Perubahan Lingkungan Global Perubahan Lingkungan Global dan REDD+

45 2.5 Perubahan Lingkungan Global dan REDD+

2.5.1. Perubahan Lingkungan Global

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi dua komitmen internasional penting yang berhubungan dengan perubahan iklim global dan mekanisme pembangunan bersih, yaitu ratifikasi Konvensi Perubahan Iklim melalui Undang-Undang UU No 61994 dan ratifikasi Protokol Kyoto melalui UU No. 172004. Peratifikasian ini merupakan salah satu bentuk komitmen Indonesia dalam mendukung upaya internasional mencapai tujuan Konvensi Perubahan Iklim, yaitu menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca GRK di atmosfer bumi pada tingkat yang tidak membahayakan iklim global. GRK pada konsentrasi yang terlalu tinggi di atmosfer bumi diperkirakan akan membahayakan lingkungan global karena dapat menimbulkan masalah global warming CIFOR 2005; Boer 2009. Efek rumah kaca disebabkan GRK : karbon dioksida CO 2 , metana CH 4 , nitrous oksida N 2 O, dan uap air H 2 O di atmosfir secara alami menyerap radiasi inframerah yang bersifat panas dari sinar matahari kemudian dipancarkan kembali ke atmosfer bagian bawah. Tanpa GRK alami tersebut suhu bumi akan 34 C lebih dingin dari yang dialami saat ini. Masalahnya adalah seiring dengan meningkatnya taraf hidup umat manusia, emisi GRK meningkat dengan tajam karena meningkatnya konsumsi bahan bakar fosil BBF sejak revolusi industri. Peningkatan emisi GRK dimulai sejak revolusi industri pada pertengahan tahun 1880-an. Konsentrasi GRK di atmosfer meningkat dari waktu ke waktu dengan cepat. Pada tahun 1850, ketika revolusi industri baru dimulai, konsentrasi CO 2 di atmosfir baru 290 ppmv part per million by volume, saat ini 150 tahun kemudian telah mencapai 350 ppmv Mudiyarso 2003; Lubowski 2008. Apabila tidak ada upaya untuk menekan emisi GRK ini, maka diperkirakan dalam waktu 100 tahun tahun 2100 atau bahkan bisa lebih cepat, konsentrasi gas rumah kaca, khususnya CO 2 akan mencapai dua kali lipat 580 ppmv dari konsentrasi saat ini. Peningkatan sebesar ini diperkirakan akan menyebabkan terjadinya peningkatan suhu global antara 1 o C sampai 4.5 o C dan tinggi muka air laut sebesar 60 cm. Naiknya muka air laut akan mempersempit luas daratan dan menenggelamkan beberapa negara kepulauan kecil, termasuk Indonesia, sementara itu peningkatan suhu global akan mengarah pada perubahan iklim. Secara diagramatik disajikan pada Gambar 8. Sementara itu Gambar 9 menunjukkan nilai rata-rata tahunan suhu udara global di atas permukaan bumi antara tahun 1861 sampai 1995. Pada grafik tersebut terlihat 46 pula anomali suhu permukaan bumi terhadap suhu rata-rata dari tahun 1961 sampai 1990. Antara 1975 sampai 1995 terdapat anomali positif yang menunjukkan kenaikan suhu, terutama terlihat signifikan pada tahun 1970-1980. Adanya anomali positif kenaikan suhu tersebut sebagian besar diakibatkan oleh emisi antropogenik, yaitu emisi GRK yang disebabkan oleh kegiatan manusia seperti deforestasi dan degradasi hutan serta penggunaan bahan bakar fosil. Stern et al. 2007 memprediksi sumber emisi GRK dunia berasal dari emisi energy 65 power 24; transportasi 14; gedung 8; industri 14; energy lainnya 5 dan emisi non energi 35 limbah 3; pertanian 14; dan konversi lahan 18. Gambar 9 Proyeksi perubahan temperatur global Sumber: Temperature 1850-1999, Climate Research Unit. University at East Anglo, Norwich UK. Projection. IPCC report 95 Sumber: Climate Change 1995, The Science of Climate Change Contribution of working group 1 to the second assessment report of the IPCC, UNEP and WMO. Cambridge University Press, 1995. Sea level rise over the last century adapted from Gornitz Lebedeff, 1967. . Gambar 8 Peningkatan permukaan air laut akibat pemanasan global. 47 Data lainnya menunjukkan sekitar 1,7 milyar tCO 2 th -1 dilepaskan sebagai akibat konversi lahan terutama di kawasan hutan tropis. Deforestasi mewakili sekitar 20 emisi karbon dunia saat ini yang prosentasinya lebih besar dari emisi yang dikeluarkan oleh sektor transportasi global 14 dengan penggunaan bahan bakar fosil yang intensif. Deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia merupakan kontributor terbesar emisi nasional. Sumber penting dalam periode 10-15 tahun terakhir berasal dari kebakaran hutan dan drainase lahan gambut dengan emisi sekitar 0,5 milyar tCO 2 th -1 Tacconi 2003; Putz et al. 2008; CIFOR 2009. Kecenderungan dampak tersebut akan menganggu kestabilan ekosistem global, khususnya ekosistem wilayah pesisir Indonesia. Oleh karena itu melalui konferensi di Bangkok tahun 2009, Pemerintah Indonesia menunjukkan kesungguhannya untuk dapat berpartisipasi dalam rangka memerangi perubahan iklim. Secara tegas Presiden RI berkomitmen dengan pembiayaan sendiri akan memangkas emisi sebesar 26 676 MtCO 2 e pada tahun 2020 perhitungan nasional emisi Indonesia pada tahun 2020 sebesar 2,6 GtCO 2 e : DNPI 2009 serta akan menurunkan emisi menjadi 41 1,1 GtCO 2 e pada tahun 2050 apabila ada komitmen kerjasama pembiayaan internasional WIIP 2009; Dephut 2009. Dalam rangka merealisasikan komitmen tersebut tidaklah mudah, sehingga perlu adanya program terencana dan terintegrasi secara berkesinambungan. Program mitigasi dan adaptasi merupakan dua langkah penting yang dapat ditempuh dalam rangka memperjuangkan terpenuhinya target tersebut. Secara definitif mitigasi merupakan langkah pengurangan dan adaptasi sebagai langkah penyesuaian diri WIIP 2009. Definisi lain berasal dari CIFOR 2009 yang menyebutkan bahwa mitigasi merupakan tindakan untuk mengurangi emisi GRK dan untuk meningkatkan penyimpanan karbon dalam rangka mengatasi perubahan iklim. Sedangkan konsep adaptasi merupakan tindakan penyesuaian oleh sistem alam atau manusia yang berupaya mengurangi kerusakan terhadap dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim CIFOR 2008. Konsep mitigasi erat kaitannya dengan cara mengatasi sumber atau penyebab terjadinya perubahan iklim. Reduksi emisi dari penggunaan bahan bakar fosil serta upaya penanaman pohon untuk menyerap karbon merupakan contoh konkrit dalam mitigasi perubahan iklim itu. Sementara itu konsep adaptasi merupakan bidang baru dalam penelitian kebijakan sumberdaya alam di Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun oleh Lembaga Swadaya Masyarakat LSM. 48 Program adaptasi berbasis masyarakat pesisir sampai saat ini belum banyak dilakukan. Program ini berusaha mengurangi tingkat kerentanan masyarakat pesisir yang terkena dampak langsung dari perubahan iklim itu. Kerentanan dalam hal ini adalah tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir yang sangat rentan vulnerable terhadap perubahan cuaca. Jika hal tersebut terganggu maka sulit bagi mereka untuk dapat pulih kembali. Oleh karena itu dalam konteks penelitian ini perlu disusun suatu program mitigasi dan adaptasi berbasis masyarakat dengan penekanan pada peningkatan mata pencaharian alternatif. 2.5.2. REDD+ Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation