9
c. Tahap Evaluasi
Dalam tahap ini dilakukan evaluasi terhadap proses implementasi evaluasi proses serta dampak yang ditimbulkan, dilakukan pembandingan antara rencana
dengan capaian atau hasil yang dicapai evaluasi dampak. Terkait dengan analisis kebijakan pembangunan pertanian, proses penyusunan dan pengambilan kebijakan
perlu dicermati dengan seksama karena sangat krusial. Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang didasarkan pada hasil analisis dan pengetahuan yang sistematis. Hal
ini sering dikenal dengan terminology “ evidence based policy formulation”. Menurut
Anonim 2004, hasil-hasil penelitian sering masih diabaikan, ditafsirkan lain atau kurang dipergunakan untuk “
evidence based policy formulation” oleh penentu kebijakan Penelitian bertujuan menghasilkan pengetahuan baru, sedangkan
kebijakan bertujuan melakukan atau merubah suatu program kegiatan berdasarkan pengetahuan baru tersebut. Keduanya sangat berkaitan, sehingga hubungan antara
keduanya perlu ditingkatkan. Sumber dan pembawa informasi sama pentingnya dengan substansi informasi; penentu kebijakan akan lebih menerima substansi
informasi bila diberikan oleh mereka yang telah dipercaya. Walaupun demikian, sebagai peneliti kita harus yakin bahwa penelitian yang berkualitas baik, keterlibatan
masyarakat setempat, pesan yang akurat dan strategi komunikasi penyebar-luasan hasil penelitian yang efektif juga penting. Adanya
gap antara kebutuhan akan data dengan ketersediaan data, juga membatasi penggunaan data tersebut. Pada
dasarnya formulasi kebijakan didasarkan pada berbagai pertimbangan politik, sosial-ekonomi, institusi, lingkungan, sumber daya, tingkat kelayakan, disamping
faktor-faktor teknis. Faktor teknis ini terdiri dari kemampuan untuk melaksanakan kebijakan dan tersedianya data dan informasi yang memadai dan sahih.
2.2. Teori Pangan
Ketahanan pangan yang dicetuskan pada World Food Summit 1996 oleh
World Food Programme didefinisikan sebagai kondisi yang terjadi apabila semua orang secara terus menerus, baik secara fisik, sosial, dan ekonomi mempunyai akses
untuk pangan yang memadai cukup, bergizi, dan aman, yang memenuhi kebutuhan
10
pangan mereka dan pilihan makanan untuk hidup secara aktif dan sehat. Berikut adalah kerangka konsep ketahanan pangan internasional tersebut:
Ketahanan pangan di I ndonesia didefinisikan dalam UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan PP No. 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan
sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata
dan terjangkau. Pengertian pangan dalam UU dan PP tersebut adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak
diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan
lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau
pembuatan makanan atau minuman. Ketahanan pangan merupakan isu strategis yang dicanangkan secara
nasional dan merupakan kewajiban negara untuk mewujudkannya. Ketahanan pangan termasuk dalam prioritas nasional pada RPJMN untuk tahun 2010-2014. Ada
tiga alasan penting yang melandasi kesepakatan tersebut: 1.
Ketahanan pangan merupakan prasyarat bagi terpenuhinya hak asasi atas pangan setiap penduduk;
2. Konsumsi pangan dan gizi yang cukup merupakan basis bagi pembentukan
sumber daya manusia yang berkualitas; dan 3.
Ketahanan pangan merupakan basis bagi ketahanan ekonomi, bahkan bagi ketahanan nasional. Pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa tidak
ada satu negarapun yang dapat melaksanakan pembangunan dengan baik sebelum mampu mewujudkan ketahanan pangan terlebih dahulu.
Ketahanan pangan di setiap negara dibangun di atas tiga pilar utama yaitu: 1.
Ketersediaan Pangan, adalah tersedianya pangan secara fisik di daerah, yang diperoleh baik dari hasil produksi domestik, impor perdagangan maupun
bantuan pangan. Ketersediaan pangan ditentukan dari produksi domestik, masuknya pangan melalui mekanisme pasar, stok pangan yang dimiliki
pedagang dan pemerintah, serta bantuan pangan baik dari pemerintah maupun
11
dari badan bantuan pangan. Ketersediaan pangan dapat dihitung pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten atau tingkat masyarakat.
2. Akses Pangan, adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh cukup
pangan baik yang berasal dari produksi sendiri, pembelian, barter, hadiah, pinjaman, dan bantuan pangan maupun kombinasi di antara kelimanya.
Ketersediaan pangan di suatu daerah mungkin mencukupi, akan tetapi tidak semua rumah tangga memiliki akses yang memadai baik secara kuantitas
maupun keragaman pangan melalui mekanisme tersebut di atas. 3.
Pemanfaatan Pangan, merujuk pada penggunaan pangan oleh rumah tangga dan kemampuan individu untuk menyerap dan memetabolisme zat gizi.
2.3. Hasil- Hasil Penelitian Pengkajian Terkait