1. Umur
Responden pada penelitian ini adalah pria dewasa dengan rentang umur 40-50 tahun. Uji normalitas responden menggunakan Kolmogorov-Smirnov
dengan taraf kepercayaan sebesar 95. Nilai signifikasi distribusi umur responden yang diperoleh adalah 0,07 sehingga dapat dikatakan bahwa data umur
responden terdistribusi normal. Ukuran pemusatan umur dinyatakan dalam median yaitu 44 dan ukuran penyebaran dinyatakan dalam minimum-maksimum
yaitu 40-50.
Gambar 2. Grafik Distribusi Umur Responden
Rentang umur responden dalam penelitian ini termasuk dalam kategori middle-adulthood
yaitu 40-60 tahun Santrock, 2004. Middle-adulthood merupakan suatu transisi antara usia dewasa dini dan usia lanjut di mana pada
periode middle-adulthood mulai terjadi penurunan keterampilan fisik dan fungsi organ Papalia et al., 2008. Responden pada penelitian ini termasuk dalam
kategori middle-adulthood yakni dengan rentang umur 40-50 tahun.
Berdasarkan penelitian Lee, Lim, Baek, Park, and Park 2015, yang dilakukan pada responden pria dan wanita berumur 40-69 tahun menunjukkan
bahwa pada pria dengan rata-rata umur 50,33 tahun memiliki angka prevalensi diabetes melitus yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita 6,67 vs 5,16;
p0,032. Menurut American Diabetes Association 2013, semakin bertambah umur seseorang maka semakin besar risiko terjadinya penyakit diabetes. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Tilaki and Heidari 2015, yang dilakukan pada 1000 responden berumur 20-80 tahun menunjukkan hasil yaitu prevalensi diabetes
pada pria lebih tinggi 14,4 dibandingkan pada wanita 13,5 dengan nilai p=0,65 dan ditemukan juga bahwa prevalensi diabetes secara signifikan lebih
tinggi pada umur 60 tahun dengan p=0,001. Hasil penelitian tersebut mendukung penelitian sekarang yakni terdapat kemungkinan peningkatan
terjadinya diabetes melitus 2 seiring bertambahnya usia karena dengan bertambahnya usia pada periode middle-adulthood terjadi penurunan keterampilan
fisik dan penurunan fungsi organ.
2. BMI
Hasil rata-rata BMI responden yang diperoleh pada penelitian ini sebesar 24,88 kgm
2
dengan nilai tertinggi 34,32 kgm
2
yang termasuk dalam kategori obesitas dan nilai terendah 15,98 kgm
2
yang termasuk dalam kategori underweight
. Uji normalitas nilai BMI menggunakan Kolmogrov-Smirnov dengan taraf kepercayaan 95. Nilai signifikansi yang diperoleh dari uji normalitas BMI
responden sebesar 0,20 yang menunjukkan bahwa data BMI terdistribusi normal.
Menurut Bays, Chapman, and Grandy 2007 yang membandingkan data dari SHIELD dan NHANES mengenai hubungan antara body mass index dengan
diabetes melitus, hipertensi, dan dislipidemia. Jumlah responden untuk SHIELD sebanyak 127.420 orang dengan rata-rata BMI sebesar 27,8 kgm
2
dan pada NHANES sebanyak 4257 orang dengan rata-rata BMI sebesar 27,9 kgm
2
. Peningkatan BMI berbanding lurus dengan peningkatan prevalensi terjadinya
diabetes melitus dengan nilai signifikansi pada SHIELD dan NHANES sebesar 0,001. Berdasarkan data-data dari kedua national survey tersebut diketahui bahwa
semakin tinggi BMI maka semakin tinggi pula risiko terjadinya diabetes melitus, hipertensi, dan dislipidemia.
Gambar 3. Grafik Distribusi BMI Responden 3.
HbA1c
Nilai rerata HbA1c responden yang didapat pada penelitian ini yaitu sebesar 5,59 yang termasuk dalam kategori berisiko terkena diabetes. Kadar
HbA1c tertinggi yaitu sebesar 6,64 yang termasuk dalam kategori diabetes dan kadar HbA1c terendah sebesar 4,66 yang termasuk dalam kategori normal. Uji
normalitas kadar HbA1c pada responden menggunakan Kolmogrov-Smirnov dengan taraf kepercayaan 95 menghasilkan nilai p=0,17 dimana hal ini
menunjukkan bahwa data terdistribusi normal.
Gambar 4. Grafik Distribusi HbA1c Responden
Menurut World Health Organization 2011, HbA1c direkomendasikan sebagai salah satu tes untuk mendiagnosa diabetes. Tes HbA1c didasarkan pada
ikatan glukosa dengan hemoglobin suatu protein dalam sel darah merah yang mengikat oksigen. Sel-sel darah merah di dalam tubuh akan hidup selama 3 bulan.
Dengan demikian tes HbA1c dapat mencerminkan rata-rata glukosa darah seseorang selama 3 bulan terakhir.
Pada tahun 2009 International Expert Committee juga merekomendasikan tes HbA1c sebagai salah satu tes yang dapat membantu
mendiagnosa diabetes tipe 2 dan pradiabetes, karena tes HbA1c tidak memerlukan
puasa dan darah dapat diambil setiap waktu untuk dilakukan tes. Dengan adanya kemudahan dalam melakukan tes ini para peneliti berharap hal ini dapat menarik
lebih banyak orang untuk melakukan tes sehingga dapat menurunkan jumlah penderita diabetes yang tidak terdiagnosa.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Chen, Lin, Chong, Chen, Chao, Chen et al. 2015, yang melibatkan 5.277 responden dengan 7 diantaranya
menderita diabetes ditemukan hasil yaitu setiap 1 peningkatan nilai HbA1c secara positif berhubungan dengan kenaikan risiko dari penyakit kardivaskular
HR: 1,2; 95 CI: 1,08-1,34 dan risiko kematian HR: 1,14; 95 CI: 1,03-1,26. Responden dengan nilai HbA1c ≥ 7,5 secara signifikan meningkatkan risiko
penyakit kardiovaskular HR: 1,82; 95 CI: 1,01-3,26 dan menyebabkan kematian HR: 2,45; 95 CI: 1,45-4,14.
B. Perbandingan Rerata HbA1c terhadap Body Mass Index