Pengaruh Terapi Musik Terhadap Tanda Dan Gejala Halusinasi Pendengaran Pada Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Pemprovsu

(1)

PENGARUH TERAPI MUSIK TERHADAP TANDA DAN

GEJALA HALUSINASI PENDENGARAN PADA PASIEN

SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH

PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Oleh Siti Eni Sahpitri

101101057

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

(3)

Judul : Pengaruh Terapi Musik Terhadap Tanda Dan Gejala Halusinasi pendengaran Pada Pasien Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Pemprovsu

Nama : Siti Eni Sahpitri Jurusan : Sarjana Keperawatan Tahun : 2014

Abstrak

Halusinasi pendengaran merupakan salah satu gejala yang mayoritas ditemukan pada pasien skizofrenia. Salah satu terapi yang dapat dilakukan adalah terapi musik. Penelitianini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh terapi musik terhadap tanda dan gejala halusinasi pendengaran pada pasien skizofrenia. Jenis penelitian ini adalahQuasi experimental pre-post test with control groupdengan jumlah sampel 16 orang dengan teknik pengambilan sampel purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan tanda dan gejala halusinasi pendengaran yang bermakna antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol (P-value< 0.05). Halusinasi menurun secara bermakna pada kelompok intervensi (P-value< 0.05). Sedangkan pada kelompok kontrol halusinasi menurun secara tidak bermakna (P-value> 0.05). Disarankan kepada pihak RSJ Pemprovsu agar mempertimbangkan penggunaan terapi musik sebagai alternative dan memberikan asuhan keperawatan pada pasien halusinasi pendengaran.


(4)

(5)

PRAKATA

Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayahNyalah penulis dapat menyelesaikan proposal dengan judul “Pengaruh Terapi Musik Terhadap Halusinasi pendengaran pada Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Pemprovsu”.

Penulis mendapatkan bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak dengan memberikan butir – butir pemikiran yang sangat berharga bagi penulis baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes sebagai Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

2. Ibu Erniyati, S.Kp, MNS sebagai Pembantu Dekan I, Evi Karota Bukit, S.Kp, MNS sebagai Pembantu Dekan II, dan Ikhsanudin A. Harahap, S.Kp, MNS sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. 3. Ibu Sri Eka Wahyuni, S.Kep. Ns, M.Kep sebagai dosen pembimbing skripsi

penulis yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan, bimbingan, dan ilmu yang bermanfaat serta selalu sabar untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam proses penulisan proposal ini.

4. Ibu Mahnum Lailan Nasution, S.Kep, Ns, M.Kep dan Ibu Wardiyah Daulay, S.Kep, Ns, M.Kep selaku penguji I dan juga penguji II yang telah memberikan saran dan kritikan demi kesempurnaan skripsi ini.

5. Ibu Wardiah Daulay, S.Kep, Ns, M.Kep yang telah bersedia meluangkan waktu bagi penulis untuk menjadi penguji pada uji expert.


(6)

6. Direktur dan Kepala Bidang Keperawatan RSJ Pemprovsu yang telah membantu dalam penelitian ini.

7. Kedua orangtua yang penulis sayangi Ayahanda Sutiono dan Ibunda Nursriana yang tidak pernah berhenti dalam membimbing, menghibur, memperhatikan, memberikan motivasi dan semangat kepada penulis.

8. Kepada ketiga saudara peneliti, Predi Suttanto, A. md, Selva Aprianti dan Pratiwi sebagai penyemangat untuk terus belajar.

9. Sahabat yang penulis sayangi teman – teman seperjuangan stambuk 2010 yang senantiasa memberikan semangat kepada penulis yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga Allah SWT memberikan rahmat, ridho dan karunia-Nya kepada kita semua. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

Medan, Juli 2014 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

Halaman Judul

Lembar Persetujuan Ujian Sidang skripsi Penelitian ... i

Abstrak ... ii

Prakata ... iii

Daftar Isi ... iv

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian... ... 6

1.4 Pertanyaan Penelitian ... 6

1.5Manfaat Penelitian... 7

Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1. Skizofrenia ... 8

2.1.1 Pengertian ... 8

2.1.2 Epidemiologi ... 8

2.1.3 Etiologi ... 9

2.1.4 Tanda dan Gejala Skizofrenia ... 11

2.1.5 Penatalaksanaan ... 13

2.2 Halusinasi ... 14

2.2.1 Pengertian Halusinasi ... 14

2.2.2 PenyebabHalusinasi ... 15

2.2.3 Tahapan Halusinasi ... 15

2.2.4 Tanda dan Gejala Halusinasi ... 17

2.2.5 Jenis-Jenis Halusinasi ... 20

2.2.6 Tindakan Keperawatan ... 21

2.3 Terapi Musik ... 22

2.3.1 Pengertian Musik ... 22

2.3.2 Pengertian Terapi Musik ... 24

2.3.3 Manfaat Musik ... 25

2.3.4 Prinsip Terapi Musik ... 30

2.3.5 Jenis-Jenis Musik ... 31

2.3.6 Cara Kerja Terapi Musik Klasik ... 33

2.3.7 Rangsangan Terapi Musik Terhadap fungsi otak ... 34

2.3.8 Terapi Musik pada Skizofrenia ... 37

2.3.9 Tata Cara Pemberian Terapi Musik ... 38

Bab 3 Kerangka Penelitian 3.1 Kerangka Penelitian ... 39

3.2 Definisi Konseptual ... 40

3.3 Defenisi Operasional ... 41

3.4 Hipotesis ... 42

Bab 4 Metodologi Penelitian 4.1 Desain Penelitian ... 43

4.2 Populasi dan sampel ... 45


(8)

4.4Pertimbangan etik ... 47

4.5 Instrumen Penelitian ... 49

4.6 Uji Validitas dan Realibilitas Instrumen ... 49

4.7 Pengumpulan Data ... 50

4.8 Analisa Data ... 52

Bab 5 Hasil Dan Pembahasan ... 55

1 Hasil penelitian ... 55

1.1 Karakteristik responden ... 55

1.2 Tanda dan gejala halusinasi ... 58

2 Pembahasan penelitian ... 62

Bab 6 Kesimpulan dan saran ... 70

1 Kesimpulan ... 70

2 Saran ... 70

3 Keterbatasan penelitian ... 71

Daftar Pustaka ... 72

Lampiran-lampiran 1. Inform Consent ... 74

2. Jadwal Tentatif Penelitian ... 75

3. Taksasi Dana ... 76

4. Instrumen Penelitian ... 77

5. Riwayat Hidup ... 82

6. Modul ... 83

7. Proses Pelaksanaan Terapi ... 88 8. Validitas kuisioner

9. Hasil Reliabilitas 10. Hasil Olah Data 11. Master Tabel 12. Surat-surat


(9)

Judul : Pengaruh Terapi Musik Terhadap Tanda Dan Gejala Halusinasi pendengaran Pada Pasien Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Pemprovsu

Nama : Siti Eni Sahpitri Jurusan : Sarjana Keperawatan Tahun : 2014

Abstrak

Halusinasi pendengaran merupakan salah satu gejala yang mayoritas ditemukan pada pasien skizofrenia. Salah satu terapi yang dapat dilakukan adalah terapi musik. Penelitianini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh terapi musik terhadap tanda dan gejala halusinasi pendengaran pada pasien skizofrenia. Jenis penelitian ini adalahQuasi experimental pre-post test with control groupdengan jumlah sampel 16 orang dengan teknik pengambilan sampel purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan tanda dan gejala halusinasi pendengaran yang bermakna antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol (P-value< 0.05). Halusinasi menurun secara bermakna pada kelompok intervensi (P-value< 0.05). Sedangkan pada kelompok kontrol halusinasi menurun secara tidak bermakna (P-value> 0.05). Disarankan kepada pihak RSJ Pemprovsu agar mempertimbangkan penggunaan terapi musik sebagai alternative dan memberikan asuhan keperawatan pada pasien halusinasi pendengaran.


(10)

(11)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Skizofrenia adalah gangguan mental serius yang dapat mempengaruhi satu dari seratus orang pada tahap tertentu dalam kehidupan (Scottish Intercollegiate Guidelines Network [SIGN], 1998).Skizofrenia mempunyai gejala utama penurunan persepsi sensori yaitu Halusinasi. Halusinasi merupakan hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara padahal tidak ada orang yang berbicara (Kusumawati & Hartono, 2011).

Prevalensi skizofrenia di Indonesia sendiri adalah tiga sampai lima perseribu penduduk. Bila diperkirakan jumlah pnnduduk sebanyak 220 juta orang akan terdapat gangguan jiwa dengan skizofrenia kurang lebih 660 ribu sampai satu juta orang. Hal ini merupakan angka yang cukup besar dan perlu penanganan serius (sulistyowati dkk, 2006). Menurut data Departemen Kesehatan tahun 2009, jumlah penderita gangguan jiwa Indonesia saat ini, mencapai lebih dari 28 juta orang, dengan kategori gangguan jiwa ringan 11,6 % dan 0,46 % menderita gangguan jiwa berat.

Sekitar 70% dari penderita skizofrenia mengalami halusinasi (Mansjoer 1999). Menurut Stuart dan Sundeen (1995), 70% pasien mengalami halusinasi auditorik, 20% halusinasi visual, 10% halusinasi pengecapan, taktil, dan


(12)

penciuman. Halusinasi pendengaran merupakan merupakan salah satu gejala utama dalam diagnosa skizofrenia dan merupakan faktor penting untuk mengevaluasi status klinis penyakit. Apalagi, keberadaannya atau keparahan memiliki pengaruh besar dalam menentukan dosis, jenis, dan durasi obat psikotropika (Nam, 2005)

Halusinasi pendengaran adalah mendengar suara manusia, hewan, mesin, barang, kejadian alamiah dan musik dalam keaadan sadar tanpa adanya rangsangan apapun (Maramis, 2005). Halusinasi pendengaran adalah persepsi sensorik yang keliru melibatkan panca indra pendengaran (Isaac,2002).

Terapi yang dilakukan pada pasien skizofrenia bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dan meminimalkan terjadinya kekambuhan. Di dunia barat, penanganan biasanya dilakuakan dengan memberikan salah satu obat-obatan neuroleptikyang sangat bermanfaat untuk mengurangi gejala-gejala skizofrenia pada banyak orang. Obat-obatan itu biasanya digunakan bersamaan dengan berbagai macam penanganan psikososial untuk mengurangi kekambuhan, mengkompensasi defisit keterampilan, dan memperbaiki kerja sama pasien untuk mau mematuhi peraturan pengobatannya (American Psychiatric Association, 2000). Intervensi biologis dengan pemberian obat antipsikotik, dan intervensi psikososial terapi perilaku kognitif, terapi rehabilitasi. Program terapi rehabilitasi dapat digunakan sejalan dengan terapi modalitas lain atau berdiri sendiri, terapi ini terdiri dari terapi rekreasi, terapi gerak, dan terapi musik yang masing-masing mempunyai tujuan khusus.


(13)

Jamalus (1988) berpendapat bahwa musik adalah suatu hasil karya seni bunyi dalam bentuk lagu atau komposisi musik yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penciptanya melalui unsur-unsur musik yaitu irama, melodi, harmoni, bentuk dan struktur lagu dan ekspresi sebagai satu kesatuan. Rina (2003) setuju dengan pendapat bahwa musik merupakan salah satu cabang kesenian yang pengungkapannya dilakukan melalui suara atau bunyibunyian. Prier (1991) setuju dengan pendapat Aristoteles bahwa musik merupakan curahan kekuatan tenaga penggambaran yang berasal dari gerakan rasa dalam suatu rentetan suara (melodi) yang berirama.

Menurut (American Music Therapy Assosiation, 2013), terapi musik dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan, mengatur stress, mengurangi nyeri, mengekspresikan perasaan, meningkatkan memori, meningkatkan komunikasi dan meningkatkan pemeliharaan fisik.Penelitian lain yang dilakukan oleh Shu-Ming Peng, Malcolm Koo dan Jen-Che Kuo menunjukkan nilai dari kecemasan, gangguan konseptual, perilaku halusinasi, tidak bersahabat dan afek tumpul mengalami penurunan yang signifikan. Terapi yang dilakukan adalah terapi musik kelompok dengan durasi 50 menit per sesi. Penelitian dilakukan 5 hari seminggu selama 2 minggu di Taiwan. Na dan Yang(2009)menunjukkanpenurunan signifikan secara statistik pada frekuensipendengaranhalusinasi dan penurunan yang signifikan untuk gejala negatifsetelah mendengarkan music

Seorang ilmuwan Arab, Abu Nasr al-Farabi (873-950M) dalam bukunya ''Great Book About Music'', mengatakan bahwa musik membuat rasa tenang, sebagai pendidikan moral, mengendalikan emosi, pengembangan spiritual,


(14)

menyembuhkan gangguan psikologis. Pernyataannya itu tentu saja berdasarkan pengalamannya dalam menggunakan musik sebagai terapi. Sekarang di zaman modern, terapi musik banyak digunakan oleh psikolog maupun psikiater untuk mengatasi berbagai macam gangguan kejiwaan, gangguan mental atau gangguan psikologis.Musik kini telah banyak berkembang mulai dari klasik sampai musik pop. Masing-masing genrememiliki fungsi dan manfaatnya. Penelitian telah membuktikan mendengarkan musik klasik Mozart & Beethoven dapat menstimulasi otak kanan, meningkatkan kreatifitas berpikir, Mengurangi stress dan tekanan, Memelihara pikiran, tubuh dan jiwa, Menstabilkan detak jantung, tekanan darah dan temperatur tubuh.

Campbell (2001) dalam bukunya efek Mozart mengatakan musik romantik (Schubert, Schuman, Chopin, dan Tchaikovsky) dapat digunakan untuk meningkatkan kasih sayang dan simpati.Selain itu musik Barok (Bach, Handel dan Vivaldi) dapat menciptakan suasana yang merangsang pikiran dalam belajar.Musik klasik (Haydn dan Mozart) mampu memperbaiki konsentrasi ingatan dan persepsi spasial, musik Klasik Mozart memiliki efek yang tidak dimiliki komposer lain.Musik klasik Mozart memiliki kekuatan yang membebaskan, mengobati dan dan menyembuhkan (Musbikin, 2009).Dari hasil penelitian yang baru saja dilakukan oleh kolaborasi Cochrane menyimpulkan bahwa terapi musik adalah intervensi yang efektif bagi seseorang yang mengalami skizofrenia dalam meningkatkan status global, kondisi mental dan tingkat fungsi (Gold, Heldal, Dahle & Wigram, 2005).


(15)

Penelitian ini akan dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Pemprovsu Medan. Rumah Sakit Jiwa daerah Pemprovsu Medan merupakan rumah sakit jiwa terbesar dan merupakan pusat rujukan di Sumateraa Utara. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa jumlah pasien gangguan jiwa yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Pemprovsu Medan adalah 400 orang perbulannya. Dari jumlah tersebut 50-70% pasien gangguan jiwa melakukan rawat jalan di Rumah Sakit Jiiwa Daerah Pemprovsu Medan (Gultom, 2010 dalam Mursal, 2010). Berdasarkan data tersebut dapat

disimpulkan bahwa banyak pasien yang berobat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Pemprovsu Medan (Wahyuni, 2010).

Rumah Sakit Jiwa Daerah Pemprovsu Medan merupakan rumah sakit jiwa tipe A yang mempunyai kapasitas sejumlah 450 tempat tidur (Gultom, 2010 dalam Mursal, 2010). Dan dari hasil studi pendahuluan penelitian di Rumah Sakit Jiwa Daerah Pemprovsu Medan, didapatkan data bahwa jumlah pasien rawat inap rata-rata perbulan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Pemprovsu Medan adalah 180 orang. Dan dari jumlah tersebut, 140 orang mengalami skizofrenia (78,4%). Dari fenomena yang telah saya uraikan diatas, saya tertarik untuk meneliti pengaruh terapi musik terhadap tanda dan gejala halusinasi pendengaran pada penderita skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Pemporovsu (RSJD Pemprovsu).

1.2 Rumusan Masalah

Masalah yang akan diteliti pada penelitian ini adalah pengaruh terapi musik terhadap tanda dan gejala halusinasi pendengaran pada penderita skizofrenia di RSJD Pemprovsu.


(16)

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk melihat besar pengaruh terapi musik terhadap tanda dan gejala halusinasi pendengaran pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi pasien skizofrenia di RSJD Pemprovsu.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi tanda dan gejala halusinasi pendengaran sebelum di terapi musik pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi pasien skizofrenia di RSJD Pemprovsu

2. Mengidentifikasi tanda dan gejala halusinasi pendengaran sesudah di terapi musik pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi pasien skizofrenia di RSJD Pemprovsu

3. Mengidentifikasi pengaruh terapi musik terhadap tanda dan gejala halusinasi pendengaran pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi pasien skizofrenia di RSJD Pemprovsu.

1.4 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana tanda dan gejala halusinasi sebelum di berikan terapi musik terhadap halusinasi pendengaran pada kelompok control dan kelompok intervensi pasien skizofrenia di RSJD Pemprovsu.

2. Bagaimana tanda dan gejala halusinasi sesudah di berikan terapi musik terhadap halusinasi pendengaran pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi pasien skizofrenia di RSJD Pemprovsu.


(17)

3. Bagaimana pengaruh terapi musik terhadap tanda dan gejala halusinasi pendengaran pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi pasien skizofrenia di RSJD Pemprovsu.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi Institusi Keperawatan

Bagi institusi keperawatan, penelitian ini dapat memberikan masukan berupa gambaran pengaruh terapi musik terhadap tanda dan gejala halusinasi pendengaran pada pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara, sehingga institusi rumah sakit dapat lebih memperhatikan lagi terapi yang bisa dilakukan bagi para pasien skizofrenia.

1.5.2 Bagi Pelayanan Kesehatan

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi instansi rumah sakit dalam pemberian terapi musik bagi para pasien halusinasi pendengaran

1.5.3 Bagi Peneliti

Penelitian ini dapat menjadi pertimbangan bagi peneliti selanjutnya untuk meneliti lebih lanjut lagi tentang pengaruh terapi musik terhadap frekuensi halusinasi pendengaran pada pasien skizofrenia di instansi Rumah Sakit yang berbeda.


(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Skizofrenia

2.1.1 Pengertian

Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi, pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat berkembang kemudian (Sadock, 2003). Skizofrenia sebagai penyakit neurologis yang mempengaruhi persepsi klien, cara berfikir, bahasa, amosi, dan perilaku sosialnya. (Melinda Hermann, 2008).

Gejala skizofrenia secara garis besar dapat di bagi dalam dua kelompok, yaitu gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif berupa delusi, halusinasi, kekacauan pikiran, gaduh gelisah dan perilaku aneh atau bermusuhan. Gejala negatif adalah alam perasaan (afek) tumpul atau mendatar, menarik diri atau isolasi diri dari pergaulan, ‘miskin’ kontak emosional (pendiam, sulit diajak bicara), pasif, apatis atau acuh tak acuh, sulit berpikir abstrak dan kehilangan dorongan kehendak atau inisiatif.

2.1.2 Epidemiologi

Skizofrenia dapat ditemukan pada semua kelompok masyarakat dan di berbagai daerah. Insiden dan tingkat prevalensi sepanjang hidup secara kasar hampir sama di seluruh dunia. Gangguan ini mengenai hampir 1% populasi dewasa dan biasanya onsetnya pada usia remaja akhir atau awal masa dewasa.


(19)

Pada laki-laki biasanya gangguan ini mulai pada usia lebih muda yaitu 15-25 tahun sedangkan pada perempuan lebih lambat yaitu sekitar 25-35 tahun. Insiden skizofrenia lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan dan lebih besar di daerah urban dibandingkan daerah rural (Sadock, 2003).

Menurut Howard, Castle, Wessely, dan Murray, 1993 di seluruh dunia prevalensi seumur hidup skizofrenia kira-kira sama antara laki-laki dan perempuan diperkirakan sekitar 0,2%-1,5%. Meskipun ada beberapa ketidaksepakatan tentang distribusi skizofrenia di antara laki-laki dan perempuan, perbedaan di antara kedua jenis kelamin dalam hal umur dan onset-nya jelas. Onset untuk perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki, yaitu sampai umur 36 tahun, yang perbandingan risiko onsetnya menjadi terbalik, sehingga lebih banyak perempuan yang mengalami skizofrenia pada usia yang lebih lanjut bila dibandingkan dengan laki-laki (Durand, 2007).

2.1.3 Etiologi

Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa penyebab skizofrenia, antara lain :

1. Faktor Genetik

Menurut Maramis (1995), faktor keturunan juga menentukan timbulnya skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga penderita skizofrenia terutama anak-anak kembar satu telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri ialah 0,9 - 1,8%; bagi saudara kandung 7 – 15%; bagi anak dengan salah satu orangtua yang menderita skizofrenia 7 – 16%; bila kedua orangtua


(20)

menderita skizofrenia 40 – 68%; bagi kembar dua telur (heterozigot) 2 -15%; bagi kembar satu telur (monozigot) 61 – 86%.

Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang disebut quantitative trait loci. Skizofrenia yang paling sering kita lihat mungkin disebabkan oleh beberapa gen yang berlokasi di tempat-tempat yang berbeda di seluruh kromosom. Ini juga mengklarifikasikan mengapa ada gradasi tingkat keparahan pada orang-orang yang mengalami gangguan ini (dari ringan sampai berat) dan mengapa risiko untuk mengalami skizofrenia semakin tinggi dengan semakin banyaknya jumlah anggota keluarga yang memiliki penyakit ini (Durand & Barlow, 2007).

2. Faktor Biokimia

Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak yang disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan neuron-neuron berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas neurotransmitter dopamine yang berlebihan di bagian-bagian tertentu otak atau dikarenakan sensitivitas yang abnormal terhadap dopamine. Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas dopamine yang berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa neurotransmitter lain seperti serotonin dan norepinephrine tampaknya juga memainkan peranan (Durand, 2007).

3. Faktor Psikologis dan Sosial

Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang semakin lama semakin kuat, adanya trauma yang bersifat kejiwaan, adanya hubungan orang tua-anak yang patogenik, serta interaksi yang patogenik dalam keluarga


(21)

(Wiraminaradja & Sutardjo, 2005). Banyak penelitian yang mempelajari bagaimana interaksi dalam keluarga mempengaruhi penderita skizofrenia. Sebagai contoh, istilah schizophregenic mother kadang-kadang digunakan untuk mendeskripsikan tentang ibu yang memiliki sifat dingin, dominan, dan penolak, yang diperkirakan menjadi penyebab skizofrenia pada anak-anaknya (Durand & Barlow, 2007).

Menurut Coleman dan Maramis (1994 dalam Baihaqi et al, 2005), keluarga pada masa kanak-kanak memegang peranan penting dalam pembentukan kepribadian. Orangtua terkadang bertindak terlalu banyak untuk anak dan tidak memberi kesempatan anak untuk berkembang, ada kalanya orangtua bertindak terlalu sedikit dan tidak merangsang anak, atau tidak memberi bimbingan dan anjuran yang dibutuhkannya.

2.1.4 Tanda dan Gejala Skizofrenia

Tidak ada gejala yang spesifik pada pendeita skizofrenia karena semua gejala penyakit ini juga dapat ditemukan pada gangguan otak lainnya dan gejala dapat berubah sepanjang waktu. Skizofrenia di karakteristikkan dengan gejala positif yakni halusinasi pendengaran, delusi, dan gangguan berpikir, serta gejala negatif seperti demotivation, self neglect, dan redue emotion (Nadeem et al., 2004).

Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang penderitanya tidak mampu menilai realitas (Reality Testing Ability/RTA) dengan baik dan pemahaman diri (self insight) buruk. Gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi dalam 2 kelompok yaitu gejala positif dan gejala negatif.


(22)

1. Gejala Positif Skizofrenia a. Delusi atau Waham

Suatu keyakinan yang tidak rasional (tidak masuk akal). Meskipun telah dibuktikan secara obyektif bahwa keyakinannya itu tidak rasional, namun penderita tetap menyakini kebenarannya.

b. Halusinasi

Pengalaman panca indera tanpa ada rangsangan (stimulus). Misalnya penderita mendengar suarasuara atau bisikan-bisikan ditelinganya padahal tidak ada sumber dari suara atau bisikan itu.

c. Kekacauan alam pikiran

Dapat dilihat dari isi pembicaraannya. Misalnya bicaranya kacau, sehingga tidakdapat diikuti alur pikiranya.

d. Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan semangat dan gembira berlebihan.

e. Merasa dirinya “orang besar”, merasa serba mampu, serba hebat dan sejenisnya.

f. Pikirannya penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada ancaman terhadap dirinya.

g. Menyimpan rasa permusuhan 2. Gejala Negatif Skizofrenia

Gejala-gejala negatif yang diperlihatkan pada penderita skizofrenia adalah sebagai berikut:


(23)

Gambaran alam perasaan ini dapat terlihat dari wajahnya yang tidak menunjukan ekspresi.

b. Menarik diri atau mengasingkan diri (with drawn) tidak mau bergaul atau kontak dengan orang lain, suka melamun (day reaming).

c. Kontak emosional amat “miskin”, sukar diajak bicara, pendiam. d. Pasif dan apatis, menarik diri dari pergaulan sosial.

e. Sulit dalam berpikir abstrak f. Pola pikir streotip.

g. Tidak ada atau kehilangan dorongan kehendak (avolition) dan tidak ada inisiatif, tidak ada upaya dan usaha, tidak ada spontanitas monoton, serta tidak ingin apa-apa dan serba malas (kehilangan nafsu) (Hawari, 2009).

2.1.5 Penatalaksanaan

1. Terapi Biologis

Pada penatalaksanaan terapi biologis terdapat tiga bagian yaitu terapi dengan menggunakan obat antipsikosis, terapi elektrokonvulsif, dan pembedahan bagian otak. Terapi dengan penggunaan obat antipsikosis dapat meredakan gejala-gejala skizofrenia. Obat yang digunakan adalah chlorpromazine (thorazine) dan fluphenazine decanoate (prolixin). Kedua obat tersebut termasuk kelompok obat phenothiazines, reserpine (serpasil), dan haloperidol (haldol). Obat ini disebut obat penenang utama. Obat tersebut dapat menimbulkan rasa kantuk dan kelesuan, tetapi tidak mengakibatkan tidur yang lelap, sekalipun dalam dosis yang sangat tinggi (orang tersebut dapat dengan mudah terbangun). Obat ini cukup tepat bagi


(24)

penderita skizofrenia yang tampaknya tidak dapat menyaring stimulus yang tidak relevan (Durand, 2007).

Terapi Elektrokonvulsif juga dikenal sebagai terapi electroshock pada penatalaksanaan terapi biologis. Pada akhir 1930-an, electroconvulsive therapy (ECT) diperkenalkan sebagai penanganan untuk skizofrenia.Tetapi terapi ini telah menjadi pokok perdebatan dan keprihatinan masyarakat karena beberapa alasan. ECT ini digunakan di berbagai rumah sakit jiwa pada berbagai gangguan jiwa, termasuk skizofrenia.

2.2 Halusinasi

2.2.1 Pengertian Halusinasi

Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya rangsangan dari luar. Walaupun tampak sesuatu yang “khayal”, halusinasi sebenarnya merupakan bagian dari kehidupan mental penderita yang “ terepsesi”. Halusinasi dapat terjadi karena dasar-dasar organic fungsional, psikotik maupun histerik.( Yosep, 2007).

Halusinasi adalah sensasi panca indra tanpa adanya rangsangan. Klien merasa melihat, mendengar, membau dan ada rasa kecap meskipun tidak ada suatu rangsang yang tertuju pada kelima indra tersebut ( Damaiyanti, 2008 ). Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan internal ( pikiran ) dan rangsangan eksternal (dunia luar).Klien memberikan persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara padahal tidak ada orang yang berbicara (Kusumawati dan Hartono 2011).


(25)

2.2.2 Penyebab Halusinasi

Menurut Yosep (2007) penyebab halusinasi ada faktor predisposisi dan factor presipitasi :

1. Faktor Predisposisi a. Genetik

b. Neurobiology c. Neurotransmitter

d. Abnormal perkembangan saraf e. Psikologis

2. Faktor Presipitasi

a. Proses pengolahan informasi yang berlebihan b. Mekanisme penghantaran listrik yang abnormal c. Adanya gejala pemicu.

2.2.3 Tahapan Halusinasi

Menurut Direja (2011) Halusinasi melalui empat fase, yaitu sebagai berikut :

1. Fase 1 (Non-psikotik)

Pada tahap ini, halusinasi mampu memberikan rasa nyaman pada klien, tingkat orientasi sedang. secara umum pada tahap ini halusinasi merupakan hal yang menyenangkan bagi klien

a. Karakteristik : Mengalami kecemasan, kesepian, rasa bersalah, dan ketakutan,Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan kecemasan, Pikiran dan pengalaman sensorik masih ada dalam kontrol kesadaran


(26)

b. Perilaku yang muncul : Tersenyum atau tertawa sendiri, Menggerakan bibir tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, Respons verbal lambat, diam, dan berkonsentrasi.

3. Fase II (Non-psikotik)

Pada tahap ini biasanya klien bersikap menyalahkan dan mengalami tingkat kecemasan berat. secara umum halusinasi yang ada dapat menyebabkan antisipasi.

a. Karakteristik : Pengalaman sensori menakutkan atau merasa dilecehkan oleh pengalam tersebut, Mulai merasa kehilangan kontrol, Menarik diri dari orang lain.

b. Perilaku yang muncul : Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan, dan tekanan darah, Perhatian terhadap lingkungan menurun, konsentrasi terhadap pengalaman sensori pun menurun, Kehilangan kemampuan dalam membedakan antara halusinasi dan realita.

4. Fase III (Psikotik)

Klien biasanya tidak dapat mengontrol dirinya sendiri, tingkat kecemasan berat, dan halusinasi tidak dapat ditolak lagi

a. Karakteristik : Klien menyerah dan menerima pengalaman sensorinya, Isi halusinasi menjadi atraktif, Klien menjadi kesepian bila pengalaman sensori berakhir.

b. Perilaku yang muncul : Klien menuruti perintah halusinasi, Sulit berhubungan dengan orang lain, Perhatian terhadap lingkungan sedikit atau sesaat,


(27)

Tidak mampu mengikuti perintah yang nyata, Klien tampak tremor dan berkeringat.

5. Fase IV ( Psikotik )

Klien sudah sangat dikuasai oleh halusinasi dan biasanya klien terlihat panik Prilaku yang muncul : Resiko tinggi mencederai, Agitasi / kataton, Tidak mampu merespons rangsangan yang ada.

2.2.4 Tanda dan Gejala Halusinasi

1. Respon terhadap realita tidak tepat

Respon yang tidak tepat ini dapat terjadi pada kelima panca indera yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan dan pengecapan. Isi halusinasi dapat bermacam- macam.

a. Halusinasi pendengaran b. Halusinasi penciuman c. Haluinasi penglihatan d. Halusinasi perabaan e. Halusinasi pengecapan

2. Tersenyum dan tertawa sendiri (Towsend, 2005)

Pasien tertawa sendiri karena isi halusinasi pasien berisikan hal yang menyenangkan bagi pasien. Hal ini sesuai dengan Stuart & Laraia (2005) yang menyatakan bahwa memang pada tahap satu dari tahapan intensitas halusinasi adalah halusinasi bersifat menyenangkan dan perilaku pasien yang tampak adalah pasien terlihat tersenyum ataupun tertawa sendiri.


(28)

3. Berbicara sendiri (Towsend, 2005)

Stuart & Laraia (2005) menyebutkan bahwa perilaku pasien pada tahap satu halusinasi adalah pasien menggerakkan bibir tanpa suara. Pada tahap ini halusinasi umumnya menyenangkan dan pasien mengalami ansietas sedang. Pengalaman halusinasi menunjukkan emosi seperti ansietas, kesepian, merasa bersalah, takut dan mencoba memfokuskan pada fikiran yang menyenangkan untuk mengurangi ansietas. Individu mengetahui bahwa pikiran dan pengalaman sensorinya dapat dikontrol jika ansietasnya dapat diatasi.

4. Melakukan aktivitas fisik yang merefleksikan isi halusinasi (Stuart & Laraia, 20005)

Berdasarkan Stuart & Laraia (2005) pada tahap ketiga halusinasi, halusinasi bersifat mengendalikan. Pengalaman sensori mulai mengendalikan dan individu mengalami ansietas berat. Individu mulai menyerah untuk mencoba melawan pengalaman halusinasinya dan membiarkan halusinasi menguasai dirinya. Isi halusinasi dapat berupa permohonan. Individu mengalami kesepian apabila halusinasinya berakhir. Perilaku pasien lebih cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan oleh halusinasinya dari pada menolaknya. Tahapan berlanjut diberikan oleh halusinasinya dari pada menolaknya. Tahapn berlanjut pada tahap keempat dimana pengalaman sensori menjadi menakutkan apabila individu tidak mengikuti perintah yang akhirnya dapat berakhir dengan pasien melakukan tindakan yang beresiko terhadap keamanan dirinya sendiri, orang lain dan lingkungan sekitar.


(29)

5. Bersikap seperti mendengarkan sesuatu / memiringkan kepala ke satu sisi seperti jika seorang sedang mendengarkan sesuatu (Towsend, 2005)

Sama seperti perilaku sebelumnya parilaku ini terjadi karena individu dikendalikan oleh halusinasinya. Perilaku pasien lebih cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan oleh halusinasinya dari pada menolaknya (Stuart & Laraia, 2005).

6. Kurangnya interaksi dengan oranglain (Copel, 2007)

Stuart & Laraia (2005), menyebutkan bahwa individu merasa malu dengan penggalaman sensorinya dan menarik diri dari oranglain. Dan hal ini terjadi pada tahap kedua tahapan intensitas halusinasi. Halusinasi umumnya menjijikkan dan pasien mengalami ansietas berat. Pengalaman sensori bersifat menjijikkan dan menakutkan individu mulai merasa kehilangan control dan berusaha menjauhkan dirinya dari sumber yang dipersepsikan. Dan apabila tahapan berlanjut individu akan mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan oranglain.

7. Kurang dapat berkonsentrasi (Copel, 2007; Towsend, 2005)

Berdasarkan Stuart & Laraia (2005), berkurangnya kemampuan individu berkonsentrasi terjadi pada tahap dua intensitas halusinasi. Pada tahap ini pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan, individu mulai merasa kehilangan control dan berusaha menjatuhkan dirinya dari sumber yang dipersepsikan.


(30)

2.2.5Jenis-Jenis halusinasi

1. Halusinasi audio/dengar

Halusinasi pendengaran adalah mendengar suara manusia, hewan, mesin, barang, kejadian alamiah dan musik dalam keaadan sadar tanpa adanya rangsangan apapun (maramis,2005). Halusinasi pendengaran adalah persepsi sensorik yang keliru melibatkan panca indra pendengaran (isaac,2002).

2. Halusinasi Visual/Lihat

Halusinasi dari organ penglihatan (mata). Pasien melihat, sedang orang di sekitar sama sekali tidak. Atau kenyataannya di mata orang lain tidak ada apa-apa sedangkan pasien yakin sekali melihat. Misalnya, melihat bentangan alam yang indah, melihat hewan-hewan, monster, dan lain-lain.

3. Halusinasi Olfaktorik/Penciuman (Bau/Hidu)

Tidak ada sumber bau, tetapi penderita yakin menghirup bau-bau tertentu. Misalnya bau parfum, bau busuk, bau menyengat, dan lain-lain. Kelainan ini jarang terjadi, dan ada dugaan kelainan ini muncul dengan kecenderungan adanya kerusakan otak organik.

4. Halusinasi Gustatorik/Kecap

Penderita merasakan sensasi rasa di mulutnya. Kelainan ini sering terjadi bergandengan dengan adanya gangguan penghidu/pembau/olfaktorik.

5. Halusinasi Taktil/Raba-Rasa/Kinestetik

Penderita merasakan sensasi taktil/raba-rasa di tubuhnya yang tentu saja tanpa sumber/stimulus/rangsangan/trigger. Misalnya penderita merasakan sakit, merasakan seperti di setrum, merasa digebukin, merasakan panas, merasakan


(31)

kedinginan. Lebih khusus lagi dari gangguan ke-5 ini: Jika sensasi raba yang dirasakan penderita adalah rangsangan erotis (seksual) maka disebut sebagai halusinasi heptik; Jika pasien melaporkan adanya perasaan sedang merasakan proses pembentukan cairan tubuh, seperti merasakan pembentukan feses, urin, atau darah maka disebut halusinasi cenesthetik; Sedangkan yang dimaksud halusinasi kinestetik apabila pasien merasakan dirinya bergerak padahal posisinya saat itu tidak bergerak sama sekali.

2.2.6 Tindakan Keperawatan

1. Membantu pasien mengenali halusinasi.

Dapat melakukan dengan berdiskusi dengan pasien tentang isi halusinasi (apa yang didengar/ dilihat), waktu terjadi halusinasi, frekwensi terjadi halusinasi, situasi yang menyebabkan halusinasi muncul dan perasaan pasien saat halusinasi muncul

2. Melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara : a. Menghardik halusinasi

Menjelaskan cara menghardik halusinasi, memperagakan cara menghardik, meminta pasien memperagakan ulang, memantau penerapan cara ini dan menguatkan perilaku pasien.

b. Bercakap-cakap dengan orang lain

Untuk mengontrol halusinasi dapat juga dengan bercakap-cakap dengan orang lain. Ketika pasien bercakap-cakap dengan orang lain maka terjadi distraksi; fokus perhatian pasien akan beralih dari halusinasi ke percakapan yang dilakukan dengan orang lain tersebut.


(32)

c. Melakukan aktivitas yang terjadwal

Untuk mengurangi resiko halusinasi muncul lagi adalah dengan menyibukkan diri dengan aktivitas yang teratur. Dapat dilakukan dengan cara : menjelaskan pentingnya aktivitas yang teratur untuk mengatasi halusinasi, mendiskusikan aktivitas yang biasa dilakukan oleh pasien, melatih pasien melakukan aktivitas, menyusun jadwal aktivitas sehari-hari sesuai dengan aktivitas yang telah dilatih, memantau pelaksanaan jadwal kegiatan dan memberikan penguatan terhadap perilaku pasien yang positif.

d. Menggunakan obat secara teratur

Untuk mampu mengontrol halusinasi pasien juga harus dilatih untuk menggunakan obat secara teratur sesuai dengan program. Tindakan keperawatan agar pasien patuh menggunakan obat : jelaskan pentingnya penggunaan obat pada gangguan jiwa, jelaskan akibat bila putus obat, jelaskan cara mendapat obat/ berobat, jelaskan cara menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (benar obat, benar pasien, benar cara, benar waktu, benar dosis).

2.3 Terapi Musik

2.3.1 Pengertian Musik

Dari penulis-penulis Indonesia di antaranya dapat dijumpai sejumlah definisi tentang musik: Jamalus (1988, 1) berpendapat bahwa musik adalah suatu hasil karya seni bunyi dalam bentuk lagu atau komposisi musik yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penciptanya melalui unsur-unsur musik yaitu irama, melodi, harmoni, bentuk dan struktur lagu dan ekspresi sebagai satu kesatuan. Rina (2003, 9) setuju dengan pendapat bahwa musik merupakan salah


(33)

satu cabang kesenian yang pengungkapannya dilakukan melalui suara atau bunyibunyian. Prier (1991, 9) setuju dengan pendapat Aristoteles bahwa musik merupakan curahan kekuatan tenaga penggambaran yang berasal dari gerakan rasa dalam suatu rentetan suara (melodi) yang berirama.

Menurut ahli perkamusan (lexicographer) musik ialah: ”Ilmu dan seni dari kombinasi ritmis nada-nada, vokal maupun instrumental, yang melibatkan melodi dan harmoni untuk mengekspresikan apa saja yang memungkinkan, namun khususnya bersifat emosional”1 Walaupun demikian selama berabad-abad para ahli menganggap bahwa definisi kamus tersebut kurang memuaskan. Sebagai alternatif, di antaranya ada yang memahami musik sebagai ”bahasa para dewa”; yang lain mengatakan bahwa: ”music begins where speech ends” (musik mulai ketika ucapan berhenti). Romain Rolland berpendapat bahwa musik adalah suatu janji keabadian; bagi Sydney Smith musik ialah satusatunya pesona termurah dan halal di muka bumi.

Goethe berpendapat bahwa musik mengangkat dan memuliakan apa saja yang diekspresikannya. Mendelssohn meyakini bahwa musik dapat mencapai suatu wilayah yang kata-kata tidak sanggup mengikutinya, dan Tchaikovsky berkata bahwa musik adalah ilham yang menurunkan kepada kita keindahan yang tiada taranya. Musik adalah logika bunyi yang tidak seperti sebuah buku teks atau sebuah pendapat. Ia merupakan suatu susunan vitalitas, suatu mimpi yang kaya akan bunyi, yang terorganisasi dan terkristalisasi. Sehubungan dengan itu Herbert Spencer, seorang filsuf Inggris mempertimbangkan musik sebagai seni murni tertinggi yang terhormat. Dengan demikian musik adalah pengalaman estetis yang


(34)

tidak mudah dibandingkan pada setiap orang, sebagaimana seseorang dapat mengatakan sesuatu dengan berbagai cara (Ewen 1963, vii-viii).

Dari perspektif interpretasi atau penikmatannya, musik juga dapat dipahami sebagai bahasa karena ia memiliki beberapa karakteristik yang mirip dengan bahasa. Berkaitan dengan hal tersebut Machlis (1963, 4) memahami musik sebagai bahasa emosi-emosi yang tujuannya sama seperti bahasa pada umumnya, yaitu untuk mengkomunikasikan pemahaman. Sebagai bahasa musik juga memiliki tata bahasa, sintaksis, dan retorika, namun tentunya musik merupakan bahasa yang berbeda. Setiap kata-kata memiliki pengertian yang kongkrit, sementara nada-nada memiliki pengertian karena hubungannya dengan nada-nada yang lain. Kata-kata mengekspresikan ide-ide yang spesifik sedangkan musik menyugestikan pernyataan-pernyataan misterius dari pikiran atau perasaan.

Dari beberapa pendapat di atas setidaknya dapat dipahami bahwa musik merupakan salah satu cabang seni pertunjukan seperti tari, drama, puisi, dan sebagainya. Sebagai sebuah karya seni, musik adalah ungkapan perasaan seseorang yang dituangkan lewat komposisi jalinan nada atau melodi, baik dalam bentuk karya vokal maupun instrumental. Di samping itu musik adalah suatu karya seni yang tersusun atas kesatuan unsur-unsur seperti irama, melodi, harmoni, bentuk atau struktur, dan ekspresi.

2.3.2 Pengertian Terapi Musik

Terapi musik adalah materi yang mampu mempengaruhi kondisiseseorangbaik fisik maupun mental. Musik memberi rangsanganpertumbuhan fungsi-fungsiotak seperti fungsi ingatan, belajar,


(35)

mendengar,berbicara, serta analisis intelek dan fungsi kesadaran (Satiadarma, 2004).Terapi musik merupakan suatu disiplinilmu yang rasional yang memberinilai tambah pada musik sebagai dimensi baru secara bersama dapatmempersatukan seni, ilmu pengetahuan dan emosi (Widodo, 2000).

2.3.3 Manfaat Musik

Dari perspektif filsafat, musik diartikan sebagai bahasa nurani yang menghubungkan pemahaman dan pengertian antar manusia pada sudut-sudut ruang dan waktu, di mana pun kita berada. Oleh karena itu Nietzsche, seorang filsuf Jerman, meyakini bahwa musik tidak diragukan dapat memberikan kontribusi yang positif bagi kehidupan manusia. Sehubungan dengan itu ia mengatakan: "Without music, life would be an error." Dalam kenyataannya musik memang memiliki fungsi atau peran yang sangat penting sehingga tidak satupun manusia yang bisa lepas dari keberadaan musik.

1. Musik Sebagai Hiburan

Aristoteles, filsuf Yunani yang lahir di Stagira pada tahun 384 SM, mengatakan bahwa musik mempunyai kemampuan untuk mendamaikan hati yang gundah. Sehubungan dengan itu musik memiliki efek terapi yang rekreatif dan lebih jauh lagi dapat menumbuhkan jiwa patriotisme. Pandangan Aristoteles ini setidaknya memberikan gambaran kepada kita bahwa dalam mengarungi bahtera kehidupannya, manusia tidak selalu menjumpai hal-hal yang menyenangkan. Suatu ketika ia bisa mengalami peristiwa yang menyedihkan, memilukan, atau bahkan menyakitkan, sedangkan di lain waktu, bisa juga mengalami peristiwa yang sungguh menyenangkan.


(36)

Musik dapat mempengaruhi hidup seseorang, hanya dengan musik, suasana ruang batin seseorang dapat dipengaruhi. Entah apakah itu suasana bahagia ataupun sedih, bergantung pada pendengar itu sendiri. Yang pasti, musik dapat memberi semangat pada jiwa yang lelah, resah dan lesu. Apalagi bagi seseorang yang sedang jatuh cinta, musik seakan-akan dapat menjadi kekuatan untuk menyemangati perjalanan cinta seseorang. Sebagai hiburan, musik dapat memberikan rasa santai dan nyaman atau penyegaran pada pendengarnya. Terkadang pada saat pikiran kita lagi risau, serba buntu, dan tidak tahu apa yang harus dilakukan; dengan mendengarkan musik, segala pikiran bisa kembali segar. Hasilnya, kita bersemangat kembali mengerjakan sesuatu yang tertunda.

Di samping itu sebagai hiburan, musik juga dapat menyembuhkan depresi, musik terbukti dapat menurunkan denyut jantung. Ini membantu menenangkan dan merangsang bagian otak yang terkait ke aktivitas emosi dan tidur. Peneliti dari Science University of Tokyo menunjukkan bahwa musik dapat membantu menurunkan tingkat stres dan gelisah. Penelitian menunjukkan bahwa mendengarkan musik klasik adalah cara terbaik untuk membantu mengatasi depresi

2. Terapi Kesehatan

Musik dapat berfungsi sebagai alat terapi kesehatan. Ketika seseorang mendengarkan musik, gelombang listrik yang ada di otaknya dapat diperlambat atau dipercepat dan pada saat yang sama kinerja sistem tubuh pun mengalami perubahan. Bahkan, musik mampu mengatur hormon-hormon yang mempengaruhi stres seseorang, serta mampu meningkatkan daya ingat. Musik dan


(37)

kesehatan memiliki kaitan erat, dan tidak diragukan bahwa dengan mendengarkan musik kesukaannya seseorang akan mampu terbawa ke dalam suasana hati yang baik dalam waktu singkat.

Musik juga memiliki kekuatan memengaruhi denyut jantung dan tekanan darah sesuai dengan frekuensi, tempo, dan volumenya. Makin lambat tempo musik, denyut jantung semakin lambat dan tekanan darah menurun. Akhirnya, pendengar pun terbawa dalam suasana santai, baik itu pada pikiran maupun tubuh. Oleh karena itu, sejumlah rumah sakit di luar negeri mulai menerapkan terapi musik pada pasiennya yang mengalami rawat inap.

Musik dapat menyembuhkan sakit punggung kronis, ia bekerja pada sistem syaraf otonom yaitu bagian sistem syaraf yang bertanggung jawab mengontrol tekanan darah, denyut jantung, dan fungsi otak yang mengontrol perasaan dan emosi. Menurut penelitian, kedua sistem tersebut bereaksi sensitif terhadap musik. Ketika kita merasa sakit, kita menjadi takut, frustasi dan marah yang membuat kita menegangkan ratusan otot dalam punggung. Mendengarkan musik secara teratur membantu tubuh santai secara fisik dan mental sehingga membantu menyembuhkan dan mencegah sakit punggung. Para ahli yakin setiap jenis musik klasik seperti Mozart atau Beethoven dapat membantu sakit otot.

3. Kecerdasan

Musik memiliki pengaruh terhadap peningkatan kecerdasan manusia. Salah satu istilah untuk sebuah efek yang bisa dihasilkan sebuah musik yang memiliki kemampuan untuk meningkatkan intelegensia seseorang, yaitu Efek Mendengarkan Musik Mozart. Hal ini sudah terbukti, ketika seorang ibu yang


(38)

sedang hamil duduk tenang, seakan terbuai alunan musik tadi yang juga ia perdengarkan di perutnya. Hal ini dimaksudkan agar kelak si bayi akan memiliki tingkat intelegensia yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang dibesarkan tanpa diperkenalkan pada musik. Dengan cara tertentu, otak pun akan distimulasi untuk “belajar” segala sesuatu lewat nada-nada musik. Selain itu, musik-musik yang berirama klasik adalah jenis musik yang dianjurkan banyak pakar buat ibu hamil dan si bayi, yaitu bisa mencerdaskan bayi dan juga bisa memberi ketenangan buat ibu yang sedang hamil.

Sehubungan dengan itu mencegah kehilangan daya ingat. Bagi banyak orang yang mengalami kehilangan daya ingat dimana berbicara dengan bahasa menjadi tidak berguna. Musik dapat membantu pasien mengingat nada atau lagu dan berkomunikasi dengan sejarah mereka. Ini karena bagian otak yang memproses musik terletak sebelah memori. Para peneliti menunjukkan bahwa orang dengan kehilangan daya ingat merespon lebih baik terhadap jenis musik pilihannya.

4. Musik dan Kepribadian

Musik diyakini dapat meningkatkan motivasi seseorang. Motivasi adalah hal yang hanya bisa dilahirkan dengan perasaan dan suasana hati tertentu. Apabila ada motivasi, semangat pun akan muncul dan segala kegiatan bisa dilakukan. Begitu juga sebaliknya, jika motivasi terbelenggu, maka semangat pun menjadi luruh, lemas, tak ada tenaga untuk beraktivitas. Coba saja diingat saat upacara bendera setiap Senin pagi yang di dalam upacara tersebut kita diwajibkan menyanyikan lagu wajib nasional itu, semata-mata kan hanya untuk menimbulkan


(39)

motivasi mencintai negeri, mengenang jasa pahlawan, dan memberi semangat baru pada pesertanya. Hal ini seharusnya berlaku juga pada irama mars yang merupakan irama untuk mengobarkan semangat perjuangan.

Perkembangan kepribadian seseorang juga mempengaruhi dan dipengaruhi oleh jenis musik yang didengar. Sewaktu kecil kita suka mendengarkan lagu-lagu anak, setelah dewasa kita pun akan memilih sendiri jenis musik yang kita sukai. Pemilihan jenis musik yang disukai bisa dibilang membantu kita untuk memberikan nuansa hidup yang kita butuhkan.

Musik adalah pengatur yang baik membentuk tubuh dan pikiran untuksaling bekerjasama. Musik berguna untuk (1) memberi pengulangan yangmenguatkan pembelajaran (2) memberi ketukan yang berirama yangmembantu koordinasi (3) memberi pola yang membimbing gunamengantisipasi apa yang akan terjadi berikutnya (4) memberi kata-kata yangmenyatukan bahasa dankemampuan membaca (5) memberi melodi yangmenarik hati dan perhatian dengan kegembiraan (Sari, 2005).Menurut Fauzi (2006), musik memberi pengaruh yang kuat untuk (1)Membantu perkembangan otak bayi (2) Membantu perkembangan bahasa(3) Menjadi jembatan belajar membaca (4) Memberi perangkat bagi mentaluntuk memecahkan masalah (5) meningkatkan keterampilan kognitif danperilaku (6) Menumbuhkan rasa percaya diri.

Hasil riset menunjukkan bahwa pelatihan dengan musikmenunjukkan bahwa musik lebih daripada sekedar hubungan sebab akibatterhadap perkembangan bagian-bagian tertentu dari otak secara jangkapanjang, tetapi


(40)

alunan beberapa jenis musik mampu memberikan pengaruhtertentu pada pergerakan gelombang otak (Fauzi, 2006).

2.3.4 Prinsip Terapi Musik

Seluruh makhluk hidup yang terdapat dalam alam semesta di ciptakan dari sebentuk energi. Energi tersebut bermanifestasi dalam bentuk raga atau disebut wujud fisik. Dalam raga terdapat jiwa yang berinteraksi dengan energy di sekelilingnya. Terapi musik adalah metode penyembuhan dengan musik melalui energi yang dihasilkan dari musik itu sendiri.

Prinsip dalam terapi musik meliputi;

1. Semua makhluk hidup adalah musikal dan masing-masing memiliki design tersendiri dalam proses penyembuhan.

2. Musik merupakan ekspresi dari emosi yang ditimbulkan oleh factor-faktor dalam musik itu sendiri.

3. Musik merupakan fasilitator antara terapis dengan tubuh klien,sehingga tubuh atau fisik akan member respon terhadapenergi yang dialirkan.

4. Musik merupakan sumber emosi kebahagiaan, karena musik menghasilkan hormone betha-endophin dalam tubuh manusia.

5. Secara alamiah musik memberi hiburan bagi manusia, melalui tarian, drama, nyanyian dan sebagainya.

6. Harus dibedakan dengan jelas antara terapi musik dan belajar instrumen musik. Dua hal ini sangat berbeda, dalam terapi musik seorang klien terlibat dalam bermusik untuk proses penyembuhan dirinya sedangkan dalam belajar instrumen terdapat jenjang pendidikan musik.


(41)

2.3.5 Jenis-Jenis Musik

Seiring dengan perkembangan dan kemajuan tehnologi juga semakin meningkatkan jenis-jenis musik seperti musik Rok, musik Contry, MusikJazz, musik Barok, musik Klasik (Mozart), dll. Sebagian dari musik ini dapatdigunakan untuk merangsang kecerdasan, walau demikian bukan berartimusik lain tidak berpengaruh sama sekali (Satiadarma, 2004). Jenis musikyang sudah diteliti dapat meningkatkan kecerdasan adalah:

1) Musik Klasik

Secara umum beberapa musik klasik dianggapmemiliki dampak psikofisik yang menimbulkan kesan rileks, santai,cenderung membuat detak nadi bersifat konstan, memberi dampakmenenangkan, dan menurunkan stress. Tetapi pemakaian musik jenis ini perlupertimbangan tentang waktu tampilan musik, taraf usia perkembangan, danlatar belakang budaya, serta aktivitas motorik yang sesuai dan diassosiasikandengan kasih sayang dan estetika (Fauzi, 2006).

Musik klasik Mozart adalah musik klasik yang muncul 250 tahun yang lalu. Diciptakan oleh Wolgang Amadeus Mozart. Musik klasik Mozart memberikan ketenangan, memperbaiki persepsi spasial dan memungkinkan pasien untuk berkomunikasi baik dengan hati maupun pikiran. Musik klasik Mozart juga memiliki irama, melodi, dan frekuensi tinggi yang dapat merangsang dan menguatkan wilayah kreatif dan motivasi di otak. Musik klasik Mozart memiliki efek yang tidak dimiliki komposer lain. Musik klasik Mozart memiliki kekuatan yang membebaskan, mengobati dan dan menyembuhkan (Musbikin, 2009).


(42)

2) Musik Barok

Musik jenis ini dianggap sebagai sooting music atau musik yangmembelai, menimbulkan rasa tenang dan nyaman.Musik barok ini juga membangkitkan suasana positif dalam bermain. Musik jenis ini cenderung mendorong seseorang untuk berani bereksplorasi dalamsuasana yang menggembirakan.

Pada hakikatnya musik ini membangkitkan aktivitas kesenimanan dalamdiri ( the artist within). Dengan memperdengarkan musik ini kemampuankreatif juga dibangkitkan karena dapat mengembangkan daya imajinasi, kondisi ini memungkinkan seseorang untuk berekspresi

(Satiadarma, 2004). 3) Musik Nature Sounds

Musik nature sounds atau Nature sounds music bukan merupakan bagian dari musik klasik. Musik jenis ini justru merupakan temuan baru akibatmodernisasi tehnologi rekaman suara. Nature sounds music merupakan bentukintegrative musik klasik dengan suara-suara alam. Komposisi musik inidisertai dengan latar belakang suara ombak lautan atau gemerisik pepohonan,dan suara alam lainya. Jenis musik nature sounds ini cenderung lebihmendekatkan pendengar dengan suasana alam. Bagi anak suara alam ini tidaksekadar membangkitkan assosiasi tertentu tetapi juga merupakan stimulustertentu sebagai sarana belajar. Iringan musik ini dalam situasi yang tenangsangat membantu memperkuat imajinasi danassosiasinya (Satiadarma, 2004).


(43)

2.3.6 Cara kerja Terapi Musik Klasik

Musik klasik bersifat terapeutik artinya dapat menyembuhkan. Salah satu alasannya karena musik klasik menghasilkan rangsangan ritmis yang kemudian ditangkap melalui organ pendengaran dan diolah di dalam sistem saraf tubuh dan kelenjar pada otak yang selanjutnya mereorganisasi interpretasi bunyi ke dalam ritme internal pendengarnya. Ritme internal ini mempengaruhi metabolisme tubuh manusia sehingga prosesnya berlangsung dengan lebih baik. Dengan metabolisme yang lebih baik, tubuh akan mampu membangun sistem kekebalan yang lebih baik, dan dengan sistem kekebalan yang lebih baik tubuh menjadi lebih tangguh terhadap kemungkinan serangan penyakit (Satiadarma, 2002). Sebagian besar perubahan fisiologis tersebut terjadi akibat aktivitas dua sistem neuroendokrin yang dikendalikan oleh hipotalamus yaitu sistem simpatis dan sistem korteks adrenal (Prabowo & Regina, 2007).

Hipotalamus juga dinamakan pusat stres otak karena fungsi gandanya dalam keadaan darurat. Fungsi pertamanya adalah mengaktifkan cabang simpatis dan sistem saraf otonom. Hipotalamus menghantarkan impuls saraf ke nukleus-nukleus di batang otak yang mengendalikan fungsi sistem saraf otonom. Cabang simpatis dari sistem saraf otonom bereaksi langsung pada otot polos dan organ internal untuk menghasilkan beberapa perubahan tubuh seperti peningkatan denyut jantung dan peningkatan tekanan darah. Sistem simpatis juga menstimulasimedula adrenal untuk melepaskan hormon epinefrin (adrenalin) dan norepinefrin ke dalam pembuluh darah, sehingga berdampak meningkatkan


(44)

denyut jantung dan tekanan darah, dan norepinefrin secara tidak langsung melalui aksinya pada kelenjar hipofisis melepaskan gula dari hati. ArdenalCorticotropin Hormon (ACTH) menstimulasi lapisan luar kelenjar adrenal (korteks adrenal) yang menyebabkan pelepasan hormon (salah satu yang utama adalah kortisol) yang meregulasi kadar glukosa dan mineral tertentu (Atkinson cit Primadita, 2011).

Salah satu manfaat musik klasik sebagai terapi adalah self-mastery yaitu kemampuan untuk mengendalikan diri. Musik mengandung vibrasi energi, vibrasi ini juga mengaktifkan sel-sel di dalam diri seseorang, sehingga dengan aktifnya sel-sel tersebut sistem kekebalan tubuh seseorang lebih berpeluang untuk aktif dan meningkat fungsinya. Selain itu, musik dapat meningkatkan serotonin dan pertumbuhan hormon yang sama baiknya dengan menurunkan hormon ACTH (Satiadarma, 2002). Pemberian intervensi terapi musik klasik membuat seseorang menjadi rileks, menimbulkan rasa aman dan sejahtera, melepaskan rasa gembira dan sedih, melepaskan rasa sakit dan menurunkan tingkat stres, sehingga dapat menyebabkan penurunan kecemasan (Musbikin, 2009). Hal tersebut terjadi karena adanya penurunan Ardenal Corticotropin Hormon (ACTH) yang merupakan hormon stres (Djohan, 2005).

2.3.7 Rangsangan Terapi Musik Terhadap Fungsi Otak

Musik memberi rangsangan pertumbuhan fungsi-fungsi pada otak(fungsi ingatan, belajar, bahasa, berbicara, analisis intelek dan fungsikecerdasan).Dengan menikmati musik, gudang ingatan semakin lamasemakin berkembang, sehingga daya ingat semakin baik(Satiadarma, 2004).


(45)

Musik juga dapat berpengaruh untuk: 1) Merangsang otak secara fisik

Musik mampu mengaktifkan fungsi fisik otak yang telah mengalamipenurunan akibat adanya ganguan fisik. Ada yang beranggapan bahwa bukanmusik yang memperbaiki kondisi fisik otak, melainkan kondisi fisik otak yanglebih memungkinkan seseorang untuk belajar musik. Bagian otak yangberperan dalam fungsi pendengaran dan kemampuan verbal (planumtemporal) dan bagian otak yang berfungsi sebagai lintas transformasi sinyaldari belahan otak kanan dan belahan otak kiri ( corpus collosum) pada musisiumumnya lebih besar karena musisi belajar musik relatif lebih lama daripadaorang lain (Rahmawati, 2001).

2) Merangsang fungsi kognitif

Fungsi kognitif (nalar) merupakan fungsi yang sangat penting dalamaktifitas kerja otak. Fungsi kognitif memungkinkan seseorang untuk berfikir,mengingat, menganalisa, belajar dan melakukan aktifitas mental yang lebihtinggi. Secara umum musik mampu membantu seseorang untuk meningkatkankonsentrasi, menenangkan pikiran, memberi ketenangan dan membantuseseorang untuk melakukan motivasi dengan kata lain musik dapat membantuindividu mengembangkan proses mental dan meningkatkan kesadaran(Satiadarma, 2004).

3) Merangsang rekognisi (mengenali kembali)

Proses rekognisi merupakan salah satu proses penting dalam berpikir,proses ini berlangsung cukup kompleks dan melibatkan ragam fungsi


(46)

kerjaotak. Pada awalnya rangsang diterima oleh penginderaan dan di sampaikan keotak dengan menggunakan sinyal tertentu melintas pada jaringan saraf,kemudian otak menganalisa sinyal yang dikirimkan oleh penginderaan,mencari pendengaranya dengan koleksi data yang ada di gudang ingatan(Satiadarma, 2004).Jika seseorang mendengar alunan musik, saraf indra pendengaranmengirim sinyal ke otak untuk mengenal alunan musik tersebut. Jika individupernah mendengar alunan serupa maka individu yang bersangkutan akanmerespon alunan serupa misalnya dengan hentakan kaki, bersiul mengikutilagu yang didengarnya (Satiadarma, 2004).

4) Memperluas gudang ingatan

Berbagai bentuk pengalaman memberikan konstribusi koleksi data dalamgudang ingatan. Ragam musik juga memberikan kontribusi data di dalamgudang ingatan, akan tetapi gudang ingatan memiliki keterbatasan jika jumlahdata yang masuk jauh lebih besar dari daya tampung dalam gudang ingatan.Musik mampu mengubah individu untuk memanggil kembali data lainyakarena adanya proses assosiatif. Banyaknya ragam musik yang direkam dalamingatan seseorang memperkaya koleksi ingatan dengan ragam bentuk datayang terorganisir sehingga individu lebih mampu mengklasifikasikankelompok ingatan dan mengaitkanya dengan musik (Satiadarma, 2004).

5) Merangsang perkembangan bahasa

Dalam bidang pendidikan diberbagai lembaga bahasa, musik serta lagusering digunakan untuk membantu para siswa agar lebih mampu


(47)

belajarbahasa. Lirik musik juga mengubah individu untuk memahami kata dan ragamungkapan dalam lirik lagu tersebut (Fauzi, 2006).

2.3.8 Terapi Musik pada Skizofrenia

Musik memiliki efek mendalam pada tubuh dan jiwa. Ini adalah bagian tak terpisahkan dari pengalaman manusia dan komponan penting untuk mencapai kualitas hidup ( Dileo & Bradt, 2009), terapi musik sangat bermanfaat bagi kesehatan. Terapi musik telah terbukti merupakan salah satu intervensi yang bermanfaat bagi orang yang memiliki penyakit mental abadi (Grocke, 2008; Edwards, 2006).

Terapi musik dapat dianggap sebagai salah satu bentuk rehabilitasi psikososial karena dapat meningkatkan kekompakan sosial, dan dapat mempengaruhi psikologos individu dan kesejahteraan fisiologis, seperti fungsi kognitif dan ekspresi emosional (Yang, 1998), hal ini didefinisikan sebagai metode psikoterapi yang menggunakan interaksi musik sebagai sarana komunikasi dan ekspresi (Emas, 2009). Peng et al (2010) dan Sousa dan Sousa (2010) menemukan bahwa terapi musik adalah alat yang efektif untuk perbaikan dan rehabilitasi gejala skizofrenia bila digunakan sebagai tambahan untuk farmakoterapi.

Dalam sebuah penelitian yang membandingkan perawatan standar ditambah terapi musik untuk perawatan standar saja, hasil penelitian menunjukkan bahwa terapi musik membantu memperbaiki tingkatan gejala (Emas, 2007).


(48)

Hayashi et al (2002) juga menemukan efek terapi musik pada gejala negatif dan kualitas hidup. Dalam meta-analisis, ditemukan bahwa terapi musik memiliki efek positif pada gejala positif dan gejala negatif skizofrenia (Emas, 2005). Talwar et al (2006) dan Ulrich et al (2007) juga menemukan efek positif dari terapi musik pada gejala negatif. Selain itu, Na dan Yang (2009) menunjukkan penurunan signifikan secara statistic pada frekuensi halusinasi pendengaran dan penurunan yang signifikkan untuk gejala negatif setelah mendengarkan musik (Mohhammadi, 2012).

2.3.9 Tata Cara Pemberian Terapi Musik

Belum ada rekomendasi mengenai durasi yang optimal dalam pemberian terapi musik. Seringkali durasi yang diberikan dalam pemberian terapi musik adalah selama 10-15 menit. Ketika mendengarkan terapi musik klien berbaring dengan posisi yang nyaman, sedangkan tempo harus sedikit lebih lambat, 50 - 70 ketukan/menit, menggunakan irama yang tenang (Schou, 2007).


(49)

BAB III

KERANGKA PENELITIAN

3.1 Kerangka Penelitian

Kerangka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi musik terhadap halusinasi pendengaran pada pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Pemprovsu.

pre-test intervensi post-test

terapi musik klasik

Skema 3.1 Kerangka Penelitian Pengaruh Terapi Musik Terhadap Halusinasi Pendengaran Pada Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Pemprovsu

Halusinasi pendengaran : - Tanda - Gejala Halusinasi

pendengaran : - Tanda - Gejala


(50)

3.2 Definisi Konseptual

Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi, pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat berkembang kemudian (Sadock, 2003).

Halusinasi pendengaran Halusinasi pendengaran adalah mendengar suara manusia, hewan, mesin, barang, kejadian alamiah dan music dalam keaadan sadar tanpa adanya rangsangan apapun(Maramis,2005).

Terapi musik adalah materi yang mampu mempengaruhi kondisiseseorangbaik fisik maupun mental. Musik memberi rangsanganpertumbuhan fungsi-fungsiotak seperti fungsi ingatan, belajar, mendengar,berbicara, serta analisis intelek dan fungsi kesadaran (Satiadarma, 2004).


(51)

3.3 Definisi Operasional

Tabel 3.3 Definisi Operasional Pengaruh Perilaku Terapi Musik Terhadap Halusinas Pendengaran pada Pasien Skizofrenia di RSJ Pemprovsu

Variabel Definisi operasional Cara ukur Hasil ukur Skala Terapi

musik klasik

Kegiatan terapi yang dilakukan pada pasien halusinasi

pendengaran dengan cara mendengarkan musik klasik

Modul 1.Dilakukan 2.Tidak dilakukan Nominal Tanda dan gejala halusinasi pendengaran

Perilaku yang ditampilkan pasien halusinasi pendengaran 8 pertanyaan dalam kuisioner B tentang tanda dan gejala halusinasi pendengaran yang dialami yang diadopsi dari psychotic syndrome Nilai dalam rentang 0-32 Interval


(52)

3.4 Hipotesis

Berdasarkan konsep teori yang ada, maka hipotesis yang muncul dalam penelitian ini adalah:

Ha : Ada pengaruh terapi musik terhadap halusinasi pendengaran pada pasien skizofrenia.

rating scale (PYSRAT) (Haddock, 1999) dalam (Wahyuni, 2010)


(53)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain “Quasi experimental pre-post test with control group” dengan intervensi terapi musik. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan durasi dan frekuensi halusinasi pendengaran sebelum dan sesudah diberi terapi musik pada kelompok intervensi yang mendapat terapi musik dengan kelompok kontrol yang tidak mendapatkan terapi musik di RSJ Pemprovsu.

Hal ini sesuai dengan Watson dkk (2008) yang menyatakan bahwa struktur Quasi experimental hampir mirip dengan eksperimen hanya saja kurang dalam karakteristik randomisas. Beberapa bentuk Quasi experimental adalah dengan melakukan dengan memberikan intervensi pada suatu kelompok responden dan membandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan, dan dilakukan pengukuran variabel sebelum dan sesudah intervensi. Melalui desain ini diharapkan dapat terlihat efektifitas intervensi terapi musik yang dirancang peneliti dalam mengurangi tanda dan gejala halusinasi pendengaran (Wahyuni, 2010).


(54)

Skema 4.1 Rancangan Penelitian

Kelompok Pre-test X Post-test Intervensi O₁ O₂

Kontrol O₃ O₄ Keterangan:

X : Perlakuan (intervensi) terapi musik.

O₁ : Tandadan gejala halusinasi pendengaran pada kelompok intervensi sebelummendapatkan terapi musik.

O₂ : Tanda dan gejala halusinasi pendengaran pada kelompokintervensi setelah mendapatkan terapi musik.

O₃ : Tanda dan gejala halusinasi pendengaran pada kelompok kontrol sebelum kelompok intervensi mendapatkan terapi musik.

O₄ : Tanda dan gejala halusinasi pendengaran pada kelompok kontrol setelah kelompok intervensi mendapatkan terapi musik.

O₂-O₁ : Perubahan tanda dan gejala halusinasi pendengaran setelah setelah dilakukan terapi musik pada kelompok intervensi.


(55)

O₄-O₃ : Perubahan tanda dan gejala halusinasi pendengaran pada kelompok kontrol sesudah dilakukan terapi pada kelompok intervensi.

4.2 Populasi dan Sampel

4.2.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti (Notoatmodjo, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah pasien skizofrenia gangguan skizotipal dan gangguan waham dengan jumlah 1398 pasien dalam 10 bulan yang dirawat inap di Rumah Sakit Jiwa Pemprovsu Medan pada tahun 2013,rata-rata perbulan jumlah pasien yang rawat inap di RSJ Pemprovsu perbulannya 140 orang responden.

4.2.2 Sampel

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling hal ini sesuai dengan (Notoatmodjo, 2010) bahwa pengambilan sampel secara purposive didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya.

Jumlah sampel ditentukan dengan estimasi proporsi menggunakan rumus (Notoatmodjo,2010):

Keterangan:

�=�1−�/2�(1− �) �


(56)

n = besar sampel

Z1-a/2= nilai Z pada derajat kemaknaan (biasanya 95%= 1,96) P = Proporsi suatu kasus tertentu terhadap populasi

d = derajat penyimpangan terhadap populasi yang diinginkan: 10% (0,10), 5% (0,05), atau 1% (0,01).

Sehingga didapat;

n= [1,96x0,70(0,30)]/0,05 n= 8,232 dibulatkan 8

Maka besar sampel untuk penelitian ini adalah 8 responden untuk masing-masing kelompok.

Sampel yang diambil adalah pasien yang mengalami halusinasi pendengaran serta memenuhi kriteria inklusi sebagai berikut (Wahyuni, 2010): a. Klien berumur 18 tahun sampai 55 tahun

b. Dapat membaca dan menulis c. Bersedia menjadi responden

d. Pasien dengan diagnosa medis skizofrenia paranoid

e. Pasien dengan diagnosa keperawatan halusinasi pendengaran f. Tidak mengalami penurunan kesadaran, komunikatif dan kooperatif

4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Rumah Sakit Jiwa Pemprovsu Medan. Rumah Sakit Jiwa Pemprovsu Medan merupakan rumah sakit jiwa terbesar dan merupakan rumah sakit jiwa rujukan di Sumatera Utara. Waktu penelitian


(57)

dilaksanakan mulai januari yang dimulai dari kegiatan penyusunan proposal, pengumpulan data, pelaksanaan terapi, dan dilanjutkan dengan pengolahan hasil serta penulisan laporan penelitian.

4.4 Pertimbangan Etik

Untuk melindungi hak-hak responden maka peneliti akan melakukan prosedur penelitian yang dimulai dengan Ethical Clearence yang dilakukan oleh komite etik penelitian keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Peneliti menyampaikan surat permohonan penelitian pada Direktur Rumah Sakit Jiwa Pemprovsu Medan. Setelah mendapat persetujuan, peneliti mengkoordinasikan pelaksaan intervensi dengan ruang rawat inap. Responden yang menjadi subyek penelitian juga diberi informasi tentang rencana, tujuan, prosedur, ketidaknyamanan dan resiko yang mungkin terjadi, manfaat serta total durasi partisipasi responden dalam penelitian melalui pertemuan resmi (Wahyuni, 2010).

Prinsip-prinsip etik yang harus dijunjung tinggi dalam penelitian ini adalah prinsip pertama mempertimbangkan hak-hak responden untuk menerima maupun menolakikut sertadalam penelitian (Daymon & Holloway, 2008). Dan sebagai wujud dari prinsip tersebut, peneliti akan menghormati keputusan responden. Salah satu masalah terpenting yang berhubungan dengan prinsip autonomy ini adalah persetujuan tertulis secara sukarela (Daymon & Holloway, 2008). Oleh


(58)

karena itu tiap responden diberi hak ikut atau menolak menjadi responden dengan cara menandatanganiinformed concentyang telah disiapkan oleh peneliti (Wahyuni, 2010).

Prinsip kedua tidak menampilkan informasi nama dan alamat asal responden dalam kuisioner dan alat ukur untuk menjamin anonimitas dan kerahasiaan (confidentiality). Hal ini sesuai dengan Daymond dan Halloway (2008) yang menyatakan bahwa tanggung jawab peneliti adalah menjaga anonimitas yang berarti peneliti tidak membocorkan identitas responden kepada orang laindan tidak menyingkap isu atau gagasan yang ingin dirahasiakan oleh responden (Wahyuni, 2010).

Prinsip ketiga keterbukaan (veracity) dan keadilan (justice), yaitu dengan cara menjelaskan prosedur penelitian dan memperhatikan kejujuran. Hal ini menunjukkan bahwa responden berhak mendapatkan informasi terbuka berkaitan dengan penelitian serta bebas menetukan pilihan untuk berpartisipasi dalam penelitian. Dalam penelitian ini, pelaksanaan terapi hanya dilakukan dalam 5 kali kunjungan dan untuk tiap kunjungan dilakukan selama 30 menit sehingga tidak menimbulkan kejenuhan pada pasien. Pada kelompok terapi akan diberikan terapi musik sedangkan di kelompok kontrol diberikan asuhan keperawatan generalis halusinasi (Wahyuni, 2010).

Prinsip keempat adalah beneficeance dan maleficeance. Hal ini menunjukkan bahwa peneliti wajib melindungi responden dari gangguan, cedera, ataupun kerusakan (Daymon & Holloway, 2008). Peneliti akan memaksimalkan hasil yang bermanfaat dan meminimalkan hal yang merugikan atau yang beresiko


(59)

terhadap pasien dengan melakukan tindakan terapi musik untuk mengurangi tanda dangejala halusinasi dan mengoptimalkan kemampuan pasien dalam mengontrol halusinasi dengan melakukan uji expert validity terlebih dahulu oleh tim keperawatan jiwa fakultas keperawatan Universitas Sumatera Utara (Wahyuni, 2010).

4.5 Instrumen Penelitian

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan lembar pertanyaan (kuisioner) sebagai berikut:

4.5.1 Data Demografi Responden

Data demografi responden yang diperlukan dalam penelitian ini adalah karakteristik responden. Pengambilan data ini menggunakan lembar instrumen A yang terdiri dari 10 pertanyaan tentang data demografi responden yang meliputi usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, status perkawinan, obat antipsikotik, lama rawat saat ini dan lama sakit.

4.5.2 Pengukuran Tanda dan Gejala Halusinasi

Pengukuran terhadap tanda dan gejala halusinasi menggunakan lembar instrumen B yang diadopsi dari psychotic syndrome rating scale (PSYRAT) yang dibuat oleh Huddock dkk (1999, dalam Kingdon & Turkington, 2008). Kuisioner ini berisi 8 pertanyaan dengan skor 0-4 dan rentang nilai 0-32 (Wahyuni, 2010). 4.6 Uji Validitas dan Reliabilitas

Validitas mengacu kepada kemampuan instrumen pengumpul data untuk mengukur apa yang harus diukur, untuk mendapatkan data yang relevan dengan


(60)

apa yang sedang diukur (Dempsey, 2002). Uji validitas yang dilakukan dalam penelitian ini adalah uji validitas isi (content validity) yaitu sampai sejauh mana instrumen dapat mewakili faktor yang diteliti (Dempsey, 2002). Uji validitas penelitian ini dilakukan oleh seorang ahli yang berkompeten dibidangnya yaitu dosen Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara pada Departemen Keperawatan jiwa.

Reliabilitas adalah stabilitas dan konsistensi suatu instrumen dalam suatu konteks yang diberikan (Brockopp, 2000). Uji reliabilitas ini dilakukan pada 20 orang responden halusinasi pendengaran yang melakukan rawat inap ruangan pusuk buhit di RSJ Pemprovsu. Hal ini sesuai dengan pernyataan Notoatmodjo (2010) Agar diperoleh distribusi nilai hasil pengukuran mendekati normal maka sebaiknya jumlah responden untuk uji coba paling sedikit 20 orang (Notoatmodjo, 2010). Selanjutnya dilakukan pengujian dengan teknik alpha cronbach. Hasilnya semua kuisioner reliabel dengan hasil kuisioner tanda dan gejala halusinasi 0.725. 4.7 Pengumpulan Data

Terdapat beberapa tahapan prosedur dalam pengumpulan data yaitu: 4.7.1 Persiapan

Pengajuan permohonan izin pelaksanaan penelitian dari fakultas keperawatan Universitas Sumatera Utara untuk melakukan penelitian di RSJ Pemprovsu pada Februari 2014. selanjutnya adalah meminta data jumlah pasien yang mengalami halusinasi pendengaran diruangan rawat inap RSJ Pemprovsu. Melakukan koordinasi dengan kepala ruangan dan perawat ruangan yang bertugas diruangan rawat inap RSJ Pemprovsu. Mengidentifikasi pasien yang memiliki


(61)

kriteria inklusi dengan cara melihat data melalui status pasien, membuat daftar pasien yang sesuai dengan kriteria inklusi, kemudian menjelaskan proses dan manfaat dari penelitian kepada responden yang sudah terpilih, memberikan kesempatan bertanya kepada responden tentang penelitian yang dilakukan, apabila responden bersedia berpartisipasi dalam penelitian maka pasien diminta untuk mengisi lembar persetujuan (informed consent) sebagai responden penelitian.

4.7.2 Pelaksanaan Kegiatan

Langkah-langkah pelaksanaan kegiatan meliputi: 1. pre-test

Dimulai dari minggu pertama pengambilan data dimulai dengan penentuan responden yang memenuhi kriteria inklusi dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Pada hari pertama minggu pertama peneliti melakukan pre-test kepada kelompok kontrol yang dilanjutkan hari kedua melakukan pre-test kepada kelompok intervensi untuk mengidentifikasi tanda dan gejala halusinasi dengan menggunakan instrument A dan B.

2. Intervensi

Pada minggu pertama hari kelimadan keenam peneliti melakukan terapi generalis terhadap kelompok intervensi, pada minggu kedua pengambilan data di hari pertamapeneliti melakukan intervensi pada kelompok intervensi yaitu pelaksanan terapi musik dalam kurun waktu 2 minggu pelaksanaan terapi musik dilakukan dalam 1 sesi denganpengulangan sebanyak 3 kali untuk setiap responden, setiap sesi dilaksanakan terapi musik selama 10-15 menit. Untuk mempermudah peneliti kelompok intervensi akan dibagi menjadi 2 kelompok


(62)

dengan kelompok pertama sebanyak 4 orang responden dan kelompok kedua sebanyak 4 responden.

Aturanpemberian terapi musik yaitu, pada hari pertama peneliti melakukan terapi musik pertama pada 4 responden kelompok intervensi pertama, pada hari kedua peneliti melakukan terapi musik pertama pada 4 responden kelompok intervensi kedua, kemudian pada hari ketiga peneliti melakukan terapi musik kedua pada 4 responden kelompok intervensi pertama, pada hari keempat peneliti melakukan terapi musik kedua pada 4 responden kelompok intervensi kedua, selanjutnya pada hari kelimapeneliti melakukan terapi musik ketiga pada 4 responden pertama, pada hari keenam peneliti melakukan terapi musik ketiga pada 4 responden kedua.

Sedangkan untuk kelompok kontrol pemberian asuhan keperawatan generalis halusinasi dilakukan oleh peneliti dengan dibantu oleh perawat ruangan yang telah terlatih pada minggu pertama hari ketiga dan empat.

3. Post-test

Post test dilakukan oleh peneliti setelah pelaksanaan terapi musik berakhir untuk mengevalusi apakah ada perubahan tanda dan gejala halusinasi. Waktu pelaksanaan post-tes dilakukan bersamaan pada kelompok inervensi dan kelompok kontrol yaitu setelah berakhir nya pemberian terapi musik yang dimulai pada minggu kedua, untuk 4 responden pertama kelompok intervensi dilakukan pada hari kelima, untuk 4 responden kedua kelompok intervensi dilakukan pada hari kernam. Untuk kelompok kontrol dilakukan post test pada minggu kedua hari


(63)

kelima dan keenam. Pelaksanaan post-test dilakukan pada kelompok intervensi dan juga kelompok kontrol dengan memberikan instrument A dan B.

4.8. Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan selanjutnya diolah dengan menggunakan program computer beberapa tahapan yaitu merekapitulasi hasil jawaban kuisioner yang diisi oleh responden kemudian dilakukan: (a) editing untuk memeriksa kelengkapan pengisian formulir atau kuisioner, (b) coding untuk membedakan kelompok intervensi dan kelompok control sehingga memudahkan dalam pengolahan data dan analisa data, (c) entry data, merupakan kegiatan memproses data untuk keperluan analisa dengan paket program komputer dan (d) cleaning data agar terbebas dari kesalahan sebelum dilakukan analisa data (Hastono, 2005 dalam Wahyuni, 2010).

4.8.1 Analisa Univariat

Analisa univariat dilakukan untuk mendeskripsikan karakteristik setiap variabel yang diukur dalam penelitian. Analisa univariat yang dilakukan untuk menganalisis karakteristik responden yang meliputi pendidikan, pekerjaan, jenis kelamin, status perkawinan, obat antipsikotik, lama rawat, lama sakit adalah dengan menggunakan distribusi frekuensi dan proporsi. Hal dikarenakan variabel tersebut merupakan data kategori. Sedangkan untuk usia merupakan data numerik dianalisis dengan menggunakan mean dan standar deviasi, nilai minimal dan maksimal (Wahyuni, 2010).

Analisa univariat juga dilakukan untuk menganalisis variabel tanda dan gejala halusinasi pendengaran. Hal ini dikarenakan data diatas merupakan data numerik. 4.8.2 Analisis Bivariat


(64)

Analisa dari hasil uji statistik ( chai square test, Z test, t test, dan sebagainya ). Melihat dari hasil uji statistik ini akan dapat disimpulkan adanya hubungan dua variabel tersebut bermakna atau tidak bermakna. Dari hasil uji statistik ini dapat terjadi, misalnya antara dua variabel tersebut secara persentase berhubungan tetapi secara statistik hubungan tidak bermakna (Notoadmodjo, 2010).

Analisa dari hasil uji statistik independent t-test. Melihat dari hasil uji statistik ini akan dapat disimpulkan adanya hubungan 2 variabel tersebut bermakna atau tidak bermakna (Notoatmodjo, 2010).


(65)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini menguraikan tentang hasil penelitian dan pembahasan penelitian mengenai pengaruh terapi musik terhadap halusinasi pendengaran pada pasien skizofrenia di RSJ Pemprovsu yang dilakukan mulai tanggal 26 Mei – Juni 2014. 1. Hasil Penelitian

1.1 Karakteristik Responden

Penelitian ini melibatkan 16 orang responden yang dibagi dalam dua kelompok yaitu 8 orang pada kelompok intervensi yaitu yang diberikan terapi generalis dan terapi musik, dan 8 orang lainnya pada kelompok kontrol yaitu hanya mendapatkan terapi generalis halusinasi. Data demografi dan karakteristik responden yang diteliti meliputi usia, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, lama rawat, terapi medis, lama sakit serta kesetaraan karakteristik responden pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol.

1.1.1 Usia Pasien Antara Kelompok Kontrol Dengan kelompok Intervensi

Distribusi rata-rata usia pasien dianalisis dengan menggunakan mea, standar deviasi dan nilai minimal-maksimal sedangkan kesetaraan karakteristik


(66)

rata-rata usia pasien antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol, dengan hasil tercantum pada tabel 5.1.

Tabel 5.1 Analisis Usia Pasien Pada Kelompok Intervensi Dan Kelompok KontrolDi RSJD Pemprovsu tahun 2014 (n=16)

Variabel Jenis N Mean SD Min-Maks P-value Kelompok

Usia pasien Kontrol 8 33.25 9.130 21-50 0,627 Intervensi 8 33.75 10068 22-50 Total 16 33.50 9.288 21-50

Berdasarkan tabel 5.1 diketahui rata-rata usia pasien secara keseluruan berumur 33.50 tahun dengan usia termuda 21 tahun dan tertua 50 tahun. Sedangkan rata-rata usia pasien pada kelompok intervensi berumur 33.75 tahun, sedangkan pada kelompok kontrol rata-rata berumur 33.25 tahun. Berdasarkan hasil uji statistik disimpulkan rata-rata usia pasien tidak ada perbedaan yang bermakna antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol atau dengan kata lain rata-rata usia pasien pada kelompok homogen (P-value= 0,627 ; α ≤ 0,05). 1.1.2 Karakteristik Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin, Status Perkawinan,

Pendidikan, Pekerjaan, Terapi Medik, Lama Rawat Dan Lama Sakit

Antara Kelompok Intervensi Dengan Kelompok Kontrol

Distribusi rata-rata jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, terapi medis, lama rawat dan lama sakit dianalisis dalam bentuk proporsi. Sedangkan kesetaraan jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan,


(67)

terapi medis, lama rawat, lama sakit pasien antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol dianalisis dengan hasil tercantum pada tabel 5.2.

Tabel 5.2 Distribusi Jenis Kelamin, Status Perkawinan, Pendidikan, Pekerjaan, Terapi Medis, Lama rawat, Lama Sakit Pada Kelompok Intervensi Dan Kelompok Kontrol Di RSJD Pemprovsu Tahun 2014 (n=16)

Karakteristik Kelompok Kelompok Jumlah P-value Kontrol (n=8) Intervensi (n=8) (n=16)

N % N % N % 1. Jenis kelamin

a. laki-laki 3 37.5 5 62.5 8 5.0 1.000 b. perempuan 5 62.5 3 37.5 8 50.0 2. Perkawinan

a. Kawin 4 50.0 5 62.5 9 56.2 0.506 b. Tidak Kawin 4 50.0 3 37.5 7 43.8

3. Pendidikan

a. Rendah 2 25.0 3 37.5 5 31.2 0.334 b. Tinggi 6 75.0 5 62.5 11 68.8

4. Pekerjaan

a. Bekerja 5 62.5 5 62.5 11 68.8 0.334 b. Tidak bekerja 3 37.5 3 37.5 5 31.2

5. Lama Rawat

a. ≤ 1 bulan 3 37.5 4 50.0 7 43.8 0.506 b. >1 bulan 5 62.5 4 50.0 9 56.2 6. Lama Sakit

a. ≤ 1 tahun 6 75.0 4 57.1 11 68.8 0.334 b. > 1 tahun 2 25.0 3 42.9 5 31.2

7. Terapi medik

a. Tipikal 8 100 8 100 16 100 - b. Atipikal 0 0 0 0 0 0

Berdasarkan tabel 5.2 diketahui bahwa jenis kelamin laki-laki sebanyak 8 orang (50.0%) dan perempuan sebanyak 8 orang (50.0%). Berdasarkan status


(68)

perkawinan, kawin sebanyak 9 orang (56.2%) dan belum kawin sebanyak 7 orang (43.8%). Berdasarkan pendidikan, responden dengan pendidikan rendah sebanyak 5 orang (31.2%) responden dengan pendidikan tinggi sebanyak 11 orang (68.8%). Berdasarka pekerjaan, responden yang bekerja sebanyak 11 orang (68.8%) responden yang tidak bekerja sebanyak 5 orang (31.2%). Berdasarkan lama rawat, 7 orang (43.8%) dirawat kurang dari atau sama dengan 1 bulan dan 9 orang (56.2%) dirawat lebih dari satu bulan. Berdasarkan lama sakit, sebanyak 11 orang (68.8%) mengatakan mengalami halusinasi pendengaran selama kurang dari atau sama dengan satu tahun dan sebanyak 5 orang (31.2%) mengatakan mengalami halusinasi pendengaran selama lebih dari satu tahun, seluruh pasien mengatakan bahwa terapik medik yang dijalani merupakan terapi tipikal sebanyak 16 orang (100%).

1.2 Tanda Dan Gejala Halusinasi Pendengaran

Pada bagian ini akan diuraikan distribusi rata-rata tanda dan gejala halusinasi pendengaran klien sebelum terapi musik, kesetaraan antara kelompok dan perbedaan tanda dan gejala halusinasi sebelum dan sesudah terapi musik antara kedua kelompok., selisih perbedaan tanda dan gejala halusinasi sebelum dan sesudah pada kedua kelompok.

1.2.1 Tanda Dan Gejala Halusinasi Pendengaran Sebelum Dilakukan Terapi

Musik Antara Kelompok Intervensi Dan Kelompok Kontrol

Distribusi rata-rata nilai tanda dan gejala halusinasi klien sebelum intervensi dianalisis menggunakan mean, standar deviasi, nilai minimal-maksimal. Sedangkan hasil kesetaraan antara kedua kelompokdicantumkan pada tabel 5.3.


(69)

Tabel 5.3 Analisis Nilai Rata-rata Tanda Dan Gejala Halusinasi Pendengaran Sebelum Terapi Musik Pada Kelompok Intervensi Dan Kelompok Kontrol

Variabel Kelompok N Mean SD SE Min-Maks P-value Tanda dan Kontrol 8 20.12 3.482 1.231 14-24 0.086 Gejala Intervensi 8 16.00 5.264 1.861 10-24

Berdasarkan tabel 5.3 diketahui rata-rata tanda dan gejala halusinsi pendengaran pada kelompok kontrol mean 20.12, dan nilai minimal 14 sedangkan nilai maksimal 24. Pada kelompok intervensi diperoleh mean 16.00, dan nilai minimal 10 sedangkan nilai maksimal 24.

Berdasarkan tabel 5.3 juga diketahui bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara rata-rata tanda dan gejala halusinasi pendengaran pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi atau dengan kata lain kedua kelompok homogen (P-value= 0.086 ; α ≤ 0.05).

1.2.2 Tanda Dan Gejala Halusinasi Pendengaran Sesudah Dilakukan Terapi

Musik Antara Kelompok Intervensi Dan Kelompok Kontrol

Distribusi rata-rata nilai tanda dan gejala halusinasi pendengaran klien sesudah dilakukan terapi musik dianalisis dengan menggunakan mean, standar deviasi, nilai minimal-maksimal. Sedangkan hasil kesetaraan antara kedua kelompok dicantumkan pada tabel 5.4.

Tabel 5.4 Analisis Tanda Dan Gejala Halusinasi Pendengaran Sesudah Diberikan Terapi Musik Pada Kelompok Intervensi Dan Kelompok Kontrol

Variabel Kelompok N Mean SD SE Min-maks P-value Tanda dan Kontrol 8 19.25 2.816 0.996 14-23 0.001 Gejala Intervensi 8 12.50 3.625 1.282 9-18


(70)

Berdasarkan tabel 5.4 diketahui rata-rata tanda dan gejala halusinasi pendengaran setelah dilakukan terapi musik pada kelompok kontrol mean 19.25, nilai minimal 14 sedangkan nilai maksimal 23. Pada kelompok intervensi diperoleh nilai mean 12.50, nilai minimal 9 sedangkan nilai maksimal 18.

Berdasarkan tabel 5.4 juga diketahui bahwa ada perbedaan yang bermakna antara rata-rata tanda dan gejala halusinasi pendengaran sesudah dilakukan terapi musik pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi (P-value = 0.001 ; α ≤ 0.05).

1.2.3 Perbedaan Tanda Dan Gejala Halusinasi Pendengaran Sebelum Dan

Sesudah Dilakukan Terapi Musik Pada Kelompok Kontrol Dan

Kelompok Intervensi

Distribusi rata-rata nilai tanda dan gejala halusinasi pendenngaran klien sebelum dan sesudah intervensi dianalisis menggunakan mean, standar deviasi, nilai minimal-maksimal. Sedangkan hasil kesetaraan antara kedua kelompok dicantumkan pada tabel 5.5.

Tabel 5.5 Analisa Pengaruh Terapi Musik Terhadap Tanda Dan Gejala Halusinasi Pendengaran Sebelum Dan Sesudah Terapi musik Pada Kelompok Kontrol Dan Kelompok Intervensi Di RSJD Pemprovsu (n= 16)

Kelompok Variabel N Mean SD SE T p- value

1. Kontrol Tanda dan gejala

a. Sebelum 8 20.12 3.482 1.231 1.986 0.087 b. Sesudah 8 19.252.816 0.996

Selisih 8 1.12 0.991 0.350 2. Intervensi Tanda dan gejala

a. Sebelum 8 16.00 5.264 1.861 4.141 0.004 b. Sesudah 8 12.50 3.625 1.282


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Gambaran Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik Perawat dengan Pasien Halusinasi Pendengaran di Rumah Sakit Jiwa Daerah PEMPROVSU

17 174 86

Efektivitas Terapi Gerak terhadap Perubahan tingkat Kecemasan pada Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa daerah Surakarta

0 10 8

GAMBARAN STATUS MENTAL PASIEN SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH Gambaran Status Mental Pasien Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Soedjarwadi Klaten.

0 3 19

RESPON FISIOLOGIS DAN PSIKOLOGIS SAAT TERJADI HALUSINASI DENGAR PADA PASIEN SKIZOFRENIA Respon Fisiologis Dan Psikologis Saat Terjadi Halusinasi Dengar Pada Pasien Skizofrenia Paranoid Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Soedjarwadi Klaten.

0 4 19

PENDAHULUAN Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Terhadap Kemampuan Mengontrol Marah Pada Pasien Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta.

0 0 5

EFEKTIVITAS TERAPI GERAK TERHADAP PERUBAHAN TINGKAT KECEMASAN PADA PASIEN SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA.

0 2 10

PENGARUH KOMUNIKASI TERAPEUTIK TERHADAP FREKUENSI HALUSINASI PADA PASIEN DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA.

0 1 8

PENGARUH DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP KEKAMBUHAN PASIEN SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

0 0 66

Pengaruh Terapi Musik Terhadap Tanda Dan Gejala Halusinasi Pendengaran Pada Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Pemprovsu

0 2 39

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Skizofrenia 2.1.1 Pengertian - Pengaruh Terapi Musik Terhadap Tanda Dan Gejala Halusinasi Pendengaran Pada Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Pemprovsu

0 1 31