13 konsumsi minimum 2000 kalkapitahari. Capaian kedua indikator tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut:
1. Prevalensi balita dengan berat badan rendahkurang gizi KEP
Data pada Tabel 1.2 menunjukkan bahwa di Provinsi DIY, indikator persentase balita kekurangan gizi pada tahun 2010 mencapai 9,9 11.3; indikator persentase
balita gizi buruk mencapai 1,4; dan persentase balita gizi kurang mencapai 8,5 9,9. Angka-angka tersebut menunjukkan tren penurunan dari tahun ke tahun dan jauh
di bawah angka nasional 18,4; 5,4; dan 13,0, maupun target MDGs tahun 2015 15,5; 3,6; dan 11,9. Dengan demikian dilihat dari persentase balita kekurangan
gizi, balita gizi buruk, dan balita gizi kurang di Provinsi DIY relatif tidak bermasalah dan telah melampauia target nasional MDGs tahun 2015. Namun demikian berbagai upaya
tetap dilakukan dalam upaya mencegah terjadinya kekurangan gizi, gizi buruk, maupun gizi kurang.
Target yang ditetapkan untuk prevalensi balita kekurangan gizi di Provinsi DIY pada tahun 2015 adalah tidak lebih dari 10 dengan kategori akan tercapai. Target
tersebut lebih baik dari target nasional sebesar 15,5 dengan satatus akan tercapai. Riset Kesehatan Dasar Riskesdas tahun 2010 menunjukan angka kurang gizi
secara nasional pada balita mengalami penurunan menjadi 17,9 persen dibanding tahun 2007 sebesar 18,4 persen. Namun, penduduk Indonesia dinilai masih mengalami
ancaman masalah kelaparan tersembunyi hidden hunger. Dengan demikian masalah nutrisi masih menjadi agenda besar di Indonesia baik gizi buruk, gizi kurang maupun
kelaparan tersembunyi seperti kekurangan zat bezi, kekurangan yodium dan vitamin A. Persentase balita penderita gizi buruk di Provinsi DIY jika dilihat per Kabupaten
dapat dilihat pada Tabel 1.9. Tabel 1.9.
Persentase Balita Penderita Gizi Buruk di provinsi DIY Tahun 2010
KabKota Persentase
Kab. Kulonprogo 0,88
Kab. Bantul 0,57
Kab. Gunungkidul 0,70
Kab. Sleman 0,66
Kota Yogyakarta 1,01
Sumber : Dinkes Prov.DIY Faktor utama terjadinya balita gizi buruk di DIY disebabkan oleh permasalahan
ekonomi atau kemiskinan. Hal ini mengingat makin tinggi angka kemiskinan yang tercermin dari rendahnya tingkat pendapatan, makin tinggi pula potensi terjadinya balita
gizi buruk. Penyebab lain terjadinya balita gizi buruk adalah pola asuh anak yang salah
14 serta akibat penyakit terutama infeksi. Oleh karenanya upaya penurunan terjadinya
balita gizi buruk linier dengan upaya penurunan kemiskinan, dalam artian keberhasilan menurunkan angka kemiskinan akan berdampak pula terhadap penurunan terjadinya
balita gizi buruk.
2. Proporsi penduduk dengan asupan kalori di bawah tingkat konsumsi minimum