21
daerah-daerah di Sumatera, secara resmi telah menandakan berdirinya pemerintahan republik Indonesia di Sumatera dan secara resmi pula Sumatera menjadi wilayah
Indonesia sebagai bagian dari negara yang merdeka. Setelah membentuk struktur pemrintahan, pada tanggal 4 Oktober 1945, Mr. T. M. Hasan juga memerintahkan
mobilisasi umum untuk mengambilalih kekuasaan dari tangan Jepang. Perintah ini dalam satu hari dilaksankan serentak di penjuru kota Medan bahkan juga di
daerah-daerah lain di Sumatera Timur. Dengan cepat mobilisasi umum ini berhasil mengambilalih seluruh kantor jawatan pemerintah, kepolisian, kantor pos, telegraf,
kereta api, dan lainnya. Mr. T. M. Hasan juga memerintahkan pembentukan KNI daerah Sumatera Timur yang kemudian di ketuai oleh dr. Soenarjo dan dr. Djabangun
sebagai wakil ketua.
Setelah membentuk pemerintahan RI di Sumatera, pada tanggal 6 Oktober 1945 diadakan rapat raksasa di lapangan Esplanade Medan Lapangan Merdeka. Rapat
raksasa ini dihadiri utusan dari Binjai, Stabat, Tanjungpura, Pangkalan Brandan, Tebing Tinggi, Pematangsiantar. Ditempat ini secara resmi dibacakan proklamasi
kemerdekaan Indonesia yang dibacakan langsung oleh Mr. T. M. Hasan. Sebelum pembacaan proklamasi ini terlebih dahulu diadakan upacara penaikan bendera merah
putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya.
16
2.2. Kedatangan Sekutu-NICA ke Sumatera Timur
16
Parulian Hutabarat dkk, Perjuangan Korps Brigade Mobil Polri Masa Perang Kemerdekaan RI Pemerintahan Darurat RI di Sumatera, Medan: Yayasan Keluarga Besar Pejuang Kemerdekaan RI
Benteng Huraba, 1996, hal. 60-61.
22
Menyerahnya Jepang ditangan Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945 menjadikannya harus melepaskan kembali daerah pendudukannya. Ini berarti
daerah-daerah koloni yang semula direbut Jepang dari bangsa barat yang tergabung dalam blok Sekutu harus dikembalikan. Sementara dari awal semenjak dikalahkan
Jepang, Belanda masih mempunyai keinginan yang sangat besar untuk kembali menguasai wilayah Indonesia.
Keinginan besar untuk kembali menguasai Indonesia ini yang kemudian membuat Belanda mendesak Sekutu, khususnya Inggris untuk membuat suatu
perjanjian. Perjanjian yang dilakukan secara rahasia antara Inggris dan Belanda ini dikenal dengan “Civil Affair Agreement” atau CAA. Perjanjian yang dilakukan di
London menjelang pendaratan Inggris di Indonesia sebagai tentara pendudukan.
17
“Pengakuan Inggris atas de facto dan de jure Belanda terhadap Indonesia Hindia-Belanda. Belanda mempunyai hak untuk menjalankan kewajibannya
selaku penguasa resmi di Indonesia berdasarkan undang-undang yang berlaku di Hindia Belanda sebelum terjadinya Perang Dunia ke-II”
Isi perjanjian di London ini antara lain sebagai berikut :
18
Menurut ketentuan tersebut pada fase pertama Panglima tentara Sekutu akan berwenang menyelenggarakan operasi militer serta memulihkan keamanan dan
ketertiban. Sedangkan fase kedua, setelah keadaan kembali normal dan terkendali,
17
Swarni, Peristiwa Siantar Hotel 15 Oktober 1945, Skripsi sarjana jurusan Ilmu Sejarah USU, Medan: Tidak diterbitkan, 1997, hal. 33-34
18
Ibid, hal. 124
23
pejabat-pejabat NICA akan mengambil alih tanggung jawab tersebut dari pihak sekutu.
19
Masuknya Sekutu ke Indonesia dimulai saat pelaksanaan invasi yang mereka lakukan terhadap Malaya Malaysia dipenghujung Perang Dunia ke-2. Laksamana
Lord Louis Mounbaten selaku Panglima Besar SEAC South East Asiatic Command, merencanakan akan melakukan invasi tersebut pada tanggal 9 September 1945. Untuk
melancarkan proses invasi tersebut, maka dibentuklah ACDS Anglo Dutch Country Section, sebuah seksi dari SEAC yang bertugas untuk melakukan pengumpulan
informasi dan komunikasi di wilayah-wilayah bekas jajahan Ingris yang sedang diduduki Jepang.
Strategi lain yang dilakukan Belanda adalah dengan membentuk NICA Nederland Indies Civil Administration yang merupakan sebuah badan pemerintahan
sipil Hindia Belanda. Badan ini berkedudukan di Brisbane, Australia. Salah satu tujuan dibentukna NICA adalah untuk mempersiapkan segala sesuatu mengenai usaha
pengembalian wilayah Indonesia kepada pemerintah Belanda.
20
Pada akhir bulan Juni 1945, ACDS mengirim tiga unit pasukan komando melalui udara ke daerah pegunungan Seulimeum Aceh, unit kedua diterjunkan di sekitar
Labuhan Batu dan unit ketiga diturunkan di daerah Riau. Pada tanggal 15 Agustus
19
G. Moedjanto, Indonesia Abad ke-20, Dari Kebangkitan Nasional Sampai Linggarjati, Yogyakarta: Kanisius, 1992 hal. 96.
20
Edisaputra, Op.cit, hal. 110
24
1945, baru menyususl penerjunan pasukan unit keempat di hutan sekitar hulu sungai Besitang. Pasukan ini dipimpin oleh Brondgeest berpangkat Letnan Satu Pelaut
Belanda.
21
Pada tanggal 31 Agustus 1945, tepat tengah malam asukan Brondgeest tiba di kota Medan dan menginap di Hotel De Boer, dan menjadikannya sebagai markas
Belanda. Selama berada di Medan, Brondgeest membentuk pasukan polisi Belanda khusus untuk daerah Sumatera Timur. Rekrutmen anggota asukan ini diambil dari
bekas tawanan Jepang dan bekas anggota KNIL yang ada dalam masyarakat. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban di kawasan Sumatera Timur, Brondgeest
menempatkan 60 personil di asrama “pensiun wilhelmina” yang terletak di jalan Bali Medan dan 27 orang ditempatkan di Siantar Hotel di kota Pematangsiantar.
22
Invasi yang di intruksikan oleh Laksamana Louis Mountbaten ini kemudian terhenti ketika Panglima Besar Angkatan Perang Sekutu di Pasifik, Jendral Mc.
Arthur mengeluarkan larangan resmi. Larangan ini berisi mengenai penyerahaan kekuasaan Jepang yang hanya boleh diterima oleh Panglima Sovyet, Inggris,
Tiongkok, dan Amerika Serikat, dan hanya dapat dilakukan setelah penanda tanganan penyerahan tidak bersyarat pada tanggal 2 September 1945 di Tokyo dan 12
September 1945 di Singapura. Atas intruksi inilah kemudian pemerintah Jepang kembali mengambil alih proses pengamanan wilayah Indonesia termasuk Sumatera
21
Ibid.
22
Ibid, hal. 111-112
25
Timur. Pasukan Brondgeest pun tidak dapat berbuat apa-apa dan ditempatkan di “Pension Wilhemina”, Siantar Hotel, dan berapa tempat lainnya di kota Medan.
23
“Bahwa tentara Sekutu yang akan mendarat di Jawa dan Sumatera tidak akan membawa serdadu-serdadu Belanda atau NICA, bendera Merah Putih
boleh dikibarkan terus dan organisasi dibawah pimpinan Sukarno tidak akan dilucuti senjatanya.”
Proses pendaratan tentara Sekutu ke Indonesia secara resmi bermula ketika Jendral Sir Philips Cristison, pimpinan tentara Sekutu yang akan mendarat di
Indonesia dari Singapura, pada tanggal 25 September 1945 mengeluarkan pengumuman yang berisi:
24
1. Melucuti senjata-senjata Jepang.
Ditegaskan selanjutnya oleh Jendral Sir Philips Christison, bahwa hanya ada tiga tugas dari kedatangan tentara Sekutu di Indonesia, yaitu:
2. Mengembalikan orang tawanan dan tahanan.
3. Menjaga keamanan.
Janji Jendral Sir Philip Cristison tersebut tidak terlalu dipercaya oleh bangsa Indonesia, terutama para pemuda. Para pemuda menganggap hal tersebut hanya
omong kosong belaka. Sikap tidak percaya para pemuda ini terbukti benar ketika
23
Biro Sejarah Prima, “Medan Area Mengisi Kemerdekaan”, Medan: Badan Musyawarah Pejuang Republik Indonesia, 1976, hal. 79-83
24
Edisaputra, Op.cit, hal. 115-116
26
Sekutu membentuk AFNEI Alied Force for Netherland East Indies yang merupakan pasukan yang ditugaskan untuk mendarat di Indonesia. Pasukan ini terdiri dari tiga
brigade yang masing-masing mendarat di Jakarta, Surabaya, dan Medan.
25
Menyikapi pendaratan Sekutu ke Belawan, pada tanggal 9 Oktober 1945 BPI dan beberapa organisasi pemuda lain melakukan sebuah pertemuan yang bernama
“Rapat Samudra”. Rapat yang dilaksanakan di lapangan MSV ini banyak dihadiri oleh para pemuda hingga terlihat seperti samudra manusia. Pada rapat ini,
Simalungun memberangkatkan tiga bus sebagai perwakilan yang terdiri dari anggota Cap Rante pimpinan Jonathan Silitonga, dan BKPI pimpinan Abdul Azis Siregar dan
Burhanuddin Kuncoro. Pendaratan pertama di pulau Sumatera, yakni Belawan-Medan seharusnya
terlaksan pada tanggal 9 Oktober 1945. Namun ketidaksiapan tentara Jepang untuk melakukan penyerahan menjadikan pendaratan terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945.
Pada pendaratan ini, pasukan Sekutu sudah melanggar janji pemimpinnya. Hal ini karena dalam rombongan mereka terdapat beberapa pembesar KNIL.
26
“Bahwa pendaratan serdadu Sekutu di Pelabuhan Belawan-Medan dapat diterima. Tapi bilamana Sekutu turut
Dalam rapat ini kemudian lahirlah sebuah kesepakatan seluruh peserta rapat yang senada dengan seruan pemerintah pusat, yakni:
25
Ibid, Hal. 119-120.
26
Ibid, hal. 123
27
memboncengkan serdadu NICA, keamanan tidak dapat dijamin oleh pemuda-pemuda Indonesia.”
27
2.3. Gejolak Konflik di Kota Medan