijelaskan pada bab sebelumnya dimana kondisi yang sedang bergolak akibat dari konfontasi pihak SekutuNICA dan revolusi sosial menjadi sebuah
ancaman bagi eksistensi pemerintahan republik di Sumatera Timur. Kota Medan sendiri yang menjadi Ibukota pemerintahan provinsi Sumatera, keadaanya sudah
55
tidak lagi aman dengan semakin gencarnya pihak SekutuNICA melakukan penggempuran terhadap markas-markas TRI di sekitar Medan Area. Keadaan ini jelas
disadari oleh dr. Amir dan Ahmad Tahir akan menjadi ancaman bagi pemerintahan republik di Sumatera.
Sejak pecahnya revolusi sosial, dr. Amir, Ahmad Tahir dan para pemimpin pemerintahan dan TRI lainnya di Medan terus melakukan kontak dengan pihak
SekutuNICA untuk mecari solusi damai. Mereka terus berusaha menerapkan garis kebijaksanaan diplomasi sebagaimana diterapkan oleh pemerintah pusat. Pada tanggal
21 Maret 1946, hampir tiga minggu setelah pecahnya revolusi sosial, Mr. T.M. Hasan akhirnya kembali ke Medan dari Palembang. Sehari kemudian ia mengadakan
pertemuan dengan pemimpin-pemimpin TRI dan sipil. Dalam rapat ini diputuskan, bahwa dalam waktu dekat akan segera diadakan sidang KNI se-Sumatera. Dalam
rapat ini juga diputuskan untuk memindahkan ibukota Provinsi Sumatera ke Pematangsiantar, mengingat semakin meningkatnya tekanan tentara Sekutu. Akan
tetapi Komandan Divisi IV TRI masih dipertahankan di Medan, untuk mengawasi aktivitas pemerintahan darurat militer yang ditetapka setelah revolusi sosial oleh
Ahmad Tahir.
Ahmad Tahir sebagai Komadan Divisi IV TRI segera melakukan perubahan pemerintahan. Kepala perbekalan TRI, Mahruzar diangkat sebagi residen Sumatera
Timur menggantikan Junus Nasution. Ketika Mr. T.M. Hasan berangkat ke
56
Pematangsiantar untuk mengatur perpindahan pemerintahan, dr. Amir dan Ahmad Tahir terus meyakinkan pihak Sekutu bahwa mereka akan tetap bekerja sama dengan
Inggris dalam menjaga keamanan dan ketertiban kota Medan. Merekapun menjelaskan bahwa semua kekuatan militer Republik tetap akan ditempatkan di luar
batas Medan Area. Seperti diketahui sebelumnya bahwa pada tanggal 1 Januari 1946 tokoh-tokoh TRI berusaha menyatukan organisasi kemiliteran yang strukturnya masih
lemah. Akibat adanya provokasi dari tentara SekutuNICA di Medan dan sekitarnya, maka Komandan divisi IV mengintruksikan agar pasukan yang ada dipindahakn ke
luar kota. Pemindahan pasukan TRI ke luar kota bertujuan agar dapat disusun suatu kesatuan yang berdisiplin dan terkonsolidasi, sehingga latihan yang dilakukan dapat
berjalan seusai rencana.
Sebagian besar anggota-anggota pasukan TRI divisi IV pindah ke luar Medan, yaitu ke Brastagi, sedangkan Radio Republik Indonesia RRI juga pindah ke
Pematangsiantar. Penyelenggaraan berita dilaksanakan setelah membangun kembali peralatan sehingga siaran-siaran berlangsung kembali normal. Perpindahan pasukan
dan peralatan radio, ternyata diikuti dengan perpindahan lembaga-lembaga pemerintahan lainnya secara berangsur-angsur ke Pematangsiantar dan Tebing Tinggi.
Sementara pada tanggal 12 April 1946, Mr. T.M. Hasan memutuskan pengangkatan 100 anggota DPR Sumatera dan juga mengumumkan nama-nama
anggotanya. Diantaranya dua puluh anggota diangkat dari Sumatera Timur dan
57
sebelas dari Tapanuli. Mereka adalah Sutan Seri Moelia, Amin Soetardjo, Lokot Batubara, Oesman Effendi, Oesman Jusuf, Ny. Moenar Sastro Hamidjojo, Abdullah
Jusuf, Tama Ginting, Natar Zainuddin, Saleh Umar, S.M. Tarigan, Jusuf Abdullah, Kario Siregar, Nolong Sirait, Dr. Gindo Siregar, Marnicus Hutasoit, S.H. Simatupang,
Dr. Sunaryo, Haji Abudullah Rachman Sjihab, dan Bachtiar Junus. Anggota dari Tapanuli adalah Patuan Natigos Lumbantobing, S.M. Simanjuntak, Mr. Rafinus
Lumbantobing, Raja Djundjungan Lubis, Sutan Mangardja Muda, Sutan Naga, Baginda Kalidjundjung, Raja Sinambela, G. Silitonga, Abdul Hakim, dan Washington
Hutagalung.
58
Adapun yang masih tetap berkedudukan di Medan hanyalah Walikota Medan Negara Republik Indonesia, Mr. Mohammad Jusuf. Kedudukan Mr. Mohammad
Jusuf inisecara tidak langsung adalah wakil republik dan sekaligus penghubung antara republik dan tentara Sekutu. Instansi-instansi vital tetap dipertahankan, seperti
Kantor Polisi, Kantor Pos, Kantor Telepon, Stasiun Kereta Api, dan Rumah Sakit Umum walaupun selalu menadapat teror dan intimidasi. Anehnya tentara Sekutu
tidak mengambil gedung-gedung ini dengam cara kekerasan, dengan alasan untuk memberikan peluang kepada pihak Belanda menyusun kekuatannya. Kebijaksanaan
politik tentara Sekutu mengajak pihak republik berunding, secara tidak langsung Sidang DPR akan dilaksankan di Bukit Tinggi pada tanggal 17 April
1946. Pada saat itu Mr. T.M. Hasan telah membubarkan Pemerintahan Darurat Militer di Sumatera Timur dang mengangkat Laut Siregar sebagai Residen Sumatera Timur.
58
Kemnterian Penerangan R.I, Op.cit, hal 107
58
membuka peluang bagi Belanda menjadikan Kota Medan sebagai basis kekuatan militer setelah ditinggalkan republik.
Para anggota DPR Sumatera ini pada akhirnya dilantik di Bukit Tinggi pada tanggal 17 April 1946 sekaligus memulai rapat perdananya disana. Dalam rapat ini
dipilih pula anggota Dewan Eksekutif dari DPR Sumatera ini, dengan susunan:
Ketua : Gubernur Sumatera
Wakil Ketua : Dr. Gindo Siregar Sumatera Timur
Anggota : Dr. R. Sunario Sumatera Timur
Mr. M. Nasroen Sumatera Barat
Mr. Rafinus L.Tobing Tapanuli
Soetikno Padmo Soemarto Aceh
K. H. Tjik Wan Palembang
Sidang perdana DPR ini berhasil memutuskan struktur formal Pemerintahan Republik di Sumatera. Secara mendasar DPR Sumatera memutuskan bahwa: Provinsi
dikepalai oleh Gubernur, sub-provinsi dikepalai oleh wakil gubernur Gubernur Muda, karesiden dikepalai oleh seorang residen. Kabupaten dikepalai oleh seorang
bupati, kawedanan oleh seorang wedan, dan kecamatan oleh seorang camat dan
59
dibawahnya terdapat para kepala Nagari, Huta, Kampung, desa dan sebagainya. Disamping itu diputuskan juga undang-undang tentang pembentukan
departemen-departemen pemerintahan yang bertugas menangani masalah keuangan, kesejahteraan sosial, kesehatan, komunikasi, agama, penerangan, keamanan dan
pertahanan.
Selain itu, keputusan penting dari sidang ini adalah pembagian Sumatera menjadi tiga sub-provinsi daerah administratif, yakni:
1. Sub-provinsi Sumatera Utara terdiri dari karesidenan-karesidenan Aceh,
Sumatera Timur, dan Tapanuli 2.
Sub-provinsi Sumatera Tengah terdiri dari karesidenan-karesidenan Sumatera Barat, Riau, dan Jambi
3. Sub-provinsi Sumatera Selatan terdiri dari karesidenan-karesidenan
Palembang, Bengkulu, Lampung, dan Bangka Belitung.
59
Tiap-tiap provinsi merupakan daerah administratif yang tidak memiliki kekuasaan otonomi atau lembaga pemerintahan dan dikepalai oleh seorang gubernur muda.
Gubernur Muda bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan berbagai pemerintahan residensi.
Dalam sidang ini juga diputuskan pemindahan ibukota provinsi Sumatera dari kota Medan ke Pematangsiantar. Faktor keamanan dan masalah perhubungan menjadi
59
Kementerian Penerangan R.I, Op.cit, 104-105
60
dasar kuat pengambilan keputusan itu sebagaimana tampak dalam kutipan berikut ini:
“Berhubung dengan sukarnya keadaan perhubungan, sehingga perjalanan anggota-anggota Badan Pekerja dari Bukit Tinggi pulang ke
tempatnya masing-masing dan dari sana ke ibukota Sumatera menghendaki waktu yang bukan sedikit.
Berhubung dengan kegentingn keadaan Medan, kantor Gubernur Sumatera ditetapkan pindah ke Pematangsiantar dan beserta dengan itu
Badan Pekerja Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera harus pula berkedudukan di Pematangsiantar.”
60
Berdasarkan hasil sidang ini, Gubernur Sumatera bersama-sama dengan Komandan TRI divisi IV, Pusat Persatuan Perjuangan se-Sumatera dan badan-badan
lainnya mulai bertindak melakukan pemindahan ibukota provinsi sesuai dengan hasil sidang DPR Sumatera tersebut. Pelaksanaan pemindahan ini berlangsung secara
bertahap dan tersembunyi untuk menghindari adanya ancaman dan tindakan dari pihak SekutuNICA. Kantor Gubernur Sumatera dan Markas TRI divisi IV adalah
yang pertama dipindahkan pada akhir April 1946.
61
Untuk melancarkan kegiatan pemerintahan republik Indonesia di Kota Medan, Gubernur Sumatera menugaskan Mr. Mohammad Jusuf selaku walikota Medan, dan
dan perwakilan TRI Kapten Asmatuddin untuk tetap berada di Medan. Mereka Perpindahan ini kemudian diikuti
oleh Badan-badan Perjuangan dan pemerintahan tingkat Sumatera dan Sumatera Timur ke Pematangsiantar dan Tebing Tinggi. Dua surat kabar lokal yakni Soeloeh
Merdeka dan Mimbar Umum juga memindahkan kantor beserta unit percetakannya ke dua kota tersebut.
60
Edisaputra, Op.cit, hal 228
61
Ibid, hal 229-230
61
berkantor di Jalan Thamrin Medan, dan sekaligus bertugas sebagai penghubung antara Sekutu dan pemerintah Republik.
Kabar perpindahan pemerintahan sipil dan militer ini menyebar dikalangan rakyat sehingga mengakibatkan mereka beramai-ramai ikut pindah dari kota Medan.
Sasaran utama rakyat ini adalah kota Pematangsiantar dan wilayah sekitar Simalungun dan beberapa daerah lainnya. Perpindahan rakyat secara massal ini
merupakan tindakan evakuasi pertama dalam perjuangan menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Proses perpindahan yang berjalan lancar ini kemudian menemukan problemnya tersendiri. Kota Pematangsiantar yang saat itu diketahui sebagai ibukota Simalungun
dan kota terbesar kedua setelah Medan, tidak memiliki cukup gedung untuk menampung seluruh orang dan kantor bagi badan-badan pemerintahan dan maskas
tentara. Rumah-rumah yang akan dijadikan untuk tempat tinggal pegawai pemerintahan yang juga turut pindah, tidak dapat menampung seluruhnya.
Tetapi semangat revolusioner dapat menembus halangan tersebut. Dengan semangat gotong royong, kantor yang selayaknya dijadikan sebuah kantor jawatan,
dijadikan kantor Walikota. Kantor-kantor jawatan tingkat provinsi bergabung dengan jawatan tingkat kabupaten. Sementara itu, Gubernur Sumatera menempati kantor
62
Balaikota Pematangsiantar kantor walikota sekarang.
62
62
Dibekas kantor Gubernur Sumatera itu ditemukan tulisan yang menyatakan bahwa ”Gedung ini pernah menjadi kantor Gubernur Provinsi Sumatera dari tanggal 6 Februari 1946-29 Juli 1947.
Edisaputra, Op.cit, hal 230
Markas besar TRI divisi IV sendiri menempati Gedung Nasional Gedung Juang 45 Pematangsiantar. Percetakan
dan harian Soeloeh Merdeka menempati gedung “dezon” dan disitu juga para pegawainya bertempat tinggal bersama keluarga mereka.
Keadaan ini kemudian menjadikan Pematangsiantar mendapat julukan kota revolusioner. Hal ini kerena situasi kota yang dipenuhi dengan para pejuang yang
berbaur dengan para pengungsi dan para birokrat pemerintahan dan militer. Dari sini jugalah segala kebijakan pemerintahan Provinsi Sumatera dan operasi militer
menghancurkan pos-pos SekutuNICA di Medan Area dan ancaman agresi militer Belanda dibahas dan diputuskan. Semangat itu pula yang menyebabkan penduduk
Pematangsiantar dan Simalungun turut membantu para pejuang dan pengungsi dalam hal tempat tinggal dan harta benda demi keberlangsungan perjuangan republik
Indonesia.
63
BAB IV Peranan Kota Pematangsiantar dalam Mengisi Kemerdekaan