Teori Pangan Laporan Akhir Kegiatan Tahun 2016

9 c. Tahap Evaluasi Dalam tahap ini dilakukan evaluasi terhadap proses implementasi evaluasi proses serta dampak yang ditimbulkan, dilakukan pembandingan antara rencana dengan capaian atau hasil yang dicapai evaluasi dampak. Terkait dengan analisis kebijakan pembangunan pertanian, proses penyusunan dan pengambilan kebijakan perlu dicermati dengan seksama karena sangat krusial. Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang didasarkan pada hasil analisis dan pengetahuan yang sistematis. Hal ini sering dikenal dengan terminology “ evidence based policy formulation”. Menurut Anonim 2004, hasil-hasil penelitian sering masih diabaikan, ditafsirkan lain atau kurang dipergunakan untuk “ evidence based policy formulation” oleh penentu kebijakan Penelitian bertujuan menghasilkan pengetahuan baru, sedangkan kebijakan bertujuan melakukan atau merubah suatu program kegiatan berdasarkan pengetahuan baru tersebut. Keduanya sangat berkaitan, sehingga hubungan antara keduanya perlu ditingkatkan. Sumber dan pembawa informasi sama pentingnya dengan substansi informasi; penentu kebijakan akan lebih menerima substansi informasi bila diberikan oleh mereka yang telah dipercaya. Walaupun demikian, sebagai peneliti kita harus yakin bahwa penelitian yang berkualitas baik, keterlibatan masyarakat setempat, pesan yang akurat dan strategi komunikasi penyebar-luasan hasil penelitian yang efektif juga penting. Adanya gap antara kebutuhan akan data dengan ketersediaan data, juga membatasi penggunaan data tersebut. Pada dasarnya formulasi kebijakan didasarkan pada berbagai pertimbangan politik, sosial-ekonomi, institusi, lingkungan, sumber daya, tingkat kelayakan, disamping faktor-faktor teknis. Faktor teknis ini terdiri dari kemampuan untuk melaksanakan kebijakan dan tersedianya data dan informasi yang memadai dan sahih.

2.2. Teori Pangan

Ketahanan pangan yang dicetuskan pada World Food Summit 1996 oleh World Food Programme didefinisikan sebagai kondisi yang terjadi apabila semua orang secara terus menerus, baik secara fisik, sosial, dan ekonomi mempunyai akses untuk pangan yang memadai cukup, bergizi, dan aman, yang memenuhi kebutuhan 10 pangan mereka dan pilihan makanan untuk hidup secara aktif dan sehat. Berikut adalah kerangka konsep ketahanan pangan internasional tersebut: Ketahanan pangan di I ndonesia didefinisikan dalam UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan PP No. 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Pengertian pangan dalam UU dan PP tersebut adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Ketahanan pangan merupakan isu strategis yang dicanangkan secara nasional dan merupakan kewajiban negara untuk mewujudkannya. Ketahanan pangan termasuk dalam prioritas nasional pada RPJMN untuk tahun 2010-2014. Ada tiga alasan penting yang melandasi kesepakatan tersebut: 1. Ketahanan pangan merupakan prasyarat bagi terpenuhinya hak asasi atas pangan setiap penduduk; 2. Konsumsi pangan dan gizi yang cukup merupakan basis bagi pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas; dan 3. Ketahanan pangan merupakan basis bagi ketahanan ekonomi, bahkan bagi ketahanan nasional. Pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa tidak ada satu negarapun yang dapat melaksanakan pembangunan dengan baik sebelum mampu mewujudkan ketahanan pangan terlebih dahulu. Ketahanan pangan di setiap negara dibangun di atas tiga pilar utama yaitu: 1. Ketersediaan Pangan, adalah tersedianya pangan secara fisik di daerah, yang diperoleh baik dari hasil produksi domestik, impor perdagangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ditentukan dari produksi domestik, masuknya pangan melalui mekanisme pasar, stok pangan yang dimiliki pedagang dan pemerintah, serta bantuan pangan baik dari pemerintah maupun 11 dari badan bantuan pangan. Ketersediaan pangan dapat dihitung pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten atau tingkat masyarakat. 2. Akses Pangan, adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh cukup pangan baik yang berasal dari produksi sendiri, pembelian, barter, hadiah, pinjaman, dan bantuan pangan maupun kombinasi di antara kelimanya. Ketersediaan pangan di suatu daerah mungkin mencukupi, akan tetapi tidak semua rumah tangga memiliki akses yang memadai baik secara kuantitas maupun keragaman pangan melalui mekanisme tersebut di atas. 3. Pemanfaatan Pangan, merujuk pada penggunaan pangan oleh rumah tangga dan kemampuan individu untuk menyerap dan memetabolisme zat gizi.

2.3. Hasil- Hasil Penelitian Pengkajian Terkait