63
BAB IV Peranan Kota Pematangsiantar dalam Mengisi Kemerdekaan
1946-1947
4.1. Kondisi Sosial dan Politik Pematangsiantar
Telah dijelaskan pada bab sebelumnya mengenai proses pemindahan Ibukota Sumatera dari Medan ke Pematangsiantar yang ditetapkan pada rapat Dewan
Perwakilan Sumatera pertama di Bukit Tinggi. Kebijakan yang diambil atas dasar kondisi keamaan ini telah merubah situasi dan kondisi kota Pematangsiantar pada
masa awal Kemerdekaan republik Indonesia. Pematangsiantar seketika menjadi kota yang sangat ramai dengan keberadaan para pejuang dan pegawai pemerintahan
republik Indonesia tingkat Sumatera beserta para rakyat yang mengungsi dari Medan.
Kota Pematangsiantar sendiri merupakan ibukota dari Simalungun dan menjadi ibukota afdeling lanschap Simalungun en Karolanden pada masa pemerintah kolonial
Belanda. Keadaan geografis wilayah ini yang menjadi jalur penghubung antara Sumatera bagian Utara dengan Sumatera bagian selatan, hingga letaknya menjadi
sangat strategis baik dari segi ekonomi, politis, maupun dari segi pertahanan. Bahkan ketika Belanda berusaha kembali menjajah Indonesia terutama wilayah Sumatera
Timur, Pematangsiantar menjadi salah satu target utama penempatan pasukannya
64
selain kota Medan pada awal proklamasi kemerdekaan Indonesia. Keadaan yang kemudian memicu peristiwa pertempuran “Siantar Hotel” antara pasukan Belanda
dengan para pejuang kemerdekaan di Pematangsiantar dan Simalungun.
Letaknya yang strategis ini pula yang kemudian menjadikan Pematangsiantar sebagai pilihan menggantikan Medan sebagai ibukota Sumatera pada masa krisis
yang terjadi pada awal kemerdekaan. Pematangsiantar dianggap siap menerima posisi tersebut karena merupakan kota terbesar kedua di Sumatera Timur pada saat itu
setelah Medan. Selain itu faktor keamanan, masalah perhubungan dan efisiensi jarak juga menjadi pertimbangan pengabilan keputusan tersebut, sebagaimana dalam
kutipan dibawah ini:
“Berhubung dengan sukarnya keadaan perhubungan, sehingga perjalanan anggota-anggota Badan Pekerja dari Bukit Tinggi pulang
ketempatnya masing-masing dan dari sana ke Ibukota Sumatera menghendaki waktu yang bukan sedikit.
Berhubung dengan kegentingan keadaan di Medan, kantor Gubernur Sumatera ditetapkan dipindahkan ke Pematangsiantar dan beserta
dengan Badan Pekerja Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera harus pula berkedudukan di Pematangsiantar.”
63
Keputusan sidang ini yang seketika merubah keadaan kota Pematangsiantar dan kemudian mendapat julukan sebagai kota revolusioner. Kota revolusioner adalah
julukan untuk sebuah kota yang dihuni oleh para pejuang revolusi yang memiliki
63
Edisaputra, Op.cit, hal 228
65
semangat dan jiwa yang berapi-api dalam mempertahankan Republik Indonesia dari penjajah Belanda dan kaki tangannya. Pematangsiantar memang pantas bila dijuluki
sebagai kota revolusioner, sebab setiap sudut kota telah dipenuhi oleh para pejuang yang berbaur pula dengan pengungsi dan para birokrat pemerintah sipil dan militer.
Tidak jarang sering terjadi adu mulut antara pemimpin laskar dengan pejabat pemerintahan Gubernur Sumatera terutama mengenai masalah logistik perang.
Marnicus Hutasoit salah seorang staf Gubernur Sumatera yang mengurusi masalah laskar melukiskan dengan baik suasana revolusioner itu sebagai berikut:
“Gaji pegawai sudah dibayar, tentara dan laskar meminta bagiannya. Front Medan Area harus dipertahankan. Perhatian dan
kegiatan pindah dari front ke belakang front, yaitu ke Tebing Tinggi dan Pematangsiantar sekeliling kantor Residen dan kantor Gubernur. Bagian
terpenting dari kantor-kantor ini adalah bagian lisensi hasil perkebunan dan bagian-bagian keuangan. Badan-badan perjuangan sering meminta
lisensi untuk mengekspor hasil perkebunan. Lisensi kebanyakan dijual kepada saudagar-saudagar. Orang-orang dari laskar biasanya tidak
cukup modal untuk merealisir lisensi hingga dapat diekspor sendiri... Akhirnya semua lisensi jatuh ke tangan-tangan orang Tionghoa.
Banyaklah saudagar-saudagar yang menjadi anggota bagian perbekalan laskar. Mereka biasanya tinggal dibelakang laskar. Yang disuruh ke
depan ialah kepala-kepala perbekalan laskar yang mengerumuni kantor residen dan gubernur. Jika datang ke kantor biasanya menggunakan
seragam pejuang, sepatu tinggi dan pistol tidak lupa. Waktu meminta lisensi keluarlah ucapan-ucapan: “ Anak-anak di front sudah tidak ada
pakaian. Jika anak-anak meninggalkan posnya Belanda akan jalan terus
66
ke Tebing Tinggi. Apa harus anak-anak sendiri yang datang dari front untuk mengambil lisensi, nanti bapak sendiri yang diambil oleh
anak-anak. Bapak jangan lupa, karena anak-anak berjaga di front maka bapak bisa dapat duduk disini dengan tenang.” Pistol biasanya diletakan
di atas meja, atau ikat pinggang gantungan pistol digeser ke depan hingga pistol kelihatan. Pernah kejadian bahwa loteng kantor Gubernur
ditembaki karena uang kurang cepat dikeluarkan. Seorang kepala laskar memasukkan jarinya ke dalam mulutnya, kemudian mengeluarkannya dan
berkata “jangan tunggu sampai jari ini kering, uang harus ada.”
64
Selain julukan sebagai kota revolusioner, Pematangsiantar juga mendapat julukan Demikian gambaran suasana revolusioner kota Pematangsiantar yang dijadikan
pusat Pemerintahan Provinsi Sumatera. Itu adalah salah satu dialog antara Marnicus Hutasoit seorang anggota Dewan Pertahanan Daerah dengan salah seorang pemimpin
laskar rakyat yang ditugaskan untuk mengambil logistik perang termasuk uang untuk keperluan perjuangan di garis depan. Dari dialog itu jelas tergambar bagaimana
pentingnya peran kota Pematangsiantar pada awal revolusi kemerdekaan di Sumatera. Pematangsiantar adalah ibukota Pemerintahan Republik di Sumatera. Dari sinilah
dikendalikan semua strategi perjuangan menghadapi militer Belanda di kawasan Sumatera. Pematangsiantar diibaratkan seperti kota-kota di Amerika Serikat akhir
abad ke-19. Dimana-mana terlihat para anggota-anggota laskar yang bersenjata disetiap sudut kota.
64
Marnicus Hutasoit, Percikan Api Revolusi di Sumatera, Jakarta: BPK G. Mulia, 1986, hal 54-56. Lihat juga Suprayitno, “Pematangsiantar Pada Masa Awal Kemerdekaan 1945-1947”,
Makalah dipresentasikan pada Acara Seminar “Kontribusi Pematangsiantar Sebagai Kota Perjuangan Mempertahankan NKRI 1945-1949”, Op.cit.
67
sebagai “Jogja”nya pulau Sumatera. Seperti diketahui, Jakarta yang merupakan ibukota Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan, pada tanggal 4 Januari 1946 sudah
dipindahkan ke Yogyakarta. Alasan pemindahan ini pun sama denan alasan pemindahan ibukota Sumatera dari Medan ke Pematangsiantar, yakni karena teror
yang makin mengganas dari hari ke hari dilakukan pasukan SekutuBelanda dan antek-anteknya. Maka dari itu, semua kegiatan revolusi yang bersifat se-Sumatera,
baik sipil maupun militer dan semua partai-partai politik berikut badan-badan perjuangan berpindah ke Pematangsiantar.
65
Sejak Pematangsiantar menjadi ibukota Sumatera, maka dari sinilah roda pemerintahan dan strategi perjuangan menghadapi agresi militer Belanda diatur. Kota
ini menjadi jantung dan nyawa bagi republik Indonesia terkhusus Sumatera, karena di kota tersebutlah pusat pemerintahan Sumatera berada. Menginngat posisi penting
Pematangsiantar pada masa itu, beberapa tokoh nasional pun menjadikannya tujuan kunjungan, seperti Mr. Amir Syarifuddin pada April 1946, Mr. Hermani pada tanggal
16-23 April 1946, Dr. Adnan Kapau Gani wakil Menteri Pertahanan pada September 1946, Mr. Mohd. Roem Menteri Dalam Negeri, Mr. Sjarifuddin
Prawiranegara, Mr. Latuharhary, Mr. Maria Ulfah Santoso Menteri Sosial pada bulan Mei 1947, dan Wakil Presiden Indonesia Mohd. Hatta beserta rombongannya
pada bulan Juli 1947. Tujuan mereka jelas untuk memupuk, mengembangkan dan mengobarkan semangat perjuangan menentang hadirnya kembali penjajah Belanda.
65
Edisaputra, Op.cit, hal 236-237
68
Kunjungan Mohd. Hatta beserta romobongan ke Sumatera dilatar belakangi semakin buruknya hubungan pemerintah Indonesia dengan Belanda setelah perjanjian
Linggarjati. Maka dari itu, Presiden Sukarno mengutus Wakil PresidenWakil Panglima Tertinggi Angkatan Perang, Drs Mohd. Hatta melakukan kunjungan ke
Sumatera untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk dari situasi tersebut. Tujuan kunjungan rombongan Mohd. Hatta ini disebarluaskan ketengah-tengah masyarakat
melalui pers dan radio, yaitu:
1. Untuk meninjaumenggembleng rakyat Sumatera tentang pelaksanaan
perjuangan kemerdekaan agar seirama dengan perjuangan kemerdekaan di pulau Jawa, sebagai pusat perjuangan.
2. Untuk memberikan pengertian kepada segenap lapisan masyarakat tentang
maksud dan tujuan pemerintah menyetujui perjanjian Linggarjati dengan Belanda.
66
Dalam kata lain, kunjungan Mohd. Hatta adalah dalam rangka melakuakn konsolidasi politik mempersatukan tekad perjuangan karena masih adanya ancaman
kembalinya Belanda menjajah Indonesia. Pada kunjungan Moh. Hatta ini, mulai terjadi banyak kesibukan di Kantor Gubernur, Markas TRI divisi X, Markas
Laskar-laskar rakyat, Badan Pertahan daerah, Biro Perjuangan dan kantor Bupati Simalungun. Mereka menyerukan ajakan kepada para pemuda untuk segera
bergabung dengan tentara republik. Hal ini dilakukan setelah pada tanggal 16 Juli
66
Edisaputra, Op.cit, hal. 306
69
1947, beberapa hari setelah Mohd. Hatta sampai di Pematangsiantar, beliau mengadakan rapat dan memberikan intruksi, yaitu:
1. Rebut segera kota Medan dari tangan Penjajah Belanda
2. Selambat-lambatnya sebelum Hari raya Idul Fitri 1947, kota Medan sudah
harus berada ditangan kita.
67
Intruksi ini keluar seketika, karena Mohd. Hatta melihat semangat yang meluap-luap dalam diri para tokoh-tokoh perjuangan Sumatera pada saat rapat tersebut. Setelah
mendengar intruksi inilah kemudian para pemuda dari Tapanuli dan sekitar Simalungun datang ke Pematangsiantar untuku bergabung dalam kesatuan laskar dan
juga pasukan TRI. Dapur-dapur umum pun segera dibuka dan para wanita juga mulai melakukan latihan-latihan palang merah. Seminggu kemudian, TRI dan Laskar
mulai mengirim pasukannya ke front Medan area di Tembung dan Tanjung Morawa.
4.2. Sebagai Pusat Pemerintahan