82
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Pematangsiantar diawal abad ke-20 merupakan kota kedua terbesar di kawasan Sumatera Utara. Terletak sekitar 1900 meter diatas permukaan laut menjadikan kota
ini memiliki iklim yang sejuk dan ditinjau dari geografis, letak Pematangsiantar sangat strategis, baik dari segi ekonomis, politik, maupun dari sudut pandang
pertahanan. Oleh karena itu, pada tahun 1915 Pematangsiantar dijadikan oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai ibukota afdeling Landschap Simalungun en
Karolanden karena letaknya yang juga strategis sebagai daerah penghubung untuk kepentingan ekonomi politik Belanda antara daerah Tapanuli, Karo, Simalungun, dan
dataran rendah Sumatera Timur. Keberadaan Kota Pematangsiantar sebagai kota transit dan ibukota afdeling kemudian menjadikan kota ini berkembang pesat dan
menjelma sebagai salah satu pusat ekonomi perkebunan di Sumatera Timur saat itu.
Letaknya kota Pematangsiantar yang strategis ini kemudian menjadi salah satu alasan ketika Gubernur Sumatera memutuskan pemindahan pusat pemerintahan
Sumatera dari Medan ke Pematangsiantar. Selain itu, faktor keamanan juga menjadi alasan pemindahan ini, hal ini disebabkan kota Medan yang banyak mengalami
83
ganguan keamanan dari tentara SekutuNICA. Sejak statusnya berubah menjadi Ibukota Provinsi, seketika Pematangsiantar pun menjadi kota yang ramai. Keramaian
ini tidak lebih karena pemindahan Ibukota dan aparatur pemerintahan kemudian juga diikuti oleh para masyarakat Medan yang bertujuan untuk mengungsi karena takut
akan teror pasukan SekutuNICA di Medan. Sejak saat itu, Pematangsiantar pun seketika menjadi sebuah kota revolusioner dan kota pengungsi karena hiruk pikuk
kota yang dipenuhi oleh para tentara dan laskar rakyat yang membawa senjata berlalu lalang.
Pemindahan ibukota ini juga seketika membuat Pematangsiantar berubah menjadi poros pemerintahan Sumatera. Bahkan untuk mendukungnya, markas TRI
Sumatera pun secara resmi ikut berpindah dari Palembang ke wilayah Simalungun. Selain itu, pada masa revolusi sosial, Pematangsiantar juga dijadikan tempat
perlindungan atau tahanan bagi para kaum bangsawan Sumatera Timur dari kekejaman kaum revousioner. Keberadaanya yang sangat sentral inilah yang
kemudian menjadikan kota ini sebagai salah satu daerah kunjungan para tokoh-tokoh nasional seperti Amir Sjarifuddin hingga Wakil Presiden Moh. Hatta dalam upaya
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Namun keberadaan Pematangsiantar sebagai Ibukota Sumatera tidak bertahan lama. Agresi militer yang dilancarkan Belanda pada 1947 menjadikan
Pematangsiantar sebagai target utama serangan di Sumatera. Disamping statusnya
84
sebagai pusat pemerintahan Sumatera, pada saat itu pihak Belanda pun berupaya menangkap Moh. Hatta yang sedang berada di Pematangsiantar. Walaupun usaha
penangkapan ini gagal, namun kejatuhan Pematangsiantar ketangan Belanda tidak dapat dibendung. Taktik Belanda yang melakukan serangan dua arah dengan
menyusupkan tentara mereka ke dalam kota dan dibantu oleh Poh An Tui berhasil mengambil alih kota dalam waktu satu hari saja.
Jatuhnya Pematangsiantar ke tangan Belanda pun menjadi tanda berakhir pula statusnya sebagai Ibukota Provinsi. Namun selama menjadi ibukota, telah banyak
kebijakan pemerintah Sumatera yang lahir di kota ini. Dari kota inilah pemerintah republik membangun struktur pemerintahan di Sumatera walau dalam tekanan pihak
SekutuNICA. Salah satu kebijakan yang lahir adalah penggunanaan uang daerah bagi provinsi Sumatera demi kelancaran proses ekonomi. Hal ini tertuang dalam
Maklumat No. 92KO. URIPS ditandatangani oleh Kepala Jawatan Keuangan Provinsi Sumatera dan
Direktur Bank Negara Indonesia di Pematangsiantar, dan Mr Teuku Muhammad Hasan sebagai Gubernur Sumatera. Harga satu rupiah URIPS sama dengan satu rupiah ORI dan
seratus rupiah uang Jepang. Mr. T.M. Hasan sebagai Gubernur Sumatera kemudian menetapkan Bank Negara Indonesia sebagai Bank milik pemerintah melalui Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2 Tahun 1946.
85
5.2. Saran