Latar Belakang Sustainable coastal resource management model based on REDD+ (a case study in coastal region of Sembilang National Park

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Paradigma pembangunan ekonomi nasional yang bertumpu pada konsep resource based industry, merupakan kebijakan yang tepat untuk membangun negara sebagai langkah antisipatif dampak sistemik perubahan ekonomi global terhadap perekonomian Indonesia. Salah satu sumberdaya alam yang dapat memberikan harapan perbaikan ekonomi di masa mendatang adalah pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan. Jika pengelolaan sumberdaya ini tidak dimanfaatkan secara bijaksana dan tidak berwawasn lingkungan, maka bencana akan terjadi bagi generasi mendatang. Paradigma ini perlu disertai instrumen kebijakan untuk dapat melakukan dorongan besar bagi pertumbuhan ekonomi berupa pilihan strategi pembangunan dan industrialisasi berbasis sumberdaya alam, khususnya dalam pengelolaan sumberdaya pesisir diantaranya mangrove, lamun, terumbu karang. Hal ini penting untuk dilakukan, terutama sejalan dengan upaya pemberdayaan otonomi daerah serta pengembangan perekonomian perdesaan khususnya di wilayah pesisir. Indonesia sebagai paru-paru dunia memiliki sumberdaya alam cukup besar dengan luas daratan 187,9 juta ha diantaranya ± 137 juta ha 73 merupakan hutan dan areal pengunaan lain APL ± 50,9 juta ha 27, terdiri dari 13.487 pulau dengan panjang pantai ± 81.000 km. Selain itu juga memiliki 50 Taman Nasional TN dengan luas ± 12,5 juta ha diantaranya ± 3,7 juta ha merupakan hutan mangrove di kawasan pesisir. Namun demikian, kondisi sumberdaya alam tersebut saat ini sedang mengalami degradasi dan deforestasi. Fakta lain menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia saat ini ± 237 juta jiwa dimana 68 berada di kawasan pesisir dan mayoritas berada pada kantong-kantong kemiskinan dengan tingkat resiliensi rendah terhadap perubahan iklim serta sebagai faktor penggerak tekanan penduduk terhadap hutan mangrove. Selain adanya pengelolaan sumberdaya kurang terencana dan kurang memperhatikan aspek keberlanjutan, juga terdapat indikasi dimana masyarakat pesisir dari golongan tersebut melakukan perambahan hutan mangrove. Hal ini menyebabkan kawasan pesisir menjadi sangat rentan vurlnerable terhadap perubahan iklim global. Ekosistem mangrove merupakan bagian dari blue carbon yaitu ekosistem yang dapat menyimpan karbon dalam ekosistem pesisir dan lautan. Ekosistem ini menjadi sangat penting bagi umat manusia, karena selain menyediakan sumberdaya alam sebagai sumber kehidupan, juga mampu menyerap emisi CO 2 atmospherik ± 42, 2 sementara ekosistem terestrial sekitar 56 dan lainnya 2 Cook 2010. Berdasarkan hal tersebut, blue carbon dapat membuat kandungan CO 2 di atmosfer menjadi berkurang dan mampu mengurangi terjadinya pemanasan global global warming. Selain hutan mangrove, juga padang lamun, terumbu karang dan biota laut lainnya merupakan bagian dari blue carbon. Hasil penelitian terdahulu DKP 2007 memprediksi bahwa hutan mangrove Indonesia mampu menyerap 67,7 MtCO 2 th -1 , padang lamun sebanyak 50,3 MtCO 2 th -1 , terumbu karang mampu menyerap 65,7 MtCO 2 th -1 , dan fitoplankton sebanyak 36,1 MtCO 2 th -1 . Secara keseluruhan potensi laut Indonesia mampu menyerap CO 2 sebesar 219,8 MtCO 2 th -1 . Sumber lainnya memprediksi dimana produktifitas primer penyerapan CO 2 oleh perairan Indonesia sekitar 300 MtCO 2 th -1 dan 3 MtCO 2 th -1 diantaranya diendapkan dideposit ke dasar laut PKSPL-IPB 2009. Terumbu karang Indonesia luas total ± 85.000 km 2 saat ini mengalami degradasi: 41,78 rusak, 28,30 kondisi sedang, 23,72 kondisi baik, dan hanya 6,20 kondisi sangat baik. Hal sama terjadi pada hutan mangrove, pada kurun waktu 1969-1980, sekitar satu juta ha hutan mangrove lenyap. Data lain menunjukkan pada periode 1982-1993 telah terjadi penurunan luas dari 5,21 juta ha menjadi 2,5 juta ha Dahuri 2003. Dugaan lainnya bersumber dari World Mangrove Atlas tahun 1993 memprediksi luas hutan mangrove Indonesia mencapai ± 4,25 juta ha. Saat ini luas hutan mangrove Indonesia diprediksi ± 3,755 juta ha Mardana 2003, Kusmana 2003, Dephut 2004. Dalam rangka mengurangi ekploitasi sumberdaya pesisir yang eksesif diperlukan suatu konsep pengelolaan terpadu Integrated Coastal Zone ManagementICZM dengan cara melakukan penilaian menyeluruh comprehensive assessment terhadap kawasan pesisir beserta sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya, menentukan tujuan serta sasaran pemanfaatan. Dengan demikian diharapkan dapat tercapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Dalam rangka pengelolaan kawasan pesisir akan membawa akibat perubahan ekosistem, oleh karena itu dalam pemanfaatannya harus dilakukan secara bijaksana dan rasional serta terintegrasi dengan kawasan di sekitarnya, agar fungsinya dapat dipertahankan secara lestari untuk kepentingan generasi masa kini dan yang akan datang. Salah satu kawasan pesisir yang sampai saat ini belum dikelola secara optimal 3 adalah Taman Nasional Sembilang TNS di Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Kawasan ini terletak di sepanjang pesisir timur Kabupaten Banyuasin dan merupakan suatu ekosistem hutan mangrove. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 95Kpts-II2003, tanggal 19 Maret 2003 ditetapkan menjadi TNS. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW Provinsi Sumatera Selatan luas TNS sekitar 205,75 ribu ha. Kawasan TNS sebelumnya adalah penggabungan dari kawasan Suaka Margasatwa Terusan Dalam 29,25 ribu ha, Hutan Produksi Terbatas HPT Terusan Dalam 45,50 ribu ha, Hutan Lindung Sungai Sembilang 113,17 ribu ha dan perairan sekitar 17,83 ribu ha. Luas TNS saat ini telah ditetapkan menjadi 202.896,31 ha Balai TNS 2009. Salah satu sumberdaya pesisir yang sangat penting di kawasan TNS adalah hutan mangrove, sehingga diperlukan suatu model pengelolaan yang optimal dan lestari. Keberadaan hutan mangrove TNS memiliki arti penting, karena selain berfungsi sebagai stabilisasi aspek fisik, biologi maupun ekonomi, juga berfungsi sebagai penyeimbang perubahan iklim wilayah pesisir timur Pulau Sumatera bagian selatan. Namun beberapa tahun terakhir ini TNS mengalami tekanan berat yang dapat berpengaruh terhadap sistem penyangga kehidupan. Adanya pemanfaatan hutan secara ilegal illeggal logging dan konversi hutan telah menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas keanekaragaman hayati biodiversitas. Dengan adanya desakan kebutuhan dan penetrasi faktor luar akan mendorong masyarakat mengeksploitasi hutan dengan motif ekonomi, sehingga terjadi degradasi sumberdaya dan banyak dijumpai kondisi kawasan konservasi yang tidak sesuai lagi dengan status dan fungsinya. Dalam menjamin fungsi wilayah dan sumberdaya pesisir sesuai dengan peruntukannya, diperlukan suatu konsep penataan ruang zonasi yang terintegrasi serta pengelolaan yang tepat guna, baik pada zona perlindungan, zona pembinaan maupun pada zona pemanfaatan. Sehingga dalam upaya pengembangan, pengelolaan dan pengusahaan suatu kawasan pesisir diperlukan suatu model dinamik yang terintegrasi. Model rekayasa pengelolaan ini dimaksudkan sebagai landasan dan arahan dalam setiap kegiatan perencanaan zonasi kawasan serta pengelolaan hutan mangrove selama jangka waktu pengusahaan, berdasarkan aspek pelestarian sumberdaya alam serta pembangunan yang berwawasan lingkungan. Salah satu kendala saat ini dalam pengelolaan TNS adalah masalah minimnya biaya pengelolaan yang masih sangat tergantung pada alokasi pembiayaan anggaran 4 pendapatan dan belanja negara APBN. Padahal banyak sumber-sumber pendanaan lain untuk pengelolaan lingkungan yang dapat dimanfaatkan, baik dari sumber multilateral, bilateral maupun dari pihak NGO dan swasta. Dengan memanfaatkan sumber pendanaan tersebut, maka pengelolaan hutan mangrove di TNS dapat dilakukan secara lebih optimal dan lestari melalui kerjasama atau sistem pendanaan yang layak. Sistem pendanaan melalui Protokol Kyoto menawarkan mekanisme pembangunan bersih atau Clean Development Mechanism CDM. Selain itu, juga hasil COP-13 di Bali tahun 2007 yang melahirkan komitmen bersama berupa bantuan dan insentif negara-negara maju bagi upaya penurunan emisi gas rumah kaca di negara- negara berkembang melalui pencegahan konversi dan degradasi hutan dan dikenal dengan konsep REDD Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation. Estimasi potensi kredit karbon voluntary market melalui REDD di Indonesia saat ini sekitar 500 juta USD-2 milyar USD th -1 World Bank 2009. Peluang lainnya adalah moratorium pembangunan hutan tanaman industri 2011-2012 antara pemerintah Indonesia dan Norwegia pada tahun 2010 terdapat peluang dana pengelolaan hutan sebesar 1 milyar USD. Sumber lainnya adalah Voluntary Carbon Standar VCS tahun 2007 terdapat empat kategori kegiatan untuk kredit karbon berkaitan dengan AFOLU Agriculture, Forestry and Other Land Uses. Keempat kategori tersebut yaitu: 1 Afforestation, Reforestation and Revegetation ARR, 2 Agricultural Land Management ALM, 3 Improved Forest Managament IFM, dan 4 Pengelolaan sumberdaya alam berbasis REDD+. Sumber pendanaan untuk pelaksanaan kegiatan karbon kehutanan secara umum berasal dari tiga sumber: 1 Non-open market, yaitu sumber dana publik CSR nasionalinternasional atau dana publik lainnya, 2 Standar market voluntary market dan compliance market, yaitu sumber pendanaan dari pasar karbon mekanisme Kyoto dan non-Kyoto, dan 3 Dana kerjasama bilateral dan multilateral yang diperuntukkan bagi dukungan pelaksanaan kegiatan penanganan perubahan iklim atau dana hibah untuk membantu negara berkembang dalam rangka mempersiapkan pelaksanaan kegiatan REDD atau yang disebut dana Readiness dan investasi Boer et al. 2009. REDD adalah suatu mekanisme untuk mengurangi emisi gas rumah kaca GRK dengan cara memberikan kompensasi kepada pihak-pihak yang melakukan pencegahan deforestasi dan degradasi hutan. Sementara itu REDD+ adalah sebuah kerangka kerja REDD yang diperluas dengan memasukkan konservasi hutan, pengelolaan hutan lestari 5 atau peningkatan cadangan karbon hutan melalui kegiatan penanaman pohon dan rehabilitasi lahan yang terdegradasi CIFOR 2009. Tujuannya agar partisipasi untuk menerapkan REDD semakin luas, serta untuk memberikan penghargaan kepada negara- negara yang sudah berupaya melindungi hutannya. Berdasarkan permasalahan dan peluang tersebut, perlu digagas suatu model rekayasa sistem pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis REDD+. Sistem pengelolaan sumberdaya yang diharapkan tentunya melibatkan seluruh komponen masyarakat untuk kesejahteraannya saat ini dan mendatang. Prinsip pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis REDD+ ini didasarkan pada landasan hukum Peraturan Presiden Prepres No. 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional RAN Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, Peraturan Menteri Kehutanan Permenhut Nomor: 30Menhut-II2009 tentang tata cara pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan REDD, Permenhut Nomor: P.36Menhut-II2009 tentang tata cara perijinan usaha pemanfaatan karbon pada hutan produksi dan hutan lindung dalam bentuk Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan IUPJL. Model pengelolaan sumberdaya pesisir berkelanjutan berbasis REDD+ merupakan suatu pengkajian rekayasa ekosistem dengan memasukkan konservasi hutan, pengelolaan hutan lestari atau peningkatan cadangan karbon hutan melalui kegiatan penanaman pohon dan rehabilitasi lahan yang terdegradasi. Pendekatan ini didasari oleh prinsip umpan balik causal loop antar subsistem penduduk sosial, subsistem ruang hutan mangrove sistem lingkungan, serta subsistem ekonomi berdasarkan ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan IUPJL. Model pengelolaan ini merupakan salah satu strategi alternatif pembangunan ekonomi baru dalam memanfaatkan potensi kredit karbon yang ada. Pengelolaan kawasan mangrove sampai saat ini belum ada yang berbasis REDD+, baik pada kawasan konservasi maupun pada kawasan hutan produksi. Pengelolaan hutan mangrove di Sembilang misalnya, masih didasarkan pada sistem pengelolaan kawasan konservasi berupa Taman Nasional. Cara ini secara ekologi cukup baik, akan tetapi secara ekonomi kurang menguntungkan karena masih tergantung pada anggaran negara. Oleh karena itu perlu diintegrasikan dengan peluang yanga ada, yaitu berbasis REDD+. Salah satu karakteristik dari proses model pengelolaan tersebut adalah adanya bentuk pemodelan yang bersifat dinamis dan kuantitatif guna menghasilkan keputusan yang rasional, terukur dan transparan. Pemodelan yang diharapkan dalam pengelolaan 6 sumberdaya pesisir berkelanjutan ini adalah adanya suatu bentuk pengaturan pemanfaatan kawasan untuk mendapatkan hasil yang optimal dengan memperhatikan kelestarian stok sumberdaya alam yang ada. Sebagaimana yang pernah dikaji Kusumastanto 1995 dalam penyusunan suatu model dinamis dinyatakan bahwa selain faktor-faktor input-output yang dimasukan dalam model, diintroduksikan juga unsur- unsur yang tidak bernilai pasar non market value dari lingkungan serta penilaian terhadap aspek-aspek sosial.

1.2 Perumusan Masalah